Universitas Sumatera Utara
sebagai suatu sarana untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat, khususnya
masyarakat di gereja. 4
Parluhutan Hutauruk The Reliquinsing Style: Melalui tindakan atau
sikap yang ditunjukkan, Bapak Parluhutan mencoba mengkomunikasikan apa yang
menjadi tujuannya kepada masyarakat. Tindakan akan lebih efektif bagi beliau untuk
menyampaikan kepada masyarakat dan mendapatkan hasil yang lebih konkret dan
nyata baginya.
Tabel 4.8 Gaya Komunikasi yang Digunakan Opinion Leader di Desa
Hutauruk
4.2.7 Masalah Dalam Masyarakat Desa Hutauruk dan Peran Opinion Leader
Sesuai dengan tujuan penelitian ini, maka peneliti mencoba untuk mengamati permasalahan yang muncul saat ini di dalam masyarakat, akibat, dan
peran opinion leader dalam mengatasi permasalahan tersebut. Untuk mengetahui masalah-masalah yang ada dan terdapat di dalam masyarakat, maka peneliti disini
mewawancarai informan tambahan dan infroman utama.
Informan Tambahan I
Nama : Lisme Manalu
Usia : 52 Tahun
Pekerjaan : Bertani
Ketika peneliti ingin menemui masyarakat dan bertanya kepada masyarakat, peneliti melihat ada seorang petani yang sedang beristirahat dari aktivitasnya
menanam padi untuk makan. Peneliti kemudian langsung berbincang dengan beliau dan berusaha mendekatkan diri untuk mengungkapkan maksud dan tujuan
dari penelitian ini. Pada awalnya, tidak mudah untuk meyakinkan beliau bahwa
Universitas Sumatera Utara
peneliti murni ingin mewawancarai beliau karena kepentingan penelitian skripsi. Namun, pada akhirnya peneliti pun berhasil meyakinkan beliau bahwa peneliti
ingin mewawancarai karena kepentingan skripsi. Pertama kali peneliti berbasa-basi kepada beliau dan bercerita mengenai
kondisi keluarganya. Beliau memiliki empat anak dan suami yang bekerja sebagai buruh bangunan. Beliau mengaku bahwa gaji yang dihasilkan oleh suaminya
kurang mencukupi untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari, sehingga membuatnya harus mencari pekerjaan lain untuk menambah penghasilan di
rumah. Ibu Lisme merupakan salah satu masyarakat Desa Hutauruk yang telah tinggal di dalam desa tersebut sejak lahir. Peneliti kemudian bertanya tentang
interaksinya dengan masyarakat di sekitarnya atau pun tetangga-tetangganya. Beliau kemudian menceritakan bahwa Ibu Lisme termasuk orang yang jarang
berinteraksi dengan tetangganya dengan alasan bahwa beliau sibuk bekerja dan selain itu beliau juga kurang menyukai karakteristik tetangga-tetangganya,
khususnya Ibu-Ibu yang sering bergosip ketika berkumpul. Beliau mengatakan akan mencari dan berinteraksi dengan orang-orang yang sama atau sependapat
dengan beliau, yang ketika berkumpul dan mengobrol tentang hal-hal yang berguna dan tidak menjelek-jelekkan. Hal ini juga yang membuat Ibu Lisme
hanya berinteraksi dengan orang-orang tertentu saja setiap harinya, salah satunya rekan-rekannya pada saat bertani.
Peneliti kemudian bertanya tentang seberapa sering beliau mengkonsumsi media massa, seperti televisi atau koran. Beliau mengatakan sangat jarang
mengkonsumsi media karena kesibukannya, sehingga beliau mengatakan kalau memperoleh informasi dari teman-temannya mengobrol. Peneliti juga
menanyakan jikalau ada gotong royong atau hal-hal yang menuntut kebersamaaan, baik itu membersihkan parit, membangun tanggul, atau
membangun bendungan, apakah Ibu Lisme bersedia untuk ikut. Beliau menjawab biasanya kalau kegiatan seperti itu kebanyakan pihak laki-laki yang berperan di
dalamnya, sehingga mereka hanya di rumah dan mengurus anak saja. Beliau juga mengatakan ketakutan kalau terlalu aktif dan banyak berinteraksi dengan kaum
laki-laki selain suaminya, maka akan dianggap miring oleh orang lain. “Kalau aku disini yah kerjaannya di sawah aja terus. Pergi pagi dari rumah,
pulang udah sore, capek, kalau negor tetangga ya ditegor tapi sekedarnya
Universitas Sumatera Utara
aja. Mereka kadang ada yang pengen seharian ngobrol karena gak ada kerjaan, kalau kita kek gini yah mana bisa, waktu setengah hari tersita untuk
ngurus sawah dan keluarga dek. Lagian, kalau mau ngobrol dan ngumpul- ngumpul liat orangnya juga lah, ada kadang yang bergosip aja kerjaannya.
Aku paling malas kalau kek gitu, ngapain ngomongin orang, mending ngobrol tentang kerjaan, paling sama kawan-kawanku yang di sawah inilah kami jadi
dekat. Terus kalo soal nonton tv atau baca koran, aduh jarang itu kuliat soalnya udah capek kerja, sampe rumah pun langsung masak, jadinya
kecapean, langsung istirahat. Kalau dapat informasi baru dari suami atau kawan-kawan disinilah. Masalah yang adek bilang tadi gotong royong atau
kegiatan-kegiatan lain, biasanya itu suami-suami kami aja. Kalo kami kerjaannya ngurusin rumah aja. Lagian kalo ikut yang kek gitu, nanti gak
enak sama omongan dan anggapan orang, karena kita kan pasti banyak ngomong sama orang, termasuk laki-laki yang bukan suami saya. Makanya,
jarang ikut kegiatan kayak itu. Palingan ikut musyawarah desa ajalah kami ini, itupun kan suami ikut jadi ga mikir aneh-aneh orang.”
Peneliti pun kemudian bertanya apakah Ibu Lisme mengenal empat opinion leader tersebut. Beliau ternyata hanya mengenal tiga orang saja, yaitu Bapak
Manimbul Hutauruk, Bapak St. Amser Hutauruk, dan Bapak Parluhutan Hutauruk. Ibu Lisme mengatakan tidak mengenal Bapak Torang Hutauruk dan
belum pernah berbincang dengan beliau. Sementara, beliau mengaku Bapak Manimbul Hutauruk merupakan orang yang paling sering berbincang dengannya.
Namun, Ibu Lisme juga mengatakan kalau dia kurang merasa enak jika kebanyakan mengobrol dengan opinion leader tersebut dikarenakan ingin
menjaga anggapan orang yang takut dibilang “kegenitan”. Ibu Lisme juga mengatakan kalau beliau jarang sekali datang menemui tiga opinion leader
tersebut dan berbicara atau berdiskusi ataupun sekedar bertanya pendapat dan nasehat kepadanya. Ketika peneliti bertanya kepada siapa biasanya Ibu Lisme
meminta pendapat atau nasehat, maka beliau menjawab lebih banyak kepada suaminya.
Peneliti pun bertanya apakah beliau setuju terhadap pembangunan yang ada di desa, dalam bidang apapun itu, termasuk pembuatan pabrik-pabrik. Beliau
menjawab sesungguhnya beliau setuju terhadap suatu pembangunan, namun beliau mengeluhkan tidak adanya atau jarang informasi mengenai pembangunan
tersebut. Peneliti pun kembali menanyakan Ibu Lisme, jika disuruh memilih lebih baik dibangun sebuah pabrik dimana beliau bisa bekerja atau diberikan bantuan
berupa dana, Ibu Lisme kemudian menjawab lebih baik diberikan bantuan berupa
Universitas Sumatera Utara
dana, karena menurutnya itu lebih baik dan efektif dibanding dibuat pembangunan.
Dari pengamatan dan hasil wawancara peneliti, ditemukan sebuah kondisi dimana Ibu Lisme dalam berinteraksi dan berusaha untuk mencari sebuah
informasi kepada opinion leader atau pun ketika opinion leader yang datang kepadanya untuk memberikan informasi atau berusaha untuk mempersuasinya,
maka beliau mengartikan tindakan tersebut sebagai sebuah interaksi yang akan menimbulkan persepsi yang buruk dalam pikiran masyarakat yang lain. Oleh
karena itu, komunikasi yang terjalin antara Ibu Lisme dengan opinion leader dapat dilihat sangat jarang atau renggang. Partisipasi Ibu Lisme dalam kegiatan
bersamaa di desa juga cenderung kurang dan baginya pembangunan tidak begitu penting di desa.
Peneliti juga menanyakan seberapa besar peran tiga orang yang diketahuinya sebagai opinion leader tersebut. Ibu Lisme pun menjawab bahwa ketiga orang
tersebut biasa-biasa saja dalam keseharian, hanya saja memang kalau ingin meminta saran atau pendapat, maka tiga orang ini akan dicari dan ditemui oleh
masyarakat setempat. Ibu Lisme mengatakan jika ketiga opinion leader tersebut tidak terlalu aktif dalam masyarakat.
“Saya hanya kenal tiga orang saja, Manimbul, Torang, sama Parluhutan. Iya, mereka memang terkenal kok disini. Soalnya dulu mereka memang termasuk
yang berpengaruh disini. Mereka juga udah lama di desa ini, dan merupakan orang yang dipandang lah disini karena pintar, sering ikut kegiatan, kek-kek
gitu lah pokoknya dek. Kalo dilihat sekarang sih mereka biasa-biasa aja. Jarang mereka ada menggerakkan masyarakat, kasih tau informasi ke
masyarakat itu jarang udah sekarang.”
Peneliti juga bertanya kepada Ibu Lisme mengapa di awal tadi beliau sempat menolak peneliti untuk mewawancarai beliau. Beliau kemudian mengungkapkan
alasan bahwa beliau pernah berbuat baik ketika ada orang yang datang kepadanya kemudian meminjam Kartu Tanda Penduduknya KTP, ketika beliau
memberikannya ternyata KTP yang diberikan Ibu Lisme digunakan sebagai jaminan orang tersebut untuk membeli motor. Ibu Lisme ditipu oleh orang
tersebut yang saat ini sudah lama pergi dari desa tersebut. Ternyata hal tersebut membuat beliau juga tergolong orang yang kurang ramah dan kurang berinteraksi
dengan orang lain di sekitarnya sekalipun.
Universitas Sumatera Utara
Informan Tambahan II
Nama : Dewi Hutauruk
Usia : 30 Tahun
Pekerjaan : Petani
Setelah selesai mewawancarai Informan Tambahan I, peneliti kemudian juga melihat ada seorang Ibu yang sedang bertani. Sembari menemani beliau menanam
padi, peneliti pun meminta ijin agar dapat mewawancarai beliau. Peneliti juga mengungkapkan maksud dan tujuan peneliti untuk kepentingan skripsi. Beliau
kemudian menyetujui untuk diwawancarai. Peneliti kemudian memulai dengan pertanyaan awal mengenai kehidupan dan berapa lama beliau telah tinggal di
desa.Ibu Dewi kemudian menjawab bahwa beliau telah tinggal sejak lahir di desa tersebut. Ibu Dewi merupakan Ibu dari tiga anak yang saat ini anak-anak beliau
amsih bersekolah. Suami Ibu Dewi juga merupakan buruh pabrik yang penghasilannya kurang mencukupi kebutuhan keluarganya, sehingga membuat
beliau menjalani pekerjaan tambahan sebagai petani. Sama juga hal nya seperti Ibu Lisme, Ibu Dewi juga mengatakan bahwa beliau jarang sekali berinteraksi
dengan tetangga dan lingkungan sekitarnya. Alasan Ibu Dewi pun hampir sama dengan Ibu Lisme, bahwa Ibu Dewi
terlalu sibuk untuk mengobrol dan berbincang dengan tetangga. Interaksi yang dilakukannya pun hanya sekedar menyapa jika bertemu di jalan. Kesibukannya
bekerja yang menyebabkan hampir sebagian waktunya tersita sehingga membuat beliau sangat jarang untuk berinteraksi dengan sesama bahkan tetangganya
sendiri. Namun, Ibu Dewi mengatakan tidak mengalami hambatan dalam berinteraksi, biasanya orang-orang di desa banyak berinteraksi atau berbincang di
acara pesta adat, seperti pernikahan atau pun kematian. “Kalo aku udah tinggal di desa ini sejak lahir, dek. Jadi udah 30 tahun disini.
Aku punya tiga anak, suami kerja buruh bangunan, gajinya gak cukup buat makan dan perlengkapan lain jadi aku harus lah cari-cari tambahan lain. Yah
satu-satunya jalan bertani lah. Kalo soal interaksi, aku jarang ngobrol- ngobrol sama tetangga disini. Palingan negor, nyapa ‘hai’ aja. Kalo mau
ngobrol lama yah di acara pesta-pesta biasanya. Kalo sehari-hari udah
Universitas Sumatera Utara
jarang sekarang, apalagi kalo gotong royong itu. Udah jarang sekarang, orang pun pasti banyak gamau. Gak tau kenapa banyakan gak mau, tapi kalo
aku juga gak mau karena sibuk bertani.”
Peneliti kemudian bertanya tentang apakah Ibu Dewi mengenal semua opinion leader yang ada di desa tersebut, beliau menjawab hanya mengenal Bapak
Manimbul Hutauruk dari empat orang opinion leader tersebut. Peneliti kemudian mencari tahu bagaimana hubungan beliau dengan Bapak Manimbul. Beliau
menceritakan kalau Bapak Manimbul merupakan sosok yang cukup dipandang di desa ini. Jika ada pendatang yang bingung dan ingin mengetahui tentang desa ini,
maka beliau adalah tempat yang tepat untuk ditanya. Tidak hanya itu, Bapak Manimbul juga merupakan seseorang yang aktif dalam berbagai kegiatan adat dan
selalu dijadikan sebagai parhata. Parhata merupakan orang yang menjadi juru bicara dalam setiap acara adat, khususnya pernikahan. Dialah orang yang menjadi
penengah di antara kedua pihak yang hendak menikah. Keputusan tentang harga sinamot, tempat penyelenggaraan acara, sampai memberi nasihat bagaimana
seharusnya suatu adat itu berlangsung merupakan beberapa dari tugas seorang parhata.
Ibu Dewi juga mengatakan jika Bapak Manimbul pada saat dulu memang merupakan sosok yang bisa menjadi penengah dalam berbagai masalah. Misalnya,
pembangunan jalan di tanah ulayat, Bapak Manimbul lah yang menjadi penengah antara pemerintah daerah dan masyarakat. Namun, Ibu Dewi juga mengatakan
kalau saat ini Bapak Manimbul sudah termasuk jarang dalam menjalankan perannya sebagai opinion leader. Saat ini Ibu Dewi juga mengeluhkan kalau
informasi yang penting sekalipun jarang dalam penyampaian kepada masyarakat, pemerintah daerah sekalipun. Peneliti kemudian bertanya tentang pentingnya
pembangunan bagi Ibu Dewi, tetapi dari jawaban beliau tampak kalau Ibu Dewi kurang setuju terhadap pembangunan di desa. Beliau menekankan bahwa lebih
baik diberikan bantuan tunai ketimbang dilaksanakan pembangunan, seperti pembangunan sekolah, pabrik, dan lain sebagainya.
“Aku cuma kenal Bapak Manimbul dek. Dia udah lama di desa ini. aktif kalo ikut-ikut acara adat. Dia juga sering dipanggil buat jadi parhata disini.
Pokoknya mau tau tentang adat ke dia aja nanya dek, dia ngerti tata cara proses pernikahan, proses pemakaman kekmana. Pasti dia tau. Banyak juga
yang biasanya nanya ke dia. Dia juga sering aktif di gereja katolik. Bapak
Universitas Sumatera Utara
Manimbul itu udah lama di kampung ini memang dek. Kalo sekarang memang ga sepenting dulu dia di masyarakat, kalo dulu apa-apa nanya ke dia, kalo
sekarang engga. Paling minta nasehat aja ke dia. Buktinya, info apapun aku gak tau, aku Cuma taunya yah sawah, rumah, anak, dek. Masalah
pembangunan, ini kalo misalnya dibangun pabrik atau sekolah, atau apa gitu lah kan, aku keknya kurang setuju dek. Lebih bagus dikasih bantuan dana
tunai daripada dibangun-bangun kek gitu. Nanti aku juga gabisa kerja disitu buat apa dek.”
Informan Tambahan III
Nama : Lenny Simorangkir
Usia : 35 Tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Informan ketiga yang peneliti wawancarai adalah Ibu Lenny. Ibu Lenny membuka usaha warung kecil-kecilan di Desa Hutauruk. Ibu Lenny baru satu
tahun tinggal di Desa Hutauruk bersamaa satu orang anak dan suaminya. Peneliti pun kemudian langsung bertanya tentang seberapa sering Ibu lenny berinteraksi
dengan tetangga dan masyarakat sekitarnya. Beliau kemudian menjawab bahwa interaksi yang dilakukannya dnegan tetangga dan masyarakat di Desa Hutauruk
tergolong sering. Peneliti melihat Ibu Lenny melakukan interaksi yang intens dikarenakan baru pindah ke desa tersebut. Sebelumnya, Ibu lenny dan
keluarganya berasal dari Siantar, namun karena kondisi keuangan yang mengharuskan Ibu Lenny pindah, akhirnya mereka memutuskan untuk pindah ke
Desa Hutauruk karena ada orang tua dari suami Ibu Lenny di desa tersebut. Peneliti pun kemudian bertanya apakah Ibu Lenny mengetahui empat orang
opinion leader tersebut. Ternyata beliau mengenal empat orang opinion leader tersebut. Ibu Lenny pun kemudian menceritakan tentang pertama kali dia beserta
keluarganya pindah ke desa tersebut, Ibu Lenny mengaku banyak bertanya tentang desa ini dan bagaimana dapat bersosialisasi di desa ini melalui Bapak Manimbul,
Bapak Torang, Bapak Amser, dan Bapak Parluhutan. Namun, diakui Ibu Lenny bahwa dari keempat opinion leader tersebut yang paling sering beliau minta
Universitas Sumatera Utara
pendapat atau nasehatnya adalah Bapak Manimbul Hutauruk. Ibu Lenny mengatakan bahwa Bapak Torang, Bapak Amser, dan Bapak Parluhutan sangat
susah untuk ditemui karena sering sekali berada di luar. Oleh karena itu, Ibu Lenny mengatakan kalau Bapak Manimbul lah yang sering dimintainya pendapat
pada saat berbincang. Peneliti kemudian bertanya tentang pendapat Ibu Lenny tentang bagaimana interaksi masyarakat di Desa Hutauruk. beliau menjawab
bahwa memang interaksi masyarakat di Desa Hutauruk termasuk renggang. “Saya sama keluarga tinggal disini baru setahun, dek. Pindah dari Siantar
kesini karena kondisi keuangan ga memungkinkan lagi tinggal disana yah pindah disini lah. Keluarganya suami saya disini soalnya, makanya ke Desa
Hutauruk. Berhubung kami kan pendatang baru, jadi kami harus sering- sering mengakrabkan diri lah sama tetangga dan orang-orang disini, dek.
Biar kami juga diterima. Sama empat orang itu saya kenal sih dek, kemaren pas pertama kali pindah kesini, banyak nanyanya disuruh ke mereka karena
katanya mereka lebih pengalaman dan lebih lama di desa ini. saya tanyain ke mereka berempat, tapi paling seringnya sama Pak Manimbul aja. Soalnya
yang Pak Torang, Pak Amser, sama Pak Manimbul seringan ga bisa dijumpai. Makanya banyak tanya ke Pak Manimbul. Saya kurang paham dan kurang tau
apa yang udah mereka lakuin di desa ini dulu, tapi menurut saya, mereka memang cocok dijadiin yang dituakan, karena pendapat mereka memang
berpengaruh, bijaksana lagi mereka berempat. Saya setuju kalau ada pembangunan di desa ini. kan supaya bisa memajukan desa ini juga makanya
bagus kalo ada pembangunan, entah pabrik, sekolah, gitu-gitu dek.”
Informan Tambahan IV
Nama : D. Situmorang
Usia : 35 Tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Bapak D. Situmorang merupakan informan keempat penelitian ini. Bapak D. Situmorang juga membuka usaha warung dirumahnya. Bapak D. Situmorang baru
dua tahun tinggal di Desa Hutauruk tersebut. Sebelumnya beliau tinggal di Medan, namun karena isterinya meminta untuk pindah, maka mereka pindah ke
Desa Hutauruk. Peneliti pun bertanya apakah Bapak D. Situmorang sering melakukan interaksi dengan masyarakat di sekitar Desa Hutauruk, beliau
menjawab kalau jarang sekali berinteraksi dengan masyarakat di Desa Hutauruk. Menurut pendapatnya, interaksi masyarakat di Desa Hutauruk sangat kurang dan
Universitas Sumatera Utara
cenderung tidak peduli antara satu dengan lainnya. Jika pun menegur, hanya menegur seadanya.
Kemudian, peneliti juga bertanya apakah mengenal empat opinion leader yang ada, tetapi tidak ada satu pun yang beliau kenal. Bapak D. Situmorang
mengatakan kalau tidak ada satu orang pun dari keempat opinion leader ini yang dikenalnya. Ketika peneliti mencari tahu lebih dalam lagi, peneliti tidak pernah
berbincang atau mengobrol dengan sosok opinion leader tersebut. Setelah itu, peneliti bertanya apakah Bapak D.Situmorang setuju terhadap adanya
pembangunan di desa tersebut, justru itu akan membuat kemajuan desa ini lebih cepat dibanding sebelumnya.
“Saya tinggal baru dua tahun di desa ini. saya termasuk tipe yang kurang dalam berinteraksi dengan masyarakat sekitar, yah menegur seadanya, kalau
mau mengobrol biasanya ketemu di pesta-pesta adat saja. Saya juga menilai kalau masyarakat disini cenderung cuek, jadi kalau mau interaksi pun
ngobrol, kayak orang desa pada umumnya susah. Bicara soal empat orang tadi, saya gak kenal sama mereka. Saya gak tau
siapa mereka. Kalau saya butuh informasi atau hal-hal tertentu yang ingin saya tanyakan, yah biasanya saya nonton TV, kalau engga nanya ke tetangga
sebelah aja dulu, kalau dia gak tau, saya tanya lagi ke orang lain. Biasanya pasti dapat itu. Saya juga setuju kalau ada pembangunan di desa ini. itu akan
memeprcepat kemajuan desa. Kalau disuruh memilih diberi bantuan berupa dana atau pembangunan kayak pabrik, sekolah-sekolah, yah saya lebih pilih
pembangunan banding bantuan dana. Lagian manfaat jangka panjangnya lebih menguntungkan kalo dibuat pembangunan.”
Informan Tambahan V
Nama : H.Hutauruk
Usia : 68 Tahun
Pekerjaan : Pensiunan Guru
Bapak H.Hutauruk merupakan informan tambahan kelima yang peneliti wawancarai dan amati. Bapak H.Hutauruk merupakan pensiunan guru yang
sebelumnya mengajar di Medan. Setelah pensiun, beliau kemudian pulang ke kampung halaman. Beliau baru empat tahun tinggal di Desa Hutauruk. Peneliti
kemudian bertanya bagaimana interaksinya dengan masyarakat di sekitarnya dan bagaimana pendapatnya mengenai interaksi yang ada di dalam masyarakat saat
ini, beliau menjelaskan kalau beliau sering berinteraksi dengan masyarakat dan tetangga. Dalam pandangan beliau juga bahwa interaksi masyarakat di Desa
Universitas Sumatera Utara
kurang. Bahkan, pernah ada kegiatan gotong royong dan itu pada akhirnya dibatalkan karena kurangnya partisipasi masyarakat didalamnya. Beliau juga
mengenal dengan baik keempat opinion leader tersebut. Berdasarkan penuturan beliau, keempat opinion leader tersebut memiliki reputasi atau citra yang baik di
masyarakat, memiliki pikiran yang terbuka, dan pendapat-pendapat mereka sangat dihargai oleh masyarakat. Terkhusus, opinion leader yang bergerak dalam bidang
keagamaan. Di dalam Desa Hutauruk, agama merupakan satu-satunya pemersatu masyarakat di desa tersebut.
Beliau juga menjelaskan bahwa pembangunan sangat diperlukan di dalam desa guna untuk memajukan masyarakat dan juga desa. Beliau sangat terbuka
terhadap pembangunan, apapun itu, di dalam desa. Menurut Bapak H. Hutauruk, pembangunan yang ada di desa harus didukung melalui partisipasi masyarakat
didalamnya, sehingga dalam hal ini sangat perlu dan penting partisipasi masyarakat.
“Saya baru empat tahun disini, namun saya memang sebelumnya lahir disini. Saya dan istri pindah karena ingin menikmati masa pensiun disini, ganti
suasana dulu. Saya termasuk sering berinteraksi dengan masyarakat dan orang-orang di sekitar sini. Menurut saya, interaksi masyarakat disini
cenderung renggang, engga kayak dulu lah pokoknya. Bahkan diajak gotong royong pun sekarang ini susah, banyak yang gak mau. Saya juga kenal
dengan empat orang yang kamu sebutkan tadi. Mereka bisa dibilang sebagai orang yang dituakan lah di desa ini. pendapat mereka memang cukup
berpengaruh di desa ini, khususnya si Amser. Biasanya gereja merupakan perekat atau pemersatu masyarakat di desa ini. oleh karena itu, saya bilang
empat orang tersebut sangat berpengaruh di masyarakat. Saya sangat setuju terhadap adanya pembangunan yang ada di desa ini. itu
yang akan membuat desa ini maju, sehingga bisa bersaing dengan jaman yang saat ini pun sudah maju. Menurut saya, pembangunan yang ada sangat
lambat baik dalam bidang apapun itu, karena faktor adat yang sifatnya monoton sehingga menghambat adanya perubahan yang terjadi secara
dinamis dan cepat. Selain itu, perbedaan pendapat yang ada di desa ini pun membuat pembangunan tersebut berjalan lambat.”
Dari hasil wawancara dan pengamatan yang peneliti lakukan, maka dapat dilihat bahwa masalah yang terjadi di dalam masyarakat Desa Hutauruk, yaitu :
1. Interaksi Masyarakat Renggang
2. Pembangunan Lambat
Universitas Sumatera Utara
Dari Informan Tambahan I sampai V, semuanya memiliki kesamaan dalam memandang bahwa interaksi dalam masyarakat merupakan sebuah permasalahan
yang terjadi dalam masyarakat saat ini. Masyarakat cenderung individualis dan kurang mementingkan kepentingan bersamaa. Interaksi masyarakat baru terjadi
secara akrab jika ada acara pesta adat. Hal ini terlihat ketika ada suatu upaya untuk mempersatukan masyarakat diluar kegiatan pesta adat, sangat sedikit
partisipasi masyarakat yang ikut. Disini peneliti berusaha melihat peran opinion leader dalam menggerakkan masyarakat akan pentingnya interaksi. Dari hasil
wawancara sebelumnya dengan para opinion leader, diungkapkan juga bagi mereka interaksi merupakan sebuah hal yang penting dalam sebuah hidup
bermasyarakat, khususnya di desa. Namun, peneliti melihat bahwa peran opinion leader disini kurang berperan dalam menggerakkan masyarakat. Mulai dari Bapak
Manimbul, ketika peneliti bertanya tentang bagaimana beliau akan berusaha untuk mengatasi masalah tersebut, beliau hanya menjawab semua itu hanya sebagai
akibat dari majunya teknologi yang ada di desa ini. Kemajuan yang masuk, membuat masyarakat tidak lagi mementingkan hubungan dengan sesamanya.
Namun, ada satu pernyataan yang diucapkan beliau dan menyiratkan kalau beliau mengharapkan adanya regenerasi dari kaum muda untuk menggantikan posisinya,
karena Bapak Manimbul merasa kalau orang sepertinya hanya dimintai pendapat saja, tetapi kaum muda lah yang seharusnya bergerak. Selanjutnya, Bapak Torang
Hutauruk, beliau merupakan pensiunan guru yang banyak menghabiskan waktunya di lapo tuak. Beliau mengatakan kalau masalah interaksi masyarakat
merupakan sebagai akibat majunya perkembangan teknologi yang ada saat ini. Hal tersebut yang membuat masyarakat menjadi masyarakat materi yang jika
ingin digerakkan harus ada imbalan. Beliau juga mengatakan sudah berupaya untuk mengubah pola pikir masyarakat di desa, khususnya melalui perkumpulan
Bapak-Bapak di lapo tuak. Ada beberapa yang tergugah pendapatnya dan sisanya tampak masih bertahan dengan pendapatnya, dan peneliti melihat Bapak Torang
hanya sebatas menasehati dan itu hanya sekali dan tidak pernah diulanginya kembali keesokan harinya. Kemudian, Bapak Amser, beliau menggunakan sarana
gereja untuk mengajak masyarakat turut aktif dalam berbagai kegiatan kebersamaaan. Tampak beliau aktif dalam mengajak kaum muda dan menekankan
Universitas Sumatera Utara
pentingnya kebersamaaan. Lalu, yang terakhir, Bapak Parluhutan, beliau merupakan yang paling aktif dan efektif dalam mengajak dan mengubah opini
masyarakat. Dengan berorientasi tindakan, beliau menyadarkan masyarakat kalau interaksi itu penting. Namun, Bapak Parluhutan juga hanya berusaha mengajak
aktif dan berinteraksi secara aktif bersamaa dengan masyarakat di lingkungan sekitarnya saja. Peneliti melihat, interaksi yang terjadi dalam masyarakat mulai
merenggang dikarenakan majunya teknologi dan globalisasi yang ada di desa tersebut. Hal tersebut melunturkan nilai adat yang selama ini mereka anut dan
percaya, dimana adat tersebut mementingkan kebersamaaan dibandingkan individu. Selain itu juga, globalisasi menyebabkan terjadinya persaingan ekonomi
di antara masyarakat desa, sementara lahan yang tersedia masih sangat terbatas. Inilah yang membuat masyarakat Desa Hutauruk menjadi masyarakat materi yang
cenderung mengejar materi dan sedikit mengabaikan nilai-nilai kebersamaaan yang selama ini dibangun. Sementara, opinion leader disini cenderung pasif,
sehingga sulit menggerakkan masyarakat di Desa Hutauruk. Pembangunan yang berjalan lambat juga merupakan permasalahan di dalam
masyarakat saat ini. Ada hal yang peneliti lihat dari hasil wawancara dan pengamatan yang dilakukan, bahwa masyarakat yang telah lama menetap di dalam
desa tersebut cenderung memberikan jawaban lebih memilih diberikan bantuan berupa dana dibanding dilakukan pembangunan di desa. Sementara, informan
tambahan yang masih beberapa tahun tinggal di desa dan yang sebelumnya berasal dari daerah lain cenderung setuju terhadap adanya pembangunan
dibanding bantuan dana. Keberagaman di dalam desa ternyata dibutuhkan dalam upaya memajukan desa tersebut. Banyaknya orang yang berasal dari luar daerah
tersebut akan membawa warna baru dalam pembangunan desa. Sejauh ini, peneliti juga mengamati hal yang sama terjadi pada opinion leader di desa tersebut.
Keempatnya memang setuju terhadap adanya pembangunan, namun tindakan mereka dan strategi mereka untuk mengajak masyarakat berpartisipasi dalam
masyarakat tersebut berbeda. Perbedaan paling mencolok dapat dilihat ketika kita membandingkan antara Bapak Manimbul, Bapak Torang, Bapak Amser dengan
Bapak Parluhutan. Tiga opinion leader pertama lebih banyak pasif dan ornag yang datang kepadanya. Sementara, Bapak Parluhutan cenderung aktif dengan
Universitas Sumatera Utara
mendatangi warga-warga rutin setiap hari hanya untuk mengobrol dengan mereka. Jika dilihat dari latar belakangnya, tiga orang opinion leader merupakan orang
yang sudah lama menetap di desa tersebut sejak lahir, sementara Bapak Parluhutan baru 10 tahun menetap di desa. Hal ini mengindikasikan bahwa warna
baru yang dibawa orang dari luar akan sangat berpengaruh di dalam kemajuan desa tersebut.
4.3 Pembahasan