analisis faktor faktor yang mempengaruhi berjalannya kebijakan pengawasan pjas di kota batam ahmad rafqi 2015

(1)

 

ANALISIS FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

BERJALANNYA KEBIJAKAN PENGAWASAN PANGAN JAJANAN

ANAK SEKOLAH DI KOTA BATAM 

 

   

TESIS

AHMAD RAFQI

NPM: 1206337103

FAKULTAS ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS INDONESIA


(2)

 

ANALISIS FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

BERJALANNYA KEBIJAKAN PENGAWASAN PANGAN

JAJANAN ANAK SEKOLAH DI KOTA BATAM 

 

   

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar MAGISTER KESEHATAN MASYARAKAT

AHMAD RAFQI

NPM: 1206337103

FAKULTAS ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KESEHATAN ASYARAKAT

UNIVERSITAS INDONESIA


(3)

(4)

(5)

(6)

Nama : Ahmad Rafqi

Tempat/Tanggal Lahir : Bukittinggi, 19 Agustus 1968

Alamat : Marbella Residence Blok C2-28 Batam kota, Batam Status Keluarga : Menikah

Riwayat Pendidikan:

1. SD Negeri 25 Bukittinggi , lulus tahun 1981 2. SMP Negeri I Bukittinggi, lulus tahun 1984 3. SMA Negeri 1 Bukittinggi, lulus tahun 1987

4. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Andalas Padang, Jurusan Farmasi, lulus tahun 1993

5. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Andalas Padang, Profesi Apoteker, lulus tahun 1995

Riwayat Pekerjaan.

1. April 1997 – November 2008 : PNS Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Samarinda

2. November 2008 – sekarang : PNS Balai Pengawas Obat dan Makanan di Batam

                 


(7)

rahmat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar Magister Kesehatan Masyarakat pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Dengan segala hormat, penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. drh.Wiku Adisasmito, MSc., PhD. selaku pembimbing yang dengan penuh kesabaran membimbing, memberikan masukan dan saran hingga selesainya tesis ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada:

1. Prof. dr. Anhari Achadi, SKM.DSc, selaku penguji dalam seminar proposal, seminar hasil dan ujian tesis, serta bapak Dr. Pujianto SKM. MKes selaku penguji dalam ujian tesis yang banyak memberikan masukan dalam tesis ini. 2. Dra . Cendikia Sri Murwani Apt. MKM dan Dra. Deksa Presiana Apt. Mkes

yang bersedia meluangkan waktu dan tenaga untuk hadir sebagai penguji luar pada ujian tesis penulis dan telah memberikan masukan dan saran untuk perbaikan tesis ini.

3. Seluruh pengajar program pasca sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia yang telah memberikan pendidikan dan pelajaran yang menghantarkan penulis menyelesaikan masa pendidikan ini.

4. Informan di Badan POM RI, Balai POM di Batam, Dinas Kesehatan kota Batam, Dinas Pendidikan kota Batam, Dinas Perindag dan ESDM kota Batam, Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Pasar, Koperasi dan UKM kota Batam, Bappeda kota Batam, SD 002 Batam Kota, SD 006 Sekupang, MUI kota Batam, DPRD kota Batam, yang telah menyediakan waktu dan banyak memberikan keterangan dalam penelitian ini.

5. Orang tua, Mertua, Kakak, Adik adik, Ipar, Uncu, Pak gaek dan Tante yang telah banyak memberi dukungan dan doa untuk menyelesaikan pendidikan ini, semoga Allah membalasnya dengan yang lebih baik.

6. Istri tercinta Fowpi Chaira, dan anak anakku tersayang Hanna Nabilla dan Najwa Nur Faizah, terima kasih atas pengorbanan, doa dan dukungannya, semoga Allah memberikan kebahagiaan buat kita semua


(8)

pendidikan ini.

8. Teman teman seperjuangan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, dan pihak lain yang tidak dapat penulis sebut satu per satu, yang telah banyak membantu penyelesaian tesis ini.

Akhir kata, penulis berharap Tuhan Yang Maha Kuasa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan tesis ini. Semoga tesis ini membawa manfaat.

Depok, Januari 2015

Penulis

                         


(9)

(10)

Program Studi : Ilmu Kesehatan Masyarakat

Judul : Analisis Faktor faktor yang Mempengaruhi Berjalannya Kebijakan Pengawasan Pangan Jajanan Anak Sekolah di Kota Batam

Anak usia sekolah yang sehat merupakan asset pembangunan bangsa. Keberadaan makanan di sekolah sangat penting , karena akan memenuhi 25-36% kebutuhan energi harian anak. Kebiasaan makan yang tidak sehat (kurang gizi) dapat menyebabkan stunting (perlambatan pertumbuhan anak); penyakit kardiovaskuler, kanker, diabetes dan osteoporosis, sementara untuk jangka pendek dapat menyebabkan dental caries, anemia, overwight dan obesitas. Hasil pengujian Badan POM tahun 2008-2010, menunjukkan 40-44% jajanan anak sekolah secara nasional tidak memenuhi syarat keamanan pangan. Kebijakan Aksi Nasional menuju pangan jajanan anak sekolah (PJAS) yang aman bermutu dan bergizi, merupakan salah satu upaya meningkatkan mutu pangan jajanan anak sekolah dengan cara memberdayakan komunitas sekolah secara mandiri mengawasi pangan jajanan di lingkungannya. Penelitian ini bertujuan untuk melihat faktor faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan Aksi Nasional PJAS di kota Batam beserta efektitasnya dengan menggunakan analisa implementasi kebijakan dari Mazmanian dan Sabatier.

Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif, pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam dan studi dokumen..

Hasil dari penelitian memperlihatkan bahwa implementasi kebijakan Aksi Nasional PJAS di kota Batam sudah terlaksana cukup baik namun tidak berjalan efektif, karena ketidaktepatan dalam menentukan indikator kinerja, tidak ada NSPK terkait peran, tugas dan tanggung jawab kelompok pelaksana, tidak ada strukturisasi pelaksanaan kebijakan tersebut, dan tidak ada dukungan langsung dari DPRD dan Pemerintah kota Batam. Komitmen dari pemerintah daerah kota Batam masih kurang, karena pengawasan pangan jajanan anak sekolah ini belum menjadi prioritas dalam pembangunan kota Batam.


(11)

Study Program : Public Health

Title : Analysis of Factors Affecting Progress in Food Control Policy Snacks School Children in Batam

Healthy school-age children is a nation-building assets. The presence of food in schools is very important, because it will meet 25-36% of daily energy needs children. Unhealthy eating habits (malnutrition) may cause stunting (slowing the growth of children); cardiovascular disease, cancer, diabetes and osteoporosis, while in the short term can lead to dental caries, anemia, overwight and obesity. Test results of Badan POM RI (National Agency of Drug and Food control) in 2008-2010, showed 40-44% of school children nationwide snacks do not meet food safety requirements. National Action policy toward food snacks schoolchildren (PJAS) quality safe and nutritious, is one effort to improve the quality of food hawker school children by empowering school community independently oversee hawker food in the environment. This study aims to look at the factors that influence the implementation of the National Action policy PJAS in Batam city and along efektitasnya by using analysis of policy implementation Mazmanian and Sabatier.

The study was conducted with qualitative methods, data collection is done through in-depth interviews and document ..

Results of the study showed that the implementation of the National Action policy PJAS in Batam city has done quite well, but is not effective, because of inaccuracy in determining the performance indicators, no NSPK related roles, duties and responsibilities of the executive, there is no structuring the implementation of the policy, and there is no direct support from the parliament and the Government of the city of Batam. The commitment of the local government of Batam city is still lacking, because the snack food supervision of school children has not been a priority in the development of the city of Batam.


(12)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ……… ii

LEMBAR PENGESAHAN ……… iii

SURAT PERNYATAAN ……… iv

RIWAYAT HIDUP ……… v

KATA PENGANTAR ……… vi

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ………viii

ABSTRAK ………. ix

ABSTRACT ……… x

DAFTAR ISI ………. xi

DAFTAR GAMBAR ………. xiv

DAFTAR TABEL ………. xv

DAFTAR LAMPIRAN ………. xvi

I PENDAHULUAN ……… 1

1.1. Latar Belakang ……… 1

1.2. Rumusan Masalah ……… 10

1.3. Pertanyaan Penelitian ……… 10

1.4. Tujuan Penelitian ……… 11

1.4.1 Tujuan Umum……… 11

1.4.2. Tujuan khusus ……… 11

1.5. Manfaat Penelitian ……… 11

1.6. Batasan Penelitian ……… 12

II TINJAUAN PUSTAKA ……… 13

2.1. Kebijakan Publik ……… 13

2.1.1. 13 2.1.2 Sistem dan Komponen Kebijkan ……… 14

2.1.3 15 2.1.4 Implementasi Kebijakan Publik ……… 16

2.1.4.1. Teknik Implementasi ……… 16 2.1.4.2. Model Implementasi Kebijakan / Faktor yang

Mempengaruhi Keberhasilan Implementasi kebija 19 Definisi Kebijakan Publik ………


(13)

2.2.2 Jenis Bahaya dalam Pangan ………..…………25

2.2.3. Determinan Keamanan Pangan ……… 26

2.3. Aksi Nasional Gerakan Menuju Pangan Jajanan Anak Sekolah yang Aman, Bermutu dan Bergizi (AN-PJAS)………28

2.3.1. Latar Belakang ……… 28

2.3.2. Tujuan Aksi Nasional PJAS ……… 30

2.3.3. Pelaksanaan Aksi Nasional PJAS ……… 31

2.3.3.1. Pelaksanaan Aksi Nasional PJAS di Kabupaten / Kota ……… 34

2.3.3.2. Pelaksanaan Aksi Nasional PJAS di Provinsi …… 34

2.3.3.3. Program Kegiatan Aksi Nasional PJAS di Daerah 35 2.3.3.4. Jenis-jenis Intervensi pada SD/MI ……… 38

2.4. Kebijakan Pangan Berbasis Sekolah …………...……… 39

2.4.1 Paradigma makanan sekolah ……… 39

2.4.2 Kebijakan Pangan di Sekolah di Negara lain …………...… 40

2.5. Penelitian Kebijakan ……… 45

2.5.1. Metode Penelitian Kebijakan ……… 45

2.5.2. Metode Penelitian Kualitatif ……… 46

2.5.2.1. Sumber dan Jenis Data Penelitian Kualitatif …… 46

2.5.2.2 Teknik Pengumpulan Data ……… 47

2.5.2.3. Analisa Data Kualitatif ……… 49

2.5.2.4. Pemeriksaan Keabsahan Data ……… 50

2.6. 51 III KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ………57

3.1. Kerangka Teori ……… 57

3.2. Kerangka Konsep ………61

3.3. Definisi Operasional ……… 65

IV METODE PENELITIAN ……… 69

4.1. Desain Penelitian ……… 69 Hasil Penelitian Implementasi Kebijakan Makanan di Sekolah …


(14)

4.5. Analisis Data ……… 73

V. HASIL PENELITIAN ……… 74

5.1. Keterbatasan Pelaksanaan Penelitian ……… 74

5.2. Informan ……… 74

5.3. Aspek Kemampuan Mengendalikan Masalah (Tractability Proble 75 5.3.1. Kesukaran teknis ……… 75

5.3.2. Keragaman prilku dari kelompok sasaran ……… 78

5.3.3. Persentase kelompok sasaran ……… 79

5.3.4. Rung lingkup perubahan prilaku ……… 80

5.4. Aspek Variabel Statutory (Hukum) ……… 80

5.4.1. Tujuan kebijakan yang jelas dan konsisten ……… 81

5.4.2. Hubungan kausal yang cukup ……… 86

5.4.3. Ketepatan alokasi sumber dana. ……… 87

5.4.4. Keterpaduan hirarki lembaga pelaksana ……… 88

5.4.5. Peraturan dari badan pelaksana …………..……… 89

5.4.6 Rekruitmen pejabat pelaksana ……… 90

5.4.7. Akses formal pihak pihak luar ……… 91

5.5. Aspek Variabel Non-Statutory (Non-Hukum) ……… 91

5.5.1. Kondisi Sosio-Ekonomi budaya dan Politik ……… 91

5.5.2. Dukungan Publik ……… 92

5.5.3. Dukugan Badan / Lembaga yang Berwenang ………...… 92

5.5.4. Komitmen dan Kepemimpinan Pejabat Pelaksana ……… 94

5.6. Pencapaian Tujuan Kebijakan ……… 96

VI. PEMBAHASAN ……… 98

VII KESIMPULAN DAN SARAN……… 108

7.1. Kesimpulan ………108

7.2. Saran ……… 109


(15)

Gambar 2.2.: Strategi Aksi Nasional Pangan Jajanan yang Aman, Bermutu dan Bergizi……… 32 Gambar 2.3.: Roadmap pelaksanaan Aksi Nasional PJAS ……… 32 Gambar 3.1.: Kerangka Analisis implementasi dari Mazmanian

dan Sabatier ……… 58 Gambar 3.2.: Kerangka Konsep Analisis Implementasi Kebijakan Aksi


(16)

Tabel 2.2. Hasil Pengawasan Badan POM RI terhadap sampel PJAS Tahun 2008 - 2010 ………29 Tabel 2.3. Program dan Kegiatan Aksi Nasional PJAS di Kab/Kota … 35 Tabel 3.1.: Definisi operasional variabel independen ……… 65 Tabel 5.1.: Daftar Informan ……… 74


(17)

Lampiran 2 : Form Data Informan……… 121 Lampiran 3 : Pedoman Wawancara ……… 122


(18)

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1.Latar Belakang

Keberadaan anak usia sekolah sangat memegang peranan dalam membangun bangsa, untuk menjadi suatu bangsa yang maju, kuat, berjaya dan dihormati, akan bisa dicapai jika generasi penerusnya mempunyai kapasitas mutu yang lebih baik dari generasi sebelumnya (Budiono, 2011).

Kebijakakan makanan berbasis sekolah sangat besar bagi persiapan generasi mendatang, seperti pada negara-negara miskin (Ashe.L & Sonnino R, 2013), mereka melakukan intervensi kepada makanan sekolah untuk memerangi kelaparan, kekurangan gizi mikro dan meningkatkan akses pedidikan seperti di Bangladesh, Burundi (Bennett,J, 2003) Mali, Jamaika Pakistan dan Kamboja ( Bundy D, et al, 2009), sedangkan pada Negara-negara berkembang seperti Brazil, China, Malaysia, Meksiko Afrika Selatan dan Thailand, menurut Doak.C (2003) memanfaatkan makanan sekolah untuk mengatasi obesitas dan penyakit nutrisi lainnya serta membangun budaya mengkonsumsi makanan sehat ( Ashe.L & Sonnino.R, 2013).

Menurut perkiraan World Food Programme (2009), ada 400 juta anak-anak kelaparan di dunia saat ini, dengan satu anak-anak meninggal setiap 6 detik karena lapar. Selanjutnya, 146 juta anak di negara-negara berkembang underweight (Chettiparamb, Angelique, 2009). Dalam upaya pengentasan kemiskinan internasional, maka dalam Millennium Development Goals (MDGs), makan siang

(mid day meal) , pencapaian pendidikan dasar secara universal dan

mempromosikan kesetaraan gender, dapat berkontribusi untuk pemberantasan kemiskinan dan kelaparan (Chettiparamb, Angelique , 2009)

Pentingnya program makanan disekolah ini tercermin juga dengan kampanye global pemberian makanan di sekolah yang dilakukan oleh World Food Programme pada tahun 2000 untuk mengatasi kemiskinan anak (Chettiparamb, Angelique , 2009). Beberapa negara telah menyediakan makanan


(19)

di sekolah seperti Brazil telah menjamin hak universal untuk memperoleh makanan sekolah gratis (Sidaner et al, 2013), India juga melaksanakan program “Mid-day Meal” (Chettiparamb, Angelique , 2009), Amerika dengan programnya

Nasional School Lunch Program” / NSLP (Chesser.V.L, 2013 ;

http://www.fns.usda.gov/tn/local-school-wellness-policy), dan penyediaan makan siang di sekolah di Korea (Jee-hoon.R et.al , 2011)

Pelaksanaan program penyediaan makanan di sekolah sangat tepat, dimana anak anak dan remaja menghabiskan sekitar 6 jam perhari dan makan 1-2 kali disekolah, banyak kebiasaan hidup yang negatif dan positif akan mempengaruhi kesehatan individu selama bertahun tahun di sekolah (Bandura, 2004;. Koplan et al, 2005; Veugelers & Fitzgerald, 2005a; dalam Quintalha.M (2011).

Keberadaan makanan di sekolah sangat perlu diperhatikan karena akan memberikan kontribusi energi harian sebesar 25-33% (Anu Devi et.al, 2010) dan menurut Guharja dkk (2004) sebesar 36% (Badan POM a, 2013) dari kebutuhan hariannya. Hasil Uji Badan POM RI tahun 2010, menemukan makanan di sekolah dan sekitarnya mengandung bahan berbahaya ( formalin, boraks, rhodamin B, methanyl yellow dll) sebesar 18%, mengandung bahan tambahan pangan (BTP) melebihi batas maksimal sebesar 23%, dan mengandung cemaran mikroba sebesar 59% (Badan POM, 2011). Indikasi bahaya ini juga terlihat dari data Badan POM RI tahun 2009 tentang Kejadian Luar Biasa (KLB), dimana 16,35% kejadian KLB terjadi di sekolah/kampus.

Penelitian Jee-hoon.R et.al (2011) di Korea terhadap makanan siang anak sekolah dasar yang disediakan sekolah , menemukan bahwa 15% makanan yang tidak dipanaskan dan 9% makanan yang dipanaskan, mengandung jumlah koliform 2 kali lipat lebih di atas standar nasional Korea. Disamping itu Damanik,H.D.L, (2010), juga menemukan bahwa 63,3% warung penjual jajanan, dilingkungan sekolah di kota palembang, dikategorikan terkontaminasi E.Coli.

Disamping bahaya keamanan makanan, bahaya terhadap kandungan gizi makanan di sekolah perlu diperhatikan. karena kebiasaan makan diwaktu usia sekolah ini akan berpengaruh kepada usia dewasanya seperti obesitas dll. (Scholtens.S et.al, 2010). Kebiasaan makan yang tidak sehat ini (kurang gizi) menurut Jukes, Drake et al, (2008) dapat menyebabkan stunting atau perlambatan


(20)

pertumbuhan pada anak (Nyongani.M.M, (2012); penyakit kardiovaskuler, kanker, diabetes dan osteoporosis, sementara untuk jangka pendek dapat menyebabkan dental caries, anemia, overwight dan obesitas (Nelson,M& Breda,J, 2013)

Prevalensi anak-anak dengan kelebihan berat badan atau obesitas terutama di negara maju sudah menjadi pusat perhatian dan juga akan diikuti oleh negara berkembang. Sebagai contoh, Prevalensinya di Amerika Serikat telah meningkat dua sampai tiga kali selama dua puluh tahun terakhir. Sebuah laporan dari Pusat Pengendalian Penyakit menunjukkan bahwa persentase anak-anak berusia enam hingga sebelas tahun yang obesitas meningkat dari tujuh persen pada tahun 1980 menjadi dua puluh persen pada tahun 2008 (Zainab Rida (2012)

Sebuah studi yang dilakukan oleh Whitaker, Wright, Pepe, Seidel, & Dietz, (1997) melaporkan bahwa 55-77% dari anak-anak kelebihan berat badan atau obesitas (usia 6-17) akan menjadi dewasa yang overweight dan atau obesitas (Wall.R.M., 2011). Konsekuensi dari obesitas bertahan sampai dewasa, menurut Reilly & Kelly, (2010) akan memiliki peningkatan risiko yang signifikan dari morbiditas kardiometabolik (Diabetes Melitus type 2, Hypertensi, penyakit jantung iskemik, dan stroke) dalam kehidupan dewasanya ( Wall.R.M, 2011).

Melihat dari besarnya pengaruh makanan di sekolah, maka sudah selayaknya ada suatu kebijakan di sekolah untuk menjamin tersedianya makanan yang aman, bermutu dan bergizi di sekolah. Hal ini penting mengingat kebiasaan jajan bagi anak Indonesia sangat tinggi, dan bahkan hampir mendekati angka 100% (BPOM RI a, 2013) serta kebanyakan dari mereka membeli jajanan disekolah tidak memperhatikan keamanan dan nutrisi makanan. Penelitian di salah satu SD di Jakarta memperlihatkan bahwa lebih dari separuh siswa yang jajan, beralasan hanya untuk mengisi perut supaya tidak lapar dan lebih dari sepertiganya membeli chiki, biskuit, wafer, permen, cokelat, dan minuman kemasan gelas aneka rasa (Yuliastuti.R, 2012). Mengkonsumsi produk makanan rendah nutrisi ini juga meresahkan bagi Negara lain, karena dapat memicu obesitas yang akan berimplikasi pada kesehatannya (Scholtens.S, et al, 2010) (Nelson.M & Breda,J, 2013), bahkan pevalensi obesitas ini akan semakin


(21)

meningkat pada masyarakat dengan status social ekonomi yang rendah (Nelson.M & Breda,J, 2013,; June M. Tester J.M, et al.,2010).

Menurut penelitian yang dilakukan di Cape Town, Afrika Selatan, yang telah menetapkan makanan sehat dan tidak sehat disekolahnya, 70% anak membeli makanan yang tidak sehat, sedangkan 73,2% membeli dua item atau lebih makanan yang tidak sehat. Bahkan 84% mereka mengerti mana makanan yang sehat dan mana yang tidak sehat ( Temple,N.et.al, 2006).

Kebiasaan makan di sekolah ini juga akan dipengaruhi oleh keberadaan penjual makanan disekitar sekolah. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan di Canada pada tahun 2009/10, memperlihatkan bahwa ada hubungan yang kuat antara pedagang pengecer disekitar sekolah dengan prilaku makan siang anak sekolah (Seliske et al., 2013), suatu penelitian lain juga menyatakan bahwa keberadaan toko makanan berjarak sampai 800 meter atau 10 menit dari sekolah, berperan dalam kenaikan berat badan siswa dibanding sekolah yang jauh dari toko (Howard et.al, 2011), menurut June M. Tester dkk (2010) hal ini sangat berpengaruh pada saat setelah jam pulang sekolah dan juga berpengaruh pada anak anak yang pulang pergi ke sekolah dengan berjalan kaki (tingkat ekonomi rendah).

Kebijakan makanan di sekolah juga sangat berpengaruh kepada kebiasaan makan pada waktu remaja (Vereecken.et.al, 2005) dan juga berpengaruh pada Praktek Keamanan Pangan Penjaja PJAS, kemungkinan penjaja PJAS mempraktekkan keamanan pangan pada kelompok yang ada kebijakan keamanan pangan di sekolah, 68,57 kali dibanding bila tidak ada kebijakan keamanan pangan di sekolah” (Damayanti.S.E., 2014)

Sebagai contoh dari kebijakan yang sudah ada diantaranya adalah pelarangan terhadap junk food di Uruguay pada jam makan siang, hal ini dapat mengurangi berat badan pelajar yang obesitas sebanyak 18% (Steve,Smith, 2010); Pemberlakuan Program Makan Siang atau Sarapan di sekolah di Amerika yang dilaksanakan oleh Departemen Pertanian (U.S. Department of Agriculture /USDA) yang sudah harus dilaksanakan sejak tahun ajaran 2006-2007 untuk semua sekolah local, dan biaya ditanggung oleh USDA (http://www.fns.usda.gov/ tn/local-school-wellness-policy); Melaksanakan strategi “Smart Choices” di


(22)

Queensland, Australia (Dick.M et.al, 2012). Kebijakan ini dilaksanakan melalui kerjasama antara Departemen Pendidikan dan pelatihan dan Kesehatan Queensland, dan dilaksanakan dengan dukungan organisasi profesional, dan organisasi non-pemerintah. Strategi bertujuan untuk memastikan bahwa semua makanan dan minuman yang disediakan di sekolah mengikuti standar diet anak-anak dan Remaja di Australia.

Kebijakan makanan sekolah lainnya adalah menetapkan makanan “sehat” dan “tidak sehat” (pedoman diet berbasis pangan) di Afrika Selatan oleh Departemen Kesehatan dan wajib dilaksanakan oleh Departemen Pendidikan (Temple.N et.al, 2006) ; Melaksanakan kebijakan School Nutrien Policies (SNPs) terhadap sekolah di Canada melalui issue peningkatan kualitas makanan di sekitar sekolah, akses siswa ke makanan, keamanan pangan, dan pendidikan gizi (Mullaly et al, 2010).

Program kebijakan makanan sehat berbasis sekolah ini harus konsisten dengan program kesehatan yang lebih luas, program pertanian untuk pengembangan kesehatan, sistim pangan yang berkelanjutan dan layak secara finansial (Nelson.M,&Breda.J,2013). Pada saat ini, program makanan sekolah tidak saja ditujukan untuk meningkatkan status gizi anak, tapi juga berperan dalam meningkatkan program ketahanan pangan, menghubungkan pertanian dengan program makanan sekolah, seperti penyediaan buah dan sayuran serta pengolahan hasil alam lokal lainnya sehingga meningkatkan peluang pekerjaan, pengelolaan sumberdaya alam yang lebih baik, dan pendapatan yang lebih tinggi (Ashe.L &Sonnino, 2013). Diantara negara yang sudah melaksanakannya adalah Brazil (Sidaner.E.et.al, 2013) dan juga Scotlandia (Ashe.L & Sonnino.R, 2013).

Dalam proses implementasi kebijakan makanan di sekolah, terkait dalam usaha mencapai makanan yang aman, bermutu dan bergizi, tentu banyak faktor yang berpengaruh, baik berpengaruh positif (mendukung pelaksanaannya) maupun yang berpengaruh negatif (Faktor penghambat pelaksanaannya).

Dari beberapa penelitian yang sudah dilakukan, ditemukan beberapa faktor yang berpengaruh positif dalam implementasi kebijakan makanan di sekolah, seperti : 1) Adanya dukungan yang tinggi dari masyarakat; 2) Kesiapan pemasok makanan ; 3) Dukungan orang tua (Taylor.J et.al, 2011; Dick.M et.al, 2012),;


(23)

4). Pemahaman dan komitmen yang tinggi dari komunitas sekolah ( Dick.M et.al, 2012), 5) Adanya kurikulum yang up to date terkait food hygiene dan food safety (Bielby.G.et.al, 2006), 6) Memiliki dampak positif yg dapat diamati (Masse.LC., 2013) 7). Promosi makan sehat di semua domain dari lingkungan sekolah (Dick.M et.al, 2012), 8) Adanya standar gizi dan penggolongan makanan yang sehat (Dick.M et.al, 2012; Anu Devi,et al, 2010), 9). Sekolah dasar memiliki aturan tertulis untuk membatasi konsumsi makanan ringan gurih dan manis, (Vereecken et al, 2005), 10). Adanya peraturan yang dibuat oleh pemerintah / persetujuan legislative (Tester.J.M. 2010), 11) Adanya guideline pelaksanaan kebijakan (Mâsse.L.C,,2013), 12) Tersedianya kantin sekolah, toko makanan dan mesin penjual makanan dan minuman di sekolah (Taylor.J et.al, 2011; Vereecken et al, 2005), 13) Dukungan politik dan dukungan pihak sekolah (Agron P, 2010; McKenna ML, 2003, dalam Mâsse.L.C,,(2013)

Sedangkan faktor yang berpengaruh negatif atau menjadi penghalang pelaksanaan kebijakan makanan di sekolah adalah : 1) Kehilangan pendapatan / penerimaan sekolah (Taylor.J et.al, 2011; Mâsse.L.C,,2013; Maira Quintanilha.M, 2011),; 2). Mahalnya harga makanan yang sehat, 3) Tidak adanya kantin disekolah (Taylor.J et.al, 2011), 4). Kurangnya sumber daya (staf, pendanaan, ketersediaan program atau sumber daya pengajaran,; 5). Kurangnya koordinasi, (Mâsse.L.C,,2013), 6). Kurangnya infrastruktur (fasilitas kantin, kemampuan staff kantin) (Anu Devi et al,,2010), 7). Keadaan dan letak geografisnya (Chettiparamb, Angelique , 2009,; Quintanilha.M, 2011),; 8) Orang tua (terkait tingkat pendidikan dan income serta cara pandangnya); 9). kurangnya dukungan dari devisi sekolah; 10). Hambatan lain ( seperti lokasi sekolah yang dekat restoran atau toko makanan), (Quintanilha.M, 2011); 11). Masalah manajemen makanan (terkait selera dan keinginan pelanggan, sumber daya) (Quintanilha.M, 2011; Taylor.J et.al, 2011,; Freeze.C, 2007),; 12). Penggunaan makanan sebagai hadiah (Freeze.C, 2007) dan lain-lain.

Isu utama kebijakan sekolah ini juga muncul dalam workshop pengembangan evidence base untuk kebijakan berbasis makanan sekolah di London pada Januari 2012, menyatakan bahwa ada 2 (dua) isu utama dalam kebijakan sekolah (Nelson.M, & Breda.J, 2013) :


(24)

a. Komitmen seluruh pemerintah ( Nasional, lokal dan internasional jika perlu) untuk memastikan bahwa hasil dari kebijakan dan intervensi benar-benar dapat dievaluasi dampaknya terhadap penyediaan makanan sekolah, pendidikan anak, kesehatan, pertumbuhan dan kesejahteraan

b. Isi, waktu dan pendanaan dari program penelitian, monitoring dan evaluasi. Disamping itu ada permasalahan penting lainnya yaitu : Konteks sosial, politik dan budaya dari kebijakan; kebutuhan stakeholder untuk memiliki hasil penelitian yang bisa membantu mereka memahami dampak kebijakan dari perspektif mereka; dan kesediaan untuk menilai kekuatan dan keterbatasan kebijakan sekolah.

Pada saat ini, Indonesia sedang melaksanakan kebijakan terhadap pengawasan terhadap mutu dan keamanan makanan di sekolah yaitu kebijakan “Aksi nasional menuju Pangan Jajanan Anak Sekolah yang aman, bermutu dan bergizi”. Kebijakan Aksi Nasional Menuju Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) yang aman, bermutu dan bergizi ini bertujuan untuk : 1).Memberdayakan komunitas sekolah untuk menjaga keamanan, mutu, dan gizi PJAS, 2) Menguatkan koordinasi dan jejaring kerja lintas sektor di pusat dan daerah untuk meningkatkan PJAS yang aman, bermutu, dan bergizi, dan 3) Meningkatkan keamanan, mutu dan gizi PJAS di Indonesia.

Program ini merupakan salah satu program pengawasan makanan, khususnya terhadap pangan jajanan anak di sekolah oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (Badan POM RI). Program ini telah dicanangkan oleh bapak Wakil Presiden Budiono di Istana Wakil Presiden pada 31 Januari 2011, dimana dalam pengarahannya Wapres menyatakan:

“ ini adalah gerakan bersama, tidak mungkin Badan POM sendiri. Oleh sebab itu harus gerakan masyarakat di sini, gerakan yang menyangkut pemerintah. Pemerintah ini artinya pusat dan daerah, daerah harus diikutkan karena merekalah yang di ujung tombak lapangan. Didalam pemerintah sendiri ada instansi-instansi, tidak mungkin POM kita diamkan.”

Kebijakan Aksi Nasional Pangan jajanan Anak Sekolah yang aman, bermutu dan bergizi ( Aksi nasional PJAS), dilaksanakan sejak tahun 2011 sampai tahun 2014. Sebagai pelaksana dari aksi Nasional untuk upaya peningkatan keamanan, mutu dan gizi PJAS ini, ditingkat pusat dilaksanakan


(25)

oleh Kementerian Koordinasi Kesejahteraan Rakyat, Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Bappenas dan Badan POM RI dan didukung oleh

stakeholder dan lembaga internasional / donor lainnya, serta Lembaga

Kemasyarakatan seperti PKK serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Sedangkan untuk kegiatan di daerah akan dikoordinir oleh Pemerintah Provinsi atau kabupaten / kota setempat dan bekerjasama dengan pemerintah pusat dan lembaga terkait, dan sebagai pelaksana utamanya adalah Balai POM, Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan LSM (Badan POM a, 2011).

Aksi Nasional ini tidak akan bisa berhasil tanpa adanya senergisitas diantara lintas sektor terkait lainnya, terutama pada Pemerintah Daerah karena sesuai dengan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dimana urusan pendidikan dan kesehatan sudah menjadi kewenangan pemerintah daerah. Hal inipun juga sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2004 tentang Kemanan Mutu dan Gizi Pangan, bahwa Pangan siap saji pengawasan dan pembinaannya ada pada Pemerintah Daerah.

Semenjak tahun 2011 sampai tahun 2014, dalam rangka Aksi Nasional PJAS, Balai POM di Batam telah melakukan pengujian PJAS sebanyak 926 sampel PJAS pada 60 Sekolah Dasar (SD) yang tersebar di kota Batam, Tanjung Pinang, Kabupaten Bintan dan Tanjung Balai Karimun. Dari hasil uji tersebut PJAS tidak memenuhi syarat sebanyak 58 sampel (6,26%), dan yang memenuhi syarat sebanyak 868 (93,74%). Khusus untuk kota Batam, Balai POM di Batam sudah melaksanakan Intervensi A, B dan C pada kurang lebih 215 Sekolah Dasar (87%) dengan tenaga pendamping dari Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan kota Batam. Intervensi A di kota Batam dilakukan pada tahun 2012 di 15 SD , sedangkan tahun berikutnya di kota Tanjung Pinang dan Tanjung Balai Karimun . Dari 15 SD yang diintervensi A tersebut, setelah dilakukan audit oleh BPOM di Batam bersama Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan , hanya 3 SD yang dapat memperoleh Piagam Bintang Keamanan Pangan untuk Kantin Sekolah sebagai


(26)

penghargaan atas terlaksananya keamanan pangan di kantin sekolah tersebut (BPOM Batam, 2014).

Berdasarkan pertimbangan diatas dan mengingat belum ada penelitian yang menganalisa implementasi dari program Aksi Nasional Menuju Pangan Jajanan Anak Sekolah yang aman, bermutu dan bergizi di Indonesia, maka penulis tertarik untuk melakukannya penelitian guna mengetahui keefektifan pelaksanaan kebijakan aksi Nasional PJAS ini dan menemukan faktor faktor yang menjadi penghambat dan mungkin akan menjadi masalah dari implementasi kebijakan ini.

Untuk menganalisa implementasi kebijakan Aksi Nasional Menuju Pangan Jajanan Anak Sekolah yang Aman, bermutu dan Bergizi ini, penulis menggunakan kerangka konsep analisa implementasi kebijakan dari Mazmanian dan Sabatier (1983). Teori ini digunakan karena menurut penulis, beberapa faktor pendukung dan penghalang implementasi kebijakan makanan di sekolah seperti diatas serta beberapa permasalahan dalam implementasi kebijakan publik secara umum, akan bisa dirangkum dalam 16 sub variable yang dikelompokkan kedalam 3 variabel utama dari teori Mazmanian dan Sabatier ini.

Menurut Mazamanian dan Sabatier , untuk mengetahui keberhasilan tahap proses implementasi, dipengaruhi oleh beberapa faktor/variabel utama, diantaranya adalah : 1) Mudah/tidaknya permasalahan implementasi diselesaikan, 2) Kemampuan kebijakan dalam merespon masalah yang akan diselesaikan (statutory variables), diantaranya kejelasan tujuan, dukungan sumber daya, dll 3) Variable non kebijakan (non statutory variables), semakin baik lingkungan kebijakan maka semakin baik keberhasilan implementasi kebijakan (Yongjin Sa, 2013; Wahab.S.A., 2012; Mary Mulhern Kincaid 2011,; Purwanto.E.A & Sulistyastuti.D.R, 2012).

R. Kent Weaver, guru besar public policy mengatakan bahwa kegagalan untuk mengantisipasi masalah implementasi ketika reformasi kebijakan sedang berlaku dapat menyebabkan kegagalan untuk mencapai tujuan program, biaya yang berlebihan, dan bahkan mungkin reaksi politik terhadap organisasi dan pelaksana kebijakan (Gustama.D, 2013).


(27)

1.2.Rumusan Masalah

Pengawasan terhadap jajanan anak sekolah terutama tingkat Sekolah Dasar belum optimal, hal ini dapat dilihat dari data hasil pengujian Pangan Jajanan Anak Sekolah pada tahun 2008 sampai 2010, secara nasional memperlihatkan bahwa 40-44% Pangan Jajanan tersebut tidak memenuhi syarat kesehatan, khususnya terkait keamanan pangan.

Selanjutnya , kecukupan gizi anak usia sekolah juga masih kurang. Data laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 menunjukkan bahwa , secara nasional prevalensi anak pendek masih tinggi, yaitu di atas 30%, tertinggi pada kelompok anak 6-12 tahun (35,8%), Status gizi pada kelompok dewasa di atas 18 tahun didominasi dengan masalah obesitas, walaupun masalah kurus juga masih cukup tinggi, dan masalah kekurangan konsumsi energi dan protein terjadi pada semua kelompok umur, terutama pada anak usia sekolah (6–12 tahun), usia pra remaja (13–15 tahun), usia remaja (16–18 tahun).

Dengan adanya kebijakan Aksi Nasional Menuju Pangan Jajanan Anak Sekolah yang Aman, Bermutu dan Bergizi, diharapkan akan dapat mengurangi masalah diatas dengan cara memberdayakan komunitas sekolah dalam mengawasi makanan yang beredar di sekolah dan sekitarnya, agar makanan yang tersedia di sekolah aman, bermutu dan bergizi untuk dikonsumsi siswa.

Dalam mengimplementasikan kebijakan itu, tentu akan melewati proses yang kompleks dan panjang, apalagi kebijakan ini juga melibatkan banyak lintas sektor terkait. Dalam perjalanannya tentu ada hal-hal yang berpengaruh dalam proses implementasinya. Untuk itulah penulis mencoba untuk mengidentifikasi variabel mana yang berpengaruh dalam proses implementasi tersebut dengan menggunakan teori analisa implementasi kebijakan dari Mazmanian dan Sabatier. 1.3.Pertanyaan penelitian

Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi pelaksanaan proses implementasi kebijakan Aksi Nasional Menuju Pangan Jajanan Anak Sekolah yang Aman, Bermutu dan Bergizi yang dilaksanakan di kota Batam dalam upaya mencapai tujuan formalnya?


(28)

1.4. Tujuan penelitian 1.4.1. Tujuan umum

Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan proses implementasi kebijakan Aksi Nasional Menuju Pangan Jajanan Anak Sekolah yang Aman, Bermutu dan Bergizi di kota Batam, ditinjau dari konsep analisis implementasi kebijakan Mazmanian dan Sabatier

1.4.2. Tujuan Khusus :

a. Menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan proses implementasi kebijakan Aksi Nasional Menuju Pangan Jajanan Anak Sekolah yang Aman, Bermutu dan Bergizi di kota Batam dari Aspek :

1). Kemampuan pengelolaan masalah (tractability problem)

2). Kemampuan kebijakan itu menstrukturkan proses implementasi (Statutory variables / hukum)

3). Variabel diluar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi ( Non Statutoryvariables / non hukum)

b. Untuk mengetahui komitmen pemerintah daerah dalam mewujudkan pangan jajanan anak sekolah yang aman, bermutu dan bergizi di kota Batam

1.5. Manfaat Penelitian a. Bagi Masyarakat

Untuk melindungi anak, terutama anak sekolah dari pangan yang tidak memenuhi syarat keamanan, mutu dan gizi.

b. Bagi Pemerintah Pusat

Sebagai bahan masukan untuk mengevaluasi pelaksanaan program Aksi Nasional-PJAS.

c. Bagi Pemerintah Daerah

Sebagai masukan untuk menindak lanjuti program Aksi Nasional-PJAS dan memperkuat komitmen Pemerintah Daerah dalam upaya menyediakan pangan yang aman, bermutu dan bergizi di wilayahnya.


(29)

d. Bagi para pengusaha

Untuk meningkatkan rasa tanggung jawab pengusaha terhadap apa yang mereka buat dan perdagangkan, sehingga produk mereka aman dikonsumsi anak sekolah dan mampu bersaing, terutama dalam menghadapi era Masyarakat Ekonomi Asean.

1.6. Batasan penelitian

Penelitian ini hanya fokus kepada pelaksanaan kebijakan Aksi Nasional Menuju Pangan Jajanan Anak Sekolah yang Aman, Bermutu dan Bergizi, di kota Batam.


(30)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Publik

2.1.1. Definisi Kebijakan Publik

Definsi tentang kebijakan publik sangat beragam, dan sepertinya susah untuk disatukan karena luasnya bidang kajian kebijakan publik itu (Wahab.S.A., 2012). Menurut William Dunn (1994) kebijakan publik adalah suatu rangkaian pilihan pilihan yang saling berhubungan yang dibuat oleh lembaga atau pejabat pemerintah pada bidang-bidang yang menyangkut tugas pemerintahan seperti pertahanan keamanan, energi, kesehatan, pendidikan, kesejahteraan masyarakat dan lain-lain. Menurut Thomas R, Dye (1978;1987,1) Kebijakan publik adalah “Whatever governments choose to do or not to do”, Lemieux (1995) merumuskan kebjakan publik sebagai “ The product of activities aimed at the resolution of public problem in the environment by political actors whose relationship are structured. The entire process envolves over time”, (Wahab.S.A., 2012:13)

Sementara dalam Nugroho (2006,23), juga ditemukan beberapa definisi seperti dari Harold Laswel dan Abraham Kaplan (1970) mendefinisikan kebijakan publik sebagai a projected program of goal, value, and practise. David Easton (1965) mendefinisikan sebagai the impact of government activity. James Lester dan Robert steward (2000) mendefinisikan sebagai a process or a series or pattern of governmental activities or decisions that are design to remedy some

public problem, either real or imagined. Steven A.Peterson (2003)

mendefinisikannya sebagai government action to address some problem. B.G.Peter (1993) mendefinisikan sebagai the sum of government activities, wheter acting directly or through agent, as it has an influence on the lives of citizens.

Dari beberapa definisi tersebut Nugroho (2006) membuat rumusan tentang ciri- ciri dari kebijakan publik tersebut, yaitu :

a. Kebijakan publik adalah kebijakan yang dibuat oleh administrator Negara atau administrator public

b. Kebijakan publik adalah kebijakan yang mengatur kehidupan bersama atau kehidupan publik, bukan perorangan atau golongan


(31)

c. Dikatakan sebagai kebijakan publik apabila manfaat yang diperoleh masyarakat yang bukan pengguna langsung dari produk yang dihasilkan jauh lebih banyak atau lebih besar dari pengguna langsungnya

2.1.2. Sistem dan Komponen Kebijakan

Menurut Dunn (1994), Sistem kebijakan (policy system) meliputi tiga unsur/komponen yang saling berkaitan, yaitu kebijakan publik, pelaku kebijakan, dan lingkungan kebijakan.

Gambar 2.1.: Hubungan komponen dalam sistim kebijakan (Dunn dalam Ayuningtyas.D, 2014)

Segitiga sistem kebijakan diatas memperlihatkan bahwa aktor kebijakan akan mempengaruhi atau dipengaruhi oleh kebijakan publik, sementara aktor dan kebijakan publik juga mempengaruhi dan dipengaruhi oleh keadaan lingkungan kebijakan. Ketiga komponen diatas selanjutnya dikenal dengan sistem kebijakan

Lebih jauh komponen kebijakan itu dapat dijelaskan lebih lanjut : 1. Isi kebijakan publik (Policy Content)

Isi kebijakan publik ini merupakan respon dari berbagai masalah publik yang meliputi : Kebijakan hak-hak sipil, pendidikan, kesejahteraan, kesehatan, pertahanan, energi, lingkungan dan lain-lain. (Wahab.S.A, 2012) Secara umum, isi kebijakan itu dibuat dalam bentuk tertulis dan memuat : a). Tujuan dibuatnya kebijakan dan dampak yang diharapkan, b). Ruang lingkup kebijakan, meliputi siapa yang menjadi sasaran kebijakan dan dan tindakan yang dipengaruhi oleh kebijakan, c). Kapan kebijakan diberlakukan, d). Siapa yang bertanggung jawab melaksanakan kebijakan, e). Aturan aturan khusus terhadap perilaku organisasi yang membuat

Actor / pelaku  kebijakan 

Lingkungan  kebijakan 

Isi Kebijakan  publik 


(32)

kebijakan itu, f). Latar belakang pembuatan kebijakan, g). Definisi dari istilah untuk menghindari ambigu ( Ayuningtyas, 2014)

2. Pelaku kebijakan / Pemangku kepentingan kebijakan (Policy stakeholder) Pelaku / aktor atau pemangku kepentingan dari kebijakan ini adalah individu atau kelompok yang berhubungan langsung dengan suatu kebijakan dan dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh kebijakan tersebut, dapat berupa sekelompok warga, organisasi buruh, pedagang kaki lima, komunitas wartawan, partai politik, lembaga pemerintah dan lain-lain (Ayuningtyas, 2014). Beberapa hal dapat berpengaruh pada aktor ini antara lain: bentuk pemerintahan, sistem birokrasi, sistim politik, pola partisipasi, kepentingan, derajat konflik dan watak penguasa (Wahab.S.A, 2012).

3. Lingkungan kebijakan (Policy Environment)

Beberapa faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap suatu kebijakan adalah : Kesejahteraan, Urbanisasi, Sitem ekonomi, tingkat pendidikan, pola kebudayaan, komposisi rasial, keragaman agama dan lain-lain (Wahab.S.A, 2012).

2.1.3. Proses Perancangan Kebijakan Publik

Menurut Walt (1994), proses perancangan kebijakan merupakan proses linier yang dimulai dari pengenalan masalah sampai dengan aktifitas untuk menyelesaikan masalah. Proses tersebut adalah : 1) Identifikasi masalah / pengenalan isu, 2) Formulasi Kebijakan (perumusan), 3) Implementasi kebijakan dan 4) Evaluasi Kebijakan (Adisasmito.W,2013).

Menurut Dunn (1994) proses perancangan kebijakan adalah : 1) Penetapan agenda kebijakan, 2) Adopsi kebijakan, 3) Implementasi kebijakan, 4) Evaluasi kebijakan. Menurut James Anderson (1979), proses perancangan kebijakan publik adalah: 1) Formulasi masalah, 2) Formulasi kebijakan, 3) Penentuan kebijakan, 4) Implementasi kebijakan, 5) Evaluasi kebijakan. Sedangkan menurut AG.Subarsono (2004), proses perencanaan kebijakan adalah serangkaian proses yang bersifat politis yang dimulai dari : 1) Penyusunan agenda, 2) Formulasi kebijakan, 3) Adopsi kebijakan, 4) Implementasi kebijakan, dan 5) Evaluasi kebijakan (Pasolong.H, 2013).


(33)

2.1.4. Implementasi Kebijakan Publik

Implementasi kebijakan merupakan suatu proses untuk mewujudkan tujuan kebijakan. Tahapan ini adalah penting karena tahapan ini merupakan “jembatan” antara dunia konsep dan dunia nyata (Purwanto E.A & Sulistyastuti.D.R, 2012). Implementasi ini akan melibatkan sebuah proses yang rasional dan emosional yang amat kompleks. Pada proses ini akan memasuki ranah permasalahan konflik, keputusan-keputusan yang pelik, dan isu siapa yang akan memperoleh apa, sehingga implementasi ini merupakan bagian yang penting dari keseluruhan proses kebijakan.

Pentingnya implementasi ini juga disampaikan oleh Udoji dalam Wahab.S.A, (2012) mengatakan bahwa, pelaksanaan kebijakan itu adalah sesuatu hal penting bahkan mungkin jauh lebih penting daripada pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan akan berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan.

Dalam artian luas, implementasi dianggap sebagai bentuk penyelenggaraaan atau pengoperasionalisasian aktivitas yang sudah ditetapkan bersama diantara para pemangku kepentingan (stakeholders), aktor, organisasi (public atau private), prosedur dan teknik secara sinergis untuk bekerjasama menerapkan kebijakan kearah yang dikehendaki.

Menurut Daniel A.Mazmanian dan Paul A.Sabatier dalam Wahab.S.A. (2012), proses implementasi kebijakan itu tidak hanya menyangkut perilaku badan administratif yang bertanggung jawab melaksanakan dan menimbulkan ketaatan pada kelompok sasaran, melainkan juga menyangkut jaringan-jaringan politik, ekonomi dan sosial yang secara langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi perilaku pihak yang terlibat. Akhirnya akan berpengaruh kepada dampak, baik yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan.

2.1.4.1. Teknik Implementasi

Ada dua model pendekatan/teknik dalam mengimplementasikan kebijakan (Wahab.S.A, 2012; Agustino, 2008 ; Purwanto E.A &Sulistyastuti.D.R, 2012) :


(34)

a. Pendekatan top-down (top down approach)

Pendekatan ini sering juga disebut policy centred karena perhatian peneliti hanya terfokus kepada kebijakan dan berusaha untuk memperoleh fakta-fakta, apakah implementasi kebijakan itu mampu atau tidak mencapai tujuannya (Hogwood and Gunn 1984 dalam Purwanto E.A & Sulistyastuti.D.R, 2012). Sehingga pendekatan top-down ini sangat cocok untuk menilai efektifitas implementasi suatu kebijakan.

P.deLeon and L,deLeon (2002), menyebut pendekatan top-down ini sebagai pendekatan “Command and control” yang berarti memberikan komando dan mengawasi pelaksanaannya. Dalam artian luas perintah atasan ini berkaitan dengan kejelasan tujuan. Perintah tersebut akan diterjemahkan detil dalam bentuk instruksi kerja dan atasan juga mampu mengawasi pelaksanaan instruksi tersebut (Purwanto E.A & Sulistyastuti.D.R, 2012)

Pendekatan ini juga disebut dengan pendekatan birokrasi (bureaucratic approach) karena secara umum berbasis kepada mekanisme birokrasi, dan dengan mekanisme yang agak memaksa.

Implementasi kebijakannya tersentralisasi dan dimulai dari tingkat pusat, dan keputusan pun diambil di tingkat pusat. Keputusan tersebut dilaksanakan oleh administrator atau birokrat pada level dibawahnya, sesuai dengan tujuan yang sudah ditetapkan ditingkat pusat. (Wahab.S.A,2012)

b. Pendekatan Bottom-Up (Bottom-up approach)

Pendekatan ini dipelopori oleh Elmore (1978), Lipsky (1971), Berman (1978) dan Hjern, Hanf, serta Porter (1978). Pendekatan bottom-up ini menekankan pentingnya peranan birokrat pada level bawah ( street level bureaucrate) dan kelompok sasaran kebijakan (target group) dalam implementasi suatu kebijakan. Bahkan mereka juga beranggapan bahwa implementasi akan berhasil jika kelompok sasaran dilibatkan dari awal perencanaan dan implementasinya (Purwanto E.A & Sulistyastuti.D.R, 2012)


(35)

Pendekatan bottom-up dapat dilaksanakan dengan langkah langkah sebagai berikut:

1. Memetakan stakeholder (aktor dan organisasi) pada level terbawah yang terlibat dalam implementasi kebijakan

2. Mencari informasi tentang pemahaman aktor tersebut terhadap kebijakan yang mereka implementasikan, dan apa kepentingan mereka di dalamnya.

3. Memetakan keterkaitan aktor pada level bawah dengan aktor pada level atasnya.

4. Peneliti bergerak keatas memetakan aktor yang lebih tinggi dengan mencari informasi yang sama.

5. Pemetaan dilakukan terus sampai level tertinggi (para policy maker) Metode pendekatan bottom-up ini adalah untuk mengetahui jaringan implementasi yang melibatkan banyak aktor dari berbagai level dan memetakan motif ekonomi-politik para aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan (Purwanto E.A & Sulistyastuti.D.R, 2012)

Untuk memudahkan dalam memahami perbedaan pendekatan top-down dan bottom-up tersebut, Sabatier (1984) membuat ringkasan sebagai berikut:

Tabel 2.1. Perbandingan Pendekatan Top-down dan Bottom-up.

Top-down Bottom-up

Fokus awal Kebijakan pemerintah (pusat) Jaringan implementasi pada level

paling bawah Identifikasi aktor

utama yang terlibat dalam proses

Dari pusat (atas) dilanjutkan ke bawah sebagai konsekuensi implementasi

Dari bawah, yaitu para implementer pada level lokal ke atas

Kriteria evaluasi Berfokus pada pencapaian

tujuan formal yang tertulis dalam dokumen kebijakan

Kurang begitu jelas, apa saja yang dianggap peneliti penting dan punya relevansi dengan kebijakan Fokus secara

keseluruhan

Bagaimana mekanisme implementasi bekerja untuk mencapai tujuan kebijakan

Interaksi strategis antar berbagai aktor yang terlibat dalam implementasi


(36)

2.1.4.2. Model Implementasi Kebijakan / Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Implementasi kebijakan.

Keberhasilan suatu implementasi kebijakan dapat dilihat dari proses dan pencapaian tujuan akhir kebijakan (output), hal ini juga didukung oleh Merrile Grindle dalam Agustino (2008) yang mengatakan bahwa “pengukuran keberhasilan implementasi dapat dilihat dari prosesnya dengan mempertanyakan apakah pelaksanaan program sesuai dengan yang telah ditentukan yaitu melihat kepada action program dari individual project dan yang kedua apakah tujuan program tersebut tercapai”.

Suatu model implementasi kebijakan merupakan suatu upaya menyederhanakan realitas implementasi kebijakan yang rumit menjadi lebih sederhana yaitu sebagai hubungan sebab akibat antara keberhasilan implementasi dengan faktor yang diduga mempengaruhi keberhasilan implementasi tersebut (Purwanto E.A & Sulistyastuti.D.R, 2012).

Diantara model implementasi kebijakan tersebut adalah :

a. Implementasi Kebijakan Publik Model Donal Van Metter dan Carl Van Horn. Kedua pakar ini mencoba menghubungkan antara isu kebijakan dengan implementasi dan membuat suatu model konseptual yang menghubungkan kebijakan dengan kinerja (performance). Kedua ahli ini juga menegaskan bahwa perubahan, kontrol dan kepatuhan bertindak merupakan konsep yang penting dalam prosedur-prosedur implementasi. (Wahab.S.A, 2012).

Ada 6 Variable menurut Van Meter dan Van Horn yng mempengaruhi kinerja kebijakan publik :

1. Ukuran dan tujuan kebijakan 2. Sumberdaya

3. Karakteristk agen pelaksana

4. Sikap/kecendrungan (Disposition) para pelaksana 5. Komunikasi Antar Organisasi dan Aktivitas Pelaksana 6. Lingkungan Ekonomi, Sosial dan Politik

b. Implementasi Kebijakan Pulik Model Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier Model kebijakan publik yang disampaikan Mazmanian dan Sabatier disebut dengan A Framework for Policy Implementation Analysis. Mereka


(37)

berpendapat bahwa peran penting dalam implementasi kebijakan publik adalah kemampuannya dalam mengidentifikasi variable-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi.

Menurut teori ini ada 16 variable yang dibagi kedalam 3 faktor utama (independen variable) yang dapat berpengaruh pada proses implementasi.:

1. Mudah atau tidaknya masalah yang akan digarap (tractability), meliputi : a). Kesukaran kesukaran teknis, b). Keberagaman perilaku yang diatur, c). Persentase totalitas penduduk yang tercakup dalam kelompok sasaran, d) Tingkat dan ruang lingkup perubahan perilaku yang dikehendaki.

2. Kemampuan kebijakan menstruktur proses implementasi secara tepat

(Statutory). Para pembuat kebijakan akan menggunakan wewenang

yang dimilikinya untuk menstruktur proses implementasi secara tepat melalui beberapa cara : a). Kecermatan dan kejelasan penjenjangan tujuan-tujuan resmi yang akan dicapai, b). Keterandalan teori kausalitas yang diperlukan, c) Ketepatan alokasi sumber dana, d) Keterpaduan hirarki di dalam lingkungan dan diantara lembaga-lembaga atau instansi-instansi pelaksana, e). Aturan-aturan pembuat keputusan dari badan-badan pelaksana, f). Kesepakatan para pejabat terhadap tujuan yang termaktub dalam undang-undang, dan g). Akses formal pihak-pihak luar

3. Variabel-variabel di luar Undang-undang / kebijakan yang mempengaruhi implementasi (Non Statutory), seperti : a).Kondisi sosial-ekonomi dan teknologi, b). Dukungan publik, c). Sikap dan sumber-sumber yang dimiliki kelompok masyarakat, d). Kesepakatan dan kemampuan kepemimpinan para pejabat pelaksana.

c. Implementasi Kebijakan Publik Model George C. Edward III (1980)

Edward III menamakan kebijakan publiknya dengan Direct and

Indirect Impact on Implementation. Dalam pendekatan ini Edward III

mengemukakan 4 variabel yang sangat menentukan keberhasilan implementasi suatu kebijakan, yaitu :


(38)

1. Komunikasi

Terdapat 3 indikator keberhasilan komunikasi ini yaitu : a). Transmisi, b) Kejelasan, dan c). Konsistensi,.

2. Sumberdaya .

Menurut Edward III, sumberdaya terdiri dari beberapa elemen yaitu : a) Staf, staf harus mencukupi, memadai dan kompeten dibidangnya, b). Informasi, informasi tentang cara melaksanakan kegitan dan juga informasi mengenai data kepatuhan dari para pelaksana terhadap peraturan dan regulasi pemerintah , c) Wewenang, kewenangan harus bersifat formal, dan d). Fasilitas (sarana dan prasarana)

3. Disposisi / sikap dari pelaksana kebijakan

Pelaksanaan kebijakan publik bisa berjalan efektif, maka para pelaksana kebijakan harus mengetahui apa yang akan dikerjakannya dan harus memiliki kemampuan untuk mengerjakannya, sehingga dalam prakteknya tidak terjadi bias. Hal-hal yang perlu dicermati dalam variable ini menurut Edward III adalah : a) Pengangkatan Birokrat, dan b) Insentif

4. Struktur Birokrasi

Menurut Edward III, dua faktor yang dapat menaikkan kinerja struktur birokrasi / organisasi kearah yang lebih baik adalah : a). melakukan Standard Operating Procedures (SOPs) dan b). melaksanakan Fragmentasi

d. Implementasi Kebijakan Publik Model Merilee S. Grindle.

Grindle (1980), mengemukakan model implementasi kebijakan yang dikenal dengan Implementation as A Political and Administrative Process. Keberhasilan implementasi kebijakan publik dapat diukur dari proses pencapaian hasil akhir (outcomes), pengukuran keberhasilan imlementasi ini dapat dilihat dari 2 hal, yaitu:

1. Dilihat dari prosesnya, apakah pelaksanaan kebijakan itu sesuai dengan yang sudah ditentukan (design), dengan merujuk kepada aksi kebijakannya.


(39)

2. Apakah tujuan kebijakan tercapai?, diukur dengan melihat impack atau efeknya pada masyarakat secara individual ataupun kelompok, dan tingkat perubahan yang terjadi serta penerimaan kelompok sasaran dan perubahan yang terjadi.

Keberhasilan implementasi menurut Grindle ditentukan oleh tingkat implementability yang terdiri dari Content of policy dan Contex of policy

1) Content of policy menurut Grindle adalah : a). Interest Affected ( kepentingan – kepentingan yang mempengaruhi, b). Type of Benefits (Tipe manfaat), c). Extent of Change Envision (derajat perubahan yang ingin dicapai), d).Site of Decission Making (letak pengambilan keputusan), e).Program Implementation (Pelaksana program), dan f). Resources Committed (sumber-sumber daya yang digunakan).

2) Context of policy menurut Grindle adalah : a). Power, Interest, and Strategy of actor Involved (Kekuasaan, kepentingan, dan strategi dari actor yang terlibat), b). Institution and Regime Characteristic ( Karakteristik lembaga dan rezim yang berkuasa), dan c). Compliance and Responsivness ( tingkat kepatuhan dan adanya respon pelaksana) Disamping itu dalam Purwanto E.A & Sulistyastuti.D.R, (2012) juga ada pendapat dari Sabatier (1986). Sabatier mengatakan ada 6 variable yang dianggap memberikan kontribusi terhadap keberhasian dan kegagalan implementasi kebijakan, yaitu :

1. Tujuan atau sasaran kebijakan harus jelas dan konsisten, 2. Dukungan teory yang kuat dalam merumuskan kebijakan,

3. Proses imlementasi mempunyai dasar hokum yang jelas untuk menjamin kepatuhan petugas dilapangan dan kelompok sasaran,

4. Komitmen dan keahlian para pelaksana kebijakan, 5. Dukungan para stakeholder,


(40)

2.1.4.3. Permasalahan Proses Implementasi. a. Ketidaksempurnaan Proses Implementasi.

Menurut Hogwood dan Gunn dalam Purwanto E.A & Sulistyastuti.D.R, (2012), suatu implementasi yang sangat sempurna (perfect implementation) tidak akan pernah terwujud karena :

1. Ada hambatan Eksternal. Hambatan ini berasal dari luar organisasi seperti krisis moneter, bencana alam, dll.hal ini sulit dikontrol oleh para pembuat kebijakan maupun imlementatornya.

2. Waktu dan sumberdaya tidak tersedia secara memadai

3. Kebijakan tidak didasarkan pada landasan pemikiran (teoritis) yang kuat tentang hubungan kausalitas antara kebijakan dan hasil yang akan dicapai. Akibatnya pembuat kebijakan keliru dalam merumuskan kebijakan untuk mengatasi masalah publik.

4. Hubungan sebab akibat antara kebijakan dan hasilnya, jarang bersifat langsung

5. Lembaga pelaksana jarang yang bisa mandiri, tersebarnya sumber daya pada lembaga lain seperti finansial, teknologi, politik, informasi dan sumberdaya manusia yang berkualitas dll.

6. Jarang ada kesepakatan yang bersifat umum diantara pelaksana tentang tujuan kebijakan dan cara kencapainya. Banyak kebijakan yang dirumuskan, menghendaki struktur implementer multi agencies.

7. Jarang ada suatu kondisi terjadinya komunikasi dan koordinasi yang sempurna.

b. Kegagalan Implementasi Kebijakan Publik di Negara Lain

Makinde (2005) dalam (Purwanto E.A & Sulistyastuti.D.R, 2012) telah mengidentifikasi permasalahan yang timbul dalam proses implementasi, sehingga menimbulkan kegagalan, seperti penelitiannya di Nigeria mengidentifikasi gagalnya implementasi kebijakan di Nigeria disebabkan oleh : 1) Kelompok sasaran (target beneficiaries) tidak terlibat dalam implementasi program, 2) program yang diimplementasikan tidak memperhitungkan kondisi lingkungan seperti sosial, ekonomi dan politik, 3) Adanya korupsi, 4) Sumber


(41)

Daya Manusia yang rendah kualitasnya, 5) Tidak adanya koordinasi dan monitoring. Sementara itu faktor kelangkaan teknologi dan SDM (Sumberdaya Manusia) yang tidak berkapasitas, merupakan temuannya terhadap penyebab kegagalan proses implementasi kebijakan di Ghana.

Pada penelitiannya di Pakistan, Makinde juga menemukan beberapa faktor yang menyebabkan kegagalan proses implementasi kebijakan, yaitu : 1) Ketidakjelasan tujuan kebijakan, 2) Komitmen politik, 3) Struktur pemerintahan, 4) Sentralisasi kewenangan, 5) Sumberdaya, dan 6) Ketergantungan pada bantuan asing.

Sejalan dengan yang ditulis Makinde diatas, Omoniyi Victor Ajulor (2013) juga menuliskan kegagalan implementasi kebijakan dan penurunan kemiskinan di pedesaan di Nigeria. Faktor penyebabnya adalah : 1) Tujuan yang tidak realistis, 2) Korupsi, 3) Politik (dana digunakan untuk politisasi),4) Kurang mempertimbangkan keadaan sosial, politik dan ekonomi dari penerima manfaat sebelum membuat kebijakan (program kemiskinan tidak berbasis lokal), 5) Kurangnya partisipasi kelompok sasaran ( proses kebijakan publiknya selalu top-down dalam konsepsi, desain, perumusan, pelaksanaan dan evaluasi)

c. Kegagalan Implementasi Kebijakan Publik di Indonesia

Kegagalan implementasi kebijakan di Indonesia hampir sama dengan kegagalan yang ditemukan di Negara lain, setidaknya ada 6 faktor yang menetukan berhasil atau tidaknya proses implementasi (Purwanto E.A & Sulistyastuti.D.R, 2012) yaitu :

1. Kualitas kebijakan itu sendiri. Kualitas disini terkait dengan kejelasan tujuan, kejelasan implementer atau penanggung jawab implementasi, dll.

2. Kecukupan input kebijakan (terutama anggaran). Menurut Wildavsky, besarnya anggaran yang dialokasikan terhadap suatu kebijakan atau program, menunjukkan seberapa besar political will / komitmen pemerintah terhadap persoalan yang akan diselesaikan.

3. Ketepatan intrumen yang akan dipakai untuk mencapai tujuan kebijakan. Instrumen tersebut misalnya pemberian layanan gratis, hibah peralatan/barang tertentu, subsidi, dll


(42)

4. Kapasitas implementor (struktur organisasi, dukungan SDM, pengawasan, koordinasi, dll).

5. Karakteristik dan dukungan kelompok sasaran ( apakah individu, kelompok, laki atau perempuan, terdidik atau tidak, dll).

6. Kondisi lingkungan geografi, sosial, ekonomi dan politik dimana implementasi tersebut dilakukan.

2.2. Keamanan Pangan

Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman (Pemerintah RI, 2012).

Pada Konferensi Internasional FAO/WHO tahun 1992 tentang gizi, dideklarasikan bahwa masalah keamanan pangan telah menjadi keprihatinan dunia, ratusan juta manusia di dunia menderita penyakit menular maupun tidak menular karena pangan yang tercemar, dan perlu diingat bahwa “memperoleh pangan yang cukup, bergizi dan aman dikonsumsi adalah hak setiap orang (Badan POM RI a, 2011).

2.2.1. Definisi Keamanan Pangan

Menurut UU No 18 Tahun 2012 tentang pangan, kemanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi.

Menurut FAO/WHO (1997) Keamanan pangan adalah jaminan bahwa pangan tidak akan menyebabkan bahaya bagi konsumen saat disiapkan dan atau dikonsumsi sesuai dengan penggunaannya. Sedangkan menurut Codex

Alimentarius Commission (CAC), Kemanan pangan adalah semua kondisi dan

tindakan yang diperlukan untuk menjamin keamanan dan kelayakan pada semua tahap dalam rantai makanan (Badan POM RI&FKM UI, 2011).


(43)

2.2.2. Jenis Bahaya Dalam Pangan

Jenis bahaya dalam pangan yang dapat mengancam kesehatan pada manusia secara garis besar dibagi atas 3 golongan, yaitu:

1. Bahaya Fisik

Bahaya fisik adalah bahaya yang berasal dari benda-benda yang tidak boleh ada dalam pangan dan tidak layak untuk dimakan seperti rambut, kuku, anak steples, kerikil, pecahan kayu, plastik, serangga mati dan lain-lain.

2. Bahaya Kimia

Bahaya kimia adalah bahaya yang ditimbulkan oleh bahan kimia. Bahan kimia berbahaya ini dapat berasal dari :

a. Penyalahgunaan bahan berbahaya dalam pengolahan pangan seperti penggunaan boraks untuk pengenyal bakso, pempek, perenyah pada kerupuk; penggunaan formalin untuk pengawet pada ikan, tahu, mie basah; dll.; penggunaan Pewarna bukan untuk makanan seperti Rhodamin B sebagai pewarna merah, methanyi yellow untuk pewarna kuning dll.

b. Racun alami yang ada dalam pangan, seperti jamur beracun, ikan buntal yang mengandung tetrodotoksin, singkong yang menangdung Cianida, jengkol yang mengandung asam jengkolat, ikan yang mengandung histamine dll.

c. Cemaran kimia yang berasal dari lingkungan, seperti limbah industry yang diserap tanah, sisa pestisida pada buah dan sayur, cat pada peralatan masak, makan dan minum, asap kendaraan bermotor, penggunaan kemasan pangan yang dilarang, dll.

d. Pengunaan Bahan Tambahan Pangan yang melebihi kadar maksimum yang diperbolehkan. Bahan tambahan ini diperlukan pada pangan olahan untuk memperbaiki sifat dan mutu serta daya simpannya. 3. Bahaya Biologi

Bahaya ini berasal dari mikroba yang muncul pada pengolahan pangan yang tidak baik, seperti tidak menjaga kebersihan baik dari penjamah makanan sendiri, lingkungan tempat bekerja, peralatan maupun


(44)

dari makanan yang kotor.Mikroba bisa berupa bakteri, kapang, khamir ataupun virus. Pertumbuhan mikroba ini sangat dipengaruhi oleh jenis makanannya, suhu penyimpanan, kadar air, tingkat keasaman dan waktu penyimpanan.

2.2.3. Determinan Keamanan Pangan

Dalam buku promosi Kemanan Pangan yang disusun oleh Badan POM RI bersama FKM UI (2011), keamanan pangan dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu :

1. Faktor prilaku (sanitasi dan higiene pangan)

Sanitasi Pangan adalah upaya untuk mencegah kemungkinan tumbuhnya jasad renik dan pathogen dalam makanan atau usaha untuk mencegah pencemaran pada pangan.. Sedangkan hygiene pangan adalah kondisi dan tindakan yag diperlukan untuk menjamin pangan tersebut aman dan layak pada semua rantai makanan.

Higiene dan sanitasi pangan menyangkut Higiene pribadi , ruangan, pakaian , dan pangan sendiri. Beberapa contoh adalah tidak mencuci tangan, kebiasaan mengobrol dan merokok sambil bekerja, tidak menggunakan masker dan tutup rambut, dll.

Faktor prilaku ini juga terkait dengan faktor prilaku dari konsumen, dimana konsumen tidak mengenal bagaimana mengetahui pangan yang aman seperti tidak memperhatikan label, hanya membeli pangan dengan pertimbangan harga murah tanpa memperhatikan kemanannya dan sebagainya.

2. Faktor Lingkungan

Untuk mendapatkan pangan yang aman, juga perlu memperhatikan faktor lingkungannya, seperti bangunan beserta konstruksinya, peralatan yang digunakan. Lingkungan yang tidak baik akan cendrung mencemari pangan, seperti pencemaran fisik, kimia dan biologi.

3. Faktor Sosial ekonomi

Keamanan pangan juga terkait dengan keadaan sosial ekonomi yang meliputi pengetahuan dan kemauan, pendidikan, pekerjaan, lingkungan sosial dan budaya.


(45)

Pengetahuan sangat memegang peranan penting, karena dengan pengetahuan akan bisa memperbaiki sikap dan prilaku. Diantara pengetahuannya adalah bagaimana cara mencuci buah dan sayuran, bagaimana cara mengolah pangan yang baik, cara memilih makanan yang aman, dll. Pendidikan keamanan pangan juga diperlukan bagi konsumen agar kesadaran masyarakat akan keamanan pangan meningkat.

Lingkungan sosial seperti sekolah, tempat bekerja dan tempat tinggal, juga akan bisa mempengaruhi kemanan pangan, karena disinilah mereka berkumpul dan dengan berbagai kepentingan. Kebanyakan dari masyarakat kita masih banyak yang permisif, sehingga kurang teliti dalam memilih pangan yang aman untuk dikonsumsi dan tergiur dengan harga yang murah.

2.3. Kebijakan Aksi Nasional Gerakan Menuju Pangan Jajanan Anak Sekolah yang Aman, Bermutu dan Bergizi (AN-PJAS)

2.3.1. Latar Belakang

Berdasarkan hasil pengawasan rutin yang dilakukan oleh Badan POM tahun 2008 sampai tahun 2010 terhadap pangan jajanan anak sekolah (PJAS) menunjukkan bahwa 40 – 44% Pangan jajanan sekolah tidak memenuhi syarat (TMS) keamanan pangan, diantaranya mengandung bahan berbahaya yang digunakan untuk pangan seperti formalin, boraks, zat warna tekstil rhodamin B dan methanyl yellow, mengandung Bahan Tambahan Pangan (BTP) yang melebihi ketentuan seperti pada pemanis buatan, pengawet dan lain-lain, serta kandungan mikroba yang diluar persyaratan untuk kesehatan akibat buruknya hygiene dan sanitasi pangan. Hasil pengawasan ini dapat dilihat pada table 2.2 dibawah.

Tingkat keamanan PJAS yang masih rendah merupakan masalah serius karena terkait dengan pembangunan sumber daya manusia Indonesia. Rendahnya kualitas PJAS dapat memperburuk status gizi anak sekolah akibat terganggunya asupan gizi. Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat, kesehatan yang prima, serta


(46)

tangkas dan cerdas. Bukti empiris menunjukkan bahwa hal ini sangat ditentukan oleh status gizi yang baik, dan status gizi yang baik ditentukan oleh jumlah dan kualitas asupan pangan yang dikonsumsi (Bappenas, 2011).

Tabel 2.2 : Hasil pengawasan Badan POM RI terhadap sampel PJAS tahun 2008-2010 Tahun Total Sampe l Sampel MS Sampel TMS Sampel Mengan dung BB Sampel Mengan dung BTP Berlebih Sampel Mengand ung Cemaran Mikroba Jumlah Sampel Sekolah Dasar

2008 2029 1208

(60%)

821 (40 % )

153 (13% ) 180 (15%) 847 (72%) 408

2009 2976 1707

(57%) 1269 (43%) 170 (12% ) 299 (21%) 950 (67%) 558

2010 3372 1872

(56%) 1500 (44%) 275 (18 %) 337 (23 %) 888 (59%) 585

( Sumber : Badan POM, 2011)

Beberapa penelitian di luar negeripun seperti di Hungaria, memperlihatkan bahwa nutrisi yang kurang dari PJAS ini merupakan penyebab menaiknya penderita overweight (obesitas) pada remaja, yang akan berimplikasi kepada penyakit pembuluh darah (cardiovascular) dan juga diabetes mellitus, Gaya hidup anak-anak akan sangat menentukan terhadap kebiasaan yang beresiko (Peter.S,et al, 2007).

Selain Badan POM, sejumlah program kegiatan keamanan pangan di sekolah, misalnya program kantin sekolah sehat, telah diinisiasi oleh institusi lain seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta industri pangan swasta. Program peningkatan keamanan pangan di sekolah belum sepenuhnya terstruktur dengan baik. Keterbatasan sumber daya instansi berwenang dirasa tidak sebanding dengan jumlah Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) yang perlu diawasi dan dibina keamanan PJAS-nya. Sekitar 143.000 Sekolah Dasar (Data Statistik Sekolah Dasar 2009-2010, Kemdikbud) dan 22.000 Madrasah Ibtidaiyah (Profil Statistik Pendidikan Islam 2009-2010, Kemenag) tersebar hingga seluruh pelosok Indonesia. Oleh karena itu, suatu gerakan bersama secara nasional diharapkan dapat menggalang komitmen dan partisipasi seluruh pihak


(47)

serta alokasi sumberdaya dengan lebih baik dalam upaya yang sinergis untuk meningkatkan PJAS yang aman, bermutu, dan bergizi.

Badan POM sebagai ketua tim pelaksana Jejaring Keamanan Pangan Nasional (JKPN) bersama lintas sektor terkait memprakarsai Gerakan Menuju Pangan Jajanan Anak Sekolah yang Aman, Bemutu, dan Bergizi. Pencanangan Gerakan ini dilakukan oleh Bapak Wakil Presiden RI Budiono pada tanggal 31 Januari 2011. Implementasi Gerakan ini menjadi satu program unggulan Sistem Keamanan Pangan Terpadu (SKPT) yang diharapkan melibatkan Pemerintah, produsen, masyarakat, dan elemen masyarakat lainnya. Indikator Kinerja Utama (IKU) yang ingin dicapai melalui Aksi Nasional ini adalah persentase PJAS yang memenuhi syarat keamanan, mutu dan gizi pada tahun anggaran 2012, 2013 dan 2014 masing-masing 70, 80 dan 90% di SD/MI yang mendapat intervensi. Strategi Aksi Nasional PJAS sebagai realisasi gerakan tersebut dapat dilihat pada Gambar 1. Secara umum, program Aksi Nasional PJAS ini merupakan program pro rakyat yang hasilnya dapat berkontribusi untuk mencapai Millenium Development Goals (MDGs). Secara khusus, program ini menjadi isu strategis pada pembangunan di daerah, terutama pembangunan SDM anak sekolah.

2.3.2. Tujuan Aksi Nasional PJAS

Tujuan yang hendak dicapai dari Aksi Nasional menuju PJAS yang aman, bermutu, dan bergizi adalah:

1. Memberdayakan komunitas sekolah untuk menjaga keamanan, mutu, dan gizi PJAS

2. Menguatkan koordinasi dan jejaring kerja lintas sektor di pusat dan daerah untuk meningkatkan PJAS yang aman, bermutu, dan bergizi 3. Meningkatkan keamanan, mutu dan gizi PJAS di Indonesia.

Sementara itu luaran yang diharapkan dari Gerakan Nasional PJAS ini adalah : a. Kemandirian komunitas sekolah di daerah untuk mengawasi PJAS di

lingkungan sekolahnya

b. Komitmen dan koordinasi pelaksanaan kegiatan Aksi Nasional PJAS di daerah yang sinergis dan komprehensif


(48)

2.3.3. Palaksanaan Aksi Nasional PJAS

Gerakan Nasional PJAS ini merupakan salah satu program Badan POM bersama stakeholder terkait dalam Sistem Keamanan Pangan Terpadu (SKPT). Dalam SKPT, peningkatan keamanan pangan dilaksanakan secara kemitraan oleh pemerintah dan dunia usaha/masyarakat (public-private-partnership). Oleh karena itu, komitmen yang kuat dan partisipasi aktif stakeholder merupakan kunci sukses upaya peningkatan keamanan, mutu dan gizi PJAS.

Sebagai pelaksana utama dari upaya peningkatan keamanan, mutu dan gizi PJAS di tingkat nasional adalah Kementerian Koordinasi Kesejahteraan Rakyat, Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Bappenas, dan Badan POM RI, didukung oleh stakeholder kunci dan lembaga internasional/donor lainnya, Lembaga Kemasyarakatan, seperti PKK, serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). (BPOM a, 2011).

Sedangkan untuk pelaksanaan di daerah, program peningkatan keamanan, mutu dan gizi PJAS akan dikoordinir oleh Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota setempat dan bekerjasama dengan pemerintah Pusat dan lembaga terkait. Dalam program PJAS di daerah, stakeholder diharapkan terlibat secara aktif, antara lain Balai Besar/Balai POM, Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan LSM. (BPOM a. 2011)

Dalam Pelaksanaan aksi nasional PJAS ini, Ada lima strategi yang dilakukan, yaitu :

1. Mengembangkan program PJAS

2. Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang PJAS 3. Mengembangkan Capacity Building,

4. Mengembangkan Fasilitas PJAS

5. Monitoring dan Evaluasi Program PJAS.

Kelima strategi ini akan dicapai dengan serangkaian kegiatan dengan strategi sebagaimana yang digambarkan dalam gambar 2.2. Dimana Badan POM adalah penanggung jawab dari Aksi Nasional PJAS ini


(49)

Gambar 2.2. : Strategi Aksi Nasional Pangan Jajanan yang Aman, Bermutu dan Bergizi (sumber BPOM,2013)

Dalam pelaksanaan Aksi Nasional PJAS ini akan dilakukan intervensi terhadap 18.000 Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI) diseluruh Indonesia sampai akhir kegiatannya pada tahun 2014, sebagaimana terlihat pada roadmapnya pada gambar 2.3. di bawah

Gambar 2.3 : Road map pelaksanaan Aksi Nasional PJAS (BPOM RI b,2013) Dengan demikian diharapkan Aksi Nasional PJAS ini akan memberi perlindungan terhadap asumsi sekitar 3 juta anak dari PJAS yang tidak aman, serta peningkatan


(50)

kesadaran dan perubahan prilaku 6 juta orang tua siswa, 180.000 orang guru SD/MI, 180.000 orang pedagang PJAS dan 54.000 orang pengelola kantin sekolah untuk peningkatan mutu PJAS di seluruh Indonesia (BPOM (2), 2013).

Dalam pelaksanaan aksi Nasional PJAS ini diharapkan sejalan dengan Rencana Aksi Nasional Pangan Gizi (RAN-PG) yang dilaksanakan oleh Bappenas untuk tahun 2011-2015. Dalam RAN-PG, kebijakannya akan dicapai dalam 5 strategi. Salah satu strateginya pada poin ke III adalah “Peningkatan pengawasan mutu dan keamanan panganmelalui peningkatan pengawasan keamanan pangan yang difokuskan pada makanan jajanan yang memenuhi syarat dan produk industri rumah tangga (PIRT) tersertifikasi. Badan POM RI ditunjuk sebagai ketua pelaksana dari strategi ke III ini yaitu “Peningkatan Pengawasan Mutu dan Keamanan Pangan”.(Bappenas 2011). Pelaksanaan dari RAN-PG ini sudah ditindak lanjuti dengan Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi (RAD-PG) untuk tingkat daerah, dimana Balai POM di daerah ditunjuk sebagai ketua pelaksana dari strategi peningkatan mutu dan Keamanan Pangan ini.

Keberhasilan Aksi Nasional PJAS sangat tergantung pada komitmen dan kontribusi nyata dari seluruh pemangku kepentingan terkait baik di pusat maupun daerah. Kementerian/ lembaga di pusat hingga pemerintah daerah di kabupaten/kota. Instansi daerah dapat membentuk Gugus Tugas Aksi Nasional PJAS di daerah untuk menggalang komitmen, mengembangkan program bersama untuk Aksi Nasional PJAS serta menyinergiskan program kegiatan yang ada untuk berkontribusi pada Aksi Nasional PJAS. Pemerintah Daerah harus berkontribusi pada Aksi Nasional PJAS karena program aksi ini, langsung atau tidak langsung, masalah kesehatan, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, dan ketahanan pangan sangat terkait erat dengan urusan pemerintah yang wajib diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, sebagaimana amanah PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kaupaten/Kota. Partisipasi aktif dan kontribusi nyata Pemerintah Daerah dalam Aksi Nasional PJAS diperlukan untuk pembinaan dan pengawasan keamanan PJAS sekaligus produsen, penjaja, serta konsumen PJAS yang menyeluruh dan terpadu sehingga peningkatan keamanan, mutu, dan gizi PJAS di seluruh Indonesia dapat tercapai.


(51)

2.3.3.1. Pelaksanaan Aksi Nasional PJAS di Kabupaten/ Kota

Dalam Petunjuk teknis Pelaksanaan Aksi Nasional PJAS untuk kabupaten/Kota tahun 2012, Implementasi Aksi Nasional PJAS di daerah dikoordinir oleh Gugus Tugas PJAS tingkat kab/kota. Gugus tugas ini dapat mengoptimalkan jejaring kerja yang sudah ada di daerah, misalnya Tim Pembina UKS, atau dibentuk baru oleh Pemerintah Daerah setempat dengan melibatkan instansi terkait. Pemerintah kab/kota dapat berkonsultasi dan berkoordinasi dengan Balai Besar/ Balai POM di provinsinya terkait dengan pembentukan gugus tugas maupun pelaksanaan dan pelaporan Aksi Nasional PJAS di kab/kota. Gugus tugas Aksi Nasional PJAS di kab/kota ini diminta untuk mengirim laporan pelaksanaannya kepada Balai /Balai Besar POM setempat.

Secara garis besar, peranan Gugus Tugas PJAS di Kabupaten/Kota adalah :

1. Mengembangkan masterplan program kegiatan Aksi Nasional PJAS sesuai kebutuhan spesifik lokal di kab/kota serta menyiapkan pedoman yang diperlukannya

2. Memperkuat manajemen pelaksanaan Aksi Nasional PJAS di kab/kota 3. Menyinergiskan perencanaan dan pelaksanaan program Aksi Nasional

PJAS di kab/kota

4. Monitoring, evaluasi, dan pelaporan program Aksi Nasional PJAS di kab/kota

2.3.3.2. Manajemen dan Pelaksanaan Aksi Nasional PJAS di Provinsi

Dalam Petunjuk teknis Pelaksanaan Aksi Nasional PJAS untuk kabupaten/Kota tahun 2012, diharapkan terbentuknya Gugus Tugas Aksi PJAS di tingkat provinsi difasilitasi oleh Kepala Balai Besar/ Balai POM selaku Ketua Pokja III Mutu dan Keamanan Pangan dalam Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi (RAD-PG). Gugus tugas PJAS di provinsi berkoordinasi dengan gugus tugas PJAS di kab/kota untuk sinkronisasi kegiatan dan pembagian tugas dalam pelaksanaan kegiatan Aksi Nasional PJAS di daerah sesuai kewenangannya masing-masing. Peranan Gugus Tugas PJAS di provinsi adalah :

1. Mengembangkan masterplan program kegiatan Aksi Nasional PJAS sesuai kebutuhan spesifik lokal skala provinsi serta menyiapkan pedoman yang diperlukannya


(52)

2. Memperkuat manajemen pelaksanaan Aksi Nasional PJAS di provinsi 3. Menyinergiskan perencanaan, pelaksanaan, monitoring, evaluasi, dan

pelaporan program Aksi Nasional PJAS di provinsi

4. Mengoordinir hasil monitoring, evaluasi, dan pelaporan program Aksi Nasional PJAS dari kab/kota

2.3.3.3. Program Kegiatan Aksi Nasional PJAS di Daerah

Target utama dari kegitan Aksi Nasonl PJAS ini adalah komunitas sekolah (SD/MI) yang terdiri dari kepala sekolah, guru, komite sekolah (orang tua siswa), siswa, dan pengelola kantin. Diharapkan natinya mereka secara mandiri berperan nyata dalam menyediakan PJAS yang aman, bermutu dan bergizi sekaligus menjaga diri serta mengawasi PJAS yang tidak memenuhi syarat di sekitarnya. Disamping itu juga perlu melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap penjaja PJAS di lingkungan sekolah agar mereka hanya menyediakan PJAS yang memenuhi syarat untuk dikonsumsi. Dampak dari intervensi terhadap PJAS ini akan diverifikasi dengan pengujian PJAS melalui sampling dan pengujian terhadap sekolah yang dibina

Badan POM telah memberikan beberapa contoh kegiatan yang bisa menjadi acuan bagi pemerintah daerah terkait pelaksanaan Aksi Nasional PJAS ini sebagaimana pada table 2.3, dan memberikan keluasan bagi daerah untuk mengkoordinasikan diantara institusi mereka yang ada sesuai dengan kempauan masing-masing daerah.

Tabel 2.3.: Program dan Kegiatan Aksi Nasional PJAS di kab/kota

Program  Contoh Kegiatan  InstansiPelaksana di 

Daerah  Strategi 1: Perkuatan Program PJAS 

. Peningkatan  advokasi komitmen  Pemda dalam Aksi  Nasional PJAS di  daerah 

Sosialisasi program Aksi Nasional  PJAS kepada pemangku kepentingan  di prov dan kab/kota  

Pembentukan Gugus Tugas Aksi  Nasional PJAS di prov dan kab/kota  • Focus Group Discussion Program Aksi 

Nasional PJAS di prov dan kab/kota 

Balai Besar/ Balai POM,  Dinas Kesehatan, …. 

. Regulasi terkait 

PJAS di daerah  Penyusunan kebijakan untuk program Aksi Nasional PJAS di daerah  misal  Perda, SK Bupati/ Walikota, dsb  

Balai Besar/ Balai POM,  Dinas Kesehatan, …. 


(1)

  penerimaan informasi 

- Materinya informative, bisa untuk semua  kelas ekonomi dan budaya 

- Pemindahan SDM karena politik   

+   

  + 

2.  Dukungan Publik.         

- Banyak dukungan dari sekolah sekolah   

    +  +    +       

3. Dukungan dari Badan / Lembaga atasan yang  berwenang 

       

- DPR mendukung 

- Tidak ada dukungan DPRD Kota Batam  - Setelah dapat penjelasan, DPRD sangat 

mendukung 

- DPRD ingin dilibatkan    +        +            +    +           

4. Komitmen dan kepemimpinan pejabat pelaksana.       - Secara pribadi punya  komitmen

mewujudkan PJAS yang aman dan bermutu  - Kegiatan ini belum jadi prioritas di Batam  - Kepemimpinan pejabat pelaksana bagus 

  +   +  +  +     +  +   +  +     +  + + +   +  +   + 

D. Pencapaian tujuan kebijakan       

- Belum sesuai dengan pencapaian IKU  - Sudah sesuai dengan pencapaian IKU  - Ragu ragu 

+    +  +    +    +        +        +  Lanjutan lampiran 1 ……. 


(2)

Lampiran 2 : Form Data Informan

Form Wawancara Mendalam

Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Berjalannya

Kebijakan Pengawasan Pangan Jajanan Anak Sekolah di Kota

Batam

ID Informan:

Waktu Pelaksanaan

1.

Tanggal Wawancara    : ……… 

2.

Tempat Wawancara    : ……… 

Data Informan

1. Nama      : ……….………… 

2. Jenis kelamin    : Laki-laki / perempuan 

3. BIdang/ Unit    : ………..  4. Jabatan / posisi  : ………..  5. Lama menjabat  : ………  6. Masa Kerja    : ………..  7. No Telp / Hp.    : ………..  8. Email       : ……….. 

Informan      ttd   


(3)

Lampiran 3 : Pedoman wawancara

PEDOMAN WAWANCARA (Pusat)

1. Apa permasalahan yang paling berat dalam pelaksanaan AN-PJAS? apakah bisa diatasi ?

2. Salah satu strategi pada pengembangan keadaran masyarakat adalah Pengembangan Sistem Jaringan Informasi dan Komunikasi. Sistim seperti apakah yang telah dilaksanakan? Apakah terlakasana baik?

3. Perilaku apa saja yang diharapkan berubah? Bagaimana pelaksanaannya ? (susah/mudah)

4. Dengan target 10%, apakah ini mudah dicapai? Bagaimana dengan ruang lingkup komunitas sekolah ( guru, siswa, orang tua, penjual makanan dll) bagimana permasalahannya?

5. Bagaimana kejelasan tujuan (jangka panjang dan jangka pendek/setiap langkah/strategi), Bagaimana dengan juknis untuk aktor pelaksana lainnya? 6. Bagaimana pengorganisasian pelaksanaa AN PJAS, adakah peraturan

peraturan yang mengikat atau NSPK? Bagaimana penentuan keterlibatan Instansi lain? Bagaimana dengan pendanaannya?

7. Bagaimana peranan pihak ketiga? Bagaimana akses mereka?

8. Adakah pengaruh perbedaan sosial ekonomi daerah terhadap implementasinya?

9. Bagaimana penerimaan masyarakat?

10. Bagaimana pelaporan kegiatan? Apakah rutin dan kemana? 11. Apakah PJAS masih jadi priorotas setelah tahun 2014?

12. Bagaimana pecapaian IKU ? Apakah ini sudah menggambarkan keberhasilan dalam capaian tujuan (kemandirian komunitas sekolah).

13. Apakah semua strategi dalam aksi Nasional PJAs ini bisa terlaksana semua? Tambahan untuk staf / pelaksana

14. Bagaimana pelaporan? Apakah rutin dan kemana? Bagaimana yang dari daerah?

15. Bagaimana managerial pimpinan ( bagaimana hubungannya keluar dan hubungannya kedalam)


(4)

PEDOMAN WAWANCARA (intansi daerah)

1. Bagaimana pendapat bapak/ibu tentang keamanan dan gizi makanan jajajan anak sekolah saat ini?

2. Bagaimaa peranan institusi yang bapak/ibu pimpin dalam meningkatkan mutu dan kemanan PJAS ?

3. Bagaimana pendapat bapak/ibu tentang kebijakan program Aksi Nasional Gerakan menuju Pangan jajanan anak sekolah yang aman, bermutu dan bergizi?, bagaimana pelaksanaannya? Dan keterlibatan instansi bapak/ibu? 4. Bagaimana menurut bapak/ibu pelaksanaan Aksi Nasional PJAS? Apa yang

menjadi penghambat ataupun yang mendukung pelaksanaannya

5. Bagaimana menurut bapak/ibu, apakah intervensi (A, B dan C) yang dilakukan dapat mencapai tujuan yang diharapkan?

6. Bagaimana menurut bapak/ibu, apakah ini bisa diterima / dilaksanakan disekolah, ? perilaku seperti apa yang harusnya dirubah?

7. Bagaimana kerjasama dengan instansi lain / pengorganisasiannya?

8. Apakah dalam pelaksanaan Aksi Nasional PJAS ada perintah atau petunjuk dari atasan, misalnya dinas propinsi, ataupun pusat ataupun dari pemerintah daerah? Bagaimana perintahnya?

9. Bagaimana penganggarannya? Pengalokasiannya? Apakah ada bantuan dari instansi atau pihak lain terkait Aksi Nasional PJAS ini?

10. Bagaimana menurut pendapat bapak/ibu, apakah program aksi nasional PJAS ini bisa dilaksanakan untuk semua sekolah dasar, khususnya di kota Batam ini.? (terkait kondisi ekonomi, sosial dan politik).

11. Bagaimana menurut bapak tentang peranan dari pihak luar seperti LSM dll? 12. Program ini akan berakhir tahun ini, bagaimana menurut pendapat bapak/ibu

setelah ini, terkait dengan pelaksanaan pengawasan makanan anak sekolah. 13. Bagaiamana pendapat bapak/ibu, kalau untuk pngawasan PJAS ini dibuat


(5)

PEDOMAN WAWANCARA (sekolah)

1. Bagaimana pendapat bapak/ibu tentang kemanan pangan jajajan anak sekolah saat ini?

2. Apa usaha yang sudah dan akan dilakukan pihak sekolah terhadap permasalahan ini?

3. Apakah bapak pernah mendenganr program Aksi Nasional Gerakan menuju Pangan jajanan anak sekolah yang aman, bermutu dan bergizi?, bagaimana keterlibatan instansi bapak/ibu?

4. Apa yang bapak ketahui dari program aksi nasional PJAS tersebut?

5. Pada tahun-tahun lalu, sekolah bapak/ibu telah diikutkan kegiatan Aksi NAsional PJAS dengan intervensi A ( dapat penyuluhan, bahan bahan promosi, pengujian PJAS dan bimtek kantin sekolah), Apa manfaat yang didapatkan? Apa ada erjadi peningkatan setelah diintrvensi?

6. Siapa yang ditugaslkan untuk melakukan pembinaan dan pengawsan terhadap kantin sekolah? (sebagai ketua dari tim kemanan pangan sekolah) 7. Bagaimana kesiapan SDM ybs dalam menerima tugas tersebut?

8. Menurut bapak, bagaimana SDM yang bapak miliki untuk membina kemanan pangan di sekolah? Apakah sudah memiliki keterampilan, atau masih perlu dilatih? Dalam bidang apa?

9. Apakah dalam melaksanakan tugas, staf yang ditugaskan diberi kewenangan penuh dan dilengkai SK (surat keputusan)?

10. Bagaimana tugas dari tim kemanan pangan sekolah tersebut? 11. Bagaimana penganggaran untuk kegiatan tersebut?

12. Apakah bapak/ibu pernah mendapat pembinaan ataupun pedoman dari pelaksanaan kegiatan Aksi Nasional PJAS itu ? Bagaimana koordinasi dengan lintas sector

13. Apa kendala dalam melaksanakan program Aksi Nasional PJAS ini, mengapa?

14. Bagaiamana pendapat bapak/ibu, kalau untuk pngawasan PJAS ini dibuat dalam bentuk Perda?


(6)

PEDOMAN WAWANCARA (Bappeda)

1. Bagaimana kesiapan bappeda dalam upaya meningkatkan kemanan dan mutu gizi makanan jajanan anak sekolah ?

2. Bagaimana pelaksanaan RAD-PG? apakah Bappeda kota Batam ikut terlibat?, sejauh mana keterlibatannya?

3. Bagaimana penganggaran yang dilakukan bappeda dalam melaksanakan RAD PG tersebut.?, sejak kapan penganggaran tersebut dimulai.?

4. Apakah ada kendala dalam pelaksanaan RAD-PG ?

5. Bagaimana pengalokasian dana untuk RAD-PG di kota batam?

6. Bagaimana pendapat bapak dengan kegiatan untuk meningkatkan kemandirian sekolah dalam mengawasi PJAS di sekolahnya.

7. Apakah dalam penyusunan RAD-PG, khususnya di kelompok kerja III , ada permintaan dari pusat atau propinsi? Bagaimana intervensinya?