20
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Analisis Tanah
Hasil analisis sifat-sifat kimia dan fisik tanah awal Inceptisol disajikan pada Tabel 2 dan kriteria penilaian analisis sifat kimia tanah PPT 1983 yang
digunakan disajikan pada Tabel Lampiran 1. Tabel 2. Sifat Inceptisol yang digunakan sebagai media
Jenis Analisis Metode Alat
Analisis pH H2O
pH-meter 5,2
pH KCl 1 M pH-meter
4,77 C-organik
Walkey Black 1,27
N-total Kjeldahl
1,75 CN ratio
- 0,72
P tersedia ppm Bray I
5,17 Ca-dd cmol+kg
Perkolasi dengan amonium asetat 1 M pH 7 8,51
Mg-dd cmol+kg Perkolasi dengan amonium asetat 1 M pH 7
2,43 K-dd cmol+kg
Perkolasi dengan amonium asetat 1 M pH 7 0,19
Na-dd cmol+kg Perkolasi dengan amonium asetat 1 M pH 7
- Fe
AAS 1,18
P total Spektrofotometer
0,08
Berdasarkan Tabel 2, Inceptisol menunjukkan reaksi masam dengan nilai pH yaitu sebesar 5,2 serta memiliki kandungan C-organik yang tergolong rendah
yaitu sebesar 1,27 . Menurut Sanchez 1992, hal ini diduga karena tanah-tanah tersebut telah mengalami pencucian dan pelapukan lanjut serta
berada pada daerah dengan curah hujan dan suhu yang relatif tinggi sehingga lapisan yang kaya bahan organik hilang tererosi.
Kandungan N-total pada tanah ini tergolong sangat tinggi, hal ini diduga karena terjadinya mineralisasi unsur N yang tinggi
. Kandungan P-tersedia pada
tanah ini sangat rendah diduga karena pH tanahnya rendah. Pada tanah masam, P difiksasi oleh Al dan Fe membentuk senyawa Al-P dan Fe-P yang tidak larut.
Semakin rendah pH maka semakin tinggi jumlah konsentrasi ion Al, Fe, dan Mn yang dapat larut. Akibatnya semakin tinggi jumlah P yang diikat oleh Al dan Fe.
Nilai kandungan K dan Na pada tanah ini rendah karena adanya pencucian basa-basa yang relatif tinggi akibat adanya curah hujan yang tinggi.
Nilai kandungan Ca tergolong sedang, sedangkan nilai kandungan Mg tergolong tinggi.
4.2 Isolasi Bakteri Pelarut Fosfat dan Uji Kemampuan Pelarutan Fosfat
Hasil isolasi dan seleksi dari contoh tanah Inceptisol yang digunakan diperoleh sembilan isolat bakteri pelarut fosfat. Bakteri pelarut fosfat yang
diisolasi dari tanah Inceptisol Semplak diukur kemampuannya dalam melarutkan P dengan menggunakan media Pikovskaya padat uji kualitatif dan cair uji
kuantitatif. Tabel 3. Indeks Pelarutan P Bakteri Pelarut Fosfat Asal Tanah Inceptisol
Kode Bakteri Indeks Pelarutan IP P
Hari ke- 5 7
IS1 1,34 1,75
IS2 1,18 1,47
IS3 1,93 2,05
IS4 1,62 1,97
IS5 1,54 1,63
IS6 1,67 1,70
IS7 1,10 1,39
IS8 1,90 1,96
IS9 2,29 2,87
Tabel 4. Konsentrasi Pelarutan P Bakteri Pelarut Fosfat Asal Tanah Inceptisol pada Hari ke-5
Kode Bakteri ppm P
Kontrol tanpa bakteri 27,51
IS1 294,66 IS2 1128,26
IS3 725,99 IS4 392,39
IS5 585,05 IS6 334,65
IS7 354,68 IS8 640,04
IS9 1258,48
Berdasarkan uji kemampuan pelarutan fosfat secara kualitatif Tabel 3 dan kuantitatif Tabel 4, isolat bakteri IS9 memiliki kemampuan pelarutan fosfat
yang paling unggul dibandingkan dengan isolat bakteri lainnya. Isolat bakteri IS9 selanjutnya dipilih untuk pengujian selanjutnya bersama dengan isolat bakteri
koleksi CV. Meori Agro Burkholderia sp. PS4, Pseudomonas aeruginosa P2, dan Bacillus subtilis
J2. Berdasarkan hasil penelitian Tombe 2012, hasil analisis sekuen gen 16S rRNA menunjukkan bahwa isolat bakteri IS9 memiliki kemiripan
sebesar 99 dengan Burkholderia sp. strain R-24196. Tabel 5 menunjukkan indeks pelarutan P isolat bakteri asal tanah yang terpilih dan isolat bakteri koleksi
CV. Meori Agro. Tabel 5. Indeks Pelarutan P Bakteri Pelarut Fosfat yang Terpilih
Kode Bakteri Indeks Pelarutan IP P
Hari ke- 1 2 3 4 5 6 7
Burkholderia sp.
IS9 1,55 1,93 2,05 2,16 2,24 2,28 2,47
Bacillus subtilis J2
0 0 0 0 1,00
1,12 1,12
Pseudomonas aeruginosa P2 1,15 1,30 1,32 1,33 1,35 1,39 1,41
Burkholderia sp.
PS4 1,32 1,32 1,33 1,36 1,37 1,40 1,44
Isolat yang menunjukkan zona bening terbesar selama pengamatan satu minggu adalah Burkholderia sp. IS9 dengan indeks pelarutan sebesar 2,47 dan
indeks pelarutan terkecil adalah Bacillus subtilis J2 sebesar 1,12. Semakin besar indeks pelarutannya maka semakin besar jumlah P yang dilarutkan.
Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa semakin hari indeks pelarutan P semakin meningkat. Dilihat dari indeks pelarutan P yang dihasilkan dapat
diketahui bahwa kemampuan bakteri dalam melarutkan fosfat bervariasi. Luas zona bening secara kualitatif menunjukkan besar kecilnya kemampuan bakteri
melarutkan P dari fosfat tak larut Rachmiati, 1995. Tatiek 1991 juga mengemukakan bahwa zona bening pada media padat tidak dapat menunjukkan
banyak sedikitnya jumlah P terlarut yang dapat disumbangkan oleh setiap bakteri, meskipun luas sempitnya daerah bening dapat menunjukkan besar kecilnya
kemampuan bakteri melarutkan P sukar larut. Pada uji kemampuan perlarutan P secara kuantitatif, Burkholderia sp. IS9 memiliki kemampuan melarutkan fosfat
pada media Pikovskaya cair paling tinggi dibandingkan isolat bakteri lainnya Tabel 6.
Tabel 6. Konsentrasi Pelarutan P Bakteri Pelarut Fosfat yang Terpilih
Bakteri ppm P
Hari ke- 1 2 3 4 7
Kontrol tanpa bakteri 5,98
a 5,98
a 5,98
a 5,98 a
5,98 a
Burkholderia sp.
IS9 377,90
d 690,81 e 752,37
d 764,34 d 514,69 d
Bacillus subtilis J2
29,50 b 152,61
b 173,55 b 207,44 c 243,67
c Pseudomonas aeruginosa
P2 90,20 c
224,86 c
240,24 b
218,44 c
229,13 c
Burkholderia sp. PS4
389,01 d 341,99
d 377,90
c 97,47 b
113,71 b
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama untuk bakteri
menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf 5.
Konsentrasi tertinggi fosfat terlarut Burkholderia sp. IS9 terjadi pada pengamatan hari keempat yaitu sebesar 764,34 ppm. Pada pengamatan hari
ketujuh, konsentrasi fosfat terlarut Burkholderia sp. IS9 menurun. Penurunan konsentrasi fosfat terlarut ini diduga disebabkan adanya pemakaian kembali fosfat
terlarut oleh kultur sebagai sumber nutrisi untuk aktivitas metabolismenya dan
adanya penurunan jumlah populasi sel bakteri yang akan mempengaruhi aktivitas bakteri dalam melarutkan P. Hawker 1950 menyatakan bahwa fosfat harus
disuplai dengan jumlah yang cukup dalam media untuk proses fosforilasi karbohidrat dan pembentukan energi. Kemampuan bakteri pelarut fosfat dalam
melarutkan fosfat berbeda-beda tergantung jenis strain Tatiek, 1991. Hasil pengukuran fosfat terlarut pada kontrol tanpa bakteri menunjukkan adanya fosfat
terlarut. Hal ini diduga disebabkan adanya pengaruh pemanasan pada proses sterilisasi autoklaf yang mengakibatkan terpecahnya ikatan Ca-fosfat pada media
secara fisik menjadi bentuk fosfat terlarut. Tabel 7. pH Media Kultur Pelarutan P secara Kuantitatif
Kode Bakteri pH media kultur
Hari ke- 1 2 3 4 7
Kontrol tanpa
bakteri 5,60 5,50 6,00 5,90 5,70
Burkholderia sp.
IS9 4,00 3,80 4,60 4,05 4,55
Bacillus subtilis J2
5,00 4,95 5,10 4,95 4,75 Pseudomonas aeruginosa
P2 4,60 4,50 5,10 4,80 5,10
Burkholderia sp.
PS4 3,85 5,45 5,50 6,40 6,30
Pelarutan fosfat secara kuantitatif pada media Pikovskaya cair diikuti juga oleh penurunan pH media kultur. Hasil penelitian memperlihatkan pH pada kultur
Burkholderia sp. IS9, Pseudomonas aeruginosa P2, Bacillus subtilis J2 menurun
saat 2 hari inokulasi. Nilai pH pada kultur Burkholderia sp. PS4 masih terjadi kenaikan kemudian cenderung menurun pada hari ke tujuh Tabel 7. Adanya
kenaikan pH pada kultur Burkholderia sp. PS4 pada hari ke- 1 sampai hari ke-4 diduga karena penurunan jumlah sel Burkholderia sp. PS4 sehingga aktivitas
Burkholderia sp. PS4 dalam melarutkan Ca
3
PO
4 2
dalam media Pikovskaya cair menurun.
4.3 Uji Antagonistik Bakteri Pelarut Fosfat secara in vitro