yang merupakan hasil penggambaran maupun konseptualisasi acuan simbolik. Referensi dengan demikian merupakan gambaran hubungan antara tanda kebahasaan
berupa kata maupun kalimat dengan dunia acuan yang membuahkan satu pengertian tertentu.
Semiotika digunakan sebagai pendekatan untuk menganalisis media dengan asumsi bahwa media itu sendiri dikomunikasikan melalui seperangkat tanda. Teks
media yang tersusun atas seperangkat tanda itu tidak pernah membawa makna tunggal. Kenyataannya teks media memiliki ideologi atau kepentingan tertentu, memiliki
ideologi dominan yang terbentuk melalui tanda tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa teks media membawa kepentingan-kepentingan tertentu dan juga kesalahan-kesalahan
tertentu yang lebih luas dan kompleks Wibowo, 2013: 11. Semiotika memecah-mecah kandungan dalam teks menjadi bagian-bagian, dan
menghubungkan mereka dengan wacana-wacana yang lebih luas. Sebuah analisis semiotik menyediakan cara menghubungkan teks tertentu dengan sistem pesan di
mana dia beroperasi. Hal ini memberikan konteks intelektual pada isi. Ia mengulas cara-cara beragam unsur teks bekerja sama dan berinteraksi dengan pengetahuan
kultural kita untuk menghasilkan makna Stokes, 2007 : 77.
2.2.2. Semiologi Roland Barthes
Kancah penelitian semiotika tidak bisa begitu saja melepaskan nama Roland Barthes 1915-1980, ahli semiotika yang mengembangkan kajian yang sebelumnya
punya warna kental strukturalisme kepada semiotika teks Wibowo, 2013: 21. Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang
mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Barthes berpendapat bahwa bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari
suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Sobur, 2004: 63. Semiologi Roland Barthes mengacu pada Saussure dengan menyelidiki hubungan
penanda dan petanda pada sebuah tanda. Hubungan penanda dan petanda ini bukanlah
kesamaan equality, tetapi ekuivalen. Bukannya yang satu kemudian membawa pada yang lain, tetapi korelasilah yang meyatukan keduanya Hawkes, 1977: 130 dalam
Kurniawan, 2001 : 22 Barthes mendefenisikan sebuah tanda sign sebagai sebuah sistem yang terdiri
dari sebuah ekspresi atau signifier dalam hubungannya dengan content atau signified. Sebuah sistem tanda primer primary sign system dapat menjadi sebuah elemen dari
sebuah sistem tanda yang lebih lengkap dan memilki makna yang berbeda ketimbang semula. Primary sign disebut sebagai denotatif sedangkan secondary sign adalah salah
satu dari konotatif. Fiske menyebut model ini sebgai signifikasi dua tahap two order of signification. Lewat model ini Barthes menjelaskan bahwa signifikasi tahap
pertama merupakan hubungan antara signifier ekspresi dengan signified konten di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal Wibowo, 2013: 21.
Barthes menciptakan peta bagaimana tanda bekerja, berikut peta tanda Roland Barthes:
1. signifier penanda
2. signified petanda
3. denotative sign tanda denotatif 4. CONNOTATIVE SIGNIFIER
PENANDA KONOTATIF 5. CONNOTATIVE SIGNIFIED
PETANDA KONOTATIF
6. CONNOTATIVE SIGN TANDA KONOTATIF
Gambar 2.3 : Peta Tanda Roland Barthes
Sumber: Wibowo, Indiwan Seto Wahyu. 2013. Semiotika Komunikasi: Aplikasi Praktis bagi Penelitian dan Skripsi Komunikasi. Jakarta: Mitra Wacana Media, hlm. 22
Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif 3 terdiri atas penanda 1 dan petanda 2. Akan tetapi, pada saat yang bersamaan, tanda denotatif adalah juga
penanda konotatif 4. Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material. Sobur, 2004: 69.
Konotasi merupakan makna yang subjektif dan bekerja dalam tingkat subjektif sehingga kehadirannya tidak disadari. Pembaca mudah sekali membaca makna
konotatif sebagai fakta denotatif. Karena itu, salah satu tujuan analisis semiotika adalah untuk menyediakan metode analisis dan kerangka berpikir dan mengatasi
terjadinya salah baca misreading atau salah dalam mengartikan makna suatu tanda Wibowo, 2013: 22.
Pada dasarnya ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang dimengerti oleh Barthes. Dalam pengertian
umum denotasi dimengerti sebagai makna yang harafiah. Akan tetapi, di dalam semiologi Roland Barthes dan para pengikutnya, denotasi lebih diasosiasikan degan
ketertutupan makna dan dengan demikian sensor atau represi politis Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai mitos, dan
berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku di dalam suatu periode tertentu. Sobur, 2004: 70.
Signifikasi tahap kedua berhubungan dengan isi, yakni ketika tanda bekerja melalui mitos myth. Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau
memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas sosial yang sudah mempunyai dominasi Wibowo, 2013: 22. Mitos menurut
Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem tanda- penanda-petanda; tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki
petanda kedua dan membentuk tanda baru. Konstruksi penandaan pertama adalah bahasa, sedangkan konstruksi penandaan kedua merupakan mitos Kurniawan, 2001:
23.
Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca the reader. Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda,
membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran ke-dua yang
dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sobur, 2004: 69 Menurut Barthes, terdapat lima kode pokok yang beroperasi di dalam teks. Lima
kode pokok tersebut, diantaranya: Sobur, 2004: 65-66 1.
Kode hermeneutik atau kode teka- teki berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode
teka-teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa
teka-teki dan penyelesaiannya di dalam cerita.
2. Kode semik atau kode konotatif menawarkan banyak sisi. Dalam proses
pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata
atau frase yang mirip. Jika kita melihat suatu kumpulan satuan konotasi, kita menemukan suatu tema dalam cerita. Jika sejumlah konotasi melekat pada
suatu nama tertentu, kita akan mengenali suatu tokoh dengan atribut tertentu.
3. Kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas dan
bersifat struktural. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa makna berasal dari beberapa oposisi biner atau pembedaan-baik dalam taraf bunyi menjadi fonem
dalam proses produksi wicara, maupun pada taraf oposisi psikoseksual yang melalui proses.
4. Kode proaretik atau kode tindakanlakuan dianggap sebagai perlengkapan
utama teks yang dibaca orang, yang artinya antara lain semua teks bersifat naratif. Secara teoritis Barthes melihat semua lakuan dapat dikodifikasi. Pada
praktiknya ia menerapkan beberapa prinsip seleksi. Kita mengenal kode lakuan atau peristiwa karena kita dapat memahaminya.
5. Kode gnomic atau kode kultural merupakan acuan teks ke benda-benda yang
sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realisme tradisional didefenisi oleh acuan budaya apa yang telah diketahui. Rumusan
suatu budaya atau sub budaya adalah hal-hal kecil yang telah dikodifikasi yang di atasnya penulis bertumpu.
2.2.3. Televisi sebagai Representasi Budaya Massa