Gambar 6. Kerapatan rata-rata lamun Teluk Banten pada tahun 2000 Kiswara, 2004
Hal ini sangat berbeda dengan kondisi sekarang, diduga banyak disebabkan karena meningkatnya aktifitas penggerukan wilayah daratan pada kisaran tahun
1989 - 2002 sehingga meningkatnya nilai kekeruhan di perairan Yunus, 2008. Faktor lain yang diduga mempengaruhi adalah tingginya nilai padatan tersuspensi
yang masuk ke perairan yang mempengaruhi penetrasi cahaya yang masuk ke perairan dan juga perubahan struktur komposisi sedimen.
4.4. Persen Penutupan Lamun
Persen penutupan lamun menggambarkan luas daerah yang tertutupi oleh lamun. Mengukur persen penutupan lamun merupakan suatu metode untuk melihat
500 1000
1500 2000
2500 3000
status dan untuk mendeteksi perubahan dari sebuah vegetasi Humminga dan Duarte, 2000. Hasil persentase penutupan lamun di berbagai stasiun ditampilkan
seperti pada Gambar 7.
Gambar 7. Persen penutupan lamun
Persen penutupan lamun tertinggi berada pada Stasiun III sebesar 23,3 dan terendah pada Stasiun I sebesar 14,6. Tingginya persen penutupan lamun di
Stasiun III dipengaruhi oleh tingginya kerapatan jenis lamun di stasiun ini. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa, pada Stasiun III merupakan habitat yang ideal bagi
beberapa jenis lamun untuk tumbuh dan berkembang. Tingginya kerapatan jenis lamun Syringodium isoetifolium danCymodocea serrulata menjadi alasan mengapa
persen penutupan lamun di Stasiun III menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan Stasiun I dan Stasiun II.
14,6
17,8 23,3
Stasiun I Stasiun II
Stasiun III
4.5. Perubahan Luas Lamun
Berdasarkan hasil pengolahan citra didapatkan nilai perubahan luas lamun dari tahun 1990 sampai dengan 2010 yang tercantum pada Tabel 5.
Tabel 5. Perubahan luas lamun 1990
– 2010
Tahun Luas Lamun ha
Perubahan Luas ha Perubahan Luas
1990 67,0
- -
2000 54,3
-12,7 - 19,0
2005 31,4
-22,9 - 53,2
2010
24,2 -7,2
- 63,9
Hasil analisis citra memperlihatkan pengurangan luas padang lamun dari tahun ke tahun terus bertambah. Selama kurun waktu sepuluh tahun telah terjadi
pengurangan luas lamun sebesar 63,9 dari tahun 1990. Pengurangan terbesar terjadi pada selang waktu 2000 - 2005 dengan penurunan sekitar 22,9 ha.
Kerusakan padang lamun terus bertambah di daerah Teluk Banten pada selang waktu 1989
– 2002 akibat dari aktifitas penambangan batu alam, perataan bukit dan reklamasi pantai untuk dijadikan daerah industri dan pelabuhan Yunus, 2008.
Meningkatnya aktivitas tersebut mengakibatkan tingginya padatan tersuspensi yang terkandung di perairan, pada pengukuran TSS di wilayah barat Teluk Banten dan
Pulau Panjang pada tahun 2000 adalah 37,8 mgL dan 33,3 mgL LIPI, 2001 sedangkan data yang didapatkan dari hasil pengukuran pada tahun 2010 di daerah
yang sama adalah 9 mgL dan 30 mgL. Padatan tersuspensi mempengaruhi penetrasi cahaya yang masuk ke perairan
dan juga menutupi daun lamun. Tingginya padatan tersuspensi pada tahun 2000 merupakan indikasi penyebab banyaknya lamun yang hilang di daerah Teluk
Banten, khususnya di wilayah perairan Pulau Panjang yang berhadapan langsung
dengan daerah reklamasi. Hal yang serupa juga pernah terjadi di beberapa negara lain seperti Australia bagian selatan pada tahun 1990 dan Eropa Selatan akibat
tingginya materi tersuspensi yang masuk ke perairan karena sedimentasi yang dihasilkan oleh kegiatan industri dan pelabuhan Cambridge dan McComb, 1984.
Selain itu Peres dan Pickard 1975 dalam Hemminga dan Duarte 2000 melaporkan bahwa limbah dan sedimentasi merupakan faktor penting dalam
hilangnya Posidonia oceanica dari perairan pesisir laut Tengah Perancis. Masalah lain yang dapat menimbulkan hilangnya lamun akibat aktivitas
manusia adalah peletakan jangkar perahu, baling-baling motor, dan pemakaian alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Faktor alami yang turut mengancam
keberadaan lamun adalah bencana alam seperti tsunami dan badai, gelombang pantai, komunitas ikan, overgrazing oleh bulu babi, dan sedimentasi.
Pola perubahan luas tutupan padang lamun pada tahun 1990, 2000, 2005, dan 2010 ditampilkan seperti pada Gambar 8. Wilayah yang mengalami kehilangan
padang lamun terbanyak adalah di bagian barat dan timur Pulau Panjang. Hilangnya padang lamun di bagian barat Pulau Panjang diduga diakibatkan karena
aktifitas penambangan batu alam, perataan bukit dan reklamasi pantai untuk dijadikan daerah industri dan pelabuhan di bagian barat Teluk Banten Bojonegara.
Wilayah ini berhadapan langsung dengan bagian barat Pulau Panjang sehingga mengakibatkan tingginya padatan tersuspensi barat Pulau Panjang yang
berimplikasi terhadap berkurangnya penetrasi cahaya yang masuk ke perairan.
Gambar 8. Peta perubahan luas lamun di Pulau Panjang 38
U
Kehilangan lamun di wilayah timur Pulau Panjang diduga diakibatkan oleh arus dan padatan tersuspensi masukan dari limbah rumah tangga. Wilayah timur
Pulau Panjang berhadapan langsung dengan Laut Jawa sehingga rata-rata kecepatan arusnya relatif tinggi. Berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan oleh
LIPI 2001 kecepatan arus di wilayah ini berkisar 1,0 cmdet – 35 cmdet pada
bulan April dan 1,1 cmdet – 19,4 cmdet pada bulan Oktober sehingga sedimen
yang ditemukan pada bulan-bulan ini berupa kerikil, pasir dan pasir lanau. Pengukuran padatan terlarut TSS pada bagian tenggara Pulau Panjang adalah 28
mgL, tingginya nilai padatan terlarut ini diduga merupakan masukan dari limbah rumah tangga dan serasah mangrove. Perairan yang dangkal dan tingginya laju
sedimentasi akibat masukan dari darat dan serasah mangrove, menjadikan wilayah ini tersingkap pada saat terjadi air surut rendah.
4. 6. Uji Akurasi Citra Hasil Klasifikasi