Universitas Indonesia
berpendapat bahwa peran penting dalam implementasi kebijakan publik adalah kemampuannya dalam mengidentifikasi variable-variabel yang
mempengaruhi tercapainya tujuan tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi.
Menurut teori ini ada 16 variable yang dibagi kedalam 3 faktor utama independen variable yang dapat berpengaruh pada proses implementasi.:
1. Mudah atau tidaknya masalah yang akan digarap tractability, meliputi : a. Kesukaran kesukaran teknis, b. Keberagaman perilaku yang
diatur, c. Persentase totalitas penduduk yang tercakup dalam kelompok sasaran, d Tingkat dan ruang lingkup perubahan perilaku yang
dikehendaki. 2. Kemampuan kebijakan menstruktur proses implementasi secara tepat
Statutory. Para pembuat kebijakan akan menggunakan wewenang yang dimilikinya untuk menstruktur proses implementasi secara tepat
melalui beberapa cara : a. Kecermatan dan kejelasan penjenjangan tujuan-tujuan resmi yang akan dicapai, b. Keterandalan teori kausalitas
yang diperlukan, c Ketepatan alokasi sumber dana, d Keterpaduan hirarki di dalam lingkungan dan diantara lembaga-lembaga atau
instansi-instansi pelaksana, e. Aturan-aturan pembuat keputusan dari badan-badan pelaksana, f. Kesepakatan para pejabat terhadap tujuan
yang termaktub dalam undang-undang, dan g. Akses formal pihak- pihak luar
3. Variabel-variabel di luar Undang-undang kebijakan yang mempengaruhi implementasi Non Statutory, seperti : a.Kondisi
sosial-ekonomi dan teknologi, b. Dukungan publik, c. Sikap dan sumber-sumber yang dimiliki kelompok masyarakat, d. Kesepakatan
dan kemampuan kepemimpinan para pejabat pelaksana. c. Implementasi Kebijakan Publik Model George C. Edward III 1980
Edward III menamakan kebijakan publiknya dengan Direct and Indirect Impact on Implementation.
Dalam pendekatan ini Edward III mengemukakan 4 variabel yang sangat menentukan keberhasilan
implementasi suatu kebijakan, yaitu :
Universitas Indonesia
1. Komunikasi Terdapat 3 indikator keberhasilan komunikasi ini yaitu : a.
Transmisi, b Kejelasan, dan c. Konsistensi,. 2. Sumberdaya .
Menurut Edward III, sumberdaya terdiri dari beberapa elemen yaitu : a Staf, staf harus mencukupi, memadai dan kompeten
dibidangnya, b. Informasi, informasi tentang cara melaksanakan kegitan dan juga informasi mengenai data kepatuhan dari para
pelaksana terhadap peraturan dan regulasi pemerintah , c Wewenang, kewenangan harus bersifat formal, dan d. Fasilitas sarana dan
prasarana 3. Disposisi sikap dari pelaksana kebijakan
Pelaksanaan kebijakan publik bisa berjalan efektif, maka para pelaksana kebijakan harus mengetahui apa yang akan dikerjakannya
dan harus memiliki kemampuan untuk mengerjakannya, sehingga dalam prakteknya tidak terjadi bias. Hal-hal yang perlu dicermati
dalam variable ini menurut Edward III adalah : a Pengangkatan Birokrat, dan b Insentif
4. Struktur Birokrasi Menurut Edward III, dua faktor yang dapat menaikkan kinerja
struktur birokrasi organisasi kearah yang lebih baik adalah : a. melakukan Standard Operating Procedures SOPs dan b.
melaksanakan Fragmentasi d. Implementasi Kebijakan Publik Model Merilee S. Grindle.
Grindle 1980, mengemukakan model implementasi kebijakan yang dikenal dengan Implementation as A Political and Administrative Process.
Keberhasilan implementasi kebijakan publik dapat diukur dari proses pencapaian hasil akhir outcomes, pengukuran keberhasilan imlementasi ini
dapat dilihat dari 2 hal, yaitu: 1. Dilihat dari prosesnya, apakah pelaksanaan kebijakan itu sesuai
dengan yang sudah ditentukan design, dengan merujuk kepada aksi kebijakannya.
Universitas Indonesia
2. Apakah tujuan kebijakan tercapai?, diukur dengan melihat impack atau efeknya pada masyarakat secara individual ataupun kelompok,
dan tingkat perubahan yang terjadi serta penerimaan kelompok sasaran dan perubahan yang terjadi.
Keberhasilan implementasi menurut Grindle ditentukan oleh tingkat implementability
yang terdiri dari Content of policy dan Contex of policy 1 Content of policy menurut Grindle adalah : a. Interest Affected
kepentingan – kepentingan yang mempengaruhi, b. Type of Benefits Tipe manfaat, c. Extent of Change Envision derajat perubahan
yang ingin dicapai, d.Site of Decission Making letak pengambilan keputusan, e.Program Implementation Pelaksana program, dan f.
Resources Committed sumber-sumber daya yang digunakan.
2 Context of policy menurut Grindle adalah : a. Power, Interest, and Strategy of actor Involved
Kekuasaan, kepentingan, dan strategi dari actor yang terlibat, b. Institution and Regime Characteristic
Karakteristik lembaga dan rezim yang berkuasa, dan c. Compliance and Responsivness
tingkat kepatuhan dan adanya respon pelaksana Disamping itu dalam Purwanto E.A Sulistyastuti.D.R, 2012 juga ada
pendapat dari Sabatier 1986. Sabatier mengatakan ada 6 variable yang dianggap memberikan kontribusi terhadap keberhasian dan kegagalan implementasi
kebijakan, yaitu : 1. Tujuan atau sasaran kebijakan harus jelas dan konsisten,
2. Dukungan teory yang kuat dalam merumuskan kebijakan, 3. Proses imlementasi mempunyai dasar hokum yang jelas untuk menjamin
kepatuhan petugas dilapangan dan kelompok sasaran, 4. Komitmen dan keahlian para pelaksana kebijakan,
5. Dukungan para stakeholder, 6. Stabilitas kondisi sosial, ekonomi dan politik.
Universitas Indonesia
2.1.4.3. Permasalahan Proses Implementasi. a. Ketidaksempurnaan Proses Implementasi.
Menurut Hogwood dan Gunn dalam Purwanto E.A Sulistyastuti.D.R, 2012, suatu implementasi yang sangat sempurna perfect implementation
tidak akan pernah terwujud karena : 1. Ada hambatan Eksternal. Hambatan ini berasal dari luar organisasi seperti
krisis moneter, bencana alam, dll.hal ini sulit dikontrol oleh para pembuat kebijakan maupun imlementatornya.
2. Waktu dan sumberdaya tidak tersedia secara memadai 3. Kebijakan tidak didasarkan pada landasan pemikiran teoritis yang kuat
tentang hubungan kausalitas antara kebijakan dan hasil yang akan dicapai. Akibatnya pembuat kebijakan keliru dalam merumuskan kebijakan untuk
mengatasi masalah publik. 4. Hubungan sebab akibat antara kebijakan dan hasilnya, jarang bersifat
langsung 5. Lembaga pelaksana jarang yang bisa mandiri, tersebarnya sumber daya
pada lembaga lain seperti finansial, teknologi, politik, informasi dan
sumberdaya manusia yang berkualitas dll.
6. Jarang ada kesepakatan yang bersifat umum diantara pelaksana tentang tujuan kebijakan dan cara kencapainya. Banyak kebijakan yang
dirumuskan, menghendaki struktur implementer multi agencies.
7. Jarang ada suatu kondisi terjadinya komunikasi dan koordinasi yang
sempurna. b.
Kegagalan Implementasi Kebijakan Publik di Negara Lain
Makinde 2005 dalam Purwanto E.A Sulistyastuti.D.R, 2012 telah mengidentifikasi permasalahan yang timbul dalam proses implementasi,
sehingga menimbulkan kegagalan, seperti penelitiannya di Nigeria mengidentifikasi gagalnya implementasi kebijakan di Nigeria disebabkan oleh :
1 Kelompok sasaran target beneficiaries tidak terlibat dalam implementasi program, 2 program yang diimplementasikan tidak memperhitungkan kondisi
lingkungan seperti sosial, ekonomi dan politik, 3 Adanya korupsi, 4 Sumber
Universitas Indonesia
Daya Manusia yang rendah kualitasnya, 5 Tidak adanya koordinasi dan monitoring. Sementara itu faktor kelangkaan teknologi dan SDM Sumberdaya
Manusia yang tidak berkapasitas, merupakan temuannya terhadap penyebab kegagalan proses implementasi kebijakan di Ghana.
Pada penelitiannya di Pakistan, Makinde juga menemukan beberapa faktor yang menyebabkan kegagalan proses implementasi kebijakan, yaitu : 1
Ketidakjelasan tujuan kebijakan, 2 Komitmen politik, 3 Struktur pemerintahan, 4 Sentralisasi kewenangan, 5 Sumberdaya, dan 6
Ketergantungan pada bantuan asing. Sejalan dengan yang ditulis Makinde diatas, Omoniyi Victor Ajulor 2013
juga menuliskan kegagalan implementasi kebijakan dan penurunan kemiskinan di pedesaan di Nigeria. Faktor penyebabnya adalah : 1 Tujuan yang tidak
realistis, 2 Korupsi, 3 Politik dana digunakan untuk politisasi,4 Kurang mempertimbangkan keadaan sosial, politik dan ekonomi dari penerima manfaat
sebelum membuat kebijakan program kemiskinan tidak berbasis lokal, 5 Kurangnya partisipasi kelompok sasaran proses kebijakan publiknya selalu
top-down dalam konsepsi, desain, perumusan, pelaksanaan dan evaluasi
c. Kegagalan Implementasi Kebijakan Publik di Indonesia
Kegagalan implementasi kebijakan di Indonesia hampir sama dengan kegagalan yang ditemukan di Negara lain, setidaknya ada 6 faktor yang
menetukan berhasil atau tidaknya proses implementasi Purwanto E.A Sulistyastuti.D.R, 2012 yaitu :
1. Kualitas kebijakan itu sendiri. Kualitas disini terkait dengan kejelasan tujuan, kejelasan implementer atau penanggung jawab implementasi,
dll. 2. Kecukupan input kebijakan terutama anggaran. Menurut Wildavsky,
besarnya anggaran yang dialokasikan terhadap suatu kebijakan atau program, menunjukkan seberapa besar political will komitmen
pemerintah terhadap persoalan yang akan diselesaikan. 3. Ketepatan intrumen yang akan dipakai untuk mencapai tujuan
kebijakan. Instrumen tersebut misalnya pemberian layanan gratis, hibah peralatanbarang tertentu, subsidi, dll
Universitas Indonesia
4. Kapasitas implementor struktur organisasi, dukungan SDM, pengawasan, koordinasi, dll.
5. Karakteristik dan dukungan kelompok sasaran apakah individu, kelompok, laki atau perempuan, terdidik atau tidak, dll.
6. Kondisi lingkungan geografi, sosial, ekonomi dan politik dimana implementasi tersebut dilakukan.
2.2. Keamanan Pangan
Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik
yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku
pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, danatau pembuatan makanan atau minuman Pemerintah RI, 2012.
Pada Konferensi Internasional FAOWHO tahun 1992 tentang gizi, dideklarasikan bahwa masalah keamanan pangan telah menjadi keprihatinan
dunia, ratusan juta manusia di dunia menderita penyakit menular maupun tidak menular karena pangan yang tercemar, dan perlu diingat bahwa “memperoleh
pangan yang cukup, bergizi dan aman dikonsumsi adalah hak setiap orang” Badan POM RI a, 2011.
2.2.1. Definisi Keamanan Pangan
Menurut UU No 18 Tahun 2012 tentang pangan, kemanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan
cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama,
keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi. Menurut FAOWHO 1997 Keamanan pangan adalah jaminan bahwa
pangan tidak akan menyebabkan bahaya bagi konsumen saat disiapkan dan atau dikonsumsi sesuai dengan penggunaannya. Sedangkan menurut Codex
Alimentarius Commission CAC, Kemanan pangan adalah semua kondisi dan
tindakan yang diperlukan untuk menjamin keamanan dan kelayakan pada semua tahap dalam rantai makanan Badan POM RIFKM UI, 2011.
Universitas Indonesia
2.2.2. Jenis Bahaya Dalam Pangan
Jenis bahaya dalam pangan yang dapat mengancam kesehatan pada manusia secara garis besar dibagi atas 3 golongan, yaitu:
1. Bahaya Fisik Bahaya fisik adalah bahaya yang berasal dari benda-benda yang
tidak boleh ada dalam pangan dan tidak layak untuk dimakan seperti rambut, kuku, anak steples, kerikil, pecahan kayu, plastik, serangga mati
dan lain-lain. 2. Bahaya Kimia
Bahaya kimia adalah bahaya yang ditimbulkan oleh bahan kimia. Bahan kimia berbahaya ini dapat berasal dari :
a. Penyalahgunaan bahan berbahaya dalam pengolahan pangan seperti penggunaan boraks untuk pengenyal bakso, pempek, perenyah pada
kerupuk; penggunaan formalin untuk pengawet pada ikan, tahu, mie basah; dll.; penggunaan Pewarna bukan untuk makanan seperti
Rhodamin B sebagai pewarna merah, methanyi yellow untuk pewarna kuning dll.
b. Racun alami yang ada dalam pangan, seperti jamur beracun, ikan buntal yang mengandung tetrodotoksin, singkong yang menangdung
Cianida, jengkol yang mengandung asam jengkolat, ikan yang mengandung histamine dll.
c. Cemaran kimia yang berasal dari lingkungan, seperti limbah industry yang diserap tanah, sisa pestisida pada buah dan sayur, cat pada
peralatan masak, makan dan minum, asap kendaraan bermotor, penggunaan kemasan pangan yang dilarang, dll.
d. Pengunaan Bahan Tambahan Pangan yang melebihi kadar maksimum yang diperbolehkan. Bahan tambahan ini diperlukan pada pangan
olahan untuk memperbaiki sifat dan mutu serta daya simpannya. 3. Bahaya Biologi
Bahaya ini berasal dari mikroba yang muncul pada pengolahan pangan yang tidak baik, seperti tidak menjaga kebersihan baik dari
penjamah makanan sendiri, lingkungan tempat bekerja, peralatan maupun
Universitas Indonesia
dari makanan yang kotor.Mikroba bisa berupa bakteri, kapang, khamir ataupun virus. Pertumbuhan mikroba ini sangat dipengaruhi oleh jenis
makanannya, suhu penyimpanan, kadar air, tingkat keasaman dan waktu penyimpanan.
2.2.3. Determinan Keamanan Pangan
Dalam buku promosi Kemanan Pangan yang disusun oleh Badan POM RI bersama FKM UI 2011, keamanan pangan dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu :
1. Faktor prilaku sanitasi dan higiene pangan Sanitasi Pangan adalah upaya untuk mencegah kemungkinan
tumbuhnya jasad renik dan pathogen dalam makanan atau usaha untuk mencegah pencemaran pada pangan.. Sedangkan hygiene pangan adalah
kondisi dan tindakan yag diperlukan untuk menjamin pangan tersebut aman dan layak pada semua rantai makanan.
Higiene dan sanitasi pangan menyangkut Higiene pribadi , ruangan, pakaian , dan pangan sendiri. Beberapa contoh adalah tidak
mencuci tangan, kebiasaan mengobrol dan merokok sambil bekerja, tidak menggunakan masker dan tutup rambut, dll.
Faktor prilaku ini juga terkait dengan faktor prilaku dari konsumen, dimana konsumen tidak mengenal bagaimana mengetahui pangan yang
aman seperti tidak memperhatikan label, hanya membeli pangan dengan pertimbangan harga murah tanpa memperhatikan kemanannya dan
sebagainya. 2. Faktor Lingkungan
Untuk mendapatkan pangan yang aman, juga perlu memperhatikan faktor lingkungannya, seperti bangunan beserta konstruksinya, peralatan
yang digunakan. Lingkungan yang tidak baik akan cendrung mencemari pangan, seperti pencemaran fisik, kimia dan biologi.
3. Faktor Sosial ekonomi Keamanan pangan juga terkait dengan keadaan sosial ekonomi
yang meliputi pengetahuan dan kemauan, pendidikan, pekerjaan, lingkungan sosial dan budaya.
Universitas Indonesia
Pengetahuan sangat memegang peranan penting, karena dengan pengetahuan akan bisa memperbaiki sikap dan prilaku. Diantara
pengetahuannya adalah bagaimana cara mencuci buah dan sayuran, bagaimana cara mengolah pangan yang baik, cara memilih makanan yang
aman, dll. Pendidikan keamanan pangan juga diperlukan bagi konsumen agar kesadaran masyarakat akan keamanan pangan meningkat.
Lingkungan sosial seperti sekolah, tempat bekerja dan tempat tinggal, juga akan bisa mempengaruhi kemanan pangan, karena disinilah
mereka berkumpul dan dengan berbagai kepentingan. Kebanyakan dari masyarakat kita masih banyak yang permisif, sehingga kurang teliti dalam
memilih pangan yang aman untuk dikonsumsi dan tergiur dengan harga yang murah.
2.3. Kebijakan Aksi Nasional Gerakan Menuju Pangan Jajanan Anak Sekolah yang Aman, Bermutu dan Bergizi AN-PJAS
2.3.1. Latar Belakang
Berdasarkan hasil pengawasan rutin yang dilakukan oleh Badan POM tahun 2008 sampai tahun 2010 terhadap pangan jajanan anak sekolah PJAS
menunjukkan bahwa 40 – 44 Pangan jajanan sekolah tidak memenuhi syarat TMS keamanan pangan, diantaranya mengandung bahan berbahaya yang
digunakan untuk pangan seperti formalin, boraks, zat warna tekstil rhodamin B dan methanyl yellow, mengandung Bahan Tambahan Pangan BTP yang
melebihi ketentuan seperti pada pemanis buatan, pengawet dan lain-lain, serta kandungan mikroba yang diluar persyaratan untuk kesehatan akibat buruknya
hygiene dan sanitasi pangan. Hasil pengawasan ini dapat dilihat pada table 2.2 dibawah.
Tingkat keamanan PJAS yang masih rendah merupakan masalah serius karena terkait dengan pembangunan sumber daya manusia Indonesia. Rendahnya
kualitas PJAS dapat memperburuk status gizi anak sekolah akibat terganggunya asupan gizi. Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh
ketersediaan sumber daya manusia SDM yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat, kesehatan yang prima, serta