bahwa nilai kehilangan berat kayu karet metode SNI berbeda dengan JIS. Nilai kehilangan berat metode SNI lebih besar dibandingkan nilai kehilangan
berat metode JIS. Hal tersebut dikarenakan jumlah rayap pekerja yang digunakan dan lama waktu penyimpanan berbeda antara kedua metode
tersebut. Hasil pengujian berdasarkan persen kehilangan berat pada MDF kayu
karet berbeda dengan hasil pengujian pada kontrol kayu karet. Pada kontrol kayu karet metode SNI 01.7207-2006 dan JIS K 1571-2004 berbeda,
sedangkan pada MDF kayu karet baik metode SNI 01.7207-2006 maupun JIS K 1571-2004 menghasilkan nilai yang tidak berbeda nyata. Hal ini
diduga karena contoh uji yang digunakan. Rayap tanah Coptotermes curvignathus Holmgren tidak menyukai MDF kayu karet yang
menggunakan bahan baku pulp serta adanya pengaruh dari perekat urea formaldehida.
Berdasarkan penelitian Arinana et al. 2010 yang melakukan pengujian untuk mengetahui tingkat kesukaan makan rayap, memberikan
informasi bahwa pulp tidak disukai rayap karena menghasilkan nilai kehilangan berat paling kecil dibanding serbuk dan serpihan kayu pinus. Hal
ini disebabkan proses pembuatan pulp dengan menggunakan bahan kimia dan bahan baku pulp yang digunakan bukan dari kayu pinus yang
mengakibatkan rayap tanah Coptotermes curvignathus Holmgren cenderung lebih memilih serbuk dan serpihan kayu pinus.
4.1.2 Mortalitas Rayap
Pengujian yang dilakukan pada MDF kayu karet baik menggunakan metode SNI 01.7207-2006 maupun JIS K 1571-2004 menghasilkan nilai
mortalitas rayap tanah Coptotermes curvignathus Holmgren sebesar 100. Hal ini menunjukkan bahwa pada saat pembongkaran terakhir pada media
pengujian sudah tidak terdapat rayap yang hidup. Ria 2009 menyatakan bahwa tingginya nilai mortalitas diakibatkan oleh penguapan gas dari emisi
formaldehida yang ada dalam botol pengujian sehingga dimungkinkan emisi tersebut mengakibatkan kematian pada rayap tanah Coptotermes
curvignathus Holmgren. Berdasarkan hal tersebut di atas penyebab mortalitas rayap pada
pengujian diduga karena pengaruh emisi formaldehida yang mampu sebagai insektisida untuk racun syaraf bagi rayap tanah. Tarumingkeng 1992 dalam
Ria 2009 menyatakan bahwa terdapat respon fisik dan tingkah laku binatang uji yang merupakan dasar bagi klasifikasi farmakologis bahan racun
insektisida. Pada dosis median racun syaraf menimbulkan empat tahap simptom yaitu eksitasi gerakan lari atau terbang, konvulsi kekejangan,
paralisis kelumpuhan, dan kematian. Menurut Tsoumis 1991 formaldehida menjadi masalah pada pabrik-pabrik, rumah-rumah, dan tempat lain karena
dapat menyebabkan iritasi pada mata, hidung, sistem pernafasan, penyebab alergi, dan berbahaya bagi kesehatan pada dosis tinggi.
Tingginya mortalitas rayap juga dapat disebabkan karena perilaku makan rayap yang dihadapkan pada satu pilihan pada saat pengujian yaitu
MDF kayu karet sehingga rayap terpaksa makan dan mati. Kematian rayap karena MDF yang telah dimakan mengandung perekat urea formaldehida dan
bersifat racun bagi flagellata yang bersimbion pada saluran pencernaan rayap. Hal tersebut ditunjang oleh perilaku rayap trofalaksis yaitu perilaku rayap
untuk saling menjilat dan melakukan pertukaran makanan, feromon, atau flagellata melalui anus dan mulut sehingga menjadi media penyebaran racun.
Mortalitas juga diduga karena contoh uji tidak disukai rayap sehingga rayap tidak memakan contoh uji dan mati, ataupun rayap memakan bangkai rayap
lain necrophagy yang telah terkena racun sehingga mati. Perilaku makan rayap di laboratorium dihadapkan pada satu pilihan
atau keadaan tunggal terpaksa. Pada tahap awal, rayap akan melakukan penyesuaian dengan lingkungan hidup yang disediakan. Pada tahap ini
aktifitas rayap masih rendah. Rayap yang tidak mampu menyesuaikan diri akan mati. Rayap yang berhasil menyesuaikan diri dengan lingkungan yang
disediakan akan melakukan orientasi makanan. Orientasi semacam ini dapat berlangsung secara acak atau karena pengaruh tertentu, misalnya jenis bau
yang berasal dari makanan yang diberikan. Selanjutnya rayap akan mencoba mencicipi makanan yang diberikan dengan jalan menggigit bagian permukaan
makanan, bila bagian tersebut tidak cocok rayap akan beralih ke bagian lain sampai ditemukan bagian yang sesuai dan memenuhi syarat sebagai makanan.
Jika makanan sesuai, rayap akan meneruskan proses makannya, sebaliknya
jika makanan tidak sesuai rayap akan meninggalkan makanannya dan memilih berpuasa Supriana 1983 dalam Suryono 2009.
4.1.2.1 Mortalitas pada Kayu Karet Solid Pada pengujian kontrol kayu karet solid, mortalitas rayap yang dihitung
hanya pada metode JIS K 1571-2004, dapat dilihat pada Tabel 9. Metode SNI 01.7207-2006 tidak menggunakan perhitungan mortalitas rayap. Sebenarnya,
tingkat mortalitas pada kontrol kayu karet masih tergolong cukup tinggi yakni berkisar antara 83,3-92,7. Hal ini disebabkan karena keterbatasan kondisi
pada media pengujian tidak sepenuhnya mewaliki habitat rayap yang sebenarnya.
Tabel 9 Mortalitas rayap pada kontrol kayu karet metode JIS K 1571-2004 No.
Tebal Kayu mm
Rayap Hidup ekor
Rayap Mati ekor
Mortalitas
1 2,5
21 129
86,0 20
130 86,7
15 135
90,0 2
5 25
125 83,3
11 139
92,7 18
132 88,0
Menurut Nandika et al. 2003, aktivitas rayap di suatu daerah dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti tanah, tipe vegetasi, faktor iklim, dan
ketersediaan air. Kelembaban dan suhu merupakan faktor yang secara bersama-sama mempengaruhi aktivitas rayap. Perubahan kondisi lingkungan
menyebabkan perubahan perkembangan, aktivitas, dan perilaku rayap.
4.1.3 Kemampuan Makan Rayap