terhadap kejadian diare namun secara statistik tidak bermakna dengan OR = 0,68 95 CI : 0,34 – 1,38; p = 0,285.
C. Lingkungan. 1.
Tingkat kepadatan perumahan
Hasil analisis tabulasi silang menunjukkan bahwa tingkat kepadatan perumahan yang padat memiliki risiko lebih besar untuk terkena
diare tetapi secara statistic tidak bermakna dengan nilai p = 0,034. Risiko terkena diare pada tingkat kepadatan perumahan yang padat
1,70 lebih besar dibandingkan dengan tingkat kepadatan perumahan yang tidak padat dengan 95 CI : 1,04 – 2,79.
2. Ketersediaan sarana air bersih
Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa yang tidak mempunyai sarana air bersih berisiko 2,06 kali lebih besar untuk terkena diare
dari pada balita yang mempunyai sarana air bersih dan signifikan bermakna secara statistic dengan nilai p = 0,012 pada 95 CI : 1,17
– 3,63. Sumber air minum merupakan salah satu sarana sanitasi
penting berkaitan dengan kejadian diare Irianto, 1996. Hasil penelitian Trisno Agung Wibowo, menunjukkan bahwa
menggunakan sumber air minum yang tidak memenuhi syarat sanitasi akan meningkatkan risiko terjadinya diare berdarah pada anak balita
sebesar 2,47 kali dibandingkan keluarga yang mengunakan sumber air minum yang memenuhi syarat sanitasi. Penelitian sejenis yang
dilakukan Irianto dkk 1996 di Jakarta disimpulkan bahwa sumber air minum utama merupakan factor risiko terjadinya diare pada balita
dengan OR = 1,21, CI : 131 – 1,08, p = 0,0000, secara statistic bermakna. Penelitian lain dilakukan oleh Lubis 1991, diperoleh
simpulan bahwa risiko terkena diare berlendir pada balita akan meningkat sebesar dua kali lipat pada keluarga yang menggunakan
mata air penampungan air hujan sebagai sumber air utama
dibandingkan dengan keluarga yang menggunakan ledeng sebagai sumber air utama.
Kepemilikan sumber air minum yang memenuhi syarat sanitasi dalam suatu keluarga merupakan salah satu upaya untuk
menekan berbagai penyakit yang dapat ditularkan melalui air Dep,.Kes RI, 2000. Salah satu bentuk pemberdayaan masyarakat
dalam mencegah terjadinya kasus diare pada balita adalah dengan mengguakan air bersih untuk kepentingan sehari – hari Dep.Kes RI,
1997. Penelitian serupa dilaksanakan oleh Daniel dkk 1986 di
Lesotho yang menyimpulkan terdapat hubungan yang bermakna secara statistic antara kepemilikan fasilitas air bersih dengan
kejadian diare dengan OR = 0,82, CI : 0,64 – 0,98, p = 0,03956.
3. Kualitas air bersih
Walaupun secara kuantitatif kepemilikan fasilitas air minum pada kelompok kasus maupun kelompok kontrol diatas 70 ,
namun masih tetap menjadi faktor resiko terjadinya diare pada balita, hal ini disebabkan karena kualitas bakteriologis air minum yang ada
belum memenuhi syarat, dimana 100 sampel air yang diperiksa didapatkan kadar MPN coli 240100 ml air sebagai gambaran
cakupan air bersih yang memenuhi syarat bakteriologis tahun 2000 di kabupaten Sleman sebesar 55, 15 namun hasil penelitian Wibowo
2002, tentang faktor – faktor risiko diare cair pada seluruh golongan umum di Kecamatan Ngaglik Kabupaten Sleman dengan
rancangan case – control menyimpulkan bahwa dari 40 sampel air minum yang berasal dari sumber air minum yang digunakan oleh
kasus kontrol hanya 4 sampel 10 yang memenuhi syarat kualitas bakteriologis sumber air minum, sehingga dimungkinkan berpotensi
sebagai penyebab kejadian diare atau berhubungan dengan kebiasaan merebus air yang akan diminum hingga mendidih.
Dari hasil pemeriksaan bakteriologis pada air yang digunakan baik oleh kelompok kasus maupun kelompok kontrol
didapatkan bahwa kualitas air bersihnya tidak memenuhi syarat, dimana kadar total koliform diatas 240, yang menunjukkan bahwa
air bersih yang digunakan tidak memenuhi syarat yang akhirnya dapat merupakan faktor risiko penularan diare pada balita.
4. Ketersediaan jamban keluarga