40
Tidak ada persyaratan khusus bagi Penerima Hak Tanggungan. Ia bisa orang perorangan, bisa badan hukum. Bisa orang asing, bisa juga badan hukum asing, baik
yang berkedudukan di Indonesia atau pun di luar negeri, sepanjang kredit yang bersangkutan dipergunakan untuk kepentingan pembangunan di wilayah negara
Republik Indonesia Pasal 9 dan Penjelasan Pasal 10 ayat 1 UUHT.
50
Setelah dibuatnya APHT, Kreditor berkedudukan sebagai penerima Hak Tanggungan. Setelah
dilakukan pembukuan Hak Tanggungan yang bersangkutan dalam Buku-tanah Hak Tanggungan, penerima Hak Tanggungan menjadi pemegang Hak Tanggungan.
3. Berakhirnya Hak Tanggungan dan Pencoretan
a. Berakhirnya Hak Tanggungan
Sebab-sebab berakhirnya Hak Tanggungan ditentukan dalam Pasal 18 ayat 1 UUHT. Menurut Pasal 18 ayat 1 UUHT tersebut, Hak Tanggungan berakhir karena
hal sebagai berikut : 1. Berakhirnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;
2. Dilepaskannya hak tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan; 3. Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua
Pengadilan Negeri;
50
Ketentuan ini sejalan dengan tujuan diterbitkannya UUHT, sebagaimana dinyatakan dalam Konsiderans dan Penjelasan Umum yaitu bahwa dengan bertambah meningkatnya pembangunan
nasional dibutuhkan penyediaan dana, yang sebagian besar diperoleh melalui kegiatan perkreditan, diperlukan adanya lembaga hak jaminan yang kuat dan mampu memberi kepastian hukum bagi pihak-
pihak yang berkepentingan. Maka dana yang diperoleh dari luar negeri pun harus dipergunakan bagi pembangunan nasional, apabila dikehendaki memperoleh jaminan dengan lembaga yang dimaksudkan.
Lihat Subekti, op. cit., hal. 89
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
41
4. Berakhirnya hak atas tanah yang dibebaskan Hak Tanggungan. Dari ketentuan Pasal 18 ayat 1 UUHT tersebut dapat diketahui bahwa Hak
Tanggungan dapat sengaja diakhiri dan dapat pula berakhir karena hukum. Hak Tanggungan dapat berakhir karena dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang
Hak Tanggungan atau karena dilakukan pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri.
Sedangkan Hak
Tanggungan dapat
berakhir karena
hukum, karena
berakhirnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan dan karena berakhirnya hak atas tanah yang dibebankan Hak Tanggungan.
Oleh karena
Hak Tanggungan
merupakan jaminan
utang yang
pembebanannya adalah untuk kepentingan kreditor pemegang Hak Tanggungan, maka Hak Tanggungan hanya dapat diakhiri oleh kreditor pemegang Hak
Tanggungan sendiri sedangkan pemberi Hak Tanggungan tidak mungkin dapat membebaskan Hak Tanggungan itu.
Sesuai dengan sifat Hak Tanggungan yang accessoir, adanya Hak
Tanggungan bergantung kepada adanya piutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan itu. Oleh karena itu, apabila piutang itu berakhir karena pelunasan
atau karena sebab-sebab lainnya dengan sendirinya Hak Tanggungan yang bersangkutan menjadi berakhir juga.
Berakhirnya Hak Tanggungan karena pembersihan Hak Tanggungan
berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri adalah berkaitan
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
42
dengan ketentuan Pasal 19 ayat 1 UUHT. Menurut Pasal 19 ayat 1 dalam suatu pelelangan umum atas perintah Ketua Pengadilan Negeri maupun dalam jual beli
sukarela, dapat meminta kepada pemegang Hak Tanggungan agar benda yang dibelinya itu dibersihkan dari segala beban Hak Tanggungan yang melebihi harga
pembelian. Mengenai berakhirnya Hak Tanggungan karena berakhirnya hak atas tanah
yang dibebankan Hak Tanggungan adalah logis, karena keberadaan suatu Hak Tanggungan hanya mungkin bila telah atau masih ada objek yang dibebani dengan
Hak Tanggungan itu.
51
Objek dari Hak Tanggungan adalah hak-hak atas tanah yang berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas tanah
negara. Karena itu Hak Tanggungan akan berakhir apabila hak-hak atas tanah itu berakhir.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa Hak Tanggungan dapat dengan sengaja diakhiri, baik atas kehendak dari pemegang Hak Tanggungan itu
sendiri maupun karena pembersihan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri. Berakhirnya Hak Tanggungan karena dilepaskan oleh pemegangnya dilakukan
dengan pemberian pernyataan tertulis mengenai diakhirinya Hak Tanggungan tersebut oleh pemegang Hak Tanggungan kepada pemberi Hak Tanggungan Pasal 18
ayat 2 UUHT. b.
Pencoretan Hak Tanggungan
51
Ibid
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
43
Pencoretan pendaftaran Hak Tanggungan adalah suatu perbuatan perdata yang mengikuti hapusnya Hak Tanggungan. Dalam rumusan Pasal 22 ayat 1 UUHT jelas
dikatakan: “Setelah Hak Tanggungan hapus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Kantor Pertanahan mencoret catatan Hak Tanggungan tersebut pada buku-tanah hak
atas tanah dan sertifikatnya.” Pencoretan pendaftaran Hak Tanggungan dapat dilakukan dengan atau tanpa
pengembalian Sertifikat Hak Tanggungan yang telah dikeluarkan.
52
Dalam hal serftifikat Hak Tanggungan tidak dikembalikan, maka hal tersebut harus dicatat
dalam Buku Tanah Hak Tanggungan. Ini berarti sejalan dengan ketentuan Pasal 22 ayat 2 UUHT, yaitu: ”Dengan hapusnya Hak Tanggungan, sertipikat Hak
Tanggungan yang bersangkutan ditarik dan bersama-sama buku-tanah Hak
Tanggungan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Kantor Pertanahan.”
C. Prosedur Permohonan Sita Jaminan Terhadap Tanah Yang Telah
Dibebani Hak Tanggungan Oleh Pihak Ketiga 1.
Proses Pengajuan Permohonan Sita Jaminan
Adapun mengenai proses permohonan sita jaminan adalah dilakukan dengan: a.
Permohonan sita jaminan dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan, dimana permohonan sita jaminan menjadi bagian dari pokok gugatan. Permohonan sita
jaminan tidak boleh berdiri sendiri tanpa ada perkara pokok namun perkara pokok bisa ada tanpa sita jaminan. Permohonan sita jaminan itu biasanya
dicantumkan pada bagian akhir “fundamentum petendi” tuntutan.
52
Kartini Muljadi dan Widjaja, Hak Tanggungan Jakarta : Kencana, 2005, hal. 273
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
44
b. Permohonan sita jaminan dapat diajukan tersendiri asalkan didahului oleh adanya
gugatan pokok sebagai landasannya. c.
Permohonan sita jaminan dapat diajukan selama proses persidangan berlangsung pada semua tingkat pengadilan.
Bentuk permohonan sita dapat dilakukan dengan cara lisan oral maupun tertulis.
53
Permintaan sita dalam bentuk lisan oral dapat dilakukan sesuai dengan prinsip yang dianut HIRRBg bahwa jalannya proses pemeriksaan di persidangan
adalah beracara secara lisan mondelinge procedure. Sehubungan dengan itu, undang-undang membenarkan permohonan sita secara lisan di depan persidangan.
Apabila permohonan sita diajukan dengan lisan, permintaan itu dicatat dalam berita acara sidang, dan berdasarkan permintaan itulah hakim mengeluarkan perintah sita
apabila permohonan dianggap mempunyai dasar alasan yang cukup. Dalam bentuk tertulis, bentuk ini dianggap paling tepat karena memenuhi
administrasi yustisial yang lebih baik. Itu sebabnya Pasal 227 ayat 1 HIR 261 ayat 1 RBg menghendaki agar sita diajukan dalam bentuk tertulis berupa surat
permintaan: a. Permintaan disatukan dengan surat gugatan
Permintaan sita dapat diajukan bersama-sama dengan surat gugatan. Dicantumkan pada bagian akhir uraian dalil dan peristiwa gugatan, sehingga penempatannya
dalam gugatan dikemukakan sebelum petitum gugatan. Praktik yang seperti itu
53
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan Jakarta : Sinar Grafika, 2007, hal. 288
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
45
yang banyak diterapkan, sedang mengenai permintaan pernyataan sah dan berharga, diajukan pada Petitum kedua gugatan. Menyatukan permintaan sita
sekaligus dalam gugatan secara teoretis sangat tepat bila dikaitkan dengan fungsi sita sebagai gugatan yang bersifat acessoir dengan pokok perkara pada satu sisi
maupun dari segi tujuan permintaan sita sebagai upaya menghindari gugatan mengalami illusoir pada sisi lain. Apalagi ditinjau dari prinsip peradilan
sederhana, cepat dan biaya ringan, bentuk permohonan sita yang disatukan dengan gugatan, dianggap efektif dan efisien.
b. Diajukan dalam surat tersendiri Cara ini dijelaskan dalam Pasal 227 ayat 1 HIR 261 ayat 1 RBg, yang
membolehkan pengajuan sita dilakukan secara terpisah dari pokok perkara.
54
Berarti permohonan sita, diajukan tersendiri di samping gugatan pokok perkara. Penyitaan merupakan hukuman dan perampasan harta kekayaan tergugat
sebelum putusan berkekuatan hukum tetap. Oleh karena itu, penyitaan sebagai tindakan exceptional harus benar-benar dilakukan secara cermat berdasarkan alasan
yang kuat. Pasal 227 HIR 261 RBg atau Pasal 720 Rv memperingatkan hal itu, agar Penggugat dalam pengajuan sita menunjukkan kepada hakim sejauh mana isi dan
dasar gugatan dihubungkan dengan relevansi dan urgensi penyitaan dalam perkara yang bersangkutan.
Menurut Pasal 227 HIR 261 RBg maupun Pasal 720 Rv, alasan pokok
54
Subekti, Hukum Acara Perdata Bandung : Bina Cipta, 1977, hal. 49
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
46
permintaan sita adalah: a. Ada kekhawatiran atau persangkaan bahwa tergugat mencari akal untuk
menggelapkan atau mengasingkan harta kekayaannya dan hal itu akan dilakukannya selama proses pemeriksaan perkara berlangsung.
b. Kekhawatiran atau persangkaan itu harus nyata dan beralasan secara objektif.
Dimana penggugat harus dapat menunjukkan fakta tentang adanya langkah- langkah tergugat untuk menggelapkan atau mengasingkan hartanya selama
proses pemeriksaan berlangsung, atau setidaknya penggugat dapat menunjukkan indikasi objektif tentang adanya daya upaya tergugat untuk menghilangkan atau
mengasingkan barang-barangnya guna menghindari gugatan. c.
Sedemikian rupa eratnya isi gugatan dengan penyitaan, yang apabila penyitaan tidak dilakukan dan tergugat menggelapkan harta kekayaan, mengakibatkan
kerugian kepada penggugat. Jika isi pokok gugatan tidak erat kaitannya dengan penyitaan, sehingga tanpa penyitaan diperkirakan tidak menimbulkan kerugian
kepada Penggugat, maka penyitaan dianggap tidak mempunyai dasar alasan yang kuat.
Permintaan sita dapat diajukan sepanjang pemeriksaan sidang. Sebagaimana penegasan Putusan Mahkamah Agung Nomor 371KPdt1984
55
yang mengatakan, meskipun sita jaminan tidak tercantum dalam gugatan maupun dalam Petitum
gugatan, dan baru diajukan belakangan dalam surat tersendiri, jauh setelah gugatan
55
Tanggal 15-5-1985, jo. PT Jakarta Nomor 751983, 28-5-1983, jo. PN Jakarta Nomor 1231982, 7-8-1982.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
47
didaftarkan, cara yang demikian tidak bertentangan dengan tata tertib beracara, karena undang-undang membolehkan pengajuan sita jaminan dapat dilakukan
permintaannya sepanjang proses persidangan berlangsung. Oleh karena itu, pengabulan sita dalam kasus yang seperti itu tidak bertentangan dengan ultra petitum
partium yang digariskan Pasal 178 ayat 3 HIR 189 ayat 3 RBg. Memperhatikan putusan di atas dihubungkan dengan ketentuan Pasal 227 ayat 1 HIR 261 ayat 1
RBg, dapat dikemukakan acuan penerapan pengajuan permintaan sita, yaitu: a. Selama Belum Dijatuhkan Putusan pada Tingkat Peradilan Pertama.
Selama proses pemeriksaan pada tingkat peradilan pertama di PN, Penggugat dapat dan dibenarkan mengajukan permintaan sita. Ketentuan batas waktu ini,
secara tersurat disebut dalam Pasal 227 ayat 1 HIR 261 ayat 1 RBg yang mengatakan, sita terhadap harta kekayaan tergugat debitor dapat diminta selama
belum dijatuhkan putusan atas perkara tersebut. Bahkan seperti yang dijelaskan terdahulu, permintaan sita dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan melalui
cara mencantumkan permintaan itu dalam gugatan yang bersangkutan. Bertitik tolak dari cara yang demikian, pada dasarnya permintaan sita dapat diajukan sejak
saat penyampaian gugatan, hingga PN menjatuhkan putusan. Dengan kata lain, sejak perkara diregistrasi di kepaniteraan, sita dapat diminta, baik hal itu
dikemukakan dalam gugatan atau dengan surat permintaan yang berdiri sendiri. b. Dapat Diajukan Selama Putusan Belum Dieksekusi.
Ketentuan ini dinyatakan dalam Pasal 227 ayat 1 HIR 261 ayat 1 RBg yang
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
48
berbunyi: ”Selama putusan yang mengalahkannya belum dijalankan eksekusinya. Dengan demikian baik selama putusan belum memperoleh kekuatan hukum tetap
atau selama putusan belum dieksekusi, Penggugat dapat mengajukan permintaan sita atas harta kekayaan tergugat.” Memperhatikan ketentuan ini, permintaan sita
tidak hanya dapat diajukan selama pemeriksaan perkara pada tingkat pertama di PN, tetapi juga dapat diajukan dalam semua tingkat pemeriksaan, selama
berlangsung pemeriksaan tingkat banding di PT atau selama proses pemeriksaan berlangsung pada tingkat kasasi di MA.
Terdapat kemungkinan adanya urgensi meminta sita pada saat proses pemeriksaan di tingkat banding atau kasasi, yaitu apabila selama proses pemeriksaan
pada tingkat pertama di PN, penggugat tidak mengajukan permintaan sita. Baru
setelah pemeriksaan di tingkat banding penggugat sadar perlu diletakkan sita terhadap harta kekayaan tergugat, untuk menghindari terjadinya penggelapan harta itu oleh
tergugat. Atau baik pada tingkat pertama maupun pada tingkat banding, penggugat tidak meminta penyitaan, baru sadar
betapa pentingnya penyitaan setelah pemeriksaan berlangsung pada tingkat kasasi. Dalam kasus yang seperti itulah timbul
urgensi mengajukan sita pada tingkat banding atau kasasi. Atau permintaan sita menjadi urgen pada tingkat banding atau kasasi, apabila permintaan sita yang
diajukan pada tingkat pertama ditolak oleh Pengadilan Negeri. Ketentuan sita jaminan terdapat pada Pasal 227 HIR 261 RBg yang
menyatakan: “Jika terdapat persangkaan yang beralasan, bahwa seorang yang berutang, selagi belum dijatuhkan keputusan atasnya, atau selagi putusan yang
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
49
mengalahkannya belum dapat dijalankan, mencari akal akan menggelapkan atau membawa barangnya baik yang tidak tetap maupun yang tetap dengan maksud akan
menjauhkan barang-barang itu dari penagih utang, maka atas permintaan pihak yang berkepentingan Ketua Pengadilan Negeri dapat memberi perintah, dilakukan sita
terhadap barang tersebut untuk menjaga hak pihak yang memasukkan permintaan itu dan kepada pihak pemohon sita harus menghadap ke persidangan Pengadilan Negeri
yang pertama untuk kemudian memajukan dan menguatkan gugatannya.” Di dalam menjawab permasalahan pertama dari penelitian ini, apa yang
menjadi dasar hukum bagi pihak ketiga mengajukan permohonan sita, terlebih dahulu harus dipahami tujuan dari dikeluarkannya perintah sita jaminan. Pada pasal tersebut
jelas tertulis tujuannya adalah “...untuk menjaga hak pihakorang yang memasukkan permintaan…”. Siapakah pihak dan apa hak yang dimaksudkan di atas? “Pihak” yang
dimaksudkan ketentuan pasal tersebut adalah pihak yang memiliki piutang Kreditor terhadap pihak yang dimintakan sita jaminan. Sedangkan “Hak” yang dimaksudkan
pada pasal tersebut adalah “Hak Kreditor”, baik sebagai Kreditor biasa ataupun Kreditor yang diistimewakan.
Untuk memahami “Hak” tersebut maka kita harus melihat ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata yang menyatakan bahwa, setiap Kreditor mempunyai hak jaminan
atas piutangnya berupa segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian
hari. Jaminan berdasarkan Pasal 1131 KUHPerdata tersebut bersifat umum, berlaku
untuk seluruh
Kreditor. Sedangkan
Pasal 1132
KUHPerdata, menyatakan
diperbolehkannya hak jaminan yang bersifat istimewa dan didahulukan, misalnya
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
50
dalam bentuk Hak Tanggungan, yang dahulu dikenal dengan Hipotik. Dengan demikian jelaslah, bahwa setiap Kreditor memiliki hak jaminan atas piutangnya, baik
yang berupa jaminan umum ataupun dapat pula jaminan yang bersifat istimewa dan didahulukan.
56
Kembali kepada tujuan dari sita jaminan yang sudah kita bahas di atas. Tujuan sita jaminan adalah untuk “...menjaga hak…” bukan menciptakan atau memberikan
hak baru. Dengan demikian, oleh karena keseluruhan harta Debitor, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang telah ada maupun yang akan ada
adalah jaminan untuk keseluruhan Kreditor, maka setiap Kreditor berhak untuk mengajukan permohonan sita jaminan atas keseluruhan harta Debitor baik yang telah
dijaminkan secara istimewa dan didahulukan ataupun tidak.
57
Dengan demikian, seorang Kreditor yang tidak memiliki jaminan istimewa dan didahulukan, tetap dapat mengajukan permohonan sita jaminan atas harta
Debitor, baik yang telah dijaminkan secara istimewa dan didahulukan kepada pihak lain Bank ataupun tidak. Selanjutnya, apabila permohonan sita tersebut dikabulkan
oleh pengadilan melalui penetapan sita jaminan, maka hal tersebut tetap tidak merubah kedudukan Kreditor tersebut terhadap benda yang disitajaminankan.
56
Mahawisnu Alam,
Jaminan Penagihan
Hutang Sita
Jaminan, http:www.hukumonline.comklinik_detail.asp?id=3022, diakses tanggal 10 April 2009.
57
Ibid.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
51
BAB III SIKAP HAKIM DI DALAM MEMBERIKAN PUTUSAN TERHADAP
PERMOHONAN SITA JAMINAN ATAS TANAH YANG SUDAH DIBEBANI HAK TANGGUNGAN
A. Ruang Lingkup Kewenangan Hakim Dalam Meletakkan Sita Jaminan
Pemeriksaan suatu sengketa atau perkara di muka hakim tentu akan diakhiri dengan suatu putusanvonis. Hal yang penting diperhatikan oleh hakim dalam proses
pengadilan adalah pembuktiannya, karena pada akhirnya di dalam menetapkan putusannya, hakim harus menetapkan hubungan hukum yang sebenarnya antara dua
pihak yang bersengketa.
58
Namun permasalahannya adalah hukum dan perundang-undangan tidak selalu tersedia atau siap diterapkan oleh hakim pada setiap peristiwa konkrit. Melalui
penemuan hukum, penafsiran atau metode penerapan hukum lainnya, hakim mencegah kekosongan atau ketidakjelasan hukum. Dengan cara ini hakim tidak
sekedar telah menciptakan atau menemukan hukum. Lebih dari itu hakim menjadi pemelihara dan penjamin agar hukum selalu tersedia dan menjadi penentu di dalam
memecahkan setiap persoalan hukum. Hakim selalu menjadi sumber penyelesaian sengketa hukum, bukan sekedar memutus perkara.
Perangkat sistem hukum nasional kita masih belum lengkap, peran seorang hakim yang visioner lebih dibutuhkan. Dengan adanya hakim-hakim visioner,
kekosongan dalam
hukum yang
terjadi dapat
diatasi. Seorang
hakim
58
Subekti , Hukum Pembuktian Jakarta : Pradnya Paramita, 2007, hal.67
51
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
52
harus dapat membaca ke arah mana bangsa serta masyarakatnya tumbuh dan bergerak, persoalan-persoalan apa yang dihadapi dan konflik-konflik potensial apa
yang mungkin timbul dalam pertumbuhan masyarakat dan bangsanya di masa dekat ini. Dengan memiliki pemahaman yang mendalam tentang hal ini, putusannya akan
dapat dinilai adil dan bermanfaat. Dasar Hukum bagi hakim untuk membuat peraturan sendiri awalnya diatur
dengan Pasal 22 A.B Algemene Bepaligen van Wetgeving voor Indonesia
59
dimana pasal tersebut intinya berisikan “ hakim tidak boleh menolak untuk menyelesaikan
suatu perkara dengan alasan peraturan perundang-undangan tidak menyebutkan, tidak jelas dan atau tidak lengkap, maka ia dapat dituntut untuk dihukum karena melolak
mengadili.”
60
Dengan keluarnya Pasal 16 ayat 1 jo. Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
61
, kedudukan dan kewenangan hakim dalam membentuk hukum semakin kuat. Maksud ketentuan pasal ini harus
diartikan, bahwa hakim sebagai organ pengadilan dianggap memahami hukum. Andaikata seorang hakim tidak dapat menemukan hukum tertulis maka ia wajib
59
A.B Ketentuan-ketentuan
Umum tentang
Peraturan-peraturan untuk
Indonesia, dikeluarkan pada tanggal 30 April 1987 yang
termuat dalam Staatblad 1847 No.23 dan berlaku berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan “Segala Badan
Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini. Lihat C.S.T. Kansil, Penghantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia,
Jakarta:Balai Pustaka, 1986, hal.47.
60
Ibid
61
Pasal 16 ayat 1 menyebutkan: “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang
jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”, Sedangkan Pasal 28 ayat 1 menyebutkan: “ Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat”.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
53
menggali hukum tidak tertulis untuk memutus berdasarkan hukum. Kewajiban hakim adalah sebagai perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan
masyarakat. Tugas hakim adalah mengambil atau menjatuhkan keputusan, yang mana
keputusan tersebut mempunyai akibat hukum bagi pihak lain. Seorang hakim tidak dapat menolak menjatuhkan putusan apabila perkara sudah mulai diperiksa.
Jika seorang hakim hendak menjatuhkan keputusan, maka hendaknya ia senantiasa berusaha agar putusannya seberapa mungkin dapat diterima oleh
masyarakat, setidak-tidaknya berusaha agar lingkungan masyarakat dimana putusan diterapkan akan dapat menerima putusan itu seluas mungkin. Tentunya hakim sendiri
akan merasa lebih lega apabila ia dapat memuaskan semua pihak dengan putusannya. Untuk dapat memuaskan semua pihak dengan putusannya atau agar
putusannya dapat diterima oleh semua pihak, maka seorang hakim harus dapat meyakinkan semua pihak dengan alasan-alasan dan atau pertimbangan-pertimbangan
bahwa putusannya tersebut adalah tepat dan atau benar. Setidaknya, dalam hal ini ada beberapa pihak yang patut menjadi sasaran perhatian hakim, yaitu:
1. Para pihak yang berperkara Dengan sendirinya para pihak yang berperkaralah yang terutama mendapat
perhatian dari hakim dimana hakim harus menyelesaikan atau memutuskan perkara tersebut. Hakim harus memberi tanggapan terhadap tuntutan para pihak
karenanya hakim harus berusaha agar putusannya itu putus dan tuntas. Secara
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
54
obyektif putusan yang tepat dan tuntas berarti akan dapat diterima bukan hanya oleh penggugat melainkan juga oleh tergugat. Hakim tentunya akan merasa puas
apabila putusannya dapat memenuhi keinginan para pihak dan dapat diterima oleh kedua belah pihak yang berperkara. Walau umumnya hal demikian tidaklah
mudah terjadi, kecuali dalam hal putusan tersebut merupakan putusan perdamaian, dimana tidak terdapat pihak yang dimenangkan atau dikalahkan.
Apabila dengan putusan tersebut terdapat pihak yang dimenangkan dan ada yang dikalahkan, maka pada umumnya pihak yang merasa dikalahkan akan merasa
tidak puas dan menganggap putusannya tidak adil atau tidak tepat serta mengajukan banding.
2. Masyarakat Hakim harus dapat mempertanggungjawabkan putusan yang diambil kepada
masyarakat dengan melengkapinya dengan alasan-alasan dan masyarakat secara keseluruhan harus dapat menerima putusan tersebut. Masyarakat bukan hanya
mempunyai pengaruhnya terhadap putusan, tetapi juga terhadap hakim. Karenanya hakim harus mampu memperhitungkan perkembangan yang terjadi di
masyarakat dan memastikan putusan yang diambil telah sesuai dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat, kultur serta perkembangan masyarakat.
3. Pengadilan banding Umumnya hakim dari peradilan tingkat pertama kerap merasa kecewa terhadap
putusannya yang dibatalkan oleh pengadilan tingkat banding. Bahkan tidak jarang
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
55
hakim mungkin akan merasa kurang cermat, bersalah atau kecil hati, suatu sikap yang tidak perlu timbul jika putusannya memang sudah dipertimbangkan masak-
masak. Maka oleh karena itu wajarlah jika hakim dari peradilan tingkat pertama senantiasa berusaha sekeras-kerasnya agar putusannya tersebut tidak dibatalkan
oleh pengadilan banding dengan mendukung putusan yang diambilnya dengan alasan-alasan yang kuat, lengkap dan ketat. Hakim akan berusaha agar
putusannya dapat diterima oleh pengadilan banding. 4. Ilmu pengetahuan
Setiap putusan harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Bukan itu saja, putusan-putusan hakim, terutama yang menarik, sering dimuat dalam
majalah-majalah hukum. Bahkan putusan-putusan itu sering didiskusikan oleh para sarjana hukum. Ilmu pengetahuan hukum selalu mengikuti peradilan untuk
mengetahui bagaimana peraturan-peraturan hukum itu dilaksanakan dalam praktik peradilan dan peraturan-peraturan baru manakah yang diciptakan oleh peradilan.
Jadi putusan-putusan pengadilan tersebut menjadi obyek ilmu pengetahuan hukum untuk dianalisis, dilakukan sistemisasi dan diberi komentar. Oleh karena
itu hakim akan berusaha agar putusannya dapat diterima oleh ilmu pengetahuan hukum jangan sampai putusannya itu menimbulkan komentar yang negatif.
B. Sikap Hakim Dalam Memberikan Putusan Terhadap Permohonan Sita Jaminan Atas Tanah Yang Telah Dibebani Hak Tanggungan
Seperti telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya bahwa penyitaan merupakan tindakan exceptional yang memberi kewenangan bagi pengadilan atau
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
56
hakim untuk menghukum dan merampas harta kekayaan tergugat sebelum putusan mengenai pokok perkara diputus dan mempunyai kekuatan hukum tetap. Sehubungan
dengan itu agar penyitaan tidak bercorak sewenang-wenang, perlu ditegaskan prinsip yaitu pengabulan sita harus berdasarkan pertimbangan objektif. Prinsip ini berkaitan
dengan asas permohonan sita yang harus berdasarkan alasan yang cukup dan objektif. Adakalanya sita jaminan telah diletakkan atas harta sengketa atau harta
tergugat, sebelum hakim memeriksa pokok perkara. Sering juga sita itu dilakukan pada saat proses pemeriksaan perkara sedang berjalan, sebelum hakim menjatuhkan
putusan seolah-olah pengadilan telah menghukum tergugat terlebih dahulu sebelum pengadilan sendiri menjatuhkan putusan. Tegasnya sebelum hakim menyatakan pihak
tergugat bersalah berdasar putusan, tergugat sudah dijatuhi hukuman berupa penyitaan objek sengketa atau harta kekayaan tergugat.
Subekti menyatakan bahwa sehubungan dengan masalah penjagaan barang sitaan, tidak ada perbedaan antara barang yang tidak bergerak dengan barang yang
bergerak. Barang apapun jenisnya, barang yang disita harus tetap berada di tangan pihak tersita tergugat. Hal ini dikarenakan setiap tindakan yang melimpahkan
penyerahan penjagaan barang sitaan kepada penggugat adalah merupakan tindakan eksekusi.
62
Secara tegas tentang penjagaan sita atas harta yang tidak bergerak misalnya tanah tidak ada diatur dalam undang-undang. Undang-undang hanya mengatur
62
Subekti, op.cit., hal. 52
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
57
mengenai penjagaan sita atas barang yang bergerak sesuai dengan ketentuan Pasal 197 ayat 9 HIR 212 RBg. Penyitaan atas benda tak bergerak, tidak boleh
mengurangi hak tersita untuk memakai, menguasai dan menikmatinya. Rumah atau tanah yang disita, tetap berada di bawah penjagaan dan penguasaan tersita, dan tersita
tidak boleh dilarang untuk menguasai, memakai dan menikmatinya. Yang dilarang ialah untuk menjual atau memindahkannya kepada orang lain sebagaimana termaktub
dalam Pasal 199 HIR 214 RBg. Dari penjelasan di atas maka barang sitaan tidak dilarang untuk tetap dikuasai,
diusahai dan dinikmati pihak tersita tergugat. Sejalan dengan ketentuan itu, undang- undang tidak memperkenankan penyerahan penguasaan atau penjagaan barang sitaan
benda yang tidak bergerak kepada penggugat. Penyerahan penguasaan atau penjagaan barang sitaan ke tangan penggugat, berarti hakim telah mengeksekusi perkara
sebelum perkara yang bersangkutan memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Sutan Remy Sjahdeini mengatakan, seharusnya menurut hukum, terhadap hak
tanggungan tidak dapat diletakkan sita jaminan.
63
Namun tidak ada terdapat ketentuan dalam UUHT bahwa atas tanah yang telah dibebani Hak Tanggungan tidak dapat
diletakkan sita, baik sita jaminan maupun sita eksekusi. Dari pendapat di atas dapat dimengerti bahwa UUHT memberikan peluang yang memungkinkan terjadinya sita
jaminan yang dikabulkan oleh hakim atas tanah yang telah diletakkan Hak Tanggungan.
63
Sutan Remy Sjahdeini, op.cit., hal. 41
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
58
Pasal 227 HIR 261 RBg menentukan bahwa Jika terdapat sangkaan yang beralasan bahwa tergugat akan menggelapkan atau memindahtangankan barang
miliknya dengan maksud akan menjauhkan barang tersebut dari penggugat, maka atas permohonan penggugat, pengadilan dapat memerintahkan agar diletakkan sita atas
barang tersebut untuk menjagamenjamin hak dari si penggugat. Sepatutnya pihak yang berwenang menilai adanya persangkaan yang
beralasan adalah hakim dan bukan penggugat. Memang tergugat memiliki hak mengajukan fakta tentang adanya persangkaan, tetapi kewenangan penilaian akhirnya
tetap terletak di tangan hakim.
64
Mengenai permohonan sita yang diajukan setelah proses pemeriksaan berlangsung pada tingkat banding atau kasasi, terdapat 2 pendapat yaitu:
1. Mutlak menjadi kewenangan Pengadilan Negeri
Menurut pendapat ini, hanya Pengadilan Negeri instansi yang berwenang memerintahkan dan melaksanakan sita. Pendapat ini bertitik tolak dari ketentuan
Pasal 197 ayat 1 HIR 208 RBg yang berbunyi: Ketua Pengadilan Negeri karena jabatannya memerintahkan penyitaan. Pelaksanaan perintah penyitaan dijalankan oleh
panitera atau juru sita. Jadi undang-undang sendiri telah menentukan secara eksplisit atau tegas
pejabat atau instansi mana yang berwenang memerintahkan dan melaksanakan sita. Tidak ada wewenang yang diberikan kepada Ketua Pengadilan Tinggi atau Ketua
64
M. Yahya Harahap, op.cit., hal. 290
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
59
Mahkamah Agung. Sehubungan dengan ketentuan tersebut, permintaan dan pelaksanaan sita yang dapat dibenarkan ialah:
a. Apabila pada tingkat pertama tidak diajukan, dan baru diajukan setelah perkara diproses pada tingkat banding atau kasasi:
1 Permintaan mesti tetap diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri,
bukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung; 2
Jika permohonan sita dikabulkan Pengadilan Negeri, hal itu segera diberitahukan kepada Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung untuk
mendapat pengesahan dan pernyataan berharga dalam amar putusan Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung;
3 Hal itu dilakukan Pengadilan Negeri dengan jalan menyampaikan
penetapan dan berita acara sita dengan permintaan agar sita tersebut dinyatakan sah dan berharga oleh Pengadilan Tinggi atau Mahkamah
Agung; 4
Pemberitahuan disampaikan sebelum hakim tingkat banding atau kasasi menjatuhkan putusan.
b. Apabila permintaan ditolak oleh Pengadilan Negeri, sehingga sejak semula
tidak pernah diletakkan sita, Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung tidak berwenang memerintahkan sita. Baik dalam gugatan maupun secara tersendiri
penggugat mengajukan permintaan sita kepada Pengadilan Negeri namun permintaan itu ditolak oleh Pengadilan Negeri, dengan demikian selama
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
60
proses pemeriksaan berjalan pada tingkat pertama, tidak pernah dijalankan penyitaan terhadap harta kekayaan tergugat.
Dalam kasus yang demikian, tertutup pintu bagi penggugat mengajukan permohonan sita pada pemeriksaan tingkat banding atau kasasi. Penolakan
sita yang dilakukan Pengadilan Negeri, bersifat final. Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung tidak dapat menilai penolakan itu pada tingkat banding
atau kasasi, sebab kewenangan untuk memerintahkan dan menjalankan sita berdasarkan Pasal 197 ayat 1 HIR 208 RBg, hanya diberikan kepada Ketua
Pengadilan Negeri. Oleh karena itu, dalam kasus yang demikian Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung tidak berwenang mengeluarkan penetapan
yang berisi perintah pelaksanaan sita kepada Pengadilan Negeri. c.
Semula Pengadilan Negeri mengabulkan sita, tetapi baik pada proses persidangan maupun dalam putusan akhir, sita kemudian diangkat oleh
Pengadilan Negeri. Pada kasus demikian yang semula permohonan sita dikabulkan dan dilanjutkan dengan pelaksanaan. Hanya penyitaan tersebut
tidak dipertahankan, dan kemudian diangkat pada saat proses pemeriksaan maupun dalam putusan akhir. Dalam peristiwa yang demikian maka
Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung pada tingkat banding atau kasasi berwenang menilai pengangkatan sita tersebut jika berpendapat penyitaan
cukup beralasan, sehingga pengangkatan yang dilakukan Pengadilan Negeri dianggap keliru, Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung dalam putusannya
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
61
dapat membatalkan pengangkatan sita dan pada saat yang bersamaan memulihkan penyitaan dengan jalan menyatakan sah dan berharga sita
tersebut. 2.
Pengadilan Tinggi berwenang memerintahkan sita Menurut Subekti
65
permohonan sita jaminan sita conservatoir dapat juga diajukan kepada Pengadilan Tinggi selama perkara pokoknya belum diputus pada
tingkat banding. Pendapat itu didasarkan bunyi Pasal 227 ayat 1 HIR 261 ayat 1 RBg yang mengatakan sita dapat diajukan selama perkara tersebut belum
memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap. Dengan demikian maka permintaan sita jaminan tersebut dibuat dalam surat tersendiri yang berisi
permohonan agar sita itu dinyatakan sah dan berharga, baik itu sebagai tambahan materi pokok gugatan yang masih tetap merupakan tambahan gugatan yang bersifat
asesor terhadap perkara pokok dan permintaan sita tersebut tidak melanggar batas- batas kejadian materi pokok gugatan semula.
Jadi menurut
pendapat kedua
ini, Pengadilan
Tinggi berwenang
memerintahkan sita, berdasarkan permintaan penggugat, baik hal itu dalam keadaan permintaan sita ditolak oleh Pengadilan Negeri maupun dalam hal sita tersebut tidak
diminta pada tahap pemeriksaan tingkat pertama di Pengadilan Negeri. Agar pelaksanaan sita yang demikian tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 197 ayat
1 HIR208 RBg, maka pihak yang berwenang untuk memerintahkan pelaksanaan
65
Subekti, op. cit., hal. 49
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
62
sita tetap berada di tangan Ketua Pengadilan Negeri dengan menempuh mekanisme sebagai berikut:
a. Pengadilan Negeri menolak permintaan sita Apabila Pengadilan Negeri menolak permintaan sita, Pengadilan Tinggi
dalam tingkat banding berwenang memerintahkan sita dengan cara menjatuhkan ”Putusan Sela” terhadap penolakan tersebut, dengan isi dari
putusan sela tersebut sebagai berikut : 1
Menerima permintaan sita penggugat; 2
Membatalkan penolakan sita; 3
Memerintahkan Ketua Pengadilan Negeri melaksanakan sita; 4
Berdasarkan putusan sela tersebut, Ketua Pengadilan Negeri menerbitkan penetapan yang berisi perintah pelaksanaan sita kepada panitera atau juru
sita; 5
Setelah pelaksanaan dijalankan Pengadilan Negeri, sesegera mungkin Pengadilan Negeri mengirimkan surat penetapan dan berita acara sita
kepada Pengadilan Tinggi, agar penyitaan dapat dimasukkan dalam amar putusan Pengadilan Tinggi.
Selama Pengadilan Tinggi belum menerima penetapan atau berita acara sita dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi harus menunda penjatuhan
putusan akhir pada tingkat banding, sebab apabila Pengadilan Tinggi menjatuhkan putusan sebelum menerima berita acara pelaksanaan sita,
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
63
pengesahan dan pernyataan berharga atas sita, tidak dapat dilakukan Pengadilan Tinggi. Akibatnya penyitaan tersebut tidak jelas status hukumnya.
Dari satu sisi, sita telah dilaksanakan berdasarkan perintah dan cara yang sah, tetapi pada sisi lain, sita tersebut tidak tercantum dalam putusan Pengadilan
Negeri maupun Pengadilan Tinggi. Oleh karena itu, Pengadilan Tinggi harus konsekuen memberi pelayanan hukum yang semestinya atas sita yang
diperintahkannya dengan jalan: 1
Menunda penjatuhan putusan akhir sampai Pengadilan Tinggi menerima berita acara pelaksanaan sita dari Pengadilan Negeri;
2 mencantumkan sita itu dalam amar putusan tingkat banding, yang berisi
pernyataan sah dan berharga vanwaarde en verklaard penyitaan. b.
Penggugat tidak meminta sita pada tingkat pertama Selama proses pemeriksaan berjalan pada tingkat pertama di Pengadilan
Negeri, penggugat tidak mengajukan permintaan sita pada surat gugatan maupun dalam surat tersendiri. Dalam hal yang demikian, sesuai dengan
ketentuan Pasal 227 ayat 1 HIR 261 ayat 1 RBg, penggugat berhak meminta sita kepada Pengadilan Tinggi dalam tingkat banding, dan
Pengadilan Tinggi berwenang mengabulkan permintaan tersebut yang dituangkan lebih lanjut dalam putusan sela. Kewenangan tersebut mutlak pada
Pengadilan Tinggi selama tingkat banding belum menjatuhkan putusan atas pokok perkara.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
64
Agar pelaksanaan sita yang diperintahkan Pengadilan Tinggi tidak melanggar Pasal 197 ayat 1 HIR 208 RBg, mekanisme pelaksanaannya Ketua
Pengadilan Tinggi atau Majelis Hakim tingkat banding menerbitkan putusan sela terhadap permintaan sita dengan isi putusan sela tersebut:
1 Menerima permintaan sita yang diajukan penggugat; 2 Memerintahkan Ketua Pengadilan Negeri melaksanakan sita atas harta
kekayaan tergugat; 3 Berdasarkan perintah putusan sela tersebut Ketua Pengadilan Negeri
mengeluarkan penetapan yang berisi perintah pelaksanaan sita kepada panitera atau juru sita;
4 Ketua Pengadilan Negeri segera menyampaikan berita acara pelaksanaan sita kepada Pengadilan Tinggi, agar sita itu dapat disahkan dan dinyatakan
berharga dalam amar putusan Pengadilan Tinggi. Dalam hal ini pun, Pengadilan Tinggi harus konsekuen menunda penyelesaian
perkara dalam tingkat banding, sampai diterima berita acara pelaksanaan sita dari Pengadilan Negeri. Selama dokumen administrasi yustisial yang berkenaan dengan
pelaksanaan sita belum diterima, Pengadilan Tinggi tidak dibenarkan menjatuhkan putusan mengenai pokok perkara, karena tindakan yang demikian akan menimbulkan
akibat hukum yang tidak jelas terhadap eksistensi pelaksanaan sita. Demikian adalah cara penerapan yang dianggap proporsional menampung
pertentangan yang terjadi antara Pasal 197 ayat 1 HIR 208 RBg dengan Pasal 227
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
65
ayat 1 HIR 261 ayat 1 RBg. Wewenang mutlak untuk melaksanakan penyitaan berada di tangan instansi Pengadilan Negeri. Namun hal tersebut tidak mengurangi
kewenangan Pengadilan Tinggi dalam tingkat banding
memerintahkan sita
berdasarkan Pasal 227 ayat 1 HIR 261 ayat 1 RBg yang mengatakan sita dapat diminta dan diperintahkan selama putusan belum berkekuatan hukum tetap.
Dianggap kurang rasional meminta sita kepada Pengadilan Negeri sedangkan proses pemeriksaan telah berada di Pengadilan Tinggi pada tingkat banding. Lebih
rasional permintaan diajukan kepada Pengadilan Tinggi sehingga ia mengetahui adanya permintaan sita dan bersamaan dengan itu memerintahkan pelaksanaannya
kepada Ketua Pengadilan Negeri. Dengan sistem ini, Pengadilan Tinggi sejak semula memikul kewajiban untuk mencantumkan penyitaan itu dalam putusan yang
dijatuhkannya. Bertitik tolak dari prinsip-prinsip tersebut, dalam pengabulan penetapan sita,
haruslah jelas dan terang tercantum pertimbangan yang rasional dan objektif. Beberapa hal yang dijadikan pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara sita
jaminan adalah:
66
a. Argumentasi mengenai alasan Dalam penetapan sita terdapat pertimbangan mengenai alasan yang diajukan
penggugat: 1
Kaitan antara sita dengan dalil gugatan sangat erat sedemikian rupa,
66
M. Yahya Harahap, op.cit., hal. 297-299
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
66
sehingga penyitaan benar-benar urgen, sebab jika sita tidak diletakkan di atas kekayaan tergugat, kepentingan penggugat tidak terlindungi.
2 Penggugat dapat menunjukkan berdasarkan fakta atau paling tidak berupa
indikasi adanya dugaan atau persangkaan bahwa tergugat berdaya upaya untuk menggelapkan atau menghilangkan harta kekayaannya selama
proses pemeriksaan berlangsung, guna menghindari pemenuhan gugatan. Fakta atau petunjuk tentang adanya daya upaya tergugat untuk
menghilangkan hartanya, bersifat kasuistis. Tidak mungkin ditetapkan suatu patokan tertentu. Adakalanya fakta atau petunjuknya sangat terang,
misalnya tergugat menawarkan melalui iklan atau menghibahkan kepada orang lain. Tetapi upaya itu lebih sering bersifat tertutup dan tersembunyi,
sehingga sulit mendapat fakta atau indikasi konkrit dan objektif. Menghadapi kasus yang seperti itu, dasar pertimbangan sita boleh
dititikberatkan kepada urgensi penyitaan sesuai dengan dasar alasan bahwa kaitan antara penyitaan dengan gugatan sedemikian rupa eratnya,
sehingga jika penyitaan tidak dilakukan akan timbul kerugian besar kepada penggugat. Pertimbangan yang seperti itu dapat bertitik tolak dari
kuatnya bukti-bukti
yang mendukung
gugatan. Pada
satu sisi,
pertimbangan yang seperti itu serta jumlah gugatan relatif besar, sedangkan harta kekayaan tergugat yang diketahui jumlah nilainya sangat
minim untuk memenuhi jumlah tuntutan.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
67
b. Cara Memperoleh Fakta yang Lebih Objektif Agar pertimbangan pengabulan penetapan sita dapat diutarakan berdasarkan
fakta atau indikasi yang lebih objektif dan rasional, pengadilan dapat menempuh cara berikut:
- Melalui proses pemeriksaan insidentil
Apabila hakim bermaksud hendak mengabulkan atau menolak sita sebelum proses pemeriksaan pokok perkara berlangsung:
a. Tidak layak pengabulan atau penolakan itu dilakukan dari belakang
meja berdasarkan analisis yang bersumber dari gugatan atau dokumen yang disampaikan penggugat kepada pengadilan;
b. Yang tepat dan layak, pengabulan atau penolakan dilakukan melalui
proses pemeriksaan insidentil. Pada sidang insidentil tersebut, penggugat dan tergugat hadir. Kepada
para pihak diberi kesempatan berdasarkan asas audi alteram partem untuk mengemukakan pendapat dan tanggapan atas permintaan sita.
Melalui proses insidentil, hakim mencoba menggali dan menemukan hal-hal yang bermakna sejauh mana urgensi penyitaan itu. Fakta-
fakta atau indikasi objektif tentang adanya daya upaya tergugat menggelapkan harta kekayaannya yang bertujuan untuk menghindari
tanggung jawabnya
memenuhi tuntutan
penggugat. Dengan
demikian, pengabulan atau penolakan sita, tidak semata-mata
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
68
berdasarkan gugatan saja, tetapi didukung oleh fakta atau indikasi objektif yang diperoleh dari kedua belah pihak dalam proses sidang
insidentil. -
Melalui proses pemeriksaan pokok perkara Pengabulan atau penolakan permintaan sita yang paling ideal, dilakukan
berdasarkan hasil pemeriksaan pokok perkara. Melalui cara ini, hakim menggariskan kebijaksanaan agar permasalahan permintaan sita tidak
diselesaikan sebelum pemeriksaan pokok perkara, tetapi bersama-sama dengan pemeriksaan pokok perkara. Apabila dalam proses pemeriksaan
hakim menemukan fakta-fakta atau indikasi yang mendukung dugaan atau persangkaan adanya daya upaya tergugat hendak menggelapkan
harta kekayaan selama proses persidangan berlangsung: a.
Pada pertengahan proses pemeriksaan hakim dapat mengabulkan sita; b.
Pengabulan dituangkan dalam penetapan sita serta sekaligus dicatat dalam berita acara sidang.
Jadi, untuk menghindari kekeliruan dalam pengabulan sita, cara yang dianggap paling tepat adalah melalui proses pemeriksaan pokok perkara.
Melalui cara ini akan diperoleh fakta dan informasi lebih lengkap dan objektif yang bersumber dari kedua belah pihak yang berperkara. Cara ini
dianggap lebih terpuji dan bermoral, karena pengabulan atau penolakan sita tidak bertitik tolak dari sistem yang bersifat sepihak atau exparte,
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
69
tetapi berlandaskan sistem contradictoir sesuai dengan asas audi alteram partem must be heard by another party.
Di dalam praktik, banyak dijumpai bahwa hakim di dalam memutus suatu perkara lebih cenderung mendahulukan asas kepastian hukumnya dan mengabaikan
asas keadilannya, apalagi jika harus menciptakan hukum baru untuk mengisi kekosongan hukum.
67
Hakim di dalam memutus perkara banyak yang hanya letter lex saja, dimana di dalam memberikan putusannya hanya didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang
berlaku sesuai undang-undang saja, padahal untuk hukum perdata tidak demikian. Setiap putusan terdapat irah-irah yang berbunyi Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa, namun pada kenyataannya yang terjadi tidak seperti itu, tapi Demi Kepastian Hukum Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Di sisi lain,
perkembangan hukum khususnya Hukum Perdata sangatlah cepat. Jika sikap Hakim masih demikian maka tentunya akan membawa kesulitan-kesulitan, sedangkan
sampai dengan saat ini KUHPerdata masih menjadi andalan utama untuk dijadikan pedoman.
Dalam kasus penyitaan terhadap harta di dalam putusan, penggugat meminta sita jaminan dengan argumen tersendiri, yaitu agar gugatan penggugat tidak menjadi
67
M.Najib, Hakim Lebih Mengutamakan Kepastian Hukum Dalam Memberikan Putusan, http:blog.mnr-advokat.web.id200806hakim-lebih-mengutamakan-kepastian.html, diakses tanggal
10 April 2009.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
70
sia-sia ilusionis serta dikhawatirkan adanya upaya para tergugat melepaskan diri dari kewajibannya untuk membayar ganti kerugian yang diputuskan oleh pengadilan.
Dalam perkara perdata Nomor 306Pdt.G2006PN-Mdn, penggugat telah berhasil meyakinkan hakim majelis Pengadilan Negeri Medan agar meletakkan sita
jaminan atas tanah terperkara yang menjadi objek perkara sebelum persidangan pemeriksaan pokok perkara melalui bukti permulaan yang diajukannya.
Penggugat merasa sangat khawatir dan meragukan itikad baik dari tergugat- tergugat, dimana setelah mengetahui adanya gugatan ini akan mengalihkan
sebahagian atau keseluruhan dari tanah terperkara guna menghindari tuntutan pengembalian tanah dari penggugat, sebelum adanya putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap. Hal ini dapat terlihat dari dengan terus dibangunnya ruko-ruko di atas tanah
terperkara oleh tergugat VII, yang tentunya bangunan ruko-ruko tersebut nantinya pasti akan dijual kepada pihak lain, sehingga dapat merugikan penggugat dan
mengakibatkan gugatan menjadi hampa di kemudian hari. Tergugat VII dalam hal ini adalah PT. Pancing Business Centre, suatu
perusahaan yang bergerak di bidang developer, selaku pemilik dari objek tanah terperkara.
Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, majelis hakim Pengadilan Negeri Medan berpendapat untuk menjaga agar tergugat-tergugat tidak mengalihkan terlebih
dahulu hak atas tanah terperkara yang menjadi objek perkara sebelum adanya
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
71
putusan, serta untuk menjamin tuntutan dari penggugat, maka permohonan pelaksanaan sita jaminan dinilai beralasan serta sesuai dengan ketentuan hukum dan
perundang-undangan, oleh karena itu patut dikabulkan.
C. Putusan-Putusan Pengadilan Yang Membatalkan Penetapan Sita Jaminan Atas Objek Sita Jaminan Yang Telah Dibebani Hak Tanggungan
1. Putusan Mahkamah Agung dalam perkara PT Bank Negara Indonesia,