6. Fekal inkontinensia non retensi yaitu aliran feses tidak sesuai tempat, terjadi pada anak usia empat tahun atau lebih tanpa ada
riwayat dan gejala klinis konstipasi. 7. Feses keras yaitu massa feses mengeras dan membatu pada
rektum atau abdomen yang tak dapat bergerak. Massa feses dapat terlihat dan dipalpasi di abdomen.
8. Disinergi pelvik yaitu ketidakmampuan pelvik relaksasi ketika defekasi.
2.5. Patofisiologi
Proses normal defekasi diawali dengan teregangnya dinding rektum. Regangan tersebut menimbulkan refleks relaksasi dari sfingter anus
interna yang akan direspon dengan kontraksi sfingter anus eksterna. Saat proses defekasi, sfingter anus eksterna dan muskulus puborektalis
mengadakan relaksasi sedemikian rupa sehingga sudut antara kanal anus dan rektum terbuka, membentuk jalan lurus bagi tinja untuk keluar melalui
anus. Kemudian dengan mengedan, yaitu meningkatnya tekanan abdomen dan kontraksi rektum, akan mendorong tinja keluar melalui
anus.
4,6
Pada posisi jongkok, sudut antara anus dan rektum ini akan menjadi lurus akibat fleksi maksimal dari paha. Hal ini akan memudahkan
proses defekasi dan tidak memerlukan tenaga mengedan yang kuat. Pada posisi duduk, sudut antara anus dan rektum ini menjadi tidak cukup lurus
sehingga membutuhkan tenaga mengedan yang lebih kuat. Akibat
Universitas Sumatera Utara
semakin kuat tenaga mengedan yang dibutuhkan, lama - kelamaan dapat menimbulkan kerusakan pada daerah rektoanal yang dapat menimbulkan
konstipasi dan hemorrhoid.
4,6
Gambar 2.1. Anatomi daerah anorektal
Keuntungan posisi jongkok dibandingkan posisi duduk yaitu:
15
1. Posisi jongkok memanfaatkan gravitasi di mana berat tubuh yang ditopang paha memudahkan kompresi kolon sehingga mengurangi
ketegangan saat defekasi. Defekasi menjadi lebih cepat, lebih mudah, dan lancar.
4,6
2. Posisi jongkok mencegah kontaminasi pada usus halus akibat kebocoran pada katup ileosekal
3. Posisi jongkok mengangkat kolon sigmoid untuk mengurangi kekakuan di pintu masuk rektum.
Universitas Sumatera Utara
4. Posisi jongkok melindungi saraf yang mengontrol prostat, kandung kemih, dan uterus.
2.6. Diagnosis Konstipasi
Pada umumnya, gejala klinis dari konstipasi adalah frekuensi defekasi kurang dari 3 kali per minggu, feses keras dan kesulitan untuk defekasi.
Anak sering menunjukkan perilaku tersendiri untuk menghindari proses defekasi. Pada bayi, nyeri ketika akan defekasi ditunjukkan dengan
menarik lengan dan menekan anus dan otot-otot bokong untuk mencegah pengeluaran feses. Balita menunjukkan perilaku menahan defekasi
dengan menaikkan ke atas ibu jari-ibu jari dan mengeraskan bokongnya. Sesuai dengan Kriteria Rome III, diagnosis konstipasi fungsional
berdasarkan beberapa kriteria sebagai berikut:
4
Kriteria diagnostik harus memenuhi dua atau lebih dari kriteria di bawah ini, dengan usia minimal 4 tahun:
16
1. Kurang atau sama dengan 2 kali defekasi per minggu. 2. Minimal satu episode inkontinensia per minggu.
3. Riwayat retensi tinja yang berlebihan. 4. Riwayat nyeri atau susah untuk defekasi.
5. Teraba massa fekal yang besar di rektum. 6. Riwayat tinja yang besar sampai dapat menghambat kloset.
Kriteria dipenuhi sedikitnya 1 kali dalam seminggu dan minimal terjadi 2 bulan sebelum diagnosis.
Universitas Sumatera Utara
2.7. Faktor risiko konstipasi