Pengolahan Data Citra METODOLOGI

Keterangan : C = nilai persentase penutupan lamun M i = nilai tengah kelas penutupan ke – i F i = Frekuensi munculnya kelas penutupan ke – i = Jumlah total frekuensi penutupan kelas

3.4. Pengolahan Data Citra

Proses pengolahan data citra menggunakan perangkat lunak Er Mapper 6.4 untuk melakukan proses klasifikasi dan ArcView 3.3 untuk menampilkan hasil klasifikasi. Tahapan-tahapan pengolahan data citra ditampilkan seperti pada Gambar 2. Pengolahan data citra terdiri dari beberapa tahap yaitu pengolahan awal dan proses klasifikasi. Pengolahan awal terdiri dari pemotongan daerah kajian, koreksi geometrik, koreksi radiometrik, dan menghilangkan nilai darat masking. Citra satelit Landsat yang telah diperoleh tidak sepenuhnya digunakan dalam analisis, untuk itu perlu adanya pemotongan citra yang membatasi daerah sesuai lokasi penelitian. Koreksi radiometrik bertujuan menghilangkan faktor-faktor yang menurunkan kualitas citra. Metode koreksi radiometrik yang digunakan adalah penyesuaian histrogram histogram adjustment. Respon spektral terendah pada setiap band pada metode ini bernilai nol, sehingga perlu dilakukan pengurangan nilai digital setiap piksel pada semua band sehingga nilai minimumnya sama. Klasifikasi merupakan suatu proses pengelompokan nilai pantulan dari setiap objek ke dalam kelas-kelas tertentu sehingga mudah dikenali. Penelitian ini menggunakan metode klasifikasi tak terbimbing unsupervised classification untuk mengklasifikasikan substrat dasar. Parameter statistik yang digunakan pada metode ini adalah jumlah kelas, standar deviasi dan jumlah ulangan dalam merata-ratakan kelas. Klasifikasi tak terbimbing mengelompokkan data dengan menganalisa kelas secara otomatis berdasarkan standar deviasi dan jumlah kelas, kemudian menghitung kembali rata-rata kelas tersebut sebanyak jumlah ulangan yang kita berikan. Klasifikasi citra dilakukan pada perangkat lunak Er Mapper 6.4 dengan membagi kelas sebanyak dua puluh kelas, menggunakan nilai standar deviasi tiga dan menggunakan lima ratus kali ulangan. Hasil klasifikasi yang didapatkan perlu dilakukan uji ketelitian atau validasi data, karena hasil uji ketelitian mempengaruhi besarnya tingkat kepercayaan pengguna terhadap hasil analisis data. Hal ini juga dilakukan untuk membuktikan kesesuaian antara klasifikasi citra dengan data lapangan yang didapatkan. Data uji akurasi disajikan pada Lampiran 3. Gambar 2. Diagram Alir Pengolahan Citra Perhitungan akurasi citra hasil klasifikasi dilakukan dengan membuat matriks kontingensi, yang juga disebut confusion matrix. Matriks ini didapat dengan cara membandingkan antara jumlah pixel hasil klasifikasi unsupervised …… 5 ……. 6 citra dengan data lapang ground truth. Menurut Congalton 1991 untuk menguji akurasi tiap kelas hasil klasifikasi dibutuhkan minimal lima puluh titik sampel untuk satu kelas. Akurasi lamun dan akurasi total dihitung dengan menggunakan rumus Congalton. 1991. 25

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Parameter Fisika-Kimia Air

Berdasarkan hasil pengukuran parameter fisika dan kimia air di perairan Pulau Panjang didapatkan hasil yang disajikan seperti pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil pengukuran parameter fisika dan kimia air di perairan Pulau Panjang Parameter Stasiun LIPI 2001 Stasiun I Stasiun II Stasiun III Suhu ⁰C 29,0 – 29,5 29,0 – 29,5 29,5 – 30,0 29,4 – 30,5 Salinitas ‰ 28,5 – 29,0 29,5 – 30,0 30,0 – 31,0 30,7 – 31,6 Kecerahan 100 100 100 Sangat Keruh Kedalaman m 0,38 – 1,0 0,6 – 1,3 0,4 – 1,5 Sedimen Pasir 50,16, Debu 28,62, Lempung 21,22 Pasir 98,22, Debu 1,78, Lempung 0 Pasir 98,41, Debu 5,19, Lempung 0 Lumpur Pasir Bag. Barat, Kerikil dan Lempung Bag. Timur TSS mgL 13 7 9 32 Suhu yang terukur selama penelitian cenderung homogen, hanya pada Stasiun III yang memiliki nilai yang relatif lebih tinggi karena diukur pada waktu siang hari. Menurut LIPI 2001 suhu perairan di Teluk Banten pada bulan Juni berkisar antara 29,4 o C – 30,5 o C. Hal ini tidak berbeda jauh dari hasil pengukuran lapang dan dapat disimpulkan bahwa perubahan suhu di daerah Teluk Banten belum memiliki perubahan yang cukup besar. Kisaran suhu seperti ini merupakan kondisi yang optimum bagi lamun untuk melakukan fotosintesis, karena suhu yang optimal bagi lamun untuk berfotosintesis menurut Marsh et al 1986 berkisar 25,0 o C – 30,0 ⁰C.