Analisa Fatty Acid Methyl Ester FAME. Isolat bakteri endofit Pengukuran aktivitas enzim peroksidase. Ekstrak daun diencerkan

Gambar 8 Rata-rata jumlah koloni bakteri yang tumbuh pada media TSA yang berasal dari air bilasan terakhir empat prosedur sterilisasi permukaan akar Isolasi Bakteri Endofit Isolasi merupakan langkah awal dari suatu eksplorasi bakteri dan umum digunakan untuk memperhitungkan densitas dan populasi mikroba. Total jumlah koloni bakteri endofit yang diperoleh dari tanaman kentang varietas Atlantik dua kali lebih tinggi dibandingkan Granola Gambar 9. Ini mengindikasikan bahwa densitas bakteri endofit yang dapat ditumbuhkan culturable endophytic bacteria pada sampel varietas Atlantic lebih tinggi dari pada Granola. Perbedaan respon kolonisasi, komposisi nutrien cairan apoplast, serta ukuran ruang antarsel diantara species tanaman yang berbeda diduga sebagai faktor yang dapat mempengaruhi spektrum dan densitas bakteri endofit Hallmann dan Berg 2006. Gambar 9 Perbandingan densitas bakteri endofit tanaman kentang G4 varietas Granola dan Atlantic asal Garut berdasarkan jumlah koloni yang terisolasi. Pada kedua sampel varietas tanaman kentang yang digunakan sebagai bahan isolasi, semakin jauh dari bagian akar, semakin rendah densitas bakteri endofitnya. Densitas bakteri tersebut mencapai 94-96 pada bagian akar, 3- 5 di bagian batang, dan 0.3-1 di bagian daun Gambar 9. Berbagai hasil penelitian juga menunjukkan profil densitas bakteri endofit yang serupa dimana akar merupakan bagian tanaman yang paling tinggi densitas bakteri endofitnya. Densitas bakteri endofitik pada akar kapas, jagung manis, serta bit dilaporkan mencapai 10 6 cfug, sedangkan pada akar kentang densitas yang pernah dilaporkan diantaranya mencapai 10 5 cfug. Namun beberapa hasil penelitian melaporkan densitas bakteri endofit akar yang mencapai 10 10 cfug. Pada bagian batang dan daun umumnya densitas bakteri endofit berturut-turut mencapai 10 4 dan 10 3 . Berbeda dengan bakteri endofit, umumnya densitas bakteri fitopatogen dilaporkan dapat mencapai 10 10 cfug Hallmann and Berg 2006. Tingginya densitas bakteri endofit akar antara lain disebabkan karena daerah akar merupakan pintu gerbang favorit bakteri untuk masuk ke dalam tanaman. Disamping itu, posisi akar di dalam tanah menyebabkan mikroba di dalamya relatif lebih terlindung dari fluktuasi suhu udara dan lebih terjamin ketersedian airnya Munif et al. 2012; Sessitsch et al. 2004. Media isolasi juga dapat mempengaruhi keragaman isolat dan kuantitas bakteri endofit yang diperoleh. Namun sampai saat ini belum ada suatu media buatan yang dapat digunakan untuk me-recovery semua jenis culturable endophytic bacteria. Oleh karena itu, pemilihan media isolasi seharusnya disesuaikan dengan tujuan dan target isolasi. Bila ditinjau dari sisi jumlah koloni bakteri endofit yang berhasil ditumbuhkan pada ketiga media isolasi yang digunakan TSA 20, KBA 20, dan agar NMS-N, TSA 20 merupakan media yang paling baik karena jumlah koloni bakteri yang tumbuh pada TSA 20 paling tinggi dibandingkan media KBA 20 agar NMS-N Gambar 10. Gambar 10 Densitas bakteri endofit akar kentang berdasarkan hasil isolasi yang dilakukan menggunakan media TSA 20, KBA 20, dan NMS bebas Nitrogen Berdasarkan komposisinya, Trypticase Soy Agar TSA 20 relatif lebih kaya nutrien dibandingkan dengan dua media lainnya. Komponen dasar TSA adalah bahan organik kompleks terdiri dari sumber karbon dan nitrogen organik yang berasal dari hidrolisis enzimatik biji kedelai. Selain itu, kesesuaian komposisi TSA dengan nutrisi yang dibutuhkan mayoritas ragam culturable endophytic bacteria dalam sampel tanaman kentang diduga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan tingginya jumlah bakteri endofit yang tumbuh pada media ini Gambar 10, 11, dan 12. Gambar 11 Densitas bakteri endofit batang kentang berdasarkan hasil isolasi yang dilakukan menggunakan media TSA 20, KBA 20, dan NMS bebas Nitrogen Gambar 12 Densitas bakteri endofit daun kentang berdasarkan hasil isolasi yang dilakukan menggunakan media TSA 20, KBA 20, dan NMS bebas Nitrogen Culturable bacteria merupakan kelompok bakteri yang relatif mudah tumbuh dan memperbanyak diri pada media buatan. Pada media buatan, kelompok bakteri ini memiliki waktu generasi yang relatif cepat dan kemampuan kompetisi yang relatif tinggi dibandingkan dengan bakteri dari kelompok not yet culturable bacteria NYCB, walaupun dari sisi keragamannya kelompok culturable bacteria hanya mewakili sebagian kecil dari total ragam bakteri yang ada. Oleh karena itu, tingginya perolehan koloni bakteri endofit yang tumbuh pada suatu media buatan tidak selalu mencerminkan keragaman dan manfaat keberadaanya dalam suatu komunitas atau sistem alami. Penggunaan berbagai media isolasi merupakan cara yang baik untuk meningkatkan keragaman perolehan bakteri yang diisolasi.. Isolat Bakteri Endofit Terseleksi I Strategi untuk mempercepat proses seleksi mikroba kandidat agen PGPR dan biokontrol pada umumnya diawali dengan berbagai seleksi atau uji in vitro seperti uji kemampuan produksi ZPT dan antagonisme terhadap patogen sasaran. Namun seringkali strategi tersebut mengakibatkan ketidak selarasan antara hasil percobaan atau pengujian di laboratorium dengan hasil di lapangan. Hasil seleksi in vitro memang tidak selalu mencerminkan kemampuan suatu bakteri terpilih ketika diaplikasikan di lapangan. Kondisi di lapangan yang sangat kompleks dengan berbagai faktor yang sebagian besar tidak dapat dikendalikan merupakan penyebab ketidak selarasan tersebut. Untuk mengantisipasinya, beberapa tahapan seleksi dapat dilakukan secara terbalik diawali dengan uji in planta atau lapangan dan dilanjutkan dengan berbagai uji invitro untuk menelaah dan mengkorfimasi secara lebih rinci tentang berbagai karakter atau potensi yang diduga berperan dalam proses yang sedang diamati. Penapisan isolat bakteri endofit dalam penelitian ini diawali dengan uji hemolitik in vitro. Uji hemolitik in vitro ini penting untuk dilakukan pada tahap awal seleksi untuk menyingkirkan bakteri yang berpotensi menjadi patogen manusia atau mamalia dan menghindari penyebarannya di lapangan. Dari 214 isolat yang diuji, 168 diantaranya non-hemolitik Gambar 13 dan tidak menimbulkan reaksi HR pada daun tembakau Gambar 14. Tembakau merupakan tanaman indikator yang umum digunakan untuk uji HR. Walaupun telah lolos uji HR, uji patogenisitas terhadap planlet menunjukkan 39 isolat diantaranya menyebabkan kematian planlet sehingga hanya 119 isolat yang tidak patogenik terhadap planlet kentang yang diseleksi lebih lanjut Lampiran 2 dan 3. Ini membuktikan bahwa uji HR dapat dijadikan sebagai bagian praseleksi, tetapi tidak berarti isolat yang lolos seleksi HR adalah nonfitopatogenik terhadap semua jenis tanaman. Oleh karena itu seleksi dilanjutkan dengan melakukan uji pada inang yang sesungguhnya planlet kentang sehingga diperoleh 119 isolat yang non patogenik terhadap tanaman kentang. Alasan penggunaan planlet kentang sebagai bahan untuk seleksi pada tahap ini adalah karena sifat planlet yang sangat rentan terhadap berbagai cekaman biotik maupun abiotik sehingga segera merespon perlakuan yang diberikan dan pengujian berlangsung lebih cepat namun memberikan hasil yang akurat. Inokulasi planlet dengan isolat-isolat tersebut sebagian besar tidak menyebabkan perubahan tampilan akar planlet Gambar 15 B, kecuali isolat G059 dan G0196 yang mengakibatkan tampilan akar planlet yang terlihat diselimuti oleh gumpalan biomasa bakteri Gambar 15C. Gambar 13 Tampilan koloni isolat bakteri endofit yang bersifat hemolitik dan nonhemolitik pada medium agar darah. Anak panah menunjukkan zona disekitar koloni yang bersifat hemolitik Gambar 14 Reaksi jaringan daun tembakau pada 24 jam A dan 96 jam B setelah diinfiltrasi dengan suspensi R. solanacearum kontrol positif dan isolat bakteri endofit. Gambar 15 Tampilan morfologi planlet yang diperkaya isolat bakteri endofit A: Morfologi planlet yang tidak diperkaya dengan bakteri endofit kontrol, B : Morfologi planlet yang tetap normal setelah diperkaya isolat bakteri endofit, dan C : Morfologi planlet yang berubah di bagian akar setelah diinokulasi bakteri endofit Pengayaan plantlet kentang dengan empat G053, G062, G0196, dan L-12 dari 119 isolat yang terseleksi diatas, menyebabkan tanaman kentang yang ditanam pada media steril berhasil lolos dari serangan penyakit layu bakteri setelah infeksi buatan yang dilakukan. Sebaliknya, semua tanaman kontrol tanpa endofit yang diifeksi dengan R. solanacearum menunjukkan gejala layu bakteri dan akhirnya mati. Disamping itu, keempat kelompok tanaman hasil perlakuan tersebut menunjukkan parameter pertumbuhan dan menghasilkan jumlah umbi yang rata-rata lebih banyak dibandingkan dengan tanaman kontrol negatif tidak diperkaya endofit dan tidak diinfeksi R. solanacearum Gambar 16. Gambar 16 Parameter pertumbuhan tanaman G0 yang diinokulasi dengan empat isolat terpilih yang ditanam pada media tidak steril. Isolat Bakteri Endofit Terseleksi II Pengamatan gejala layu bakteri pada tanaman G0 kontrol serta tanaman diperkaya isolat G053 dan G062 yang ditanam pada media tanam steril menunjukkan nilai Disese Insidence berturut-turut 4.2, 0 , 4.2, 54.2, 4.2, dan 29.2 untuk tanaman kontrol dan tidak diinfeksi R. solanacearum Rs, tanaman diperkaya endofit G053 dan tidak diinfeksi Rs, tanaman diperkaya endofit G062 dan tidak diinfeksi Rs, tanaman kontrol yang diinfeksi Rs, tanaman diperkaya endofit G053 dan diinfeksi Rs, dan tanaman diperkaya endofit G062 dan diinfeksi Rs Gambar 17. Uji ketahanan yang dilakukan pada tanaman generasi 1 G1 yang ditanam pada media tidak steril juga menunjukkan penurunan Disease Insidence layu bakteri pada tanaman yang tetuanya diperkaya dengan isolat G053 dan G062. Nilai Disease Insidence untuk kedua tanaman G1 dan kontrolnya berturut-turut adalah 0, 10, dan 20 Gambar 18. Gambar 17 Disease Insidence DI tanaman G0 kontrol dan tanaman diperkaya dengan bakteri endofit G053 dan G062 yang ditanam pada media tanam steril. Batang yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada αμ 0.05, DB μ 10, dan KT μ 50.35 pada uji Duncan Gambar 18 Nilai Disease Insidence DI, tinggi tanaman, berat umbi, dan jumlah umbi tanaman G1 kontrol, G053, dan G062. Penapisan dilanjutkan dengan mengukur beberapa respon fisiologis tanaman terkait induksi resistensi yaitu pengukuran kadar protein total pada daun muda, aktivitas enzim peroksidase, APX, dan PPO. Duapuluh empat jam setelah infeksi patogen jsi, peningkatan kadar mirip protein pada tanaman G053 4.6 mencapai 89 kali lipat dibandingkan dengan tanaman kontrol 0.05, sedangkan peningkatan protein pada tanaman G062 0.085 hanya 1.6 kali tanaman kontrol. Duapuluh empat jam berikutnya, kadar protein tanaman G053 turun 60 dibandingkan dengan kadarnya saat 24 jsi, sedangkan protein tanaman kontrol dan G062 sedikit meningkat Gambar 19. Walaupun demikian, peningkatan kadar protein pada tanaman kontrol dan G062 tersebut jauh lebih rendah dibandingkan protein tanaman G053. Aktivitas enzim peroksidase, polifenol oksidase dan askorbat peroksidase tanaman G053 berturut-turut meningkat 42.5, 2075, dan 111 pada 24 jam setelah infeksi Rs. Sedangkan pada tanaman G062 dan kontrol, hanya aktivitas enzim peroksidase yang terdeteksi meningkat aktivitasnya berturut-turut 126.5 dan 0.6 Gambar 20. Gambar 19 Peningkatan kadar protein tanaman G0 pada 24 dan 48 jam setelah infeksi jsi R. solanacearum Gambar 20 Peningkatan aktivitas enzim APX peroksidase, peroksidase, polifenol oksidase, tanaman kentang G0 24 jam setelah infeksi Ralstonia solanacearum Peningkatan kadar protein daun Gambar 19 dan aktivitas enzim peroksidase G053 dan G062 setelah infeksi R. solani Gambar 20 mengindikasikan peningkatan sintesis protein terkait ketahanan sebagai respon tanaman terhadap infeksi. Menurut Almagro et al 2009, respon ketahanan aktif pada tanaman memerlukan sintesis protein de novo. Peningkatan aktivitas peroksidase meningkatkan kadar H 2 O 2 yang merupakan salah satu Reactive Oxygen Species ROS dalam sel tumbuhan terkait dengan peningkatan respon ketahanan tanaman terhadap patogen Wu et al. 1995. Peningkatan ROS merupakan merupakan salah satu respon fisiologis awal pada tanaman terhadap serangan patogen yang dapat diukur. Analisis genetik dan kajian biokimia menunjukkan bahwa diantara berbagai sistem yang berpotensi sebagai penghasil ROS pada sel tumbuhan, NADPH oksidase dan peroksidase dinding sel kelas III Prxs adalah dua enzim utama yang terlibat di dalam produksi ROS terkait dengan respon tanaman terhadap serangan patogen O’Brien et al 2012. NADPH oksidase dan Prxs merupakan kelompok besar enzim yang terlibat dalam berbagai proses fisiologis diantaranya pembentukan lignin dan suberin, cross-linking komponen dinding sel, sintesis fitoaleksin, metabolisme ROS dan RNS, Hypersensitive Response HR, dan Programmed Cell Death PCD pada situs infeksi Almagro et al. 2009. Selain peroksidase, enzim polifenol oksidase PPO dan askorbat peroksidase APX juga berkaitan erat dengan respon ketahanan tanaman. Aktivitas APX berguna dalam mengatasi dampak negatif H 2 O 2 di dalam sel Caverzan et al. 2012, sedangkan PPO mengoksidasi senyawa orto-difenol menjadi orto-quinon yang berperan antara lain dalam ketahanan, reaksi pencoklatan, dan biosintesis pigmen. Tran et al. 2012. Lonjakan aktivitas PPO, peroksidase, dan APX secara cepat mengindikasikan bahwa pengkayaan tanaman dengan isolat endofit G053 dan G062 dapat meningkatkan respon tanaman dalam memodulasi sistim resistensinya untuk menanggapi infeksi Rs, sehingga patogen tersebut tidak dapat berkembang lebih lanjut dan menimbulkan gejala layu pada tanaman. Namun, diantara kedua isolat bakteri endofit tersebut, pengaruh isolat G053 dalam memodulasi sistem resistensi tanaman inang lebih kuat dibandingkan dengan isolat G062. Konsistensi induksi ketahanan tersebut juga ditunjukkan oleh tanaman generasi pertama G1 yang tidak diinokulasi kembali dengan bakteri endofit. Hal ini mengindikasikan bahwa bakteri endofit yang telah diinokulasikan pada tanaman G0 terbawa pada umbi G0 dan diwariskan kepada generasi tanaman berikutnya tanaman G1. Terkait dengan peningkatan aktivitas peroksidase, PPO, dan APX yang signifikan, tanaman G053 dianalisa lebih lanjut respon fisiologis-nya yaitu kandungan lignin dan etilen yang diemisikannya. Setelah diinfeksi dengan R.solanacearum, tanaman yang diperkaya dengan isolat G053 menunjukkan peningkatan kadar lignin, sebaliknya tanaman kontrol turun kadar ligninnya Tabel 4. Peningkatan kadar lignin tersebut diduga berkorelasi dengan peningkatan aktivitas PPO dan peroksidase, karena kedua enzim tersebut juga berperan dalam polimerisasi lignin Tran et al. 2012. Hasil pengukuran emisi etilen ET menunjukkan bahwa daun tanaman G053 mengemisikan ET etilen dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman kontrol Tabel 4. Peningkatan kadar lignin dan emisi etilen yang sangat signifikan pada tanaman yang diperkaya dengan isolat G053 memperkuat bukti bahwa interaksi bakteri endofit ini dengan tanaman kentang meningkatkan resistensi tanaman inang terhadap serangan penyakit layu bakteri. Tabel 4 Peningkatan emisi etilen dan kadar lignin tanaman G053dan kontrol setelah infeksi R. solanacearum Sampel [C2H2]mg daunppm mL -1 mg-1 x 10 -3 kadar lignin Turun Naik Kontrol G053 30.81 ± 1.46 68.38 ± 4.82 26.7 - - 23.5 Respon ET pada tumbuhan tergantung pada jenis tumbuhan dan patogen- nya. Produksi ET pada tanaman diatur dengan sangat ketat selama proses perkembangan dan respon terhadap rangsangan dari lingkungan yaitu cekaman biotik serangan patogen dan abiotik perlukaan, hipoksia, ozon, serta pembekuan. Produksi gas ini berkorelasi dan punya peranan yang sangat penting dalam lintasan ketahanan tanaman. Fungsi ET dalam mekanisme ketahanan tumbuhan adalah untuk menghambat perkembangan patogen. Persepsi patogen oleh reseptor sel tumbuhan menyebabkan aktivasi ekspresi berbagai protein terkait sistem pertahanan tumbuhan termasuk diantaranya ACC sintase. Protein tersebut merupakan enzim yang mengkatalisis reaksi perubahan S-AdoMet yang merupakan senyawa intermediet dalam sintesis etilen Gambar 21 Wang et al. 2002. Tingginya emisi ET pada tanaman yang diperkaya dengan isolat G053 setelah infeksi R. solanacearum ini diduga disebabkan oleh adanya sinergi antara aktivasi lintasan ketahanan yang kuat oleh bakteri endofit dengan aktivasi biosintesis ET yang mengakibatkan peningkatan kuantitas dan atau aktivitas enzim untuk biosintesis ET. Emisi ET menjadi semakin tinggi karena adanya aktivasi ET signalling pathway akibat infeksi R. solanacearum. Akumulasi aktivasi lintasan biosintesis ET tersebut mengakibatkan tingkat emisi etilen tanaman G053+Rs jauh lebih tinggi dari pada tanaman kontrol +Rs . Respon ketahanan dan emisi ET pada tanaman kentang tersebut mirip dengan respon pada tanaman tomat. Pada tanaman kerabat dekat kentang ini infeksi R. solanacearum akan meningkatkan aktivasi ET signalling pathway. Selain itu, pensinyalan ET pada tanaman tomat juga bersinergi dengan lintasan asam jasmonat JA dan asam salisilat SA Milling et al. 2011. Gambar 21 Lintasan biosintesis dan regulasi etilen pada tanaman Wang et al. 2002 Profil Pertumbuhan Tanaman Kontrol dan Tanaman yang Diperkaya dengan Isolat G053 dan Isolat G062 Tanaman G0 yang diperkaya dengan isolat bakteri endofit G053 atau G062 menunjukkan pertumbuhan dan produktivitas umbi yang lebih baik dibandingkan dengan tanaman kontrol Gambar 22-26. Tanaman G053 tumbuh lebih besar dan proporsional, sedangkan tanaman G062 memiliki daun yang berwarna hijau tua. Perbedaan parameter pertumbuhan antara kontrol dan kedua kelompok perlakuan tersebut semakin nyata pada tanaman G1 Gambar 27 dan 28. Bahkan pada tanaman yang diperkaya kedua endofit tersebut semua parameter pertumbuhan dan produktivitas umbi semakin besar nilainya setelah diinfeksi dengan R. solanacearum, sedangkan pada kontrol yang diinfeksi R. solanacearum parameter-parameter tersebut turun nilainya. Kedua kelompok tanaman G1 tumbuh lebih subur, lebih kokoh, dan daunnya tampak hijau. Sebaliknya tanaman kontrol tampak mengalami retardasi pertumbuhan, merana, dan daunnya berwarna kekuningan. Diantara kedua bakteri endofit tersebut, terlihat pengaruh pengayaan dengan isolat G053 terhadap pertumbuhan tanaman kentang jauh lebih baik dibandingkan dengan isolat G062. Gambar 22 Pengaruh pengayaan bakteri endofit terhadap berat kering tajuk tanaman kentang G0 yang tidak diinfeksi dan diinfeksi dengan R. solanacearum Gambar 23 Pengaruh pengayaan bakteri endofit terhadap berat kering akar tanaman kentang G0 yang tidak diinfeksi dan diinfeksi dengan R. solanacearum Gambar 24 Pengaruh pengayaan bakteri endofit terhadap jumlah umbi kentang pada tanaman G0 yang tidak diinfeksi dan diinfeksi dengan R. solanacearum Gambar 25 Pengaruh pengayaan bakteri endofit terhadap berat umbi kentang dari tanaman G0 yang tidak diinfeksi dan diinfeksi dengan R. solanacearum Gambar 26 Tampilan tanaman G0 yang diperkaya dengan isolat G053 dan G062, serta kontrol yang ditanam pada media yang telah disteril. Gambar 27 Tampilan tanaman G1 keturunan dari planlet yang diperkaya dengan isolat G053 dan G062, serta kontrol yang ditanam pada media tidak steril. Gambar 28 Nilai Disease Insidence DI, tinggi tanaman, berat umbi, dan jumlah umbi tanaman G1 kontrol, G053, dan G062. Pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan diantaranya ketersediaan nutrien, air, serta interaksinya dengan mikroba patogenik ataupun nonpatogenik. Pengayaan bibit tanaman kentang dengan bakteri endofit G053 dan G062 secara signifikan meningkatkan pertumbuhan dan produktivitas umbi yang dihasilkan oleh tanaman kentang G0 maupun G1 Gambar 22-25 dan 28. Retardasi pertumbuhan, warna daun kekuningan, dan produktivitas umbi yang rendah pada tanaman kentang merupakan beberapa gejala yang berasosiasi dengan defisiensi nitrogen pada tanaman kontrol G1 Gambar 27. Secara tidak langsung hal tersebut mengindikasikan bahwa kemampuan kedua bakteri endofit dalam menambat nitrogen lihat bagian karakterisasi juga berfungsi secara inplanta sehingga meningkatkan ketersediaan dan pasokan nitrogen yang dibutuhkan inangnya. Nitrogen merupakan unsur penyusun asam amino dan protein, asam nukleat, serta klorofil. Oleh karena itu, dengan terpenuhinya pasokan nitrogen pada tanaman yang diperkaya bakteri endofit maka metabolisme, proses fotosintesis, dan pertumbuhannya tanaman juga menjadi lebih baik dibandingkan tanaman kontrol. Selain nitrogen, kemampuan PGPB dan bakteri endofit dalam memproduksi fitohormon juga berperan penting dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman inang Jimtha et al. 2014; Ryan et al. 2008; Tsavkelova et al. 2006. Isolat G053 dan G062 mampu menghasilkan senyawa-senyawa mirip fitohormon IAA, GA, zeatin, dan ABA lihat bagian karakterisasi. IAA berperan dalam pembelahan, pemanjangan, serta diferensiasi sel dan jaringan tanaman. Stimulasi benih dan germinasi umbi, peningkatan laju pembentukan xylem dan akar, kontrol pertumbuhan vegetatif, tropisme, pembungaan, proses pembentukan buah, proses fotosintesis, pembentukan pigmen, biosintesis metabolit, serta ketahanan terhadap cekaman merupakan proses-proses yang berkaitan dengan auksin Tsavkelova et al. 2006. GA adalah kelompok fitohormon yang umumnya terkait dengan dengan modifikasi morfologi tanaman terutama pemanjangan jaringan batang tanaman Verma et al. 2010. Zeatin merupakan suatu sitokinin tipe adenin yang berperan dalam regulasi pertumbuhan dan diferensiasi sel, dominansi apikal, serta senesens daun Xu et al. 2012. Perbedaan kadar dan komposisi senyawa mirip fitohormon diantara kedua isolat tersebut diduga turut berkontribusi terhadap perbedaan pertumbuhan dan penampilan tanaman kentang yang diperkaya oleh isolat G053 dan G062. Fitohormon merupakan senyawa yang dibutuhkan dalam konsentrasi dan perbandingan, waktu, serta lokasi yang tepat. Perubahan konsentrasi dan komposisi fitohormon pada tanaman dapat mengakibatkan gangguan hemostasis di dalam sel atau jaringan tanaman, dan pada akhirnya akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman inang. Kolonisasi Bakteri Endofit G053 dan G062 pada Planlet dan Tanaman Kentang Pengamatan terhadap akar plantlet ±18 jam setelah inokulasi isolat bakteri endofit G053 dan G062 menunjukkan pertumbuhan dan tampilan akar yang normal dan media yang terlihat kembali jernih. Sedangkan akar yang diinokulasi dengan isolat G059 dan G0196 isolat yang digunakan sebagai pembanding tampak diselimuti biomasa bakteri. Pengamatan pada hari berikutnya sampai minggu kedua setelah inokulasi menunjukkan tampilan morfologi akar planlet yang diinokulasi isolat G053 dan G062 tetap normal 29A, sebaliknya pada planlet yang diinokulasi dengan isolat G059 dan G0196 gumpalan biomasa bakteri semakin jelas terlihat Gambar 29B. Hasil pengamatan ini mengindikasikan bahwa isolat G053 dan G062 secara alami memang lebih menyukai bagian dalam jaringan tumbuhan sebagai habitat atau tempat hidupnya bakteri endofit karena setelah diinokulasikan kedua bakteri ini segera masuk ke dalam jaringan planlet melalui akar dan tidak membahayakan atau berdampak negatif terhadap planlet. Sebaliknya isolat pembanding yang digunakan G059 dan G0196 diduga bukan bakteri endofit sejati walaupun semula diisolasi dari jaringan tanaman yang telah disterilisasi permukaannya. Hasi pengamatan menggunakan mikroskop elektron payar SEM yang dilakukan terhadap jaringan dalam planlet yang telah diperkaya isolat G053 dan G062 juga mendukung indikasi tersebut. Foto mikrograf elektron payar jaringan dalam batang planlet kontrol tidak menunjukkan adanya kolonisasi mikroba Gambar 30. Sebaliknya pengamatan terhadap jaringan dalam batang planlet yang diperkaya isolat G053 atau G062 menunjukkan keberadaan koloni bakteri endofit G053 di dalam tabung xilem Gambar 31 dan 32 planlet G053, dan koloni isolat G062 di sekitar jaringan bunga karang yang terletak diantara xilem dan floem Gambar 33 dan 34. Gambar 29. Tampilan akar planlet setelah diinokulasi dengan bakteri endofit G062 dan G053 A, serta G059 dan 196 B Berdasarkan hasil reisolasi, densitas isolat G053 dalam batang planlet berturut-turut mencapai 2.5 x 10 6 ± 2.0 x 10 5 , 3.0 x 10 4 ± 1.45 x 10 3 , 2.06 x 10 4 ± 1.72 x 10 3 , dan 2.84 x 10 2 ± 3.4 x 10 1 cfug untuk planlet yang telah diinokulasi endofit selama 4 minggu setelah inokulasi msi, subkultur batang bawah, dan subkultur batang atas. Sedangkan pada tanaman G0, densitas isolat G053 mencapai 3.2 x 10 4 cfug biomasa batang Tabel 5. Penghitungan koloni isolat G062 yang direisolasi dari planlet umur 4 msi menunjukkan densitas bakteri endofit ini mencapai 2.8x10 4 ± 4.9x10 3 cfug planlet. Hasil pengamatan mikroskopis dan reisolasi tersebut memperkuat bukti untuk menegaskan bahwa isolat G053 dan G062 adalah benar bakteri endofit yang memiliki kemampuan kolonisasi dan persistensi yang tinggi di dalam jaringan planlet dan tanaman kentang. Kemampuan kolonisasi dan persistensi yang tinggi di dalam jaringan pembuluh xilem dan atau floem mengindikasikan kemampuannya berkompetisi dan mendominasi pada relung ekologi yang sama dengan R. solanacearum. Karakter ini merupakan suatu nilai tambah dari kedua bakteri endofit tersebut terkait dengan potensi pemanfaatannya sebagai kandidat agen hayati untuk meningkatkan ketahanan dan atau pertumbuhan tanaman, sekaligus untuk mengendalikan penyakit tanaman yang bersifat vascular disease. Tabel 5 Densitas isolat G053 pada plantlet dan tanaman kentang Sampel Densitas isolat G053 cfug biomasa Planlet I, 4 msi Planlet I, 14 msi Subkultur pucuk umur 6 minggu Subkultur batang bawah umur 6 minggu Tanaman G0 2.5 x 10 6 ± 2.0 x 10 5 3.0 x 10 4 ± 1.45 x 10 3 2.84 x 10 2 ± 3.4 x 10 1 2.06 x 10 4 ± 1.72 x 10 3 3.2 x 10 4 ± 6.34 x 10 3 Gambar 30 Mikrograf elektron payar jaringan batang planlet kontrol pada perbesaran 1000X. Gambar 31 Mikrograf elektron payar jaringan batang planlet yang diinokulasi bakteri endofit isolat G053 pada perbesaran 1000X. Gambar 32 Mikrograf elektron payar jaringan xilem planlet yang dikolonisasi oleh isolat G053 pada perbesaran 7500 X. Gambar 33 Mikrograf elektron payar kolonisasi isolat G062 disekitar jaringan bunga karang pada planlet kentang pada perbesaran 750 X Gambar 34 Mikrograf elektron payar koloni isolat G062 disekitar jaringan bunga karang dalam batang planlet kentang pada perbesaran 10000 X. Identitas dan Karakter Isolat Bakteri Endofit G053 dan G062 Dewasa ini, peran karakterisasi dan identifikasi bakteri menjadi semakin penting pada berbagai bidang diantaranya kesehatan masyarakat, diagnosis klinis, pemantauan lingkungan, monitoring keamanan pangan, bioprospeksi, dan biosekuriti Emerson et al. 2008, Ludwig 2007. Perkembangan berbagai teknik genomik dan proteomik moderen turut mendorong perkembangan berbagai prosedur alternatif untuk karakterisasi dan identifikasi konvensional Ludwig 2007. Walaupun demikian, penggunaan berbagai teknik sangat penting untuk untuk mendapatkan hasil yang lebih baik Höfling et al. 1997. Informasi yang diperoleh bermanfaat sebagai landasan ilmiah dan bahan pertimbangan untuk memprediksi potensi positif maupun memitigasi secara dini dampak negatif atau resiko di masa yang akan datang. Oleh karena itu, kegiatan karaktersasi dan identifikasi merupakan tahapan kegiatan yang penting untuk untuk pengembangan agen hayati yang aman dan unggul. . Identitas dan karakter molekuler Analisa sekuen 16S rDNA isolat G053 menunjukkan kemiripan yang tinggi dengan Micrococcus endophyticus YIM 56238 98 dari 884 nukleotida, e value 0.0, accession no. NR.044365.1. M. endophyticus YIM 53628 T yang merupakan bakteri endofit yang diisolasi dari akar tanaman obat Aquilaria sinensis asal hutan hujan tropis di daerah Yunnan, Cina Chen et al. 2009. Selain mirip dengan M. endophyticus YIM 56238, konstruksi pohon filogenetik juga menunjukkan bahwa isolat G053 juga berkerabat dekat dengan M. luteus strain NCTC 2665 Gambar 35. Gambar 35 Pohon filogenetik

M. endophyticus

G053 dan beberapa bakteri yang berkerabat dekat Hasil identifikasi molekuler isolat G062 menunjukkan bahwa isolat ini merupakan anggotan genus Paracoccus. Deteksi molekuler keberadaan genus bakteri ini sebagai endofit dan isolasinya telah dilaporkan dalam berbagai publikasi antara lain pada pucuk tanaman pisang Cavendis cv. Grand Naine Thomas and Soly, 2009, bibit P. vulagaris Lopez-Lopez et al. 2010, bibit eucaliptus Ferreira et al. 2008, akar mangrov Flores-Mireles et al. 2007, bintil akar akar sphaerophysa sulsula Zy-3T Deng et al. 2011 dan tanaman tomat Munif et al. 2012. Di luar dugaan, hasil analisa sekuen 16S rDNA isolat G062, tidak terlalu mirip dengan spesies-spesies Paracoccus yang umum terdapat di tanah ataupun di dalam jaringan tumbuhan, namun sangat tinggi kemiripannya dengan Paracoccus halophilus strain HN-182 98 dari 773 nukleotida, e value 0.0, accession no. NR 043810.1 yang diisolasi dari sedimen laut Cina Selatan Liu et al. 2008. Di duga hal ini terkait dengan fleksibilas metabolik yang tinggi dari genus bakteri ini. Konstruksi pohon filogenetik menempatkan isolat G062 dalam kluster yang sama dengan P. halophilus serta berkerabat dekat dengan P. koreensis Gambar 36. Gambar 36 Pohon filogenetik Paracoccus halophilus G062 dan beberapa bakteri yang berkerabat dekat Deteksi keberadaan gen penyandi pyrrolnitrin prnC dan 2,4- diacetylphloroglucinol phlD juga menunjukkan hasil amplifikasi yang tidak spesifik Gambar 37. Kedua senyawa tersebut merupakan antibiotik antifungi berspektrum luas. Primer yang digunakan untuk mendeteksi kedua gen tersebut didesain berdasarkan sekuen gen yang terdapat pada Pseudomonas fluorescen Raaijmakers et al. 1997; Mavrodi et al. 2001. Selain spesifitas primer yang rendah dan kondisi reaksi yang tidak optimum, indels diduga juga turut berkontribusi pada hasil amplifikasi yang tidak spesifik. Indels atau insersi dan delesi pada sekuen-sekuen molekul conserve diketahui banyak terjadi pada anggota α-proteobacteria termasuk Paracoccus Gupta, 2005. Gambar 37 Produk PCR gen senyawa antifungi dari P.halophilus G062. Lajur: 1 1 kb DNA ladder Thermo, 2 amplikon gen prnC, 3, 1kb DNA ladder Geneaid dan 4 amplikon gen phlD. Kepala panah menunjukkan yang diperkirakan sebagai amplikon target. Deskripsi karakter fisiologis dan biokimia M. endophyticus G053 bersifat Gram-positif, aerobik, oksidase negatif, katalase positif, MRVP negatif, mampu tumbuh pada suhu 18–40 ⁰C pH awal 6.8 dan pada pH 5.0–9.0 suhu ruang, toleran terhadap NaCl pada konsentrasi maksimal 10, aktivitas urease positif, menghasilkan H 2 S, mampu menghidrolisis kitin Gambar 38 dan susu skim lemah tapi tidak mampu menghidrolisis pati dan CMC. Isolat ini menghasilkan asam ketika ditumbuhkan pada media yang mengandung fruktosa, laktosa, sorbitol, sukrosa, maltosa, manosa, gliserol, salisin, atau trehalosa sebagai sumber karbon satu-satunya. Sebaliknya, tidak ada asam yang dihasilkan ketika ditumbuhkan pada media yang mengandung glukosa dan galaktosa sebagai sumber karbon satu-satunya Tabel 6. Gambar 38 Aktivitas kitinolitik

M. endophyticus

G053 A dan pelarutan fosfat isolat oleh P. halophilus G062 B Tabel 6 Karakter fisiologis dan biokimia M. endophyticus G053 Uji Fisiologis dan Biokimia Reaksi Oksidase - + Katalase Motilitas - Hidrolisis pati - Kitin + susu skim + CMC - Pertumbuhan pada Agar Simmons sitrat + Urease + Produksi H 2 S - MR - VP - Pertumbuhan pada NaCl : 2.5 5.0 10.0 12.5 pada suhu : 15° + + + - - 18 ⁰C 37 ⁰C 4 0 ⁰C 43 ⁰C + + + - pada pH : 4.5 - 5.0 + 9.0 + Produksi asam dari : Glukosa Fruktosa Laktosa Sorbitol Sukrosa Maltosa Mannosa Gliserol Salisin Trehalosa Galaktosa - + + + + + + + + + - Aktivitas pelarutan fosfat pada media Pikovskaya -

M. endophyticus

G053 tidak mampu melarutkan fosfat yang terkandung dalam media Pikovskaya, tetapi mampu memfiksasi nitrogen serta menghasilkan senyawa plant growth hormone like IAA, Giberellin, zeatin, dan ABA Tabel 7 dan senyawa volatil yang mampu menekan produksi EPS pada R. solanacearum Gambar 39. Kemampuan fiksasi nitrogen ditinjukkan oleh hasil uji aktivitas reduksi asetilen ARA dan kemampuan bakteri endofit ini untuk tumbuh pada media yang tidak mengandung nitrogen agar LGI. Nitrogen merupakan unsur yang sangat penting untuk pertumbuhan sel sehingga menjadi salah satu faktor pembatas pertumbuhan sel. Oleh karena itu, hanya bakteri penambat nitrogen yang mampu tumbuh pada media yang bebas nitrogen. Berdasarkan nilai ARA- nya, kemampuan M. endophyticus G053 dalam memfiksasi nitrogen lebih rendah dari P. halophilus G062. Tabel 7 Aktivitas fiksasi nitrogen dan produksi senyawa mirip fitohormon IAA, Giberellin, zeatin, dan ABA like oleh M. endophyticus G053 dan Paracoccus halophilus G062 Assay G053 G062 ARA µmol mlh 0.8 ± 0.02 1.2 ± 0.01 IAA like ppm 5.6 ± 0.8 17.4 ± 0.03 Gibberellin like ppm 1737.0± 91.4 208.0 ± 7.16 Zeatin like ppm 22.0 ± 1.0 6.1 ± 0.23 ABA like ppm 25.6 ± 1.3 4.0 ± 0.12 Gambar 39 Produksi VOCs oleh

M. endophyticus

G053 yang berpengaruh terhadap R.solanacearum Analisis FAME berdasarkan pustaka data library yang terdapat pada perangkat MIDI-GCMS yang digunakan Sherlock Version 4.0 menunjukkan bahwa bakteri ini memiliki komposisi asam lemak sel yang mirip dengan Deinococcus erythromyxa Percent named 100, Library TSBA 40 4.10, Sim Index 0.207. Berdasarkan profil kemotaksonomi, hibridisasi DNA-DNA, dan analisa persentase GC-nya, Deinococcus erythromyxa direklasifikasi menjadi Kocuria eryhtromyxa, dan pada akhirnya diklasifikasikan sebagai K. rosea Koch et al. 1994; Rainey et al. 1997; Stackebrandt et al. 1995. Hasil analisa ini berbeda dengan hasil identifikasi berdasarkan sekuen DNA 16S rRNA-nya. Walaupun demikian jika dibandingkan, profil FAME isolat G053, M. endophyticus YIM 53628 T, Kocuria eryhtromyxa, dan K. rosea memiliki perbedaan yang cukup besar pada kadar Iso-C 15:0 dan antheiso C 15:0 yang merupakan 2 asam lemak dominan untuk keempat bakteri tersebut Tabel 8. Berdasarkan perbedaan komposisi asam lemak tersebut, diduga kemungkinan isolat G053 adalah suatu species baru. Namun untuk memastikannya perlu dilakukan analisa kemotaksonomi lebih lanjut, hibridisasi DNA-DNA, dan analisa persentase GC terhadap isolat G053 dan beberapa strain standar spesies yang berkerabat. Berdasarkan kenyataan tersebut, selanjutnya dalam disertasi bakteri ini tetap disebut sebagai M. endophyticus G053. Tabel 8 Komposisi asam lemak sel M. endophyticus G053, M. endophyticus YIM 56238, K. rosea DSMZ 20447 dan K. erythromyxa ATCC 187. Fatty acid M. endophyticus YIM 56238 G053 Kocuria rosea DSM 20447 K. erythromyxa ATCC 187 Anteiso- C 11:0 - 0.18 - - C 12:0 - 0.55 - - Iso-C 13:0 0.91 0.40 - - Anteiso-C 13:0 0.89 0.43 - - Iso-C 14:0 2.59 3.58 1.0 1.2 C 14:1 ω5c - - - - C 14:0 0.35 1.35 1.45 1.8 Iso-C 15:1 G - - - - Anteiso-C 15:1 A - - - - Iso-C 15:0 30.95 15.01 10.1 14.1 Anteiso- C 15:0 53.75 54.97 63.8 63.9 C 15:0 0.57 - - C 15:1 ω6c 0.18 - - - Iso-C 16:1 H 0.77 - - - Iso-C 16:0 1.42 4.91 2.4 1.4 C 16:0 0.30 4.34 2.5 1.4 Iso-C 15:0 3OH - 0.1 - - C 16:1 - - 7.2 6.7 C 15:0 2OH - 0.16 - - C 17:0 Cyclo - 1.76 - - Anteiso-C 17:1 ωλc 0.81 - - - Iso-C 17:0 0.58 0.27 1.4 0.5 Anteiso- C 17:0 1.36 1.73 7.1 2.4 C 17:0 - 0.27 - - Iso-C 17:1 - - - 0.7 Anteiso C 17:1 - - 3.0 1.9 C 18:1 ω7c - 4.79 - - C 18:0 - 0.16 - - C 19:0 Cyclo ω8c - 0.1 - - Keterangan : Data peak yang merepresentasikan 2 atau 3 asam lemak yang tidak dapat dipisahkan oleh perangkat GLC MIDI system tidak ditampilkan pada tabel ini P. halophilus G062 bersifat Gram-negatif, aerobik, oksidase dan katalase positif, mampu tumbuh pada suhu 18–40 ⁰C pH awal 6.8 dan pH 5.0–9.5 suhu ruang, toleran terhadap NaCl yang terkandung dalam media pertumbuhannya sampai 2.5, dan mampu mereduksi nitrat secara sempurna. Uji indol, aktivitas urease dan arginin dihidrolase, hidrolisis: aesculin; gelatin; pati; kitin; susu skim; dan CMC, menunjukkan hasil yang negatif. Isolat ini mampu memfermentiasikan D-glucose dan menggunakan L-arabinose, mannosa, mannitol, asam malat, D- fructosa, lactosa, dan glyserol sebagai sumber karbon satu-satunya. Sebaliknya bakteri ini tidak mampu menggunakan N-acetyl glucosamin, D-maltosa, potassium glukonat, asam kaprat, asam adipat, trisodium sitrat, asam fenil asetat, D-galaktosa, maltosa, sucrosa, dan salisin sebagai sumber karbon satu-satunya Tabel 9. Jika dibandingkan dengan karakter fisiologis beberapa species Paracoccus terdekat, P. halophilus HN-182 T , P. versutus, P. koreensis, dan P. denitrificans , karakter P. halophilus G062 paling mirip dengan dengan karakter P. halophilus HN-182 T Tabel 10. Hal ini mendukung hasil analisa sekuen 16S rDNA yang telah diuraikan sebelumnya. Selain itu, bakteri ini mampu memfiksasi nitrogen dan memproduksi senyawa plant growth hormone like IAA, Giberellin, zeatin, dan ABA like Tabel 7. P. halophilus G062 juga mampu melarutkan fosfat serta memproduksi siderofor Gambar 38. Fosfat menempati rangking kedua sebagai mineral yang menjadi faktor pembatas pertumbuhan sebagian besar tumbuhan. Ironisnya, walaupun fosfat banyak terdapat di dalam tanah tetapi sebagian besar berada dalam bentuk tidak terlarut sehingga ketersediannya untuk diserap oleh tanaman sangat terbatas. Mikroba melarutkan fosfat melalui asam-asam organik yang yang dieksresikan Verma et al. 2010. Selain penting bagi tumbuhan, fosfat adalah salah satu unsur yang penting bagi semua organisme hidup karena unsur ini merupakan penyusun molekul asam nukleat, fosfolipid membran, senyawa berenergi tinggi, serta komponen pensinyalan signal transduction. Siderofor merupakan senyawa non-protein yang berfungsi sebagai ligan penangkap ion Fe 3+ . Besi juga merupakan unsur yang penting bagi tumbuhan dan mikroba. Di dalam sel tumbuhan dan mikroba, Fe antara lain berfungsi sebagai kofaktor enzim, komponen sitokrom dan feredoksin, atau sumber energi bagi bakteri litotrofik. Aktivitas antifungi siderofor bakteri disebabkan oleh daya kelatnya yang relatif lebih kuat dibandingkan dengan siderofor yang dihasilkan oleh fungi. Hider dan Kong 2010 menyatakan bahwa terdapat lebih dari 500 siderofor yang telah diketahui, dan 250 diantaranya telah ditentukan struktur kimianya. Tabel 9 Karakter fisiologis dan biokimia P. halophilus G062 Uji Fisiologis dan Biokimia Reaksi Gram Oksidase Katalase Motilitas Pertumbuhan pada [NaCl] 2.5 5.0 Pertumbuhan pada 15 ⁰C 18 ⁰C 27 ⁰C 37 ⁰C 40 ⁰C 43 ⁰C Pertumbuhan pada pH : 4.5 5.0 9.0 9.5 Reduksi nitrat Produksi indol Fermentasi glukosa Arginin dihidrolase Urease Hidrolisis : esculin Gelatin Pati kitin susu skim CMC Β-galaktosidase Asimilasi : glukosa Arabinosa Mannose Manitol N-asetil glukosamin D-maltosa potassium glukonat asam kaprat asam adipat asam malat trisodium sitrat asam fenil asetat Aktivitas pelarutan fosfat pada media Pikovskaya - + + - + - - + + + + - - + + + + - + - - - - - - - - - + + + + - - - - - + - - + Bukan bagian dari uji menggunakan API 20 NE Deskripsi karakter morfologi Koloni M. endophyticus G053 pada media TSA berbentuk bulat, cembung, dengan tepian licin, dan berwarna kuning pucat Gambar 40B1. Pengamatan mikroskopis menunjukkan sel bakteri ini bersifat non-motil dengan penataan sarcina atau bergerombol Gambar 40A1. Diameter ukuran sel M. endophyticus G053 adalah 0.9-1.4 µm Gambar 41A. Sedangkan koloni P. halophilus G062 berbentuk bulat, cembung dengan tepian licin, translucent pada KBA atau krem sampai kecoklatan pada media TSA, dan memiliki konsistensi yang lembut Gambar 40B2 . Gambar 40 Hasil pewarnaan Gram dan morfologi koloni M. endophyticus G053A1, B1 dan P. halophilus G062 A2,B2 yang tumbuh pada media TSA. Koloni G062 umur 10 hari pada media agar LGI yang dimodifikasi terlihat watery, translucent atau opaq, dan berukuran 2-5 mm. Tidak ada pelikel yang terbentuk pada media cair TSB atau LGI. Sel Paracoccus halophilus G062 pada fase eksponensial berbentuk pendek batang atau batang Gambar 40A2 dan 41B, berukuran 0.59-0,89 µm x 1.85-3.3 µm, non-motil, dan tidak memiliki endospora Gambar 40B2. Foto mikrograf elektron payar isolat G062 menunjukkan banyak fibrous material yang berada di sekitar atau menyelimuti sel G062 yang ditumbuhkan pada media TSB Gambar 41B. Keberadaan fibrous material yang menyelimuti sel-sel P. denitificans juga dilaporkan oleh Nokhal dan Schlegel 1983. Berdasarkan reaksinya dengan Ruthenium red, mereka menduga bahwa materi tersebut adalah polianion ekstrasel dan acidic mucosubtances. Gambar 41 Foto mikrograf elektron payar

M. endophyticus

G053 A dan P. halophilus G062 B pada perbesaran 10000X. Identitas Komponen Senyawa VOCs M. endophyticus G053 Hasil analisa menggunakan GC MS menunjukkan bahwa M. endophyticus G053 mengemisikan sedikitnya 16 macam senyawa volatil yang dapat di trapping menggunakan heksan Tabel 11, Lampiran 6. Senyawa 1,2-Dimetoxy-4-2- propenyl benzene atau Methyl eugenol ME merupakan komponen utama VOCs M. endophyticus G053 yang berhasil ditangkap dengan hexan. Selain ME, M. endophyticus juga menghasilkan asam miristat, dibutil ftalat, oktadekan, dan heksadekan dalam konsentrasi yang lebih rendah. Total jumlah peak dan peak yang berhasil diindentifikasi dengan nilai Spectral match factor ≥λ5 yang diperoleh pada hasil percobaan ini tidak jauh berbeda dengan hasil yang diperoleh Ryu dan rekan-rekannya yang melakukan trapping VOCs Bacillus subtilis GB03 menggunakan Super-Q adsorben traps ARS, Galnesville, FL, ekstraksi dengan diklorometan dan identifkasi menggunakan GC MS. Enam peak komponen VOCs dari sekitar 20 peak VOCs B. subtilis GB03 yang ditumbuhkan pada media MS berhasil diidentifikasi sebagai 3-hidroksi-2-butanon, 2,3-butanediol, dekanal, dekan, tetrametil pyrazin, dan undekan Ryu et al. 2004. Jika dibandingkan dengan hasil percobaan Liu et al. 2008, total peak dan ragam komponen VOCs yang berhasil diidentifikasi pada hasil percobaan ini jauh lebih sedikit. Liu et al. 2008 melaporkan bahwa dari hasil trapping VOCs B. subtilis G8 yang dilakukan menggunakan SPME fibers dan dilanjutkan dengan identifikasi menggunakan GC MS diperoleh 30 jenis senyawa yang terdiri dari kelompok alkil, alkohol, ester, keton, asam, amin, oksim, fenol, dan senyawa heterosiklik. Berbeda dengan hasil trapping dan identifikasi VOCs yang diemisikan oleh kedua bakteri tersebut, Siddiquee et al. 2012 melaporkan bahwa identifikasi komponen VOCs dari kultur cair Trichoderma harzianum yang di-trapping menggunakan heksan menghasilkan lebih dari 278 jenis senyawa volatil. Menurut Park et al. 2013 perbedaan ragam dan komposisi VOCs suatu mikroba dipengaruhi oleh jenis mikrba, media pertumbuhannya, pH, dan umur kultur. Tabel 11 Komposisi VOCs

M. endophyticus

G053 yang tertangkap dengan hexan No RT menit Luas Area Pustaka data Identitas berdasar Library Spectral match factor 1 2.821 3.07 2-Hexanone; Hexanal 80 2 4.056 17.82 3-Hexanol 90 3 4.490 22.86 2-Hexanol 83 4 4.724 1.38 1-methylcyclopentanol 91 5 7.765 2.70 Propylcyclopropane 86 6 13.895 1.53 3-Hexanone 53 7 14.330 1.41 Hexadecane 96 8 14.495 3.08 4-methyl pentan-2-one 64 9 16.757 0.98 Heptacosane 91 10 17.591 5.58 Azulene 93 11 19.032 1.29 Octadecane 95 12 19,094 0.81 3,3,5,5-Tetramethylcyclohexanol 43 13 23.473 29.24 1,2-Dimetoxy-4-2-propenyl benzene Methyl eugenol 97 14 26.467 0.94 9E-9-octadecanoid acid 52 15 37.436 3.88 Dibutyl phtalate ; Asam Phtalic, dibutyl ester 96 16 37.615 3.44 Myristic acid 98 RT : Retention time waktu retensi Acetoin dan 2,3-butanadiol yang dihasilkan oleh Bacillus GB-03 adalah senyawa VOCs yang pertama kali dipublikasikan mampu menginduksi ketahanan tanaman Ryu et al. 2004. Senyawa 2-butanon Song et al, 2013 dan heksadekan Park et al. 2013 merupakan senyawa terbaru yang dilaporkan memiliki kemampuan tinggi dalam memicu ketahanan tanaman. Namun dari studi leteratur yang telah dilakukan, belum ada laporan tentang asam miristat dan metil eugenol sebagai komponen VOCs bakteri. Pengaruh VOCs Isolat G053 dalam Menekan Gejala Layu Bakteri pada Planlet dan Produksi EPS Satu dasa warsa terakhir banyak publikasi yang memaparkan bukti-bukti peran senyawa organik yang mudah menguap Volatile Organic Compounds: VOCs dalam meningkatkan ketahanan tanaman terhadap penyakit Park et al. 2013, Ryu et al. 2004. Terkait dengan kemampuan isolat G053 dalam menghasilkan VOCs lihat bagian karakterisasi, maka dilakukan uji untuk mengetahui pengaruh VOCs tersebut terhadap munculnya gejala penyakit layu bakteri pada planlet dan produksi EPS R. solanacearum. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa VOCs yang diemisikan oleh isolat G053 mampu menurunkan 46.7 gejala layu bakteri pada planlet yang diinfeksi Ralstonia solanacearum Tabel 12, Gambar 42A. Berbeda dengan plantlet +VOCs yang sebagian besar tumbuh relatif normal setelah inokulasi R. solanacearum, pertumbuhan planlet kontrol tampak terhambat dan banyak akar udara yang tumbuh di bagian batangnya Gambar 42B. Tabel 12 Nilai DI layu bakteri pada kelompok planlet yang tidak dipapar dan dipapar dengan VOCs dari isolat G053 No. Plantlet kontrol Plantlets + G053 VOCs Jumlah plantlet layu Gejala terlihat hari DI Jumlah plantlet layu Gejala terlihat hari DI 1 3 4, 4,5 100 1 14 33 2 3 3,3, 3 100 3 8, 8 67 3 3 2,3,3 100 1 9 33 4 3 4, 4, 4 100 3 8,8,9 100 5 3 5, 5, 5 100 - 6 2 13, 14 67 2 10,11 67 7 3 5,5,6 100 - 8 3 5, 5, 5 100 3 10, 10, 10 100 9 3 4,4, 4 100 1 14 33 10 3 3, 3, 4 100 2 13, 14 67 Rata-rata 96.7 50 Standar eror 3.3 11.4 Gambar 42 Pengaruh paparan VOCs isolat bakteri endofitik G053 terhadap munculnya gejala layu bakteri pada planlet Penurunan secara nyata nilai Disease Insidence layu bakteri pada planlet kentang yang dipapar VOCs dan diinfeksi R. solanacearum Tabel 12 mengindikasikan bahwa VOCs yang dihasilkan oleh bakteri endofit ini dapat meningkatkan ketahanan planlet terhadap penyakit layu bakteri. Peran senyawa VOCs bakteri penginduksi resistensi tanaman telah banyak dipublikasikan dalam berbagai jurnal ilmiah Vespermann et al. 2007; Bailly and Weisskopf 2012; Kim et al. 2013; Park et al. 2013. Salah satu komponen VOCs M. endophyticus G053 adalah heksadekan Gambar 43. Heksadekan merupakan senyawa volatil rantai panjang yang tersusun atas 16 rantai karbon C16 Gambar 43. Senyawa volatil ini dilaporkan dapat dihasilkan oleh Paenibacillus polymixa E681 dan telah terbukti dapat meningkatkan ketahanan Arabidopsis thaliana terhadap P. syringae pv. maculicola ES4326 Lee et al. 2012; Park et al. 2013. Berdasarkan hasil penelitian Park et al. 2013, heksadekan diusulkan sebagai kandidat senyawa sinyal baru yang dapat menginduksi ekspresi gen PR1. Dibandingkan dengan acetoin dan 2,3-butanediol yang dihasilkan Bacillus sp. GB03, kekuatan heksadekan dalam menginduksi ketahanan A. thaliana terhadap E. carotovora sub sp. carotovora jauh lebih kuat Ryu et al. 2004; Park et al. 2013. Paparan heksadekan secara langsung pada akar A. thaliana terbukti meningkatkan level transkripsi gen PR1 4000 kali dalam 6 jam Park et al. 2013. Gambar 43 Struktur molekul heksadekan A dan metil eugenol B Pengukuran kadar EPS R. solanacearum Rs menunjukkan bahwa paparan VOCs M. endophyticus G053 terhadap kultur patogen ini dapat menekan produksi EPS. Selisih kadar EPS yang dihasilkan oleh kultur R. solanacearum yang tidak dipapar dan yang dipapar VOCs mencapai 34.14 untuk isolat R. solanacearum A dan 154.97 untuk isolat Rs B Tabel 13. EPS dipercaya sebagai salah satu faktor virulensi utama bagi Rs walaupun peran tepatnya pada penyakit layu bakteri belum dipahami secara jelas Milling et al. 2011. Semua strain Rs yang virulen dilaporkan memiliki koloni yang mukoid karena produksi EPS yang tinggi. Sebaliknya Rs yang koloninya tidak mukoid defisiensi EPS adalah tidak virulen Buddenhagen et al. 1964; Boucher et al. 1992; Kelman 1954; Poussier et al. 2003. Menurut hipotesis yang berkembang selama ini, EPS berperan dalam melindungi patogen dari pengenalan dan sistem pertahanan tanaman inang, penyumbatan tabung xilem yang menyebabkan terhentinya transportasi air, dan pada akhirnya menghancurkan tabung xilem akibat tingginya tekanan hidrostatik dalam saluran pembuluh tersebut Milling et al. 2011. Paparan metil eugenol ME yang merupakan komponen utama VOCs G053 Gambar 43 juga mampu menekan produksi EPS R. solanacearum walaupun lebih lemah jika dibandingkan dengan pengaruh kompleks VOCs-nya Tabel 13. Ini mengindikasikan bahwa terdapat sinergi diantara komponen-komponen VOCs dalam menekan produksi EPS Rs. Mekanisme VOCs dan ME dalam menekan produksi EPS oleh Rs tidak dikaji dalam penelitian ini sehingga belum diketahui secara pasti bagaimana mekanismenya. Namun dalam beberapa publikasi ilmiah disebutkan bahwa pada sel bakteri terdapat beberapa mode of action target untuk minyak esensial essential oil : Eos. Eos dapat meningkatkan permeabilitas, mengganggu fungsi, dan membocorkan membran Lambert et al. 2001; Burt 2004; Devi et al. 2010. Pada permukaan membran juga terletak berbagai molekul reseptor dan protein membran yang penting untuk sistem pensinyalan serta transpor yang akan terpengaruh jika membran terganggu. Di bagian pendahuluan telah disebutkan bahwa berbagai publikasi hasil penelitian membuktikan bahwa VOCs mikroba dapat mempengaruhi beberapa fenotipe mikroba lainnya, namun belum pernah ada laporan yang menyebutkan pengaruhnya terhadap produksi EPS pada R. solanacearum. Berdasarkan penelusuran literatur tersebut, hasil penelitian ini merupakan laporan pertama tentang bukti adanya penekanan produksi EPS Ralstonia solanacearum oleh senyawa volatil. Tabel 13 Perbedaan kadar EPS kultur R. solanacearum yang dipapar VOCs isolat G053 dan metil eugenol dengan kultur yang tidak dipapar volatil. Patogen uji Senyawa volatile ∆ kadar EPS Isolat Rs A G053 VOCs 34.14 ± 5.64 Isolat Rs B G053 VOCs 154.97 ± 9.14 Isolat Rs A Metil eugenol 4.70 ± 0.48 Isolat Rs B Metil eugenol 75.06 ± 4.56 dihitung dari selisihnya dengan EPS kultur Rs yang tidak dipapar VOCs atau ME Tampilan planlet kontrol +Rs yang banyak ditumbuhi akar udara pada bagian batangnya Gambar 42B menunjukkan upaya planlet dalam menyerap uap air yang ada di head space botol kultur karena tidak dapat mengambil air dari dalam media akibat tersumbatnnya xilem planlet oleh biomasa R. solanacearum. Hal itu mengindikasikan bahwa VOCs yang dihasilkan isolat G053 juga dapat berfungsi secara in planta dalam menekan produksi EPS oleh R. solanacearum. Fitopatogen ini juga telah diketahui sebagai produsen IAA Jimtha et al. 2014. Kemungkinan keterlibatan IAA yang diproduksi oleh R. solanacearum pada level yang menganggu keseimbangan kadar fitohormon endogen planlet juga perlu dipertimbangkan kontribusinya dalam merangsang proses morfogenesis akar udara tersebut. Pemaparan senyawa VOCs bakteri terhadap planlet dan kultur R. solanacearum dalam percobaan ini merupakan percobaan yang masih bersifat awal preliminary, sehingga belum dilakukan pengujian aktivitas masing-masing senyawa murni komponen VOCs. Percobaan dirancang agar kompleks VOCs yang dihasilkan oleh bakteri endofit yang diuji langsung mengenai target uji planlet atau R. solanacearum dengan cara menumbuhkan secara bersama-sama dalam suatu wadah tetapi tanpa ada kontak fisik antara bakteri endofit dan target uji. Ditinjau dari berbagai sudut pandang, rancangan seperti ini lebih sesuai dan menguntungkan untuk tahap penelitian yang sifatnya eksploratif dan masih dini karena pengaruh dari total komponen VOCs baik yang mayor, minor, sinergis, ataupun antagonis diantara satu terhadap yang lainnya dapat teramati. Disisi lain, proses pemurnian dapat menghilangkan komponen-komponen minor sehingga akan memerlukan volume total sampel VOCs yang besar untuk menghindari resiko rendahnya tingkat recovery dari teknik atau prosedur pemurnian serta hambatan tingkat limit deteksi alat yang digunakan. Ini penting untuk diperhatikan karena boleh jadi komponen bioaktif yang dicari ternyata adalah komponen minor VOCs. Selain itu secara alami mikroba menghasilkan VOCs dalam bentuk campuran, sehingga rancangan percobaan seperti ini sesuai dan diperlukan bila aplikasinya direncanakan langsung menggunakan mikroba penghasilnya. Tanpa mengurangi arti dan manfaat dari rancangan yang telah diuraikan sebelumnya, penelitian aktivitas VOCs menggunakan komponen- komponen VOCs yang telah dimurnikan akan sangat penting bagi kajian dan pengembangan senyawa-senyawa baru, mode of action, sinergime, antagonisme dari masing-masing senyawa komponen. Peran

M. endophyticus

G053 dan P. halophilus G062 dalam Induksi Resistensi Tanaman Kentang

M. endophyticus

G053 dan P. halophilus G062 merupakan bakteri endofit kentang yang memiliki berbagai karakter yang berguna untuk meningkatkan ketahanan tanaman kentang terhadap penyakit layu bakteri. Emisi VOCs, produksi kitinase, dan siderofor oleh

M. endophyticus

G053 serta produksi siderofor dan dugaan produksi senyawa mirip 2,4-diasetilfluoroglusinol oleh P. halophilus G062 adalah karakter-karakter yang dikenal mampu menginduksi resistensi tanaman Park et al. 2013; Choudhary dan Johri 2009; Zamioudis dan Pieterse 2012; Francis et al. 2010; Tsavkelova et al. 2006; compant et al. 2005; Ryu et al. 2004. Bukti dan peran VOCs

M. endophyticus

G053 dalam meningkatkan ketahanan tanaman telah dipaparkan dan diuraikan pada bagian sebelumnya. Selain berperan sebagai antifungi, siderofor dan 2,4- diasetilfloroglusinol dilaporkan dapat menginduksi ketahanan pada berbagai tanaman diantaranya tembakau, lobak, dan padi serta arabidopsis dan tomat. Kitin serta senyawa spesifik mikroba lainnya seperti LPS dan eksopolisakarida juga mampu menginduksi resistensi tanaman Choudhary and Johry 2009; Tsavkelova et al. 2006; compant et al. 2005: Ryals et al. 1996. Induced Systemic Resistance ISR dan Systemic Acquired resistance SAR adalah 2 tipe resistensi tanaman. ISR diaktivasi oleh bakteri non patogenik, sedangkan SAR diaktivasi oleh bakteri fitopatogenik. Berbagai penelitian terhadap respon sistem transduksi sinyal dan lintasan biokimia tanaman model Arabidopsis ketika terjadi induksi ISR oleh bakteri nonpatogenik menunjukkan bahwa lintasan ISR bersifat Salicylic Acid SA independent, tapi bersifat dependent terhadap ET, Jasmonic Acid JA, serta gen regulator npr-1. Induksi ISR juga tidak menyebabkan akumulasi Pathogen-related PR protein Song and Ryu 2013; Kloepper and Ryu 2006, Pieterse et al. 2001. Sebaliknya, induksi SAR pada tanaman oleh bakteri patogen bersifat SA dependent dan mengakibatkan akumulasi PR protein Song dan Ryu 2013, Kloepper dan Ryu 2006. Relatif tingginya emisi etilen oleh tanaman G053 dibandingkan dengan tanaman kontrol setelah infeksi R. solanacearum Tabel 4 mengindikasikan adanya peningkatan respon ketahanan melalui aktivasi ISR pada tanaman yang diperkaya dengan M. endophyticus G053 Gambar 44. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, diduga peningkatan produksi etilen itu disebabkan oleh peningkatan kapasitas dan atau sintesis enzim ACC sintase dan atau ACC oksidase. Dugaan tersebut sesuai dengan model hubungan produksi etilen dengan aktivasi ISR yang diusulkan oleh Pieterse et al. 2001 Gambar 45. Gambar 44 Model hipotetik induksi resistensi sistemik hibrid tanaman kentang oleh M. endophyticus G053 Gambar 45 Produksi etilen dan kaitannya dengan ISR Pieterse et al. 2001 Karakter M. endophyticus G053 yang non-fitopatogenik dan mampu memproduksi heksadekan, siderofor dan kitinase, serta didukung oleh bukti penurunan nilai Disease Insidence dan peningkatan emisi etilen yang sangat signifikan pada tanaman inang mengindikasikan bahwa induksi ketahanan yang dihasilkan dalam interaksi antara bakteri endofit ini dengan tanaman kentang inang terjadi melalui aktivasi secara paralel hibrid lintasan asam salisilat SAR dan lintasan asam jasmonat ISR Gambar 44. Heksadekan merupakan kandidat senyawa sinyal baru penginduksi protein PRI, yaitu suatu protein yang merupakan produk hilir dalam aktivasi lintasan SAR Park et al. 2013. Berbeda dengan M. endophyticus G053, peningkatan ketahanan yang dihasilkan dari interaksi P. halophilus G062 dengan tanaman kentang inang, diduga disebabkan oleh aktivasi lintasan ISR seperti ketahanan tanaman yang diinduksi oleh bakteri endofit pada umumnya. Selain induksi ISR dan SAR, efektivitas M. endophyticus G053 dalam menurunkan Disease Insidence DI layu bakteri juga diperkuat oleh kemampuan kolonisasi dan persistensinya yang sangat tinggi di dalam jaringan tanaman kentang. Akumulasi efek induksi ISR dan SAR secara paralel, dan efek biokontrol pada tanaman yang diperkaya M. endophyticus G053 diduga merupakan penyebab perbedaan nilai DI yang sangat nyata antara tanaman yang diperkaya dengan M. endophyticus G053 dibandingkan dengan tanaman yang diperkaya P. halophilus G062. Peran bakteri endofit ini sebagai Plant Growth Promoter PGP juga tidak dapat diabaikan korelasi dan kontribusinya dalam peningkatan ketahanan tanaman. Seperti telah diuraikan pada bagian sebelumnya, kemampuan fiksasi nitrogen, produksi senyawa mirip fitohormon oleh kedua bakteri endofit, dan kemampuan pelarutan fosfat P. halophilus G062 berkorelasi dengan peningkatan pertumbuhan tanaman kentang inang. Selain berperan sebagai penginduksi resistensi dan antifungi, diduga siderofor juga turut berperan penting dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman kentang inang. Berdasarkan semua hasil dan bukti percobaan yang dilakukan dalam penelitian ini, M. endophyticus G053 merupakan bakteri endofit yang memiliki berbagai karakter yang sangat berguna multiple beneficial characters untuk meningkatkan ketahanan dan melindungi tanaman kentang dari penyakit layu bakteri, serta meningkatkan pertumbuhan dan produktivitasnya. Oleh karena itu bakteri ini sangat potensial dikembangkan menjadi agen hayati yang baik dan unggul untuk meningkatkan ketahanan dan pertumbuhan tanaman kentang. Dibandingkan dengan M. endophyticus G053, potensi P. halophilus G062 sebagai agen hayati untuk meningkatkan ketahanan dan pertumbuhan tanaman kentang relatif lebih rendah. Namun aktivitas fiksasi nitrogennnya yang relatif tinggi serta aktivitas pelarutan fosfat yang dimilikinya menjadikannya layak dipertimbangkan sebagai komponen untuk formulasi agen hayati pemacu pertumbuhan tanaman. Kombinasi kedua bakteri ini dalam satu formula perlu dikaji sebagai langkah awal untuk mengembangkan agen hayati yang unggul untuk menginduksi resistensi serta memacu pertumbuhan tanaman. SIMPULAN Sebanyak 214 isolat bakteri berhasil diisolasi dari jaringan dalam tanaman kentang Granola dan Atlantic. Melalui penapisan secara bertahap terhadap isolat yang diperoleh, 2 isolat yaitu G053 dan G062 mampu meningkatkan secara nyata ketahanan tanaman kentang terhadap penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum pada media tanam tidak steril dan steril. Penurunan Disese Incidence DI layu bakteri pada tanaman kentang yang diperkaya dengan isolat G053 dan G062 dan ditanam pada media steril berurut-turut mencapai 92 dan 46. Kedua isolat G053 dan G062 tersebut diisolasi dari bagian batang tanaman kentang varietas Atlantic yang berasal dari Garut. Isolat G053 secara molekuler teridentifikasi sebagai Micrococcus endophyticus 98. Bakteri ini memiliki berbagai karakter yang dapat menginduksi ketahanan tanaman kentang melalui lintasan asam jasmonat ISR dan asam salisilat SAR secara paralel. Induksi ISR oleh bakteri endofit ini berkorelasi dengan kemampuannya mengekskresikan siderofor dan kitinase, sedangkan aktivasi lintasan asam salisilat diduga berkaitan dengan heksadekan yang merupakan salah satu komponen Volatile Organic Compounds VOCs yang diemisikannya. Heksadekan yang merupakan kandidat senyawa sinyal baru untuk aktivasi lintasan SAR dengan kapasitas aktivasi yang sangat kuat. Selain heksadekan, VOCs yang diemisikan oleh bakteri ini juga mengandung Metil Eugenol ME yang dapat menekan produksi EPS yang merupakan faktor virulensi utama R. solanacearum. Selain kelebihannya dalam memproduksi senyawa volatil tersebut, M. endophyticus G053 memiliki kemampuan kolonisasi dan persistensi yang tinggi di dalam jaringan tanaman kentang terutama di bagian xilem. Kemampuan kolonisasi jaringan xilem ini merupakan karakter penting bagi M. endophyticus G053 terkait dengan tujuan aplikasinya sebagai agen biologis penginduksi ketahanan dan biokontrol untuk penyakit tumbuhan tipe vascular disease seperti layu bakteri. Karakter ini berkontribusi dalam kompetisi ruang dan dominansinya terhadap R. solanacearum di jaringan xilem. Peningkatan pertumbuhan tanaman yang disebabkan oleh peningkatan ketersediaan nutrisi oleh aktivitas penambatan nitrogen, pelarutan fosfat, serta produksi senyawa mirip fitohormon IAA, GA, zeatin, dan ABA like compound oleh M. endophyticus G053 juga tidak dapat diabaikan kontribusinya terhadap kesehatan tanaman. Umpan balik dari kesehatan dan pertumbuhan tanaman kentang yang baik menghasilkan produktivitas umbi yang tinggi pada tanaman yang diperkaya dengan bakteri endofit ini. Akumulasi dari kemampuan M. endophyticus G053 dalam menginduksi ketahanan, meningkatkan pertumbuhan, dan mengkolonisasi xilem menjadikan bakteri endofit ini sebagai kandidat agen hayati yang unggul. Isolat G062 secara molekuler teridentifikasi sebagai Paracoccus halophylus 98. P. halophylus G062 mampu memproduksi siderofor dan diduga mampu memproduksi senyawa DAPG yang dapat menginduksi ISR tanaman kentang. Bakteri ini juga mampu menambat nitrogen, melarutkan fosfat, serta memproduksi senyawa mirip fitohormon IAA, GA, zeatin, dan ABA like. Selain itu, siderofor yang yang dihasilkan oleh bakteri juga berperan dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman dan produktivitas umbi tanaman kentang. Kemampuan kolonisasi bakteri ini cukup tinggi namun relatif lebih rendah dibandingkan M. endophyticus G053. Berdasarkan berbagai karakter yang dimilikinya, M. endophyticus G053 sangat potensial dan ideal untuk dikembangkan sebagai agen hayati yang bersifat multifungsi sebagai penginduksi ketahanan dan biokontrol vascular disease khususnya layu bakteri yang efektif serta sebagai agen pemacu pertumbuhan dan produktivitas tanaman kentang. Sedangkan P. halophylus G062 lebih sesuai untuk dikembangkan sebagai agen hayati untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman PGPB kentang. Kajian lebih lanjut tentang kombinasi dan formulasi kedua bakteri endofit tersebut tersebut perlu dilakukan untuk menghasilkan agen hayati yang lebih unggul dan bersifat multifungsi. DAFTAR PUSTAKA huja I, Kissen R, Bones AM. 2011. Phytoalexins in defense against pathogens. Trend Plant Sci. 172: 73-101. Ahmad F, Ahmad I, Khan MS. 2008. Screening of free-living rhizospheric bacteria for their multiple plant growth promoting activities. Microbiol Res. 163:173-181. Almagro L, Ros LVG, Belchi-Navarro S, Bru R, Barcelo AR, Pedren MA. 2009. Class III peroxidases in plant defence reactions. J Experiment Bot. 602:377-390. Andreote FD, da Rocha UN, Araujo WL, Azevedo JL, Overbeek LSV. 2010. Effect of bacterial inoculation, plant genotype and developmental stage on root-associated and endophytic bacterial communities in potato Solanum tuberosum. Antonie van Leeuwenhoek. 97:389–399. Asada K. 1999. The water–water cycle in chloroplasts: scavenging of active oxygens and dissipation of excess photons. Annu Rev Plant Physiol Plant Mol Biol. 50:601–639. Bailly A, Weisskopf L. 2012. The modulating effect of bacterial volatiles on plant growth. Plant Signal Behav. 71:79-85. Benson HJ. 2001. Microbiological Application Laboratory Manual in. General Microbiology. Brown AE ed. Bennett JW, Hung R, Lee S, Padhi S. 2012. Fungal and bacterial Volatile Organic Compounds : an overview and their role as ecological signaling agents. The Mycota. 9: 373-393. New York, US. Mc Graw Hill. Boucher CA, Gough CL, Arlat M. 1992. Molecular genetics of pathogenicity determinants of Pseudomonas solanacearum with special emphasis on hrp genes. Annu Rev Phytopathol. 30:443-461. Buddenhagen IW, Kelman A. 1964. Biological and physiological aspects of bacterial wilt caused by Pseudomonas solanacearum. Annu Rev Phytopathol. 2:203-230. Bradford M. 1976. A rapid and sensitive method for the quantization of microgram quantities of protein utilizing the principle of protein-dye binding. Anal Biochem. 72: 248-254. Buck JD. 1982. Nonstaining KOH method for determination of Gram reaction of marine bacteria. App Environ Microbiol. 44:992-993. Burt S. 2004. Essential oils: their antibacterial properties and potential applications in foods-a review. Int J Food Microbiol. 943:223–253. Caverzan A, Passaia G, Rosa SB, Ribeiro CW, Lazzarotto F, Pinheiro MM. 2012. Plant responses to stresses: role of ascorbate peroxidase in the antioxidant protection. Gene Molec Biol. 35:1011-1019. Chaurasia B, Pandey A, Palni LMS, Trivedi P, Kumar B, Colvin N. 2005. Diffusible and volatile compounds produced by an antagonistic Bacillus subtilis strain cause structural deformations in pathogenic fungi in vitro. Microbial Res. 160:75-81. Chi Y, Y Yang, Y Zhou,J Zhou, B Fan, JQ Yu, Z Chen. 2013. Protein-protein interactions in the regulation of WRKY transcription factors. Molec Plant. 5:1-15. Chisholm ST, Coaker G, Day B, Staskawicz BJ. 2006. Host-microbe interactions: shaping the evolution of the plant immune response. Cell. 124:803-814. Choudhary DK, Johri BN. 2009. Interactions of Bacillus spp. and plants-with special reference to induced systemic resistance ISR. Microbiol Res. 1645:493-513. Clifford JMC, Scherf JM, Allen C. 2010. Ralstonia solanacearum Dps contributes to oxidative stress tolerance and to colonization of and virulence on tomato plants. Appl Environ Microbiol. 7622: 7392–7399. Compant S, Reiter B, Sessitsch A, Nowak J, Clement C, Barka EA. 2005. Endophytic colonization of Vitis vinifera L. by Plant Growth-Promoting bacterium Burkholderia sp. strain PsJN. Appl Environ Microbiol. 714:1685–1693. Compant S, Duffy B, Nowak J, Clement C, Barka EA. 2005. Use of plant growth-promoting bacteria for biocontrol of plant diseases : principles, mechanisms of action, and future prospect. Appl Environ Microbiol. 719:4951–4959. Denance N, Vallet AS, Goffner D, Molina A. 2013. Disease resistance or growth : the role of plant hormones in balancing immune responses and fitness costs. Front Plant Sci. 4155. doi. 10.3389. Deslandes L, Pileur F, Liubert L, Boucher L, Arlat M. 2002. Resistance to Ralstonia solanacearum in Arabidopsis thaliana in conferred by the recessive RRS1-R gene, a member of novel family of resistance gene. Proc Natl Acad Sci. 99:2404-2409. Dale E. 2009. Ultrasonics: Data, Equations, and Their Practical Uses, Volume 10. Boca Raton, Florida. CRC Press Taylor Francis Group. Deng ZS, Zhao LF, Xu L, Kong ZY, Zhao P, Qin W, Chang JL, Wei GH. 2011. Paracoccus sphaerophysae sp. nov., a siderophore-producing, endophytic bacterium isolated from root nodules of Sphaerophysa salsula. Intl J Syst Evol M icrobiol. 61:665-669. Devi KP, Nisha SA, Sakthivel R, Pandian SK. 2010. Eugenol an essential oil of clove acts as an antibacterial agent against Salmonella typhi by disrupting the cellular membrane. J Ethnopharmacol. 1301: 107–115. Dimkpa CO, Merten D, Svatoš A, Büchel G, Kothe E. 2009. Metal-induced oxidative stress impacting plant growth in contaminated soil is alleviated by microbial siderophores. Soil Biol Biochem. 411:154–162. Dong YH, Xu JL, Li XC, Zang LH. 2000. aiiA, a novel enzyme inactivates acyl homoserine-lactone quorum-sensing signal and attenuates the virulence of Erwinia carotovora. Proc Natl Acad Sci 97:3526–3531. Dong YH, Zhang LH. 2005. Quorum sensing and quorum-quenching enzymes. J Microbiol 43: 101-109. Dubois M, Gilles KA, Hamilton JK, Rebers PA, Smith F. 1956. Colorimetric method for determination of sugars and related substances. Anal Chem. 283:350-356. Ergűn N, Topcuo ģlu SF, Yildiz A. 2002. Auxin Indole-3-acetic acid, Gibberellic acid GA 3 , Abscisic Acid ABA and Cytokinin Zeatin production by some species of mosses and lichens. Turk J Bot. 26:13-18. Faitlin F, Lottmann J, Grosch R, Berg G. 2004. Srategy to select and assess antagonistic bacteria for biological control of Rhizoctonia solani Kühn. Can. J. Microbiol. 5010:811-820. Fernando WGD, Ramarathnam M, Krishnamoorthy AS, Savchuk SV. 2005. Identification and use of potential bacterial organic antifungal volatiles in biocontrol. Soil Biol Biochem. 37:955964. Ferreira A, Quecine MC, Lacava PT, Oda S, Azevedo JL, Araujo WL. 2008. Diversity of endophytic bacteria from Eucalyptus species seeds and colonization of seedlings by Pantoea agglomerans. FEMS Microbiol Lett. 287: 8–14. Flores-Mireles AL, Winans SC, Holguin G. 2007. Molecular characterization of diazotrophic and denitrifying bacteria associated with mangrove roots Appl Environ Microbiol. 7322:7308–7321. Francis I, Holsters M, Vereecke D. 2010. The Gram-positive side of plant microbe interactions. Environ Microbiol. 121:1-12. Genin S. 2010. Molecular traits controlling host range and adaptation to plants in Ralstonia solanacearum. New Phytol. 187: 920–928. Glazebrook J. 2005. Contrasting mechanisms of defence against biotrophic and necrotrophic pathogens. Annu Rev Phytopathol. 43:205-227Glick, BR. 2012. Plant Growth-Promoting Bacteria: Mechanisms and Applications. Scientifica. 1-15. Glickmann E, Dessaux Y. 1995. A critical examination of the specificity of the Salkowski reagent for indolic compounds produced by phytopathogenic bacteria. Appl. Environ. Microbiol. 61:793-796. Goldstein JI, Newbury DE, Echlin P, Joy DC, Romig AD Jr., Lyman CE, Fiori C, Lifshin E. 1992. Scanning electron microscopy and X-ray microanalysis: a text for biologist, materials scientist, and cytologists 2 nd edition. New York, USA, Plemun Press. Gothwal RK, Nigam VK, Mohan MK, Sasmal D, Ghosh P. 2008. Screening of Nitrogen fixers from rhizospheric bacterial isolates associated with important dessertplants. Appl Ecol Environ Res. 62:101-109. Grimault V, Prior P. 1993 Bacterial wilt resistance in tomato associated with tolerance of vascular tissues to Pseudomonas solanacearum. Plant Pathol. 42: 589–594. Gunawan OS. 2006. Virulensi dan ras Ralstonia solanacearum pada pertanaman kentang di kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. J Hort. 163:211-218. Gunawan OS, Smith EF. 1987. Survival of Pseudomonas solanacerum in the rhizosphere and non-rhizosphere of weeds and economic plant species. Midelevation potato seminar proceedings. Lembang Indonesia, 15 January. Gupta RS. 2005. Protein signatures distinctive of alpha proteobacteria and its subgroups and a model for alpha-proteobacterial evolution. Crit Rev Microbiol. 312:101-35. Hadioetomo RS. 1993. Mikrobiologi Dasar dalam Praktek: Teknik dan Prosedur Dasar Laboratorium. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama. Hallmann J, Berg G. 2006. Spectrum and population dynamics of bacteria root endophytes. In. Schulz BJC, Boyle CJC, Sieber TN eds.. Microbial Root Endophytes. Berlin Heidelberg, Germany. Springer. Hallmann J, Hallmann A, Mahaffee WF, Kloepper JW. 1997. Bacterial endophytes in agricultural crops. Can J Microbiol. 4310: 895-914. Halim VA, S Altmann, D. Ellinger, L Eschen-Lippold, O Miersch, D Scheel, S Rosahl. 2009. PAMP-induced defense responses in potato require both salycylic acid and jasmonic acid. The Plant J. 57:230-242. Hayward AC. 1990. Diagnosis, distribution and status of groundnut bacterial wilt. In: Middleton KJ, Hayward AC eds. Bacterial Wilt of Groundnut. ACIAR Proceddings 31. Heath MC. 2000. Hypersensitive response-related death. Plant Molec Biol. 443: 321-334. Hider RC, Kong X. 2010. Chemistry and biology of siderophores. Nat Product Rep. 275: 637–657. Hirsch J, Deslandes L, Feng DX, Balague C, Marco Y. 2002. Delayed symptom development in ein2-1, an arabidobsis ethylene insensitive mutant, in response to bacterial wilt caused by Ralstonia solanacearum. Phytopathology. 92:1142-1148. Höfling JF, Rosa EA, Baptista MJ, Spolidório DM. 1997. New strategies on molecular biology applied to microbial systematics. Rev Inst Med Trop Sao Paulo. 396:345-52. Hoon KS, Cho HS, Cheong H, Ryu CM, Kim JF, Park SH. 2007. Two bacterial endophytes eliciting both plant growth promotion and plant defense on pepper Capsicum annuum L. J Microbiol Biotechnol. 171 : 96-103. Hu QP, Xu JG. 2011. A simple double-layered chrome azurol S agar SD- CASA plate assay to optimize the production of siderophores by a potential biocontrol agent Bacillus. Afr J Microbiol Res. 525:4321-4327. Jacobs JM, Babujee L, Meng F, Milling A, Allen C. 2012. The In Planta Transcriptome of Ralstonia solanacearum: Conserved Physiological and Virulence Strategies during Bacterial Wilt of Tomato. mBio. 34: e00114- 12. Jackson MT, Gonzalez LC. 1979. Persistence of Pseudomonas solanacearum in an inceptisol in Costa Rica In: Development in control of potato bacterial diseases. Report of a planning conference, held by the International Potato Center. Apartado 5969. pp 66-71. Lima, Peru. 1979. 137 p. Jie L et al. 2009. Artificial inoculation of banana tissue culture plantlets with indigenous endophytes originally derived from native banana plants. Bio Control. 513:427-434. Jimtha JC, Smitha PV, Anisha C, Deepthi T, Meekha G, Radhakrishnan EK, Gayatri GP, Remakanthan A. 2014. Isolation of endophytic bacteria from embryogenic suspension culture of banana and assessment of their plant growth promoting properties. Plant Cell Tiss Organ Cult. 1181:57-66. Kar M, Mishra D. 1976. Catalase, peroxidase, and polyphenoloxidase activities during rice leaf senescence. Plant Physiol. 57 2: 315-319. Kavino M et al. 2007. Rhizosphere and endophytic bacteria for induction of systemic resistance of banana plantlets against bunchy top virus. Soil Biol Biochem. 395:1087-1098. Kelman A. 1954. The relationship of pathogenicity in Pseudomonas solanacearum to colony appearance on a tetrazolium medium. Phytopathol. 44:693-695. Kim KS, Lee S, Ryu CM. 2013. Interspesific bacterial sensing through airborne signals modulates locomotion and drug resistance. Nat Commun. 41809. Kim YC, Leveau J, Gardener BBMS,Pierson EA, Pierson LS III, Ryu CM. 2011. The multifactorial basis for plant health promotion by plant-associated bacteria. Appl Environ Microbiol. 775: 1548–1555. Kloepper JW, Ryu CM. 2006. Bacterial endophytes as elicitors of induced systemic resistance. Schulz BJE, Boyle CJC, Sieber TN eds. Microbial Root Endopphytes. Springer-Verlag, Berlin. p. 33-44. Koch C, Rainey FA, Stackebrandt E. 1994. 16s rDNA studies on members of Arthrobacter and Micrococcus: an aid for their future taxonomic restructuring. FEMS Microbiol Lett. 123: 167-172. Koste AY, Thomma BPHJ. 2013 The xylem as battleground for plant hosts and vascular wilt pathogens. Front Plant Sci. 497:1-12. Krechel A, Faupel A, Hallmann J, Ulrich A, Berg G. 2002. Potato-associated bacteria and their antagonistic potential towards plant-pathogenic fungi and the plant-parasitic nematode Meloidogyne incognita Kofoid White Chitwood. Can. J. Microbiol. 48:9 772-786. Lambert RJ, Skandamis PN, Coote PJ, Nychas GJ. 2001 A study of the minimum inhibitory concentration and mode of action of oregano essential oil, thymol and carvacrol. J Appl Microbiol. 91:453-462. Lamminen MO, Walker HW, Weavers LK. 2004. Mechanisms and factors influencing the ultrasonic cleaning of particle-fouled ceramic membrane. J Membrane Sci. 2371: 213–223. Liu W, Mu W, Zhu B, Liu F. 2008. Antifungal activities and component of VOCs produced by Bacillus G8. Cur Res Biotechnol. 1:28-34. Liu ZP, Wang BJ, Liu XY, Dai X, Liu YH, Liu SJ. 2008. Paracoccus halophillus sp. nov., isolated from marine sediment of the South China Sea, China, and emended description of genus Paracoccus Davis 1969. Intl J Syst Evol Microbiol. 58:257-261. Ludwig W. 2007. Nucleic acid techniques in bacterial systematics and identification. Int J Food Microbiol. 1203:225-36. Lopez-Lopez A, Rogel MA, Omeho-Orrillo E, Martinez-Romero J, Martinez- Romero E. 2010. Phaseolus vulgaris seed-borne endophytic community with novel bacterial species such as Rhizobium endophyticum sp. nov. Syst Appl Microbiol. 33:322-327. Letoffé S, Audrain B, Bernier SP, Delepierre M, Ghigo JM. 2014. Aerial exposure to the bacterial volatile compound trimethylamine modifies antibiotic resistance of physically separated bacteria by raising culture medium pH. mBio. 51:e00944-13. Ma W, GA Berkowitz. 2011. Ca 2+ conduction by plant cyclic nucleotide gated channels and associated signaling components in pathogen defense signal transduction cascades. New Phytol. 190 : 566-572. Machmud M. 2003. Bacterial wilt in Indonesia. In. Persley GJ ed. Bacterial Wilt Disease in Asia and the South Pasific. Proc International Workshop, PCARRD-ACIAR, Philippines. ACIAR Proceedings 13:32-34. Mano H, Morisaki H. 2008. Endophytic bacteria in rice plant. Microbes Environ. 232109-117. Mansfield J, Genin S, Magori S, Citovsky C, Sriariyanum M, Ronald P, Dow M, Verdier V, Beer SV, Machado MA, Toth I, Salmond G, Foster GD. 2012. Top 10 plant pathogenic bacteria in molecular plant pathology. Mol Plant Pathol. 136:614-629. Marchesi JR et al. 1998. Design and evaluation of useful bacterium-specific PCR primer that amplify genes coding for bacterial 16S rRNA. Appl Environ Microbiol. 64: 795-799. Mavrodi DV, Gardener BBMS, Mavrodi DM, Bonsall RF, Weller DM. Thomashow LS. 2001. Genetic diversity of phlD from 2,4- diacetylphloroglucinol-producing fluorescent Pseudomonas spp. Phytopathology. 91: 35-43. Meldau S, Erb M, Baldwin IT. 2012. Defence on demand : mechanisms behind optimal defence patterns. Ann Bot. 110: 1503-1514. Milling A, Babujee L, Allen C. 2011. Ralstonia solanacearum extracellular polysaccharide is a specific elicitor of defense responses in wilt-resistant tomato plants. PLoS One. 61:1-10. Munif A, Hallmann J, Sikora RA. 2012. Isolation of endophytic bacteria from tomato and their biocontrol activities against fungal diseases. Microbiol Indones. 64:148-156. Nakano Y, Asada K. 1981. Hydrogen peroxide is scavenged by ascorbate- specific peroxidase in spinach chloroplasts. Plant Cell Physiol. 22 5: 867-880. Naznin HA, Kiyohara D, Kimura M, Miyazawa M. M Shimizu, Hyakumachi M. 2014. Systemic resistance induced by Volatil Organics Compound emitted by Plant Growth-Promoting Fungi in Arabidopsis thaliana. PLOS ONE. 91: e86882-10. Newman MA, Sundelin T, Nielsen JT, Erbs G. 2013. MAMP microbe- associated molecular pattern triggered immunity in plants. Front Plant Sci. 4139: 1-14. O’Brien JA et al. 2012. A peroxidase-dependent apoplastic oxidative burst in cultured Arabidopsis cells functions in MAMP-elicited defense. Plant Physiol. 158: 2013-2027. Park SY, Lee SJ, Oh TK, Oh JW, Koo BT, Yum DY, Lee JK. 2003. AhlD, an N-acylhomoserine lactonase in Arthrobacter sp., and predicted homologues in other bacteria. Microbiology. 149:1541–1550. Park HB, Lee B, Kloepper JW, Ryu CM. 2013. One shot-two pathogens blocked. Exposure of Arabidopsis to hexadecane, a long chain volatile organic compound, confers induced resistance against both Pectobacterium caratovorum and Pseudomonas syringae. Plant Signal Behav. 8:e24619-3. Pavlo A, Leonid O, Iryna Z, Natalia K, Maria PA. 2011. Endophytic bacteria enhancing growth and disease resistance of potato Solanum tuberosum L. Biol Control. 561: 43–49. Pieterse CMJ, Van Wees SCM, Van Pelt JA, Knoester M, Laan R, Gerrits H, Weisbeek PJ, Van Loon LC. 1998. A novel signaling pathway controlling induced systemic resistance in Arabidopsis. Plant Cell. 10: 1571–1580. Pieterse CMJ, Van Pelt JA, Van Wees SCM, Ton J, Leon-Kloosterziel KM, Keurentjes JJB, Verhagen BWM, Knoester M,Van der Sluis I, Bakker PAHM, Van Loon LC. 2001. Rhizobacteria-mediated induced systemic resistance: triggering, signalling and expression. Eur J Plant Pathol. 107:51-61. Poussier S, Thoquet P, Trigalet-Demery D. 2003. Host-plant dependent phenotypic reversion of Ralstonia solanacearum from non-pathogenic to pathogenic forms via alteration in the phcA gene. Mol Microbiol. 49:991- 1003. Poueymiro M, Genin S. 2009. Secreted proteins from Ralstonia solanacearum: a hundred tricks to kill a plant. Curr Opin Microbiol. 121:44-52. Raaijmakers JM, Weller DM, Thomashow LS. 1997. Frequency of antibiotic- producing Pseudomonas spp. in natural environments. Appl Environ Microbiol. 63 : 881-887. Rainey FA, Kelly DP, Stackebrandt E, Burghardt J, Hiraishi A, Katayama Y, Wood AP. 1999. A re-evaluation of the taxonomy of Paracoccus denitrificans and a proposal for the combination Paracoccus pantotrophus comb. nov. Intl J Syst Bacteriol. 49:645-651. Robin A, MougelC, SiblotS, VansuytG, Mazurier S, Lemanceau P. 2006. Effect of ferritin overexpression in tobacco on the structure of bacterial and pseudomonad communities associated with the roots. FEMS Microbiol Ecol. 583: 492–502. Rosenblueth M, Romero EM. 2005. Bacterial Endophytes and Their Interactions with Hosts. MPMI. 198: 827–837. Ross A, Yamada K, Hiruma K, Yamashita-Yamada M, Lu X, Takano Y, Tsuda K, Saijo Y. 2014. The Arabidopsis PEPR pathway couples local and systemic plant immunity. The EMBO J. 331:62-74. Ryals JA, Neuenschwander UH, Willits MG, Molina A, Steiner HY, Hunt MD. 1996. Systemic Acquired Resistance. Plant Cell. 8:1809-1819. Ryan RP, Germaine K, Franks A, Ryan DJ, Dowling DN. 2008. Bacterial endiphytes : recent development and applications. FEMS Microbiol. Lett. 278:1-9. Ryu CM, Farag MA, Hu CH, Reddy MS, Wei HX, Pare PW, Kloepper JW. 2003a. Bacterial volatiles promotes growth in Arabidopsis. Proc Natl Acad Sci. 100:4927-4932. Ryu CM, Hu CH, Reddy MS, Kloepper JW. 2003b. Different signaling pathways of induced resistance by rhizobacteria in Arabidopsis thaliana against two pathovars of Pseudomonas syringae. New Phytologist. 160:413- 420. Ryu CM, Farag MA, Hu CH, Reddy MS, Kloepper JW, Pare PW. 2004. Bacterial volatiles induced systemic resistance in Arabidopsis. Plant Pathol J. 134:1017-1026. Ryu, CM, Farag MA, Pare PW, Kloepper JW. 2005. Invisible signals from the underground : bacterial volatiles elicit plant growth promotion and induce systemic resistance. Plant Pathol. J. 211:7-12. Sasser MJ. 1990. Identification of bacteria through fatty acid analysis. in: Methods in Phytobacteriology. Z. Klement, K. Rudolph, and D. Sands eds. Akademiai Kiado, Budapest. p. 199-204. Sastra DR. Masa inkubasi bakteri patogenik Ralstonia solanacearum ras 3 pada beberapa klon kentang. J Agron. 81: 63-67. Schulz B, Boyle C. 2006. What are endophytes ? Schulz BJE, Boyle CJC, Sieber TN eds. Microbial Root Endopphytes. Springer-Verlag, Berlin. p. 1-13. Sessitsch A, Reiter B, Berg G. 2004. Endophytic bacterial communities of field- grown potato plants and their plant growth-promoting abilities. Can J Microbiol. 504:239-249. Siddiquee S, BE Cheong, K Taslima, H Kausar, Md M Hasan. Separation and identification of volatile compounds from liquid cultures of Trichoderma harzianum by GC-MS using three different capillary columns. J Chrom Sci. 50:358-367. Siriwan R, Chantra I, Pavinee S, Worarat K, Ratchaniwan J, Arinthip T. 2012. Plant growth enhancing effects by a siderophore-producing endophytic streptomycete isolated from a Thai jasmine rice plant Oryza sativa L. cv. KDML105. Antonie van Leeuwenhoek. 1023: 463. Snavely JG, Brahier J. 1960. The viability of streptococci under field screening conditions. Amer J Clin Path. 33: 511-515. Soesanto L, Mugiastuti E, Rahayuniati RF. 2011. Inventarisasi dan identifikasi patogen tular-tanah pada pertanaman kentang di Kabupaten Purbalingga. J Hort. 213:254-264. Song GC, Ryu CM. 2013. Two volatile organic compounds trigger plant self defense against a bacterial pathogen and a sucking insect in Cucumber under open field conditions. Int J Mol Sci. 14:9803-9819. Stackebrandt E, Koch C, Gvozdiak O, Schumann P. 1995. Taxonomic dissection of the genus Micrococcus: Kocuria gen. nov., Nesterenkonia gen. nov., Kytococcus gen. nov., Dermacoccus gen. nov., and Micrococcus Cohn 1872 gen. emend. Int J Syst Bacteriol 45:682– 692. Salanoubat M, Genin S, Artiguenave F, Gouzy J, Mangenot S, Ariat M, Billault A, Brottier P, Camus JC. 2002. Genome sequence of the plant pathogen Ralstonia solanacearum. Nature. 415: 497–502. Tamura K, Peterson D, Peterson N, Stecher G, Nei M, Kumar S. 2011. MEGA5: molecular evolutionary genetics analysis using maximum likelihood, evolutionary distance, and maximum parsimony methods. Mol Biol Evol 28:2731-2739. Tans-Kersten J, Huang H, Allen C. 2001. Ralstonia solanacearum needs motility for invasive virulence on tomato. J Bacteriol. 183:3597-3065. Thomma BPHJ, T Numberger, MHAJ Joosten. 2013. Of PAMPs and effectors : The Blurred PTI-ETI dichotomy. The Plant Cell. 23:4-15. Thomas P, Soly TA. 2009. Endophytic bacteria associated with growing shoot tips of banana Musa sp. cv. Grand Naine and the affinity of endophytes to the host. Microb Ecol. 58:952-964. Thompson JD, Higgins DG, Gibson TJ. 1994. CLUSTAL W: improving the sensitivity of progressive multiple sequence alignment through sequence weighing, position-specific gap penalties and weight matrix choice. Nucleic Acids Res 22:4673-4680. Tran LT, Taylor JS, Constabel CP. 2012. The Polyphenol oxidase gene family in land plants: lineage-specific duplication and expansion. BMG Genomics. 13395:1471-2164. Tsavkelova EA, Klimova SY, Cherdyntseva TA, Netrusov AI. 2006. Microbial producers of plant growth stimulators and their practical use : A review. Appl. Biochem Microbiol. 422:117-126. Uroz S, dAngelo C, Carlier A, Elasri M, Sicot C, Petit A, Oger P, Faure D, Dessaux Y. 2003. Novel bacteria degrading N-acyl homoserine lactones and their use as quenchers of quorum-sensing regulated functions of plant pathogenic bacteria. Microbiology. 149: 1981–1989. Vallad GE, Goodman RM. 2004. Systemic acquired resistance and induced systemic resistance in conventional agriculture. Crop Sci. 44:1920-1934 Van Soest PJ, Robertson JB, Lewis BA. 1991. Methods for dietary fiber, neutral detergent fiber, and nonstarch polysaccharides in relation to animal nutrition. J Dairy Sci. 74:3583–3597. Vansuyt G, Robin A, Briat JF, Curie C, Lemanceau P. 2007. Iron acquisition from Fe-pyoverdine by Arabidopsis thaliana. Mol Plant Microb Interact. 204: 441–447. Van Weest SCM, De Swart EAM, Van Petl JA, Van Loon LC, Pieterse CMJ. 2000. Enhancement of induced diseas3e resistance by simultaneous activation of salicylate-and jasmonat-dependent defense pathways in Arabidopsis thaliana. PNAS. 9715:8711-8716. Vasse J, Frey P, Trigalet A. 1995. Microscopic studies of intercellular infection and protoxylem invasion of tomato roots by Pseudomonas solanacearum. Mol. Plant Microbe Interact. 8: 241–251. Verma JP, J Yadav, KN Tiwari, Lavakush, and V Singh. 2010. Impact of plant growth promoting Rhizobacteria on crop production. Intl J Agric Res. 511 : 954-983. Wang KLC, Li H, Ecker JR. 2002. Ethylene biosynthesis and signaling networks. The Plant Cell. 14:131-151. Weingart H, Volksch B. 1997. Ethylene production by Pseudomonas syringae pathovars in vitro and in planta. Appl Environ. Microbiol. 631:156-161. Wu G, Shortt BJ, Lawrence EB, Levine EB, Fitsimmons KC. 1995. Disease resistance conferred by expression of a gene encoding H 2 O 2 generating glucose oxydase in transgenic potato plants. The Plant Cell. 7:1357-1368. Xu J, Lin X, Luo L. 2012. Effect of engineered Sinorhizobium meliloti on cytokinin synthesis and tolerance of Alfalfa to extreme drought stress. Appl Environ Microbiol. 78:8056-8061. Zamioudis C and CMJ Pieterse. 2012. Modulation of host immunity by beneficial microbes. MPMI. 252:139-150. LAMPIRAN Lampiran 1. Lokasi pengambilan contoh tanaman di Pasir Wangi Garut Lampiran 2. Isolat Bakteri Endofit Kentang Asal Lembang No . Kode Isolat 1 L-01 2 L-02 3 L-03 4 L-09 5 L-10 6 L-11 7 L-12 Lampiran 3. Isolat Bakteri Endofit Kentang Asal Garut No. Kode Isolat No. Kode Isolat No. Kode Isolat 1 G001 38 G064 75 G132 2 G002 39 G066 76 G133 3 G003 40 G067 77 G137 4 G004 41 G068 78 G138 5 G007 42 G069 79 G140 6 G012 43 G071 80 G141 7 G014 44 G072 81 G146 8 G015 45 G075 82 G147 9 G018 46 G079 83 G149 10 G021 47 G081 84 G152 11 G022 48 G082 85 G153 12 G025 49 G085 86 G154 13 G028 50 G087 87 G155 14 G029 51 G088 88 G157 15 G030 52 G091 89 G158 16 G032 53 G095 90 G159 17 G033 54 G097 91 G160 18 G034 55 G102 92 G161 19 G035 56 G103 93 G163 20 G037 57 G104 94 G164 21 G039 58 G105 95 G165 22 G040 59 G107 96 G167 23 G041 60 G108 97 G173 24 G043 61 G109 98 G174 25 G045 62 G112 99 G176 26 G047 63 G114 100 G177 27 G049 64 G115 101 G178 28 G050 65 G116 102 G181 29 G051 66 G118 103 G182 30 G053 67 G119 104 G183 31 G054 68 G120 105 G184 32 G055 69 G121 106 G187 33 G056 70 G124 107 G188 34 G059 71 G125 108 G191 35 G060 72 G126 109 G193 36 G062 73 G127 110 G196 37 G063 74 G130 111 G199 112 G202 Lampiran 4 Hasil analisa kadar lignin tanaman Perlakuan Lignin Kontrol 33.30 Kontrol + R. solanacearum 24.32 G053 31.28 G053 + R. solanacearum 38.38 Lampiran 5 Trapping VOCs yang diemisikan oleh M. endophyticus G053 Lampiran 7. Foto uji kualitatif produksi IAA oleh isolat G053 dan G062 RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Jepara pada tanggal 8 Desember 1968, sebagai anak dari Bapak HA Zainuri Basri dan Ibu Hj. Zulichah. Pada tahun 1995 penulis menikah dengan Iman Rusmana. Dari pernikahan tersebut penulis dikaruniai 4 orang anak bernama Zul Fadhli, Kamila Nur Imani Putri, Fadhila Nur Imani Putri, dan Zaki Aulady. Pendidikan Sarjana diselesaikan oleh penulis di Jurusan Biologi FMIPA Institut Pertanian Bogor IPB pada tahun 1994. Gelar Magister Sains dalam bidang Mikrobiologi diraih oleh penulis dari Program Pasca Sarjana IPB pada tahun 2000. Selanjutnya pada tahun 2009 diterima sebagai mahasiswa S3 pada mayor Mikrobiologi Sekolah Pasca Sarjana IPB. Penulis bekerja sebagai peneliti pada Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Kementrian Pertanian Republik Indonesia. Pada tahun 2007 sampai 2009, penulis terlibat sebagai tim pengajar mata kuliah Mikrobiologi Dasar di Program Diploma IPB. Penulis menerima PhD research grant dari SEAMEO BIOTROP pada tahun 2012 dengan No. kontrak 047.22PSRPST-PNLTIII2012. Penulis telah mempresentasikan sebagian dari penelitian disertasi sebagai poster pada First SEAMEO BIOTROP International Conference on Enhancing and Promoting the Real Values of Tropical Biodiversity of Southeast Asia yang diselenggarakan di Bogor pada tahun 2013 dengan judul “Exploration of Endophytic Bacteria Enhancing Potato Seedling Resistance against Bacterial Wilt”. Penelitian disertasi tersebut sebagian telah diterima Hayati Journal of Biosciences sebagai materi publikasi dengan judul “Characterization of an Endophytic Bacterium G062 Isolate with Beneficial Traits” dan sebagian telah di- submit ke Journal of Phytopathology dengan judul “Enhancement of Potato Seedling Growth and Resistance Against Bacterial Wilt by Micrococcus endophyticus G053 Producing Volatile Organic Compounds”. Bogor, Juli 2014 PENDAHULUAN Latar Belakang Kentang Solanum tuberosum Linn. merupakan bahan makanan pokok di dunia setelah beras, gandum, dan jagung. Kentang juga merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki harga yang cukup tinggi dalam perdagangan domestik maupun internasional. Kebutuhan kentang nasional terus meningkat seiring dengan peningkatan populasi dan pendapatan penduduk serta industri pengolahan makanan. Dalam rangka memenuhi kebutuhan kentang nasional, pemerintah menjadikan kentang sebagai salah satu prioritas pengembangan komoditas hortikultura nasional. Upaya peningkatan produksi kentang di Indonesia menghadapi berbagai kendala diantaranya serangan hama penyakit serta kualitas bibit kentang yang rendah. Layu bakteri merupakan penyakit penting pada budidaya kentang. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri patogen Ralstonia solanacearum. Bakteri ini merupakan bakteri fitopatogen paling merusak di seluruh dunia karena keragamannya yang sangat tinggi terkait dengan asal geografis dan inangnya Genin 2010. Survey yang dilakukan terhadap 458 anggota komunitas internasional bacterial pathologist bekerjasama dengan Jurnal Molecular Plant Pathology menempatkan R. solanacearum pada peringkat kedua setelah P. syringae untuk kategori bakteri fitopatogen yang penting secara ilmiah dan ekonomi Mansfield et al. 2012. Kehilangan hasil yang disebabkan oleh penyakit layu bakteri di wilayah Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, dan Sulawesi berkisar 15-95 Machmud 2005. Survei dan inventarisasi patogen tular-tanah di lahan pertanaman kentang di Kabupaten purbalingga yang dilakukan pada tahun 2008-2009 menunjukkan persentase populasi R. solanacearum mencapai 71.6 dan menempati peringkat pertama dari 7 spesies mikroba fitopatogen tular-tanah R. solanacearum, Fusarium oxysporum, F. solani, Curvularia sp. Phytophtora infestans, Helminthosporium purpureum, Pseudomonas berpendar yang ditemukan Soesanto et al. 2011. Pada umumnya petani kentang mengaplikasikan pestisida sintetik untuk melindungi tanamannya dari serangan penyakit. Namun aplikasi pestisida sintetik secara tidak rasional dan berlebihan dalam jangka panjang menimbulkan masalah serius bagi lingkungan dan meningkatkan residu dalam umbi kentang. Bibit yang bebas patogen, tahan penyakit, dan memiliki produktivitas yang tinggi merupakan kriteria untuk bibit kentang berkualitas tinggi. Produksi bibit kentang yang berkualitas tinggi dalam skala besar dilakukan dengan teknologi perbanyakan in vitro kultur jaringan. Perbanyakan secara in vitro dilakukan pada kondisi yang steril dan terkontrol. Sebagai konsekuensinya, bibit tanaman yang dihasilkan banyak kehilangan mikroorganisme berguna yang turut berperan dalam pertumbuhan dan ketahanan tanaman terhadap patogen. Inokulasi dini bakteri endofit akan meningkatkan ketahanan bibit tanaman hasil kultur in vitro terhadap cekaman biotik dan abiotik. Selain itu, kemampuan bakteri endofit untuk hidup dan berkembang di dalam jaringan tumbuhan dapat melindungi tanaman inang dari kolonisasi dan dominansi fitopatogen yang berhasil masuk ke dalam jaringan tanaman. Berbagai hasil penelitian di luar negeri yang berkaitan dengan eksplorasi dan eksperimen aplikasi bakteri endofit sebagai agensia biokontrol fitopatogen pada bibit dan tanaman telah banyak dilaporkan Andreotte et al. 2010; Hoon et al. 2007. Namun demikian, studi tentang aplikasi bakteri endofit pada planlet dan pengaruhnya terhadap ketahanan bibit kentang terhadap penyakit belum pernah dilaporkan di Indonesia. Oleh karena itu, eksplorasi karakterisasi, dan percobaan aplikasi bakteri endofit dari Indonesia sangat penting untuk dilakukan, karena sebagai negara tropis Indonesia memiliki kondisi dan iklim yang berbeda. Tujuan Secara umum penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan bakteri endofit yang efektif untuk meningkatkan ketahanan tanaman kentang terhadap penyakit layu bakteri. Tujuan umum tersebut dicapai melalui beberapa tahap penelitian dengan tujuan khusus untuk : 1. Mengisolasi dan menapis bakteri endofit yang efektif untuk meningkatkan ketahanan tanaman kentang terhadap penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum. 2. Mengamati kemampuan kolonisasi isolat bakteri endofit terpilih pada planlet dan tanaman kentang. 3. Menguji kemampuan bakteri endofit terpilih dalam menghasilkan Volatile Organic Compounds VOCs yang berperan dalam meningkatkan ketahanan tanaman kentang terhadap penyakit layu bakteri 4. Mengkarakterisasi isolat bakteri endofit yang terpilih. Manfaat Penelitian 1. Memberikan kontribusi informasi ilmiah bagi penelitian dan pengembangan agen hayati untuk penyakit layu bakteri yang baik dan unggul di Indonesia 2. Tersedianya kandidat agen hayati yang terkarakterisasi dengan baik serta memiliki kemampuan tinggi dalam meningkatkan pertumbuhan serta resistensi dan atau melindungi tanaman kentang dari penyakit layu bakteri. 3. Meeningkatan kualitas dan produktivitas bibit kentang. Kerangka Pemikiran R. solanacearum merupakan bakteri fitopatogen yang memiliki kisaran inang yang sangat luas dan menjadi masalah di negara-negara subtropis maupun tropis. Karakter R. solanacearum yang menjadikan jaringan xilem sebagai sasaran aktivitas patogeniknya serta persistensinya yang tinggi ketika berada di tanah menjadikannya sulit dikendalikan. Pemanfaatan bakteri endofit sebagai agen hayati untuk meningkatkan ketahanan tanaman sekaligus mengendalikan fitopatogen ini merupakan alternatif strategi yang baik dan tepat karena kedua jenis bakteri ini memiliki relung ekologi yang sama tetapi memiliki karakter yang berbeda. Indonesia sebagai salah satu negara “Mega biodiversity” memiliki potensi keragaman mikroba endofit yang sangat tinggi. Oleh karena itu kegiatan eksplorasi untuk mendapatkan bakteri endofit jenis baru atau yang memiliki karakteristik baru seperti penghasil VOCs serta pengkajian potensinya untuk meningkatkan ketahanan tanaman terhadap penyakit seperti layu bakteri perlu dilakukan. Isolasi bakteri endofit, penapisan, interaksi isolat terpilih dengan tanaman inang dan Ralstonia solanacearum, kemampuan kolonisasi, serta karakter-karakter isolat terpilih perlu dikaji secara seksama untuk mendapatkan kandidat agen hayati yang efektif, unggul, dan aman untuk meningkatkan ketahanan tanaman terhadap penyakit ini. Novelty Hasil penelusuran yang telah dilakukan menunjukkan bahwa sampai saat ini belum ada laporan dari dalam atau luar negeri tentang kajian pemanfaatan bakteri endofit yang menghasilkan Volatile Organic Compounds VOCs untuk meningkatkan ketahanan tanaman kentang terhadap penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh R. solanacearum. Pemanfaatan bakteri penghasil VOCs sebagai agen penginduksi ketahanan tanaman merupakan salah satu topik riset dalam bidang mikrobiologi dan fitopatologi yang baru dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Oleh karena itu penemuan jenis-jenis bakteri baru, mode of action baru, atau dengan potensi menghasilkan senyawa-senyawa volatil dengan jenis atau komposisi baru, berpotensi besar untuk dimanfaatkan dan dikembangkan sebagai agen untuk meningkatkan ketahanan tanaman terhadap penyakit. Hipotesis 1. Terdapat sejumlah bakteri endofit kentang yang efektif dalam meningkatkan ketahanan dan melindungi bibit kentang terhadap penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh R. solanacearum. 2. Efektivitas bakteri endofit dalm meningkatkan ketahanan tanaman kentang terhadap R. solanacearum melibatkan berbagai senyawa bioaktif antara lain Volatile Organic Compounds VOCs. 3. Isolat bakteri endofit yang diperoleh mampu mengkolonisasi jaringan bibit tanaman kentang untuk melindunginya dari serangan penyakit layu bakteri. Kerangka Penelitian Berdasarkan tujuan dan hipotesis penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya, dirancang suatu penelitian dengan tahapan-tahapan sebagai berikut Gambar 1 : 1. Isolasi bakteri endofit dari tanaman kentang 2. Penapisan isolat bakteri endofit yang mampu meningkatkan ketahanan tanaman kentang terhadap penyakit layu bakteri 3. Telaah respon fisiologis inang yang berkaitan dengan ketahanan 4. Uji kemampuan kolonisasi bakteri endofit kentang terpilih 5. Karakterisasi isolat bakteri endofit kentang terpilih TINJAUAN PUSTAKA Ralstonia solanacearum Penyebab Penyakit Layu Bakteri R. solanacearum adalah bakteri Gram negatif yang semula dikenal sebagai Pseudomonas solanacearum. Bakteri ini termasuk dalam kelompok beta Proteobacteria Sequira,1992. Ralstonia solanacearum merupakan patogen penting pada tanaman kentang. Bakteri ini menyerang akar tanaman melalui luka yang diantaranya disebabkan oleh munculnya akar lateral. Di dalam tanaman inang yang rentan, bakteri ini berkembang biak dengan cepat di jaringan korteks untuk selanjutnya menyerang bagian xylem. Dalam beberapa jam, terjadi kolonisasi R. solacearum secara agresif di tabung xylem, lalu melalui sistem jaringan pembuluh menyebar ke bagian tajuk dan batang mengikuti aliran transpirasi dan akhirnya menyebabkan kelayuan yang mematikan. Gejala penyakit layu bakteri meliputi kekuningan dan layu, diikuti dengan nekrosis dan kematian tanaman Vasse et al. 1995; Tan-Kersten et al. 2001. R. solacearum adalah salah satu patogen tanaman yang sulit dikendalikan karena bakteri ini memiliki kisaran inang yang luas. Lebih dari 200 famili tumbuhan telah diketahui sebagai inang R. solacearum Hayward, 1990. Di daerah penanaman kentang di Pangalengan Jawa Barat telah diketahui lebih dari 70 gulma yang menjadi inang R. solacearum Gunawan, 2006. Selain itu, bakteri ini memiliki persistensi yang tinggi di dalam tanah walaupun tanpa tanaman inang Jackson dan Gonzales, 1979. Genom R. solanacearum strain tropis GMI1000 terdiri dari 1 kromosom sirkuler berukuran 3.7 Mb dan 1 megaplasmid berukuran 2.1 Mb. Megaplasmid mengandung gen-gen yang berperan penting untuk kebugaran dan kemampuan adaptasi bakteri ini pada berbagai kondisi serta semua gen hrp yang diperlukan dalam proses kolonisasi relung ekologi spesifik serta patogenesis. Analisis sekuen genom menunjukkan keberadaan struktur mozaik yang membuktikan adanya gen- gen yang diperoleh dari transfer gen secara horizontal. Ada 10 gen yang diduga terlibat dalam detoksifikasi ROS, 6 gen haemolysin-like, beberapa gen peptide atau polyketide synthase, gen toxin syringomycin synthase, gen pengkode protein pelekat AttM dan AttZ, serta puluhan gen yang terkait dengan biogenesis dan struktur berbagai pili. Tingginya jumlah dan variasi gen pengkode pili serta faktor pelekat lainnya sangat mendukung kemampuan adaptasi yang tinggi dari bakteri ini Salanoubat et al. 2002. Berdasarkan analisis genom, diperkirakan patogen ini mengekresikan ratusan protein yang berperan sebagai efektor dalam proses patogenisitasnya terhadap inang Poueymiro dan Genin 2009. Bakteri Endofit Deskripsi awal tentang mikroorganisme nonpatogenik dalam jaringan akar tanaman pertama kali dilaporkan oleh Perotti pada 1926 dan berikutnya Hennig dan Villforth pada tahun 1940 melaporkan keberadaan bakteri di dalam 28 jenis daun, batang, dan akar tanaman sehat. Namun penelitian tentang bakteri endofit pada berbagai tanaman mulai banyak dilakukan sejak Hollis dari Universitas Nebraska USA melaporkan keberadaan bakteri endofit pada tanaman kentang Mano dan Morisaki 2008. Bakteri endofit didefinisikan sebagai bakteri yang dapat diisolasi dari dalam jaringan tanaman atau dari jaringan yang telah disterilisasi permukaannya serta tidak membahayakan tanaman Hallmann et al. 1997. Dewasa ini, perkembangan bidang mikrobiologi dan bioteknologi telah membuktikan bahwa keberadaan bakteri endofit berperan penting bagi pertumbuhan dan ketahanan tumbuhan terhadap cekaman biotik dan abiotik. Beberapa bakteri endofit diketahui dapat berperan sebagai penambat nitrogen, penghasil fitohormon, biokontrol patogen, serta penginduksi ketahanan tumbuhan terhadap cekaman biotik dan abiotik Andreotte et al. 2010, Mano dan Morisaki 2008. Penemuan bakteri endofit yang mampu menambat nitrogen pada tanaman gramineae pada tahun 1980 telah memicu berbagai penelitian tentang aplikasi bakteri endofit yang mampu menambat nitrogen pada tanaman-tanaman tidak berbintil dari golongan serealia diantaranya padi. Bakteri endofit juga terbukti berperan dalam meningkatkan pasokan Fe bagi tanaman inang. Percobaan inplanta menggunakan bakteri endofit Streptomyces sp. GMKU 3100 dan mutan gen desD-like penyandi enzim kunci pada akhir lintasan biosintesis siderofor membuktikan bahwa tanaman padi dan kacang hijau yang diinokulasi Streptomyces sp. GMKU 3100 tipe liar memiliki biomasa tanaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan dengan tanaman yang diinokulasi dengan Streptomyces sp. GMKU 3100 mutan Siriwan et al. 2012. Sebelumnya, Dimkpa et al. 2009 juga telah mempublikasikan hasil penelitiannya yang membuktikan bahwa pemberian supernatan bebas sel Streptomyces sp. tipe liar pada tanaman kacang tunggak cowpea dapat meningkatkan penyerapan Fe, kadar klorofil, dan menghindari efek peroksidasi lemak pada daun walaupun ditanam pada media tanam yang mengandung Al, Cu, Mn, Ni dan U dalam konsentrasi cukup tinggi. Pemberian siderophore tersebut juga menurunkan pembentukan radikal bebas sehingga melindungi auksin yang diproduksi mikroba dari degradasi dan pada akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman. Uji penyerapan kompleks Fe-pyoverdin menggunakan tanaman kacang hijau juga membuktikan bahwa tanaman mampu menyerap komplek tersebut Vansuyt et al. 2007. Percobaan menggunakan tanaman tembakau transgenik over ekspresi ferritin menunjukkan bahwa kadar Fe pada tanaman transgenik lebih tinggi dibandingkan tanaman non-transgeniknya Robin et al. 2006. Hasil-hasil penelitian tersebut secara tidak langsung membuktikan bahwa selain meningkatkan penyerapan Fe, ekspresi siderofor di dalam jaringan tanaman juga tidak berbahaya bagi tanaman. Kemampuan bakteri endofit dalam melarutkan fosfat diduga juga berperan dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman. Selain meningkatkan ketersedian nutrisi seperti Nitrogen Fe, dan Fosfat untuk tumbuhan, berbagai senyawa bioaktif seperti fitohormon dan vitamin yang diproduksi oleh beberapa bakteri endofit juga berguna dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman inangnya Ryan et al. 2008; Tsavkevlova et al. 2006; Rosenblueth dan Romero 2006. Peran Bakteri Endofit dalam Meningkatkan Ketahanan Tanaman Tumbuhan memiliki sistem imunitas basal dan respon pertahanan berlapis yang dapat di picu secara sistematik untuk menurunkan tingkat kejadian dan keparahan penyakit. Berdasarkan agen penginduksinya, sistem resistensi pada tumbuhan dapat dibedakan atas Systemic Acquired Resistance SAR dan Induced Systemic Resistance ISR. Infeksi patogen akan mengaktifkan sistem ketahanan tumbuhan yang akan melindunginya dari berbagai mikroorganisme broad spectrum untuk jangka panjang. Ketahanan tumbuhan yang timbul akibat infeksi patogen ini dikenal sebagai Systemic Acquired Resistance SAR Francis et al. 2010. Lintasan SAR bersifat salicylic acid SA dependent Choudhary dan Johri 2009; Kloepper dan Ryu 2006 Gambar 5. Sebagai respon terhadap patogen, tumbuhan akan memproduksi reactive oxygen species ROS, protein-protein terkait patogenesis PR- proteins, penebalan dinding-dinding sel, serta produksi fitoaleksin. Fitoaleksin adalah metabolit sekunder berberat molekul rendah yang memiliki aktivitas antimikroba. Kelompok senyawa ini merupakan salah satu marka untuk ketahanan tumbuhan terhadap penyakit. Berbagai fitoaleksin telah berhasil diisolasi dan didentifikasi dari berbagai tumbuhan, namun sampai saat ini mekanisme dan lintasan biosintesisnya belum diketahui dengan pasti. Capsidiol dan scopoletin adalah senyawa fitoaleksin utama yang dihasilkan oleh tumbuhan Solanaceae. Ahuja et al. 2011. Berbeda dengan SAR yang diaktifkan oleh patogen, ISR dapat diaktifkan diantaranya oleh kolonisasi bakteri kelompok Plant Growth Promoting PGP Francis et al. 2010. Sebagian besar laporan penelitian menunjukkan bahwa ISR diinduksi oleh strain-strain bakteri akar yang hidup bebas. Tetapi akhir-akhir ini berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa bakteri endofit juga dapat merangsang Induced Systemic Resistance ISR sebagaimana kelompok bakteri PGP Jimtha et al. 2014; Choudhary dan Johri 2009; Ryan et al. 2008; Compant et al. 2005. Berbeda dengan SAR yang bersifat salicylic acid SA dependent, lintasan ISR bersifat salicylic acid SA independent dan etilen ET dependent Choudhary dan Johri 2009; Kloepper dan Ryu 2006; Vallad dan Goodman 2004; Pieterse et al. 1998 Gambar 2. Gambar 2. Lintasan induksi resistensi tanaman oleh bakteri patogen dan rhizobacteria Vallad dan Goodman 2004. Analisa transkriptomik pada tanaman A. thaliana yang diinokulasi secara ganda menggunakan bakteri akar non-fitopatogenik P. fluorescens WCS417r dan P. syringae pv. tomato DC3000 membuktikan bahwa aktivasi lintasan SAR dan ISR dapat terjadi secara paralel. Berdasarkan hasil analisa transkriptomik tersebut dibuat suatu model hipotetik lintasan aktivasi paralel SAR dan ISR Gambar 3 Saskia et al. 2000. Hasil-hasil penelitian menggunakan metode transkriptomik, genetika molekuler, dan proteomik yang dilakukan oleh peneliti-peneliti berikutnya Chi et al. 2013; Ma dan Berkowitz 2011; Thomma et al. 2011 memperkuat bukti yang mendukung model hipotetik yang disusun oleh Saskia et al. 2006. Model hipotetik tersebut menghilangkan dikotomi yang kaku antara lintasan ISR dan SAR. Selain itu, walaupun sederhana model ini juga mengakomodir kemungkinan peran ganda dari senyawa-senyawa dan atau protein pada kedua lintasan resistensi tersebut serta kompleksitas hubungan berbagai senyawa dan atau protein yang terlibat di dalamnya. Gambar 3 Model induksi ISR dan SAR secara paralel Saskia et al. 2000 Flagelin, lipopolosakarida, asam salisilat, siderofor, pyochelin, pyocianin, dan senyawa volatil 2,3-butanediol merupakan contoh komponen sel atau senyawa yang dihasilkan bakteri yang mampu menginduksi ketahanan tanaman Tabel 1 Choudhary dan Johri 2009; Compant et al. 2005; Ryu et al. 2005. Selain berperan dalam merangsang ketahanan tanaman, sebagian diantara senyawa-senyawa tersebut juga berperan ganda sebagai faktor pengendali patogen Ryan et al. 2008 dalam mekanisme biokontrol. Mekanisme biokontrol oleh bakteri endofit mirip dengan mekanisme biokontrol oleh populasi bakteri rizosfer dan epifit yaitu melalui kompetisi kolonisasi relung ekologi dan atau nutrisi yang sama dengan pathogen serta produksi senyawa-senyawa allelokimia diantaranya siderofor, antibiotik, biocidal volatiles, enzim-enzim pendegradasi, dan atau senyawa pendetoksifikasi Chernin et al. 2011; Compant et al. 2005; Francis et al. 2010. Tabel 1. Beberapa senyawa dan determinan bakteri penginduksi ketahanan pada beberapa tumbuhan Chodhary dan Johri 2009 Strain Bakteri Spesies Tumbuhan Senyawa atau Determinan B. amyloliquefaciens IN937a Arabidopsis 2,3-butenadiol B. subtilis GB03 Arabidopsis 2,3-butenadiol Kacang polong SA Tembakau SA Tomat Pyocelin pyocyanin P. fluorescens CHA0 Arabidopsis 2,4 DAPG Tembakau Siderofor Tomat 2,4 DAPG P. fluorescens Q2-87 Arabidopsis 2,4 DAPG P. fluorescens WCS 374 Lobak LPS Siderofor Fe regulated compouns P. fluorescens WCS 417 Arabidopsis LPS Carnation LPS Lobak LPS Fe regulated compouns P. fluorescens WCS 358 Arabidopsis LPS, siderofor, flagela Kacang polong LPS, siderofor Tomat LPS, siderofor P. fluorescens GRP3 Padi Siderofor Rhizobium etli G12 Kentang LPS S. marcescens 90-166 Tembakau Fe regulated compouns Siderofor merupakan senyawa pengkelat besi yang diproduksi oleh berbagai bakteri dan fungi pada lingkungan yang kekurangan besi. Beberapa bakteri PGP mampu menghasilkan variasi siderofor yang memiliki afinitas tinggi dibandingkan dengan bakteri dan fungi lainnya sehingga kemampuan kompetisinya dalam mendapatkan dan menyerap unsur besi lebih kuat dibandingkan mikroba lainnya Compant et al. 2005. Selain siderofor, beberapa jenis antibiotik telah ketahui terlibat dalam mekanisme pengendalian patogen oleh bakteri PGP. Antibiotik tersebut diantaranya adalah amphisin, 2,4- diacetylphloroglucinol DAPG, higrogen sianida, oomycin A, phenazine, pyoluterin, pyrronitrin, tensin, tropolone, ecomycin lipopeptida siklik, oligomycin A, kanosamin, zwittermicin A, dan xanthobaccin. Beberapa antibiotik yang dihasilkan oleh bakteri PGP tersebut juga telah digunakan pada berbagai percobaan farmasi Compant et al. 2005; Ryan et al. 2008. Beberapa jenis bakteri PGP juga menunjukkan aktivitas hiperparasit terhadap fungi fitopatogenik dengan cara memproduksi enzim-enzim pelisis dinding sel fungi, misalnya kitinase. Kitinase yang dihasilkan oleh Serratia plymuthica dapat menghambat pemanjangan tabung kecambah B. cinerea. Produksi kitinase oleh S marcescens menyebabkan bakteri ini bersifat antagonis terhadap S. rolfsii, sedangkan pada Paenibacillus sp. strain 300 dan Streptomyces sp. strain 385 kitinase bersama β-1-3 glukanase menimbulkan sifat antagonis terhadap F. oxysporum f. sp. cucumerinum. Pada S plymutica IC14, enzim protease terlibat dalam aktivitas antagonisme terhadap S. rolfsii dan B. cinerea. Degradasi senyawa autoinduser AHL oleh enzim laktonase dan asiklase yang dihasilkan oleh bakteri PGP juga mampu memblok ekspresi faktor-faktor virulensi bakteri fitopatogen sehingga menurunkan atau menghilangkan patogenisitasnya Compant et al. 2005. Pengendalian fitopatogen oleh bakteri PGP juga dapat terjadi melalui mekanisme detoksifikasi atau degradasi faktor-faktor virulensi. Bakteri Klebsiella oxytoca dan Alcaliges denitrificans memproduksi protein yang dapat mengikat toksin albicidin yang dihasilkan oleh X. albilineans. Albicidin juga dapat didegradasi oleh enzim esterase yang dihasilkan oleh Pantoea dispersa Compant et al. 2005. Ekspresi faktor-faktor virulensi bakteri patogen dapat dihambat melalui mekanisme quorum quenching penghambatan proses Quorum Sensing. Chernin et al. 2011 melaporkan bahwa produksi senyawa-senyawa organik volatile oleh P fluorescens B-4117 dan S plymuthica IC1270 mampu menghambat produksi senyawa signal autoinduser QS AHL pada Agrobacterium, Chromobacterium, Pectobacterium, dan Pseudomonas. Beberapa enzim mikroba telah diketahui berperan dalam proses quorum quenching bakteri fitopatogen melalui inaktivasi senyawa signal autoinduser QS. B. cereus, B. mycoides, B. thuringiensis Dong et al. 2000; Dong et al. 2001, P. aeruginosa PAI-A, Arthrobacter sp., K. pnemoniae, A. tumefaciens, dan Rhodococcus sp. Uroz et al. 2003, Carlier et al. 2003; Park et al. 2003; Huang et al. 2003 menghasilkan enzim yang dapat membuka cincin lakton pada molekul AHL. E nzim β-hidroksipalmitat metil ester hidrolase juga dilaporkan dapat menghambat ekspresi faktor-faktor virulensi pada R. solanacearum. Enzim ini menghidrolisis senyawa signal QS 3 hidroksipalmitat metil ester yang dihasilkan oleh R. solanacearum Shinohara et al. 2007. VOCs Sebagai Penginduksi Ketahanan Tanaman Secara umum, kemampuan mikroba dalam memproduksi senyawa organik yang mudah menguap VOCs sudah lama diketahui. Aroma segar dari kultur murni mikroba seperti khamir dan bakteri asam sitrat atau laktat, serta aroma menyengat pada berbagai produk fermentasi adalah bukti sederhana keberadaan senyawa-senyawa dari kelompok asam organik sitrat, asam asetat, asam laktat, propionat, dsb., alkohol, ester, merkaptan, pentilfuran dan sebagainya yang merupakan produk metabolisme mikroba. Namun bukti ilmiah tentang aktivitas VOCs sebagai penginduksi pertumbuhan dan resistensi tanaman baru mulai dipublikasikan pada tahun 2003 Ryu et al. 2003a; Ryu et al. 2004. Sejak itu, peran kelompok senyawa VOCs dalam induksi ketahanan tumbuhan mulai mendapat banyak perhatian dan menarik minat peneliti-peneliti lainnya untuk mengeksporasi dan mengkaji potensi pengembangan serta aplikasinya. Percobaan menggunakan tanaman A. thaliana mutan dan transgenik membuktikan bahwa ketahanan tanaman tersebut dapat diinduksi oleh senyawa volatil acetoin dan 2,3-butenadiol yang diemisikan oleh Bacillus GB-03. Induksi sistem ketahanan A. thaliana tersebut terjadi melalui aktivasi lintasan Induce Systemic Resistance ISR dan berhubungan dengan lintasan etilen Ryu et al. 2004. Bukti peran kedua senyawa tersebut dalam meningkatkan ketahanan tanaman diperkuat oleh hasil penelitian berikutnya yang dilakukan dengan menggunakan galur Bacillus GB-03 mutan BSIP1173 dan BSIP1174 yang tidak mampu mensintesis kedua senyawa volatil tersebut. Berbeda dengan A. thaliana yang diinokulasi dengan Bacillus GB-03, tanaman A. thaliana yang diinokulasi dengan kedua BSIP1173 atau BSIP1174 tidak mampu meningkatkan kapasitas ISR-nya setelah diinfeksi dengan bakteri patogen Erwinia carotovora Ryu et al. 2005. Selain kemampuannya dalam menginduksi ketahanan tanaman, VOCs yang diemisikan oleh bakteri seperti seperti benzothiazole, cyclohexanol, n-decanal, dimetil trisulfit, 2-etil-1-hexanol dan nonanal juga memiliki aktivitas antimikroba. Sifat antimikroba dari senyawa-senyawa tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan fitopatogen Fernando et al. 2005. Menurut Song dan Ryu 2013, selain dapat menginduksi ketahanan tumbuhan, VOCs merupakan kandidat yang potensial dan menjanjikan untuk dimanfaatkan sebagai agen pengendalian dalam pengelolaan hama dan penyakit karena efektivitasnya tinggi, tidak mahal, dan hanya memerlukan konsentrasi yang relatif rendah dibandingkan senyawa agrokimia lainnya. Percobaan lapangan yang dilakukan menggunakan senyawa organik volatil 3-pentanol dan 2-butanon pada konsentrasi 0.1 mM dan 0.1 nM berturut-turut untuk kedua senyawa tersebut menunjukkan kedua senyawa tersebut secara nyata mampu menginduksi ketahanan tanaman mentimun terhadap Pseudomonas syringae pv. lachrymans. Penurunan nilai Disease severity yang dihasilkan oleh aplikasi kedua senyawa volatil tersebut sama dengan penurunan nilai Disease severity yang disebabkan oleh aplikasi 1 mM senyawa agrokimia benzotiadizol Actigard ® , Syngenta. Selain itu menginduksi ketahanan terhadap P. syringae pv. lachrymans kedua senyawa tersebut juga terbukti mampu melindungi tanaman mentimun terhadap serangan hama aphid pengisap Myzus persicae Song dan Ryu 2013. Aplikasi Bakteri Endofit untuk Meningkatkan Resistensi, Pertumbuhan dan Produktivitas Tanaman Bakteri endofit yang memiliki karakter unggul dapat diisolasi dari alam dan berpotensi digunakan sebagai inokulan untuk diaplikasikan pada bibit tanaman sebagai salah satu cara untuk melindunginya dari infeksi fitopatogen Jie et al. 2010 serta meningkatkan resistensi dan pertumbuhannya Choudhary dan Johri 2009; Ryan et al. 2008; Hoon et al. 2007; Tsavkelova et al. 2006; Compant et al. 2005 Kemampuan bakteri endofit dalam menghasilkan fitohormon dan meningkatkan ketersediaan nutrisi bagi inang secara langsung dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman inang. Kemampuannya untuk beradaptasi dan berkembang di dalam jaringan tumbuhan inang tanpa menimbulkan efek negatif merupakan kelebihan bakteri endofit. Oleh karena itu, aplikasi bakteri endofit secara dini dapat melindungi tanaman inangnya dari infeksi dan kolonisasi patogen. Secara tidak langsung, kondisi tanaman yang sehat dan terlindung dari fitopatogen akan meningkatkan pertumbuhan dan produktivitasnya. Percobaan menujukkan bahwa plantlet kentang yang ditumbuhkan bersama- sama dengan bakteri endofit mengalami peningkatan pertumbuhan yang dramatis dibandingkan dengan plantlet yang ditumbuhkan tanpa bakteri endofit. Peningkatan pertumbuhan tersebut diturunkan pada plantlet hasil perbanyakan pada generasi berikutnya Frommel, 1991. Efek peningkatan pertumbuhan juga teramati pada planlet anggur yang diinokulasi dengan bakteri endofit Compant et al. 2005. Hasil penelitian Krechel et al.2002 dan Sessitsch et al. 2004 menunjukkan bahwa isolat bakteri endofit yang diisolasi dari tanaman kentang memiliki aktivitas antagonis terhadap berbagai patogen asal tanah diantaranya Erwinia carotovora, Phytophtora cactorum, R. solani, V. dahlia, Sclerotium sclerotium, and M. incognita. Percobaan inokulasi Pseudomonas fluorescens B1 dan Serratia plymuthica B4 secara bersama-sama pada plantlet kentang terbukti dapat menurunkan hilangnya berat kering dan nilai keparahan penyakit Disease Severity yang disebabkan oleh R. solani. Efektivitas tertinggi bakteri endofit dalam menekan penyakit kentang dilapangan dilaporkan oleh Faitlin dkk. Inokulasi P. florescens B1 dapat menekan timbulnya penyakit yang disebabkan oleh R. solani Kuhn di lapangan sampai 37 dan meningkatkan produksi umbi kentang sampai 12. Sedangkan inokulasi Serratia plymuthica B4 meningkatkan produksi umbi kentang sampai 17 Faitlin et al. 2004. Inokulasi bakteri endofit juga terbukti berhasil menginduksi ketahanan sistemik plantlet pisang terhadap virus buncy top Kavino et al. 2007. Bahkan plantlet pisang yang telah diinokulasi bakteri endofit dan ditanam di rumah kaca selama 5 bulan menunjukkan peningkatan ketahanan hingga 67 terhadap penyakit layu yang disebabkan oleh F.oxysporum f. sp. cubense ras 4. Selain peningkatan resistensi terhadap penyakit, pertumbuhan planlet pisang yang dinokulasi endofit juga terlihat lebih baik. Hasil-hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa inokulasi bakteri endofit dapat dimanfaatkan sebagai dasar pengkayaan ekologis untuk mengendalikan penyakit dan pertumbuhan tanaman. BAHAN DAN METODE Prosedur Sterilisasi Permukaan dan Isolasi Bakteri Endofit Contoh tanaman Tanaman kentang diambil bersama-sama dengan tanah bagian rizosfernya dari lokasi 1 kebun Gapoktan Multi Tani Jaya Giri Desa Cipendawa, Cipanas, Cianjur 2 kebun percobaan Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang, 3 screen house di Cisurupan Garut, dan 4 lahan pertanaman kentang di Desa Mulyasari Pasirwangi Garut Lampiran 1. Wilayah-wilayah tersebut dipilih sebagai tempat pengambilan sampel tanaman kentang karena merupakan daerah penghasil kentang di wilayah Jawa Barat. Jarak antara lokasi pengambilan sampel dan laboratorium tempat isolasi yang dapat ditempuh kurang dari 24 jam juga menjadi salah satu pertimbangan pemilihan lokasi-lokasi tersebut, sehingga kondisi sampel yang diambil tetap segar ketika diisolasi bakterinya. Diantara ketiga daerah tersebut, luas area pertanaman dan produksi kentang di dataran tinggi Garut adalah paling tinggi, sehingga wilayah ini menjadi salah satu pusat penghasil bibit kentang dan umbi kentang di Indonesia. Tanaman kentang yang diambil berumur 6 sampai 8 minggu, dan dipilih tanaman sehat yang tumbuh di dekat tanaman yang menunjukkan gejala layu bakteri. Tanaman bersama tanah tempat tumbuhnya dimasukkan ke dalam amplop coklat besar dalam posisi berdiri, selanjutnya bagian bawah amplop dimasukkan ke dalam kantong plastik. Sampel tanaman diatur dan diletakkan dalam posisi berdiri dalam bak plastik. Kesegaran tanaman dijaga dengan cara memercikkan air mineral kemasan ke bagian tajuk dan tanahnya selama proses transportasi dari lapangan sampai ke laboratorium di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian BB BIOGEN Bogor untuk diisolasi bakteri endofitnya. Sampel tanaman yang sampai di Laboratorium pada malam hari selanjutnya segera diisolasi pada hari berikutnya. Selisih waktu pengambilan sampel di lapangan dengan waktu pelaksanaan isolasi bakteri endofit tidak lebih dari 24 jam. Optimasi sterilisasi permukaan akar Sebanyak 24 contoh tanaman kentang Granola umur 5-7 minggu asal Cipanas, Lembang, dan Garut dipergunakan sebagai bahan untuk optimasi sterilisasi permukaan akar. Tanaman 8 contoh tanaman dari Garut, dan masing- masing 8 tanaman dari Cipanas dan Lembang dibersihkan dari tanah yang menempel di daerah akar lalu dicuci dibawah air mengalir. Bagian akar dipotong dan dipisahkan dari bagian tanaman lainnya. Masing-masing sampel akar dibagi menjadi 4 bagian yang relatif sama. Sterilisasi sampel bagian pertama dilakukan dengan urutan sebagai berikut : direndam selama 1 menit dalam 1.5 larutan bleaching komersial BAYCLIN, Johnson Home Hygiene Product, Indonesia; mengandung 5.25 NaOCl dibilas dengan akuades steril, direndam selama 5 menit dalam ethanol 75, dan terakhir dibilas 2 kali dengan akuades steril. Sampel kedua disterilisasi dengan urutan berikut: direndam selama 1 menit dalam 2.5 larutan bleaching komersial, dibilas dengan akuades steril, direndam selama 5 menit dalam ethanol 75, dan terakhir dibilas 2 kali dengan akuades steril Gambar 4. Sampel bagian ketiga dan keempat masing masing dimasukkan secara terpisah ke dalam mangkuk ultrasonic cleaner ULTRA 7000, James Product Ltd. Sturminster Newton, Dorset, UK berisi akuades steril dingin dan dilanjutkan dengan sonikasi bertahap 5 kali. Setiap tahap sonikasi dilakukan selama 2 menit dalam akuades steril dingin yang baru. Selanjutnya untuk sampel bagian ketiga dilanjutkan dengan tahapan sterilisasi seperti yang dilakukan terhadap sampel bagian pertama. Sedangkan sterilisasi sampel keempat dilanjutkan dengan tahapan sterilisasi seperti yang dilakukan terhadap sampel kedua Gambar 4. Masing- masing bagian sampel ditiriskan diatas kertas tissue steril yang terletak di dalam cawan petri besar steril. Keberhasilan sterilisasi permukaan dicek dengan cara menginokulasikan 100 µL air bilasan terakhir dari masing-masing prosedur sterilisasi ke permukaan media Trypticase Soy Agar TSA : TSB 30 gL, agar-agar BIOTEK 20 gL. Selain itu, pengecekan juga dilakukan dengan cara mengusapkan permukaan akar yang telah disterilisasi permukaannya ke media TSA. Inokulasi air bilasan dan pengusapan akar ke media TSA masing-masing dilakukan dalam tiga ulangan. Cawan-cawan TSA tersebut tersebut di-seal menggunakan plastict wrap selanjutnya diinkubasi pada suhu ruang 29ºC-30ºC selama 3 hari. Pengamatan dilakukan terhadap terhadap jumlah koloni yang tumbuh dari masing-masing prosedur sterilisasi permukaan akar yang telah dilakukan. Prosedur sterilisasi yang tidak menghasilkan pertumbuhan koloni mikroba dari air bilasan terakhirnya mikroba phyloplant atau rhizosphere pada media TSA kontrol dipilih sebagai prosedur sterilisasi sampel akar yang akan diisolasi bakteri endofitnya. Sterilisasi permukaan batang dan daun Tanaman dibersihkan dari tanah yang menempel, dicuci dibawah air mengalir, lalu ditiriskan diatas kertas tissue. Bagian batang dipisahkan dari bagian akar dan daunnya menggunakan gunting steril kemudian dipotong-potong dengan ukuran ± 4 cm sebelum disterilisasi. Sterilisasi dilakukan dengan cara direndam selama 1 menit dalam 2.5 larutan bleaching komersial BAYCLIN, Johnson Home Hygiene Product, Indonesia yang mengandung 5.25 NaOCl, dibilas dengan akuades steril, direndam selama 5 menit dalam ethanol 75, dan terakhir dibilas 2 kali dengan akuades steril. Daun-daun beserta tangkainya disterilisasi dengan cara yang sama dengan cara sterilisasi bagian batang. Konfirmasi keberhasilan proses sterilisasi dilakukan dengan cara menempelkan sesaat permukaan sampel batang atau daun masing-masing 3 buah ke media TSA, serta menginokulasikan air bilasan terakhir ke media TSA seperti diuraikan diatas. Jika dalam waktu 24 atau 48 jam setelah inkubasi, terdapat koloni mikroba yang tumbuh pada media TSA tersebut, maka proses sterilisasi dianggap gagal dan proses isolasi yang dilakukan dengan sampel tersebut harus diulang mulai dari awal. Isolasi bakteri endofit dari jaringan tanaman kentang Akar, batang, dan daun yang telah disterilisasi masing-masing dipotong kecil-kecil lalu digerus dengan mortar secara terpisah. Hasil gerusan masing- masing diencerkan secara serial dengan akuades steril kemudian disebarkan pada media TSA 20 TSB 6 gL, agar-agar 20 gL, King’s B Agar KBA 20 proteosa pepton 4 gL, K 2 HPO 4 . 3H 2 O 0.3 gL, MgSO 4 .7H 2 O 0.3 gL, gliserol 4 mlL dan Agar-agar 20 gL, dan agar Nitrate Mineral Salt NMS bebas N MgSO 4 .7H 2 O 1.0 gL, CaCl 2 .6H 2 O 0.2 gL, KH 2 PO 4 0.272 gL, Na 2 HPO 4 4.0 gL, Na 2 EDTA 0.5 gL, FeSO 4 .7H2O 0.2 gL, H 3 BO 4 0.03 gL, CoCl 2 .6H 2 O 0.02 gL, ZnSO 4 .7H 2 O 0.01 gL, MnCl 2 .4H 2 O 3.0 mgL, Na 2 MoO 4 .2H 2 O 3.0 mgL, NiCl 2 .6H 2 O 2.0 mgL dan CaCl 2 .2H 2 O 1.0 mgL, methanol 100 mLL , dan Bacto Agar 15 gL. Inkubasi dilakukan pada suhu ruang dan kondisi gelap selama 2 hari sampai 6 minggu. Koloni yang tumbuh pada media isolasi dan menunjukkan morfologi koloni yang berbeda dipilih dan dimurnikan dengan teknik penggoresan kuadran pada media yang sama. Tahapan proses isolasi bakteri endofit secara garis besar ditampilkan pada Gambar 5. Gambar 5 Diagram alir isolasi bakteri endofit dari tanaman kentang Penapisan Isolat Bakteri Endofit Kentang Tahap I Isolat-isolat yang diperoleh ditapis secara bertahap. Tahapan penapisan terdiri dari penapisan awal yang meliputi bioessei Hypersentive Response HR, uji hemolitik, uji patogenisitas terhadap planlet kentang, dan uji kemampuan menurunkan Disease Insidence DI pada kondisi penanaman tidak steril Gambar 6. Gambar 6 Diagram alir penapisan isolat bakteri endofit dan kajian perubahan fisiologis inang Bioesei Hypersentive Response HR Isolat bakteri endofit ditumbuhkan pada media TSA seama 2-7 hari, E. coli ditumbuhkan pada media Luria Berthani Agar LBA : yeast extract 5 gL, trypton 10 gL, NaCl 10 gL, dan agar-agar BIOTEK 20 gL selama 2 hari, dan Ralstonia solanacearum ditumbuhkan pada media Sucrose Peptone Agar SPA : sukrosa 20 gL, Pepton 5 gL, MgSO 4 7H 2 O 0.5 gL, KH 2 PO 4 0.25 gL, dan agar-agar BIOTEK 20 gL selama 7 hari. Koloni bakteri yang tumbuh diambil dengan lup inokulasi kemudian disuspensikan dengan garam fisiologis steril sampai diperoleh kepadatan sel ± 10 7 selmL. Sebanyak 0.5-1.0 mL masing-masing suspensi bakteri diinfiltrasikan ke permukaan bawah daun tembakau Nicotiana tabaccum umur 2 bulan. Pengamatan terhadap reaksi HR yang timbul di bagian yang diinfeksi dilakukan setiap hari selama 7 hari berturut-turut. Bioesei HR untuk masing-masing isolat dilakukan dalam 5 ulangan. Uji hemolitik Uji aktivitas hemolitik dilakukan dengan cara menginokulasikan isolat bakteri ke permukaan media agar darah yang komposisinya terdiri dari : Blood Agar Base BBL 40 gL, dan darah domba steril yang telah di-defibrinasi sebanyak 50 mlL Snavely dan Brahier 1960. Setelah diinkubasi selama 1-5 hari pada suhu ruang 29°C-30°C, dilakukan pengamatan ada tidaknya aktivitas hemolitik di sekitar koloni bakteri. Isolat-isolat yang tidak menunjukkan aktivitas hemolitik merupakan isolat terpilih yang digunakan sebagai bahan pada percobaan berikutnya. E. coli K1.1 koleksi IPB Culture Collection IPBCC digunakan sebagai kontrol posif pada uji ini. Uji hemolitik untuk setiap isolat dilakukan dalam 3 ulangan. Uji patogenisitas isolat terhadap planlet kentang Inokulum bakteri endofit terpilih ditumbuhkan pada medium TSA selama 5- 7 hari. Koloni yang telah tumbuh diambil degan ose selanjutnya disuspensikan dalam akuades steril. Sebanyak 100 µL suspensi bakteri ± 1.0 x10 7 sel mL diteteskan ke media disekitar akar planlet kentang Granola berumur 2 minggu. Sebagai kontrol, akuades steril digunakan untuk menggantikan suspensi bakteri endofit yang diinokulasikan. Planlet yang telah diinokulasi diinkubasi kembali dan gejala penyakit yang ditimbulkan oleh bakteri yang diinokulasikan diamati selama 10 hari. Penumbuhan planlet dilakukan pada kondisi berikut : media Murashige-Skoog, suhu 23ºC, 8 jam gelap dan 16 jam terang intensitas cahaya 2500 lux. Planlet yang sehat diinkubasi lebih lanjut sampai berumur 4 minggu untuk digunakan sebagai bahan percobaan berikutnya. Uji ini dilakukan masing- masing dalam 3 ulangan satu planlet dalam satu botol kultur setiap ulangan untuk setiap isolat. Uji ketahanan tanaman Generasi 0 G0 yang diperkaya isolat bakteri endofit terhadap layu bakteri Plantlet-plantlet yang telah diinokulasi dengan bakteri endofit dan tidak menunjukkan gejala penyakit sehat dan telah berumur 4 minggu ditanam dalam polybag berisi 3 kg media tanam tidak steril yang terdiri atas campuran kompos kotoran ayam, tanah, dan sekam bakar dengan perbandingan 1:1:1. Polybag yang telah ditanami bibit kentang tersebut dipelihara dalam sungkup plastik di Kebun Percobaan BB-BIOGEN Pacet Cianjur, Jawa Barat. Penyiraman dilakukan menggunakan air embung yang terdapat di kebun tersebut. Jumlah planlet yang ditanam masing-masing sebanyak 5 plantlet untuk setiap perlakuan. Pada percobaan ini tidak ada pupuk kimia atau pestisida yang diaplikasikan. R. solanacearum Rs ditumbuhkan pada media SPA selama 5-7 hari pada suhu ruang. Koloni R. solanacearum yang tumbuh diambil menggunakan lup kemudian disuspensikan dalam akuades steril. Suspensi patogen tersebut ±1x10 8 selmL digunakan untuk menginokulasi tanaman kentang generasi 0 G0 yang telah berumur 1.5 bulan. Inokulasi dilakukan dengan cara mengorek tanah berjarak ±3 cm dari pangkal batang sehingga ada 1-2 akar rambut yang terpotong. Selanjutnya sebanyak 5 mL suspensi R. solanacearum disiramkan ke sekitar bagian akar yang terpotong dan rizosfer di sekitarnya. Gejala layu bakteri yang muncul diamati sampai masa panen 12 minggu. Perlakuan endofit yang berhasil melindungi semua tanaman dalam setiap perlakuan 5 tanaman dari penyakit layu bakteri diamati parameter pertumbuhannya biomasa tajuk, biomasa akar, jumlah dan berat umbi. Pengukuran densitas sel bakteri Densitas sel bakteri dalam suspensi inokulum ditentukan dengan menggunakan kombinasi teknik spektrofotometri dan plate count Hadioetomo, 1993. Bakteri yang akan diukur densitasnya ditumbuhkan pada media yang sesuai TSA untuk bakteri endofit, SPA untuk R. solanacearum. Biomasa sel yang diperoleh dari kultur padat disuspensikan dalam akuades steril atau larutan garam fisiologis kemudian diencerkan secara serial 1:1, 1:2, 1:4, 1:8, dst.. Sebagian suspensi sel dari masing-masing tingkat pengenceran diukur nilai Optical Density-nya OD pada panjang gelombang 600 nm. Sisa suspensi sel dari masing-masing tingkat pengenceran diencerkan lebih lanjut secara serial 10 -1 , 10 - 2 , 10 -3 , 10 -4 , 10 -5 , dst. kemudian sebanyak 100 µL hasil pengenceran tersebut disebarkan pada cawan agar yang sesuai. Semua agar cawan yang telah diinokulasi diinkubasi pada suhu ruang selama 4-7. Pengukuran densitas sel bakteri pada kultur cair dilakukan dengan cara yang sama tetapi pengenceran dilakukan menggunakan media cair yang sesuai. Jumlah koloni yang tumbuh pada setiap agar cawan dihitung. Nilai jumlah koloni yang tumbuh dari masing-masing tingkat pengenceran dan nilai OD-nya digunakan untuk mendapatkan persamaan kurva konversi nilai OD menjadi densitas sel permililiter. Penapisan Isolat Bakteri Endofit Kentang Tahap II Evaluasi ketahanan tanaman G0 yang diperkaya isolat bakteri endofit pada media steril Seleksi lanjut dilakukan dengan menanam kembali planlet yang sebelumnya telah diinokulasi dengan 2 isolat bakteri endofit terpilih pada 3 kg media tanam seperti yang dilakukan pada tahap seleksi awal namun media tanam dan air yang digunakan untuk menyiram tanaman telah disterilkan terlebih dahulu. Selanjutnya setelah tanaman berumur 1.5 bulan diinfeksi dengan R. solanacearum. Percobaan dilakukan menggunakan Rancangan Acak Kelompok RAK yang terdiri dari 6 perlakuan yaitu tanaman kontrol yang tidak diperkaya endofit dan tidak diinfeksi R. solanacearum K, tanaman kontrol yang diinokulasi R. solanacearum K +Rs , tanaman diperkaya isolat G053, tanaman diperkaya isolat G062, tanaman diperkaya isolat G053 dan diinokulasi R. solanacearum G053 +Rs , dan tanaman diperkaya isolat G062 dan diinokulasi R. solanacearum G062 +Rs . Setiap perlakuan terdiri dari 3 ulangan dan setiap ulangan terdiri dari 8 tanaman. Pengamatan dilakukan terhadap Nilai Disease Incidence DI layu bakteri yang dihitung menggunakan persamaan berikut Kelman 1954: n = jumlah planlet atau tanaman yang sakit N = jumlah planlet atau tanaman yang diamati Pengolahan data dilakukan menggunakan program SAS versi 6.12. Nilai DI yang diperoleh dianalisa ragamnya dan apabila ada perbedaan yang nyata dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan pada taraf 0.05. Evaluasi DI tanaman Generasi 1 G1 pada media tidak steril. Evaluasi DI tanaman G1 dilakukan terhadap 3 perlakuan tanaman yaitu tanaman G1 Kontrol , G1 G053 , dan G1 G062 . Masing-masing perlakuan terdiri dari 15 ulangan, dan setiap ulangan terdiri dari 1 tanaman G1. Umbi yang dihasilkan oleh tanaman G0 kontrol, tanaman diperkaya isolat G053, dan tanaman diperkaya G062 pada percobaan sebelumnya evaluasi ketahanan tanaman G0 pada kondisi steril disimpan di dalam lemari pendingin. Umbi yang telah disimpan selama ±3 bulan dan telah bertunas ditanam pada media tanam komposisi seperti media tanam pada uji ketahanan tanaman pada penapisan awal yang tidak steril di screen house di Desa Cipendawa, Cipanas, Cianjur. Tanaman G1 tersebut disiram dengan air yang langsung diambil dari aliran air gunung di kebun. Tanaman G1 tidak diinokulasi secara artifisial, oleh karena itu nilai DI dihitung berdasarkan infeksi yang terjadi secara alami. Analisis respon fisiologis tumbuhan terkait ketahanan a. Penentuan kandungan protein total. Masing-masing sebanyak 8 polybag tanaman kontrol 1 tanaman per-polybag, tanaman G053, dan tanaman G062 yang berumur 1.5 bulan dipindahkan dari kebun percobaan BB-BIOGEN di Pacet ke dalam low temperature incubator 23 ⁰C, 14 jam terang dan 10 jam gelap di Laboratorium Mikrobiologi, Kelti Biokimia BB-BIOGEN. Setelah tanaman dibiarkan beradaptasi selama 3 hari, dari masing-masing tanaman diambil 200 mg daun muda yang telah berkembang sempurna daun ketiga dari pucuk. Daun-daun tersebut digerus menggunakan mortar yang telah didinginkan di dalam freezer. Hasil gerusan dihomogenisasi dengan 10 ml buffer fosfat pH 6.8 lalu disentrifugasi pada kecepatan 12000 rpm selama 15 menit pada suhu 4ºC. Supernatan yang merupakan ekstrak daun diambil dan dipindahkan ke dalam botol pyrex bertutup ulir yang telah didinginkan terlebih dahulu. Sebanyak 4 tanaman dari masing-masing perlakuan diinfeksi dengan suspensi R. solanacearum, sedangkan sisanya diperlakukan dengan cara yang sama tetapi dengan akuades kontrol negatif yang tidak diinfeksi R. solanacearum. Infeksi R. solanacearum dilakukan dengan cara seperti diuraikan di bagian sebelumnya. Dua puluh empat jam dan 48 jam kemudian dilakukan kembali pengambilan sampel daun dari semua tanaman yang diinfeksi R. solanacearum dan tanaman yang tidak diinfeksi R. solanacearum untuk diekstraksi seperti diuraikan diatas. Ekstrak daun yang diperoleh ditentukan kandungan protein totalnya menggunakan teknik microassay sebagaimana yang dipublikasikan oleh Bradford 1976. Satu mililiter reagen protein ditambahkan ke dalam tabung berisi 100 µL supernatan atau larutan Bovine Serum Albumin BSA yang dipergunakan sebagai standar protein. Campuran reaksi divortex, dibiarkan selama 2 menit, dan akhirnya diukur absorban-nya pada panjang gelombang 565nm. Pengukuran protein dilakukan dalam 4 ulangan.

b. Pengukuran aktivitas enzim peroksidase. Ekstrak daun diencerkan

sebanyak 20 kali dengan buffer fosfat pH 6.8. Satu mililiter ekstrak daun encer dita mbahkan ke dalam tabung berisi 4 ml campuran reaksi 125 mol buffer phosphate pH 6.8, 50 mol pyrogallol, dan 50 mol of H 2 O 2 , kemudian diinkubasi pada suhu ruang 29-30ºC selama 5 menit. Reaksi dihentikan dengan cara menambahkan 0.5 ml H 2 SO 4 5 vv Kar dan Mishra 1976. Campuran reaksi diukur absorbans- nya pada μ 420 nm. Aktvitas peroksidase diukur dalam 6 ulangan.

c. Pengukuran aktivitas enzim polifenol oksidase. Pengukuran aktivitas

polifenol oksidase dilakukan dengan cara yang sama dengan pengukuran peroksidase, tetapi campuran reaksinya tidak mengandung H 2 O 2 Kar dan Mishra 1976. Pengukuran polifenol oksidase dilakukan sebanyak 3 ulangan.

d. Pengukuran aktivitas enzim askorbat peroksidase. Aktivitas askorbat

peroksidase ditentukan dengan menggunakan metode Nakano dan Asada 1981. Pengujian aktvitas askorbat peroksidase dilakukan sebanyak 3 ulangan. Sebanyak 200 mg daun muda yang telah berkembang sempurna digerus dalam larutan pengekstrak dingin 2 ml 50 mM bufer fosfat pH 7.0, 1 mL PVP 1, dan 1 mL 0.2 mM asam askorbat. Hasil gerusan disentrifugasi pada kecepatan 10000 rpm suhu 4°C selama 30 menit. Supernatan yang terbentuk diambil sebanyak 100 µL kemudian dimasukkan ke dalam tabung kuvet yang telah berisi pereaksi 0.5 mL 50 mM bufer fosfat pH 7.0, 1 mL 0.5 mM asam askorbat, 0.2 mL 1 mM EDTA, dan 0.1 mL 0.1 mM H 2 O 2 . Campuran reaksi tersebut dihomogenisasi menggunakan pipet kemudian segera diukur absorbansinya p ada μ 2λ0 nm. Pengukuran absorbans dilakukan setiap 10 detik selama 1 menit. Aktivitas enzim askorbat peroksidase dihitung menggunakan persamaan berikut : � : 289 mM -1 cm -1

e. Pengukuran emisi etilen. Dari 12 tanaman kontrol dan 12 tanaman

G053 masing-masing diambil 1 lembar daun muda yang telah berkembang sempurna. Setiap tiga daun dari perlakuan yang sama digabung, ditimbang, selanjutnya dimasukkan ke dalam 1 tabung reaksi khusus untuk sampel gas dan ditutup rapat. Tabung sampel diinkubasi pada suhu 23 ⁰±1⁰C selama 16 jam seelum diukur kadar gas etilen yang diemisikannya. Etilen diukur menggunakan kromatografi gas Hitachi 263-70 dengan detector FID dan kolom Porapack M di Laboratorium tanah, BBSDLP, Cimanggu, Bogor. Delapan belas jam s etelah pengambilan sampel daun yang pertama, setengah jumlah tanaman dari masing-masing perlakuan 6 tanaman kontrol dan 6 tanaman G053 diinfeksi R. solanacearum dengan cara seperti yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya 2.4. Sebagai kontrol, rizosfer akar tanaman yang telah dikorek disiram dengan akuades. Setelah 18 jam, kembali dilakukan pengambilan sampel daun untuk diukur emisi etilen-nya. Pengukuran etilen dilakukan dalam 2 ulangan untuk setiap perlakuan setiap perlakuan terdiri dari 3 daun yang berasal dari 3 tanaman.

f. Penetapan kandungan lignin like compound. Biomasa sampel tanaman

dari setiap perlakuan digabung jadi satu, dikeringkan pada suhu 50ºC selama 2 hari, digerus, dan diayak 50 mesh sebelum dianalisis kadar senyawa serupa lignin-nya menggunakan metode Van Soests et al. 1991. Analisis ini dilakukan di laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Pakan dan Nutrisi, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pengamatan Pertumbuhan Tanaman dan Produktivitas Umbi Tanaman G0 dan G1 diamati parameter pertumbuhan dan produktivitas umbinya. Parameter pertumbuhan tanaman G0 yang diamati meliputi berat kering tajuk dan berat kering akar, sedangkan produktivitas umbi yang diamati adalah jumlah serta berat umbi per tanaman. Pengukuran berat kering dilakukan setelah sampel tanaman dikeringkan pada suhu 50ºC sampai beratnya stabil 2 hari. Sedangkan parameter pertumbuhan tanaman G1 yang diamati adalah tinggi tanaman, serta jumlah dan berat umbi kentang yang dihasilkan. Tinggi tanaman diukur pada umur 9 minggu setelah tanam MST, sedangkan jumlah dan berat umbi dihitung setelah panen 12 MST. Uji Kolonisasi Pengamatan tampilan morfologi akar planlet yang diperkaya dengan bakteri endofit Planlet kentang Granola umur 2 minggu diinokulasi dengan bakteri endofit dengan cara yang sama seperti diuraikan pada bagian sebelumnya 2.3. Sebagai perlakuan kontrol media disekitar akar planlet ditetesi dengan 100 µL akuades steril untuk pengganti inokulum endofit, sedangkan sebagai pembanding planlet diinokulasi dengan 100 µl suspensi isolat G059 dan G0196. Delapan belas jam setelah inokulasi, kejernihan media tanam dan tampilan akar planlet diamati. Pengamatan dilakukan sampai planlet berumur 4 minggu. Planlet dicabut dengan hati-hati dari media tanamnya pada akhir pengamatan umur 4 minggu dan didokumentasikan difoto tampilan morfologi bagian luar akarnya. Pengamatan secara mikroskopis Planlet dikirim ke divisi Zoologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, di Cibinong Indonesia, untuk diamati kolonisasi bagian dalam batangnya oleh M. endophyticus G053. Spesimen difiksasi menggunakan buffer cacodylate dan glutaraldehida, lalu didehidrasi dengan alkohol bertingkat sebelum dikeringkan menggunakan pengering beku Goldstein 1992. Spesimen batang yang telah kering dipotong menyerong. Batang disobek dari salah satu ujungnya menggunakan jarum khusus untuk menyingkap bagian dalam batangnya kemudian ditempelkan ke spesimen stub dengan cello-tape ganda, dilapisi dengan emas 400 A ◦ menggunakan mesin pelapis Eico I-B2 ion coater dan diamati dengan Scanning Electron Microscope JEOL, JSM-5310 LV. Reisolasi bakteri endofit dari tanaman dan planlet Tanaman dibersihkan dari sisa-sisa media tanam, dicuci menggunakan air mengalir, selanjutnya diseka menggunakan kertas tisu untuk mengeringkan sisa air yang ada di permukaan sampel tanaman. Semua daun dan akar dibuang dengan cara dipotong menggunakan gunting steril. Sampel yang telah dibuang akarnya direndam berturut-turut dalam 2.5 cairan pemutih komersil BAYCLIN, Johnson Home Hygiene Product, Indonesia; mengandung 5.25 NaOCl selama 3 menit, akuades steril, etanol 70 selama 5 menit, dan terakhir dibilas 3 kali dengan akuades steril. Sampel yang telah disterilkan permukaannya dipotong kecil-kecil sebelum digerus dengan mortar steril. Hasil gerusan diencerkan dengan akuades steril, kemudian diinokulasi pada cawan TSA 50. Planlets dicabut dengan hati-hati menggunakan pinset steril kemudian dipotong pada posisi ± 1.5 cm dari atas bagian planlet yang tertanam dalam media. Potongan planlet ditimbang secara aseptis kemudian langsung digerus, diencerkan secara serial, dan disebarkan di permukaan media TSA 50. Reisolasi isolat G053 dari planlet dilakukan terhadap planlet umur 6 minggu 4 msi dan 16 minggu 14 msi. Reisolasi isolat G053 juga dilakukan terhadap planlet umur 6 minggu yang disubkultur dari batang bawah dan batang atas planlet umur 6 minggu 4 msi. Reisolasi isolat G062 hanya dilakukan dari planlet umur 6 minggu 4 msi. Karakterisasi Isolat Bakteri Endofit Terpilih Dua isolat terbaik yang memiliki kemampuan tertinggi dalam menurunkan nilai Disease Insidence DI penyakit layu bakteri dipilih untuk dikarakterisasi. Karakterisasi yang dilakukan meliputi karakterisasi molekuler, fisiologis dan biokimia, serta morfologi. Diagram kegiatan karakterisasi yang dilakukan dipaparkan pada Gambar 7. Gambar 7 Diagram alir kegiatan karakterisasi isolat bakteri endofit terpilih yang dilakukan dalam penelitian ini Identifikasi dan karakterisasi molekuler DNA genom diekstraksi menggunakan XPrep Stool DNA Mini Kit Philekorea Technology, INC. Seoul Korea dengan mengikuti prosedur yang direkomendasikan oleh produsennya. DNA yang diperoleh digunakan sebagai template untuk amplifikasi 16S rDNA dan beberapa gen lainnya. Amplifikasi DNA 16S rRNA dilakukan menggunakan pasangan primer 63f 5’- CAGGCCTAACACATGCAAGTC-3’ dan 1387r 5’-GGGCGGWGTGTACAA- GGC-3’ sebagaimana yang dipublikasikan oleh Marchessi et al. 1998. Komposisi dan kondisi reaksi reaksi PCR dipaparkan pada Tabel 2 dan 3. Amplikon dikirim ke perusahaan jasa sekuensing Genetika Science Indonesia untuk proses sekuensing DNA. Sekuen DNA yang diperoleh dianalisa kesejajarannya menggunakan Program Clustal W Thompson et al. 1994 dan dibandingkan dengan basis data sekuen DNA 16S rRNA yang terdapat gene bank. Pohon filogenetik dikonstruksi menggunakan neighbor-joining method with Maximum Composite Likelihood model in Mega 5.05 Tamura et al. 2011. Tabel 2 Komposisi campuran reaksi PCR untuk amplifikasi 16S rDNA G053 dan G062 Komponen reaksi Konsentrasi akhir G053 G062 Bufer untuk KOD Hot Start polymerase MgSO 4 dNTPs masing-masing Primer “Forward” Primer “Reverse” Template DNA KOD Hot Start DNA polymerase Phusion Master Mix 1x 1.5 mM 0.2 mM 0.3 μM 0.3 μM 100 ng 0.02 UµL - - - - 0.3 μM 0.3 μM 100 ng - 1x Tabel 3 Kondisi reaksi PCR amplifikasi 16S rDNA G053 dan G062 Tahapan reaksi Durasi G053 G062 Polymerase activation Denaturation Annealing Extention Final extention 95 ⁰C, 2 menit 95 ⁰C, 30 detik 56.5 ⁰C, 45 detik 73 ⁰C, 1 menit 15 detik 73 ⁰C, 2 menit 95 ⁰C, 2 menit 95 ⁰C, 2 detik 55 ⁰C, 30 detik 72 ⁰C, 1 menit 72 ⁰C, 5 menit Potensi genetik produksi of 2,4-diasetilfloroglusinol DAPG oleh isolat G062 dideteksi menggunakan pasangan primer phl2a 5’-GAGGACGTCGAA- GACCACCA-3’ dan phl2b 5’-ACCGCAGCATCGTG-TATGAG-3’, sedangkan untuk produksi gen pyrrolnitrin dengan menggunakan pasangan primer prnCf 5’-CCACAAGCCCGGCCAGGAGC-3’ dan prnCr 5’-GAGAAG- AGCGGG-TCGATGAAGCC-3’. Kondisi amplifikasi untuk kedua gen metabolit sekunder tersebut sebagaimana kondisi PCR yang dipublikasikan oleh Raaijmakers et al. 1997 dan Mavrodi et al. 2001. Karakterisasi fisiologis dan biokimia a. Uji fisiologis dan biokimia umum . Kultur yang dipergunakan untuk uji fisiologis dan biokimia ditumbuhkan pada media TSA atau TSB dan diinkubasi pada suhu ruang 29 ⁰C-30⁰C selama 24 jam bila tidak ada keterangan lain yang disebutkan secara khusus. Penggolongan tipe Gram sel yang diambil dari kultur umur 24 jam dilakukan menggunakan metode non-staining Buck, 1982 dan selanjutnya diverifikasi menggunakan metode pewarnaan Benson 2001 serta pengamatan pada perbesaran 1000 kali menggunakan mikroskop medan terang Olympus CH20BIMF200. Uji aktivitas katalase dilakukan dengan cara mengamati pembentukan gelembung pada 1 lup massa sel bakteri yang dicampur dengan 1-2 tetes H 2 O 2 3, sedangkan aktivitas oksidase diuji dengan menggunakan oxidase paper Difco. Aktivitas kitinolitik, proteolitik, dan amilolitik berturut-turut diobservasi pada kultur umur 7 hari yang tumbuh pada media 1 wv TSA yang mengandung 1 koloidal kitin, 1 susu skim, dan 1 soluble starch sedangkan aktivitas hidrolisis CMC Carboxy methyl cellulose di amati pada kultur yang tumbuh pada media agar CMC. Aktivitas pelarutan fosfat isolat terpilih diuji pada media agar Pikovskaya Pikovskaya, 1948. Tingkat toleransi terhadap NaCl diamati dengan cara menumbuhkan bakteri pada media kaldu LB yang mengandung NaCl pada berbagai konsentrasi 0-15. Penentuan pH pertumbuhan dilakukan dengan cara menumbuhkan bakteri pada media TSB yang telah diatur pH-nya menggunakan larutan NaOH atau HCl. Sedangkan penentuan suhu pertumbuhan dilakukan terhadap kultur cair bakteri yang diinkubasi pada suhu 13 ⁰C, 18⁰C, 20⁰C, 30⁰C, 37⁰C, 40⁰C, dan 42⁰C. Kultur untuk uji toleransi NaCl serta suhu dan pH pertumbuhan diinkubasi sambil digoyang pada kecepatan 75 rpm diatas shaker. Pertumbuhan kultur-kultur tersebut diamati dengan cara diukur rapat optisnya pada 600 nm. Selain uji-uji yang telah diuraikan diatas, uji fisiologis dan biokimia untuk isolat G062 juga dilakukan menggunakan kit API 20NE bioMerieux SA, Lyon, France.

b. Uji aktivitas fiksasi nitrogen. Aktivitas fiksasi nitrogen isolat terpilih

diuji dengan cara mengamati kemampuan tumbuh isolat yang diuji pada media agar LGI yang telah dimodifikasi K 2 HPO 4 0.2 gL; KH 2 PO 4 0.6 gL; MgSO 4 .7H 2 O 0.2 gL; CaCl 2 0.02 gL; Na 2 MoO 4 .2H 2 O 0.002 gL; FeCl 3 0.01 gL; arabinosa 3 gL; manitol 3 gL; asam malat 3 gL; dan agar Bacto 15 gL dan uji aktivitas reduksi asetilen Acetylene reduction assay: ARA terhadap kultur yang tumbuh pada media semi padat LGI komposisi seperti agar LGI tetapi hanya mengandung agar Bacto 8 gL. Inokulum untuk uji ARA disiapkan dengan cara menginokulasikan masing- masing 1 lup biakan padat isolat G053 dan G062 umur 72 jam ke dalam 10 mL media cair LGI kemudain diinkubasi pada suhu ruang 29°C-30°C diatas shaker selama 3 hari. Sebanyak 0.1 mL kultur inokulum isolat G053 dan G062 umur 48 jam masing-masing diinokulasikan ke dalam tabung reaksi bertutup ulir ukuran 15 mL yang memiliki sumbat karet dibagian tengah tutupnya yang berisi 7 mL media LGI semi padat. Kultur tersebut diinkubasi pada suhu ruang selama 5 hari sebelum diukur ARA-nya. Pengukuran ARA dilakukan menurut Gothwal et al. 2008 di Laboratorium tanah, BBSDLP, Cimanggu, Bogor . Sebanyak 3 mL udara pada bagian head space kultur diambil menggunakan jarum suntik dan sebagai gantinya ke dalam head space tersebut dimasukkan gas asetilen dengan volume yang sama dengan udara yang disedot. Kultur diinkubasi kembali selama 2 jam pada suhu ruang dan kemudian diukur konsentrasi gas etilen yang terbentuk di bagian head space-nya menggunakan perangkat kromatografi gas Hitachi 263- 70 dengan detector FID dan kolom Porapack M . Uji ARA dilakukan dalam 3 ulangan.

c. Uji kemampuan produksi plant growth hormone like compounds. Satu

lup massa bakteri diambil dari koloni yang tumbuh pada TSA kemudian diinokulasikan ke dalam tabung reaksi berisi 5 mL TSB. Setelah diinkubasi pada suhu ruang sambil digoyang 75 rpm selama 24 jam, sebanyak 1 mL kultur tersebut digunakan sebagai inokulum untuk 50 ml media TSB yang baru, dan selanjutnya diinkubasi dengan kondisi yang sama dengan kultur inokulum selama 7 hari. Kultur disentrifugasi pada kecepatan 10000 rpm, suhu 4 ⁰C, selama 10 menit. Supernatan yang diperoleh sebagian digunakan untuk pengukuran IAA like compound yang dilakukan dengan metode Salkowsky yang telah dimodifikasi oleh Glickmann dan Dessaux 1995. Sisa supernatan diekstraksi Giberellin GA, zeatin, dan ABA like yang terkandung di dalamnya dengan menggunakan etil asetat. Konsentrasi ZPT like diukur menggunakan teknik spektrofotomeri pada panjang gelombang 254 nm, 269 nm, dan 263 nm berturut-turut untuk Gibberellin GA, zeatin, dan ABA like Ergűn et al. 2002. Sebagai standar pengukuran digunakan larutan IAA Merck, Darmstadt, Germany, Giberellin Merck, Darmstadt, Germany, zeatin Sigma, St. Louis MO USA, dan ABA Duchefa Biochemie, Haarlem, Netherland. Pengukuran IAA dan ketiga ZPT like lainnya berturut-turut dilakukan dalam 4 dan 3 ulangan.

d. Uji kemampuan produksi siderofor . Kemampuan produksi siderofor

isolat terpilih diuji menggunakan metode double layer-CAS agar. Metode ini merupakan metode yang dikembangkan oleh oleh Hu dan Xu 2011 untuk menguji kemampuan bakteri yang bersifat fastidious dalam memproduksi siderofor serta mengatasi efek toksik beberapa komponen CAS agar seperti hexadecyltrimetyl ammonium bromide HDTMA terhadap mikroba yang diuji. Prinsip pengujian ini adalah kompetisi antara siderofor yang dihasilkan oleh mikroba yang diuji dengan kompleks senyawa pengkelat-indikator dalam mengkelat besi yang terdapat di dalam media uji CAS agar. Biakan padat bakteri endofit yang akan diuji ditumbuhkan pada media TSA selama 4-5 hari. Biakan tersebut digoreskan ke atas permukaan media double layer TSA-CAS agar dengan dua ulangan. Isolat yang mengekskresikan siderofor akan membentuk zona berwarna oranye di sekitar koloni setelah diinkubasi selama 2-4 hari.

e. Analisa Fatty Acid Methyl Ester FAME. Isolat bakteri endofit

ditumbuhkan pada media TSA. Setelah diinkubasi selama 48 jam pada suhu ruang, sebanyak 2 lup kultur tersebut diambil dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi gelas bertutup ulir. Selanjutnya sebanyak 1 mL reagen saponifikasi NaOH 45 g, metanol 150 mL, dan 150 mL akuadest ditambahkan ke dalam tabung reaksi berisi biomasa bakteri yang akan dianalisa FAME-nya. Tabung ditutup rapat menggunakan penutup yang terbuat dari teflon, di-vortex dengan kuat selama 5-10 detik, kemudian dipanaskan dalam penangas air mendidih selama 5 menit, di-vortex kembali selama 5-10 detik, dan terakhir dipanaskan lagi di dalam penangas selama 25 menit. Tabung berisi campuran reaksi didinginkan dalam bak berisi air sebelum ditambahkan 2 ml reagen metilasi 325 mL HCl 6.0 N, 275 mL metil alkohol ke dalamnya dan selanjutnya ditutup kembali dengan rapat. Campuran reaksi tersebut di-vortex kuat selama 5-10 detik, kemudian dipanaskan dalam penangas air bersuhu 80ºC ± 1ºC selama 10 ± 1 menit. Campuran reaksi didinginkan kembali dengan cepat di di dalam bak berisi air sebelum dilakukan ekstraksi. Ekstraksi dilakukan dengan cara menambahkan 1.25 mL pelarut hexan : tersier-butil-eter = 1:1 selanjutnya tabung ditutup rapat dan dikocok pelan- pelan dengan cara dibolak-balik selama 10 menit. Setelah terbentuk 2 fase, fase air di bagian bawah disedot dan dibuang menggunakan pipet gelas. Fase organik yang tersisa ditambah dengan 3 mL reagen keempat sample clean up : 10.8 g NaOH dalam 900 mL akuades, tabung ditutup rapat, kemudian tabung dibolak- balik selama 5 menit. Tahap selanjutnya, campuran dibiarkan sampai terjadi pemisahan fase. Sebanyak 23 fase organik yang terbentuk diambil dan dimasukkan ke dalam botol sampel GC untuk dianalisa Sasser, 1990. Analisa dilakukan menggunakan perangkat MIDI Sherlock System Agilent, USA dan standar campuran FAME yang direkomendasikan oleh produsen perangkat analisa tersebut. Analisa FAME dilakukan di Laboratorium Center of Ecellence Indigenous Biological Resources-Genome Studies CoE IBR-GS, FMIPA Universitas Indonesia, Depok.

f. Bioesei produksi VOCs dan aktivitas penghambatannya terhadap kultur

R. solanacearum. Kemampuan produksi VOCs isolat bakteri endofit

G053 diuji menggunakan teknik cawan terbagi divided petri plate sebagaimana dipublikasikan oleh Fernando et al. 2005. TSA atau Kings B Agar KBA masing-masing dituang ke dalam ruang pertama yang terdapat pada two compartment petri plate, sedangkan SPA atau SPA yang mengandung 50 mgmL tetrazolium klorida TZC dituang ke dalam ruang kedua. Setelah media memadat, pada permukaan media TSA tersebut digoreskan isolat bakteri endofit kemudian diinkubasi pada suhu ruang dalam keadaan gelap. Sepuluh hari setelah diinkubasi dan bakteri endofit telah tumbuh subur di permukan media, pada permukaan media SPA atau SPA+TZC digoreskan R. solanacearum selanjutnya cawan ditutup kembali, di-seal menggunakan plastic wrap, dan selanjutnya diinkubasi pada suhu ruang dan gelap selama 7 hari. Sebagai kontrol, isolat bakteri endofit dan patogen ditumbuhkan dengan cara yang sama tetapi pada three compartment petri disk. Ruang ketiga diiisi dengan serbuk arang aktif steril pada waktu yang bersamaan dengan inokulasi R. solanacearum. Arang aktif tersebut berfungsi sebagai penjerap VOCs yang dihasilkan oleh isolat yang diuji G053. Cawan kontrol diinkubasi dengan cara yang sama dengan cawan perlakuan