Pengaruh Ekstrak Tanaman Ceremai , Delima Putih, Jati Belanda , Kecombrang , dan Kemuning Secara In Vitro Terhadap Proliferasi Sel Limfosit Manusia

(1)

SKRIPSI

PENGARUH EKSTRAK TANAMAN CEREMAI , DELIMA PUTIH , JATI BELANDA , KECOMBRANG , dan KEMUNING SECARA IN VITRO

TERHADAP PROLIFERASI SEL LIMFOSIT MANUSIA

Oleh :

AGNES KRISMAWATI

F24103085

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

PENGARUH EKSTRAK TANAMAN CEREMAI , DELIMA PUTIH , JATI BELANDA , KECOMBRANG , dan KEMUNING SECARA IN VITRO

TERHADAP PROLIFERASI SEL LIMFOSIT MANUSIA

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh :

AGNES KRISMAWATI F24103085

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(3)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

PENGARUH EKSTRAK TANAMAN CEREMAI , DELIMA PUTIH , JATI BELANDA , KECOMBRANG , dan KEMUNING SECARA IN VITRO

TERHADAP PROLIFERASI SEL LIMFOSIT MANUSIA

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh :

AGNES KRISMAWATI F24103085

Dilahirkan di Jakarta, 10 Desember 1984 Tanggal lulus : 20 Agustus 2007

Menyetujui: Bogor, Agustus 2007

Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah

Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Dosen Pemimbing II

Dr. Ir. Endang Prangdimurti,M.Si NIP. 132.006.117

Dosen Pembimbing I

Prof.Dr.Ir.Fransisca Zakaria R.,M.Sc NIP. 131.476.603


(4)

RINGKASAN PENELITIAN

Agnes Krismawati. F24103085.

Pengaruh Ekstrak Tanaman Ceremai , Delima

Putih, Jati Belanda , Kecombrang , dan Kemuning Secara

In Vitro

Terhadap

Proliferasi Sel Limfosit Manusia.

Di bawah bimbingan : Prof. Dr. Ir. Fransisca

Zakaria R, M.Sc dan Dr. Ir. Endang Prangdimurti, M.Si (2007)

Kemuning, delima putih, kecombrang, ceremai, dan jati belanda memiliki

potensi yang besar untuk kesehatan manusia. Berkembangnya tren pangan fungsional,

menjadikan suatu alasan pengembangan kelima tanaman di atas menjadi pangan

fungsional, terutama sebagai minuman fungsional

Penelitian ini bertujuan mengetahui tingkat toksisitas dan imunomodulator

ekstrak daun delima putih, daun kemuning, daun ceremai, daun jati belanda, dan

bunga kecombrang terhadap sel limfosit manusia secara

in vitro

, serta mengetahui

kapasitas antioksidan kelima ekstrak tanaman tersebut dalam menangkal radikal

bebas menggunakan metode DPPH (

2,2-diphenyl-1-picrylhydrazil

atau

1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil

).

Penelitian ini terbagi menjadi beberapa tahap. Tahap pertama adalah tahap

persiapan. Tahap ini meliputi pembuatan ekstrak tanaman yang diujikan dan isolasi

sel limfosit. Pelarut yang digunakan untuk ekstraksi adalah etanol 96 % dengan

metode maserasi, dan aquades dengan metode pemanasan. Bagian tanaman yang

diekstraksi adalah daun (untuk kemuning, ceremai, jati belanda, dan delima putih)

dan bunga (untuk kecombrang). Ekstrak kelima tanaman yang akan diuji ditepatkan

volumenya menjadi 10 ml untuk keseragaman. Tahapan selanjutnya adalah analisis

kimia meliputi analisis kadar air dan analisis kadar protein terhadap bahan segar, serta

analisis kadar total fenol dan analisis kemampuan antioksidan ekstrak untuk

menangkal radikal bebas (kapasitas antioksidan) terhadap ekstrak yang dihasilkan.

Pengujian ekstrak terhadap proliferasi sel limfosit manusia digunakan

dengan menggunakan dua metode yaitu dengan perhitungan sel mati

(menggunakan pewarnaan biru tripan) dan perhitungan proliferasi sel dengan metode

MTT [3-[4,5-Dimethylthiazol-2-yl]-2,5-diphenyltetrazolium bromide]. Perhitungan

proliferasi pada metode ini dilakukan dengan nilai Indeks Stimulasi (I.S) dari sel

limfosit yang dikultur dengan ekstrak dibandingkan dengan kontrol standar. Kultur

sel dilakukan pada suhu 37

o

C dengan kondisi atmosfer yang mengandung CO2 5%, 02

95% dan RH 96 % selama 36 jam. Untuk kontrol standar, sumur hanya berisi media

dan sel, sedangkan kontrol positif berisi suspensi sel limfosit dan larutan mitogen

Con A atau LPS.

Hasil analisi kimia menunjukkan bahwa kadar air tertinggi dimiliki oleh

bunga kecombrang yaitu sebesar 92.30 % (b.b), sedangkan kadar air terendah dimiliki

oleh daun delima putih sebesar 58.26 % (b.b). Kadar protein dihitung menggunakan

metode Kjeldahl. Hasil yang diperoleh adalah kadar protein tertinggi dimiliki oleh

daun ceremai sebesar 6.40 %, sedangkan kadar protein terendah dimiliki oleh bunga

kecombrang sebesar 1.38 %. Kadar total fenol tertinggi dimiliki oleh daun delima

putih etanol yaitu 81.37 x 10

2

mg/l ekstrak, sedangkan untuk kadar total fenol

terendah dimiliki oleh ekstrak daun jati belanda aquades yaitu 4.44 x 10

2

mg/l


(5)

ekstrak. Secara keseluruhan ekstrak etanol memiliki kadar total fenol lebih tinggi

dibandingkan ekstrak aquades. Kapasitas antioksidan ekstrak kelima tanaman

dihitung menggunakan metode DPPH. Hasil yang diperoleh adalah kapasitas

antioksidan tertinggi dimiliki oleh kecombrang etanol yaitu 92.96 %, dan terendah

dimiliki oleh kemuning etanol 70.45 %. Nilai AEAC tertinggi dimiliki oleh

kecombrang etanol yaitu 1159.28 mg/l AEAC, dan terendah dimiliki oleh kemuning

etanol 888.08 mg/l AEAC. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa daya peredaman

radikal bebas ekstrak kecombrang etanol sebanding dengan daya peredaman 1159.28

mg asam askorbat.

Hasil pengujian dengan menggunakan metode MTT diketahui bahwa

ekstrak yang memberikan indeks proliferasi sel limfosit dimiliki oleh ekstrak

kecombrang aquades sebesar 6.88 dan indeks stimulasi terendah dimiliki oleh ekstrak

daun jati belanda aquades 7.408 mg/ml (C3) sebesar 0.78. Pada metode biru tripan,

ekstrak yang memiliki tingkat kematian sel terendah dimiliki oleh ekstrak

kecombrang aquades 9.084 mg/ml (C3) dan kecombrang etanol 7.752 mg/ml (C3)

sebesar 1.2 x 10

5

sel mati / ml, sedangkan kematian tertinggi dimiliki oleh ekstrak jati

belanda etanol 7.332 mg/ml (C3) dan ekstrak delima aquades 9.526 mg/ml (C3)

sebesar 12 x 10

6

sel mati / ml. Secara keseluruhan, ekstrak memberikan indeks

stimulasi yang tinggi dan tingkat kematian sel yang rendah, sehingga dapat dikatakan

ekstrak kelima tanaman yang digunakan bersifat

imunostimulan

.


(6)

BIODATA PENULIS

Penulis dilahirkan di Jakarta, 10 Desember 1984 dan

merupakan anak pertama dari pasangan Patricius Kardja dan

Chriatiana Kasmiyati. Penulis mengawali pendidikan formal di

TK Marga Utama, dan selanjutnya penulis melanjutkan ke SD

Strada Van Lith II, SLTP Tarakanita IV, dan SMUN 81 Jakarta.

Pendidikan non formal yang ditempuh oleh penulis antara lain

kursus Bahasa Inggris di LIA dan Bahasa Mandarin di Lingua Franka.

Pendidikan terakhir yang ditempuh adalah Departemen Ilmu dan Teknologi

Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada tingkat akhir

pendidikannya di IPB, penulis juga memperoleh kesempatan mengikuti program

Internship

dari PT. Sara Lee Household Indonesia selama tiga bulan. Selain aktif

dalam bidang akademik, penulis juga menjadi pengurus beberapa organisasi

intrakampus yaitu sebagai koordinator sekretariat pada Keluarga Mahasiswa Katolik

IPB (KEMAKI) dan sebagai Bendahara pada UKM Tarung Derajat di IPB. Selain itu

penulis juga menjadi anggota pada Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi

Pangan (HIMITEPA) dan Tim Pendamping Mahasiswa Katolik IPB. Penulis juga

aktif sebagai panitia berbagai kepanitiaan dalam kegiatan kampus. Berbagai

pengalaman kerja juga telah diperoleh penulis, baik sebagai asisten praktikum kimia

dan biologi untuk Mahasiswa TPB, asisten praktikum mikrobiologi pangan, dan

asisten praktikum teknologi pengolahan pangan, serta menjadi guru privat mata

pelajaran matematika untuk tingkat sekolah menengah.

Penulis menyelesaikan tugas akhirnya dengan melakukan penelitian yang

berjudul “Pengaruh Ekstrak Tanaman Ceremai , Delima Putih , Jati Belanda ,

Kecombrang , dan Kemuning Secara

In Vitro

Terhadap Proliferasi Sel Limfosit

Manusia”. Penelitian ini dilakukan mulai bulan Februari 2007 sampai dengan bulan

Juni 2007.


(7)

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati, sekitar 40.000 jenis tumbuhan ditemukan di Indonesia dan 180 jenis di antaranya berpotensi sebagai tanaman obat (Bermawie, 2003). Beberapa tanaman yang sudah diketahui berpotensi dan dikenal secara umum sebagai tanaman obat adalah ceremai, kemuning, jati belanda, kecombrang, dan delima putih.

Kecombrang (Nicolaia speciosa Horan) dan kemuning (Murraya paniculata [L..] Jack.) biasa dijadikan sebagai tanaman hias karena memiliki corak atau warna bunga yang indah. Delima putih (Punica granatum Linn) dan ceremai (Phyllanthus acidus [L.] Skeels.) tidak hanya bisa dijadikan tanaman untuk memagari pekarangan (Dalimartha, 1999), tetapi dapat juga menjadi tanaman pangan karena buahnya dapat dikonsumsi, sedangkan Jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk) biasa tumbuh bebas di dataran tinggi dan jarang ditemui ditanam di pekarangan rumah.

Kelima tanaman tersebut tidak hanya dapat digunakan sebagai tanaman hias ataupun tanaman pangan, tetapi juga dapat digunakan sebagai tanaman obat. Masyarakat pedesaan sering menggunakan tanaman tersebut sebagai obat tradisional, baik untuk menurunkan berat badan, menjaga kesehatan, ataupun menyembuhkan beberapa penyakit penyakit seperti bronkhitis, asma urat, dan reumatik.

Dalam evolusi kebudayaan manusia, akhirnya manusia tidak hanya memikirkan untuk mengkonsumsi pangan yang nikmat saja, namun mulai terpikir tentang pangan yang bermanfaat bagi kesehatan. Maka mulailah dikenal istilah ”back to nature”. Beberapa produk pangan yang sekarang ini mulai diminati oleh masyarakat diantaranya adalah produk pangan fungsional. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan kepada kelima tanaman di atas lebih didasarkan kepada pembuktian bahwa tanaman-tanaman tersebut memiliki manfaat dalam kesehatan, namun belum ada penelitian yang berkaitan dengan pengujian awal terhadap masing-masing


(8)

tanaman untuk dijadikan minuman fungsional. Salah satu contoh penelitian ilmiah tentang tanaman-tanaman di atas adalah pemberian ekstrak daun jati belanda sebanyak 1 g / kg BB tikus percobaan ternyata dapat menurunkan kadar kolesterol darah (Rachmadani, 2001). Jati belanda, delima putih, ceremai, kecombrang, dan kemuning memiliki potensi yang besar untuk kesehatan manusia maka tanaman-tanaman ini memiliki kemungkinan untuk dikembangkan sebagai bahan pangan fungsional, terutama sebagai minuman fungsional.

Untuk membuat sebuah produk pangan yang layak dan fungsional, pertama-tama perlu diuji apakah produk pangan ini bersifat toksik atau tidak. Organisme yang terpapar senyawa toksik tidak hanya akan mengalami keracunan parah tetapi dapat juga mengalami kematian. Setelah itu dilakukan uji imunomodulator untuk mengetahui apakah produk tersebut memiliki efek untuk memperkuat sistem imun. Terakhir dilakukan uji antioksidan untuk melihat apakah produk tersebut memiliki daya antioksidan yang dapat melindungi tubuh dari timbulnya penyakit-penyakit yang disebabkan oleh radikal bebas. Semua uji ini akan dilakukan pada kelima tanaman tersebut untuk mengetahui apakah kelima tanaman tersebut dapat dimanfaatkan sebagai minuman fungsional.

B. TUJUAN

Penelitian ini bertujuan mengetahui tingkat toksisitas dan imunomodulator ekstrak daun delima putih, daun kemuning, daun ceremai, daun jati belanda, dan bunga kecombrang terhadap sel limfosit manusia secara in vitro, serta mengetahui kapasitas antioksidan kelima ekstrak tanaman tersebut dalam menangkal radikal bebas menggunakan metode DPPH. Tujuan lain adalah memperoleh data-data yang dapat dijadikan sebagai acuan pengembangan produk fungsional dikemudian hari.


(9)

II.TINJAUAN PUSTAKA

A. Ceremai (Phyllanthus acidus [L.] Skeels.)

Tumbuhan yang berasal dari India ini termasuk dalam famili Euphorbiaccae. Ceremai memiliki nama asing Charamelier atau Country goosberry (Dalimartha, 1999). Ceremai banyak ditanam orang di halaman, di ladang dan tempat lain sampai ketinggian 1.000 m. Ceremai memiliki percabangan banyak dan kulit kayunya tebal (IPTEKa, 2005 ).

Daun ceremai tunggal, bertangkai pendek, tersusun dalam tangkai membentuk rangkaian seperti daun majemuk. Helai daun ceremai bundar telur sampai jorong, ujung runcing, pangkal tumpul sampai bundar, tepi rata, pertulangan menyirip, permukaan licin tidak berambut, panjang 2-7 cm, lebar 1,5-4 cm, dan warna hijau muda. (IPTEKa, 2005).

Daun ceremai berbau khas aromatik dan tidak berasa. Kandungan kimia yang terdapat pada daun, kulit batang, dan kayu ceremai adalah saponin, flavonoida, tanin, dan polifenol. Akar mengandung saponin, zat samak, dan zat beracun (toksik), sedangkan buah ceremai mengandung vitamin C. Bagian dari pohon ceremai yang biasa digunakan sebagai obat adalah daun, kulit akar, dan biji. Setiap bagian pohon ceremai memiliki khasiat yang berbeda-beda untuk menyembuhkan penyakit. Daun ceremai berkhasiat untuk menyembuhkan batuk berdahak, mual, kanker, sariawan, dan dapat menguruskan bahan. Bagian kulit pohon ceremai dapat digunakan mengobati asma dan sakit kulit, sedangkan biji ceremai berkhasiat untuk mengobati sembelit dan mual akibat perut kotor (Dalimartha, 1999).


(10)

Gambar 1. Ceremai (Phyllanthus acidus [L.] Skeels.) Sumber : IPTEK (2005a)

B. Delima Putih (Punica granatum Linn)

Delima, konon, berasal dari negeri Persia, dan kemudian menyebar ke segala penjuru dunia. Tanaman ini tersebar di daerah subtropik sampai tropik, dari dataran rendah sampai di bawah 1.000 m. Delima sering ditanam di kebun-kebun sebagai tanaman hias, tanaman obat, atau dikonsumsi karena buahnya dapat dimakan. Pohon delima merupakan perdu atau pohon kecil dengan tinggi 2-5 m. Helaian daun bentuknya lonjong, pangkal lancip, ujung tumpul, tepi rata, pertulangan menyirip, permukaan mengkilap, panjang 1-9 cm, lebar 0,5-2,5 cm, warnanya hijau. Buahnya buah buni, bentuknya bulat dengan diameter 5-12 cm, warna kulitnya beragam, seperti hijau keunguan, putih, cokelat kemerahan, atau ungu kehitaman (IPTEKc, 2005).

Bagian tanaman yang digunakan sebagai obat adalah kulit kayu, kulit akar, kulit buah, daun, biji, dan bunganya. Kulit buah mengandung alkaloid pelletieren, granatin, resin, triterpenoid, kalsium oksalat, dan pati. Kulit akar dan kulit kayu mengandung sekitar 20% elligatanin dan 0,5-1% senyawa alkaloid. Daun mengandung alkaloid, tanin, kalsium oksalat, lemak, sulfur, dan peroksidase. Alkaloid yang terdapat pada tanaman ini dipercaya dapat menyebabkan kelumpuhan cacing pita, cacing gelang, dan cacing keremi (IPTEKc, 2005).

Setiap bagian tanaman ini secara tradisional digunakan untuk menyembuhkan beberapa penyakit, yaitu kulit buah biasa digunakan untuk


(11)

SKRIPSI

PENGARUH EKSTRAK TANAMAN CEREMAI , DELIMA PUTIH , JATI BELANDA , KECOMBRANG , dan KEMUNING SECARA IN VITRO

TERHADAP PROLIFERASI SEL LIMFOSIT MANUSIA

Oleh :

AGNES KRISMAWATI

F24103085

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(12)

PENGARUH EKSTRAK TANAMAN CEREMAI , DELIMA PUTIH , JATI BELANDA , KECOMBRANG , dan KEMUNING SECARA IN VITRO

TERHADAP PROLIFERASI SEL LIMFOSIT MANUSIA

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh :

AGNES KRISMAWATI F24103085

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(13)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

PENGARUH EKSTRAK TANAMAN CEREMAI , DELIMA PUTIH , JATI BELANDA , KECOMBRANG , dan KEMUNING SECARA IN VITRO

TERHADAP PROLIFERASI SEL LIMFOSIT MANUSIA

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh :

AGNES KRISMAWATI F24103085

Dilahirkan di Jakarta, 10 Desember 1984 Tanggal lulus : 20 Agustus 2007

Menyetujui: Bogor, Agustus 2007

Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah

Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Dosen Pemimbing II

Dr. Ir. Endang Prangdimurti,M.Si NIP. 132.006.117

Dosen Pembimbing I

Prof.Dr.Ir.Fransisca Zakaria R.,M.Sc NIP. 131.476.603


(14)

RINGKASAN PENELITIAN

Agnes Krismawati. F24103085.

Pengaruh Ekstrak Tanaman Ceremai , Delima

Putih, Jati Belanda , Kecombrang , dan Kemuning Secara

In Vitro

Terhadap

Proliferasi Sel Limfosit Manusia.

Di bawah bimbingan : Prof. Dr. Ir. Fransisca

Zakaria R, M.Sc dan Dr. Ir. Endang Prangdimurti, M.Si (2007)

Kemuning, delima putih, kecombrang, ceremai, dan jati belanda memiliki

potensi yang besar untuk kesehatan manusia. Berkembangnya tren pangan fungsional,

menjadikan suatu alasan pengembangan kelima tanaman di atas menjadi pangan

fungsional, terutama sebagai minuman fungsional

Penelitian ini bertujuan mengetahui tingkat toksisitas dan imunomodulator

ekstrak daun delima putih, daun kemuning, daun ceremai, daun jati belanda, dan

bunga kecombrang terhadap sel limfosit manusia secara

in vitro

, serta mengetahui

kapasitas antioksidan kelima ekstrak tanaman tersebut dalam menangkal radikal

bebas menggunakan metode DPPH (

2,2-diphenyl-1-picrylhydrazil

atau

1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil

).

Penelitian ini terbagi menjadi beberapa tahap. Tahap pertama adalah tahap

persiapan. Tahap ini meliputi pembuatan ekstrak tanaman yang diujikan dan isolasi

sel limfosit. Pelarut yang digunakan untuk ekstraksi adalah etanol 96 % dengan

metode maserasi, dan aquades dengan metode pemanasan. Bagian tanaman yang

diekstraksi adalah daun (untuk kemuning, ceremai, jati belanda, dan delima putih)

dan bunga (untuk kecombrang). Ekstrak kelima tanaman yang akan diuji ditepatkan

volumenya menjadi 10 ml untuk keseragaman. Tahapan selanjutnya adalah analisis

kimia meliputi analisis kadar air dan analisis kadar protein terhadap bahan segar, serta

analisis kadar total fenol dan analisis kemampuan antioksidan ekstrak untuk

menangkal radikal bebas (kapasitas antioksidan) terhadap ekstrak yang dihasilkan.

Pengujian ekstrak terhadap proliferasi sel limfosit manusia digunakan

dengan menggunakan dua metode yaitu dengan perhitungan sel mati

(menggunakan pewarnaan biru tripan) dan perhitungan proliferasi sel dengan metode

MTT [3-[4,5-Dimethylthiazol-2-yl]-2,5-diphenyltetrazolium bromide]. Perhitungan

proliferasi pada metode ini dilakukan dengan nilai Indeks Stimulasi (I.S) dari sel

limfosit yang dikultur dengan ekstrak dibandingkan dengan kontrol standar. Kultur

sel dilakukan pada suhu 37

o

C dengan kondisi atmosfer yang mengandung CO2 5%, 02

95% dan RH 96 % selama 36 jam. Untuk kontrol standar, sumur hanya berisi media

dan sel, sedangkan kontrol positif berisi suspensi sel limfosit dan larutan mitogen

Con A atau LPS.

Hasil analisi kimia menunjukkan bahwa kadar air tertinggi dimiliki oleh

bunga kecombrang yaitu sebesar 92.30 % (b.b), sedangkan kadar air terendah dimiliki

oleh daun delima putih sebesar 58.26 % (b.b). Kadar protein dihitung menggunakan

metode Kjeldahl. Hasil yang diperoleh adalah kadar protein tertinggi dimiliki oleh

daun ceremai sebesar 6.40 %, sedangkan kadar protein terendah dimiliki oleh bunga

kecombrang sebesar 1.38 %. Kadar total fenol tertinggi dimiliki oleh daun delima

putih etanol yaitu 81.37 x 10

2

mg/l ekstrak, sedangkan untuk kadar total fenol

terendah dimiliki oleh ekstrak daun jati belanda aquades yaitu 4.44 x 10

2

mg/l


(15)

ekstrak. Secara keseluruhan ekstrak etanol memiliki kadar total fenol lebih tinggi

dibandingkan ekstrak aquades. Kapasitas antioksidan ekstrak kelima tanaman

dihitung menggunakan metode DPPH. Hasil yang diperoleh adalah kapasitas

antioksidan tertinggi dimiliki oleh kecombrang etanol yaitu 92.96 %, dan terendah

dimiliki oleh kemuning etanol 70.45 %. Nilai AEAC tertinggi dimiliki oleh

kecombrang etanol yaitu 1159.28 mg/l AEAC, dan terendah dimiliki oleh kemuning

etanol 888.08 mg/l AEAC. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa daya peredaman

radikal bebas ekstrak kecombrang etanol sebanding dengan daya peredaman 1159.28

mg asam askorbat.

Hasil pengujian dengan menggunakan metode MTT diketahui bahwa

ekstrak yang memberikan indeks proliferasi sel limfosit dimiliki oleh ekstrak

kecombrang aquades sebesar 6.88 dan indeks stimulasi terendah dimiliki oleh ekstrak

daun jati belanda aquades 7.408 mg/ml (C3) sebesar 0.78. Pada metode biru tripan,

ekstrak yang memiliki tingkat kematian sel terendah dimiliki oleh ekstrak

kecombrang aquades 9.084 mg/ml (C3) dan kecombrang etanol 7.752 mg/ml (C3)

sebesar 1.2 x 10

5

sel mati / ml, sedangkan kematian tertinggi dimiliki oleh ekstrak jati

belanda etanol 7.332 mg/ml (C3) dan ekstrak delima aquades 9.526 mg/ml (C3)

sebesar 12 x 10

6

sel mati / ml. Secara keseluruhan, ekstrak memberikan indeks

stimulasi yang tinggi dan tingkat kematian sel yang rendah, sehingga dapat dikatakan

ekstrak kelima tanaman yang digunakan bersifat

imunostimulan

.


(16)

BIODATA PENULIS

Penulis dilahirkan di Jakarta, 10 Desember 1984 dan

merupakan anak pertama dari pasangan Patricius Kardja dan

Chriatiana Kasmiyati. Penulis mengawali pendidikan formal di

TK Marga Utama, dan selanjutnya penulis melanjutkan ke SD

Strada Van Lith II, SLTP Tarakanita IV, dan SMUN 81 Jakarta.

Pendidikan non formal yang ditempuh oleh penulis antara lain

kursus Bahasa Inggris di LIA dan Bahasa Mandarin di Lingua Franka.

Pendidikan terakhir yang ditempuh adalah Departemen Ilmu dan Teknologi

Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada tingkat akhir

pendidikannya di IPB, penulis juga memperoleh kesempatan mengikuti program

Internship

dari PT. Sara Lee Household Indonesia selama tiga bulan. Selain aktif

dalam bidang akademik, penulis juga menjadi pengurus beberapa organisasi

intrakampus yaitu sebagai koordinator sekretariat pada Keluarga Mahasiswa Katolik

IPB (KEMAKI) dan sebagai Bendahara pada UKM Tarung Derajat di IPB. Selain itu

penulis juga menjadi anggota pada Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi

Pangan (HIMITEPA) dan Tim Pendamping Mahasiswa Katolik IPB. Penulis juga

aktif sebagai panitia berbagai kepanitiaan dalam kegiatan kampus. Berbagai

pengalaman kerja juga telah diperoleh penulis, baik sebagai asisten praktikum kimia

dan biologi untuk Mahasiswa TPB, asisten praktikum mikrobiologi pangan, dan

asisten praktikum teknologi pengolahan pangan, serta menjadi guru privat mata

pelajaran matematika untuk tingkat sekolah menengah.

Penulis menyelesaikan tugas akhirnya dengan melakukan penelitian yang

berjudul “Pengaruh Ekstrak Tanaman Ceremai , Delima Putih , Jati Belanda ,

Kecombrang , dan Kemuning Secara

In Vitro

Terhadap Proliferasi Sel Limfosit

Manusia”. Penelitian ini dilakukan mulai bulan Februari 2007 sampai dengan bulan

Juni 2007.


(17)

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati, sekitar 40.000 jenis tumbuhan ditemukan di Indonesia dan 180 jenis di antaranya berpotensi sebagai tanaman obat (Bermawie, 2003). Beberapa tanaman yang sudah diketahui berpotensi dan dikenal secara umum sebagai tanaman obat adalah ceremai, kemuning, jati belanda, kecombrang, dan delima putih.

Kecombrang (Nicolaia speciosa Horan) dan kemuning (Murraya paniculata [L..] Jack.) biasa dijadikan sebagai tanaman hias karena memiliki corak atau warna bunga yang indah. Delima putih (Punica granatum Linn) dan ceremai (Phyllanthus acidus [L.] Skeels.) tidak hanya bisa dijadikan tanaman untuk memagari pekarangan (Dalimartha, 1999), tetapi dapat juga menjadi tanaman pangan karena buahnya dapat dikonsumsi, sedangkan Jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk) biasa tumbuh bebas di dataran tinggi dan jarang ditemui ditanam di pekarangan rumah.

Kelima tanaman tersebut tidak hanya dapat digunakan sebagai tanaman hias ataupun tanaman pangan, tetapi juga dapat digunakan sebagai tanaman obat. Masyarakat pedesaan sering menggunakan tanaman tersebut sebagai obat tradisional, baik untuk menurunkan berat badan, menjaga kesehatan, ataupun menyembuhkan beberapa penyakit penyakit seperti bronkhitis, asma urat, dan reumatik.

Dalam evolusi kebudayaan manusia, akhirnya manusia tidak hanya memikirkan untuk mengkonsumsi pangan yang nikmat saja, namun mulai terpikir tentang pangan yang bermanfaat bagi kesehatan. Maka mulailah dikenal istilah ”back to nature”. Beberapa produk pangan yang sekarang ini mulai diminati oleh masyarakat diantaranya adalah produk pangan fungsional. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan kepada kelima tanaman di atas lebih didasarkan kepada pembuktian bahwa tanaman-tanaman tersebut memiliki manfaat dalam kesehatan, namun belum ada penelitian yang berkaitan dengan pengujian awal terhadap masing-masing


(18)

tanaman untuk dijadikan minuman fungsional. Salah satu contoh penelitian ilmiah tentang tanaman-tanaman di atas adalah pemberian ekstrak daun jati belanda sebanyak 1 g / kg BB tikus percobaan ternyata dapat menurunkan kadar kolesterol darah (Rachmadani, 2001). Jati belanda, delima putih, ceremai, kecombrang, dan kemuning memiliki potensi yang besar untuk kesehatan manusia maka tanaman-tanaman ini memiliki kemungkinan untuk dikembangkan sebagai bahan pangan fungsional, terutama sebagai minuman fungsional.

Untuk membuat sebuah produk pangan yang layak dan fungsional, pertama-tama perlu diuji apakah produk pangan ini bersifat toksik atau tidak. Organisme yang terpapar senyawa toksik tidak hanya akan mengalami keracunan parah tetapi dapat juga mengalami kematian. Setelah itu dilakukan uji imunomodulator untuk mengetahui apakah produk tersebut memiliki efek untuk memperkuat sistem imun. Terakhir dilakukan uji antioksidan untuk melihat apakah produk tersebut memiliki daya antioksidan yang dapat melindungi tubuh dari timbulnya penyakit-penyakit yang disebabkan oleh radikal bebas. Semua uji ini akan dilakukan pada kelima tanaman tersebut untuk mengetahui apakah kelima tanaman tersebut dapat dimanfaatkan sebagai minuman fungsional.

B. TUJUAN

Penelitian ini bertujuan mengetahui tingkat toksisitas dan imunomodulator ekstrak daun delima putih, daun kemuning, daun ceremai, daun jati belanda, dan bunga kecombrang terhadap sel limfosit manusia secara in vitro, serta mengetahui kapasitas antioksidan kelima ekstrak tanaman tersebut dalam menangkal radikal bebas menggunakan metode DPPH. Tujuan lain adalah memperoleh data-data yang dapat dijadikan sebagai acuan pengembangan produk fungsional dikemudian hari.


(19)

II.TINJAUAN PUSTAKA

A. Ceremai (Phyllanthus acidus [L.] Skeels.)

Tumbuhan yang berasal dari India ini termasuk dalam famili Euphorbiaccae. Ceremai memiliki nama asing Charamelier atau Country goosberry (Dalimartha, 1999). Ceremai banyak ditanam orang di halaman, di ladang dan tempat lain sampai ketinggian 1.000 m. Ceremai memiliki percabangan banyak dan kulit kayunya tebal (IPTEKa, 2005 ).

Daun ceremai tunggal, bertangkai pendek, tersusun dalam tangkai membentuk rangkaian seperti daun majemuk. Helai daun ceremai bundar telur sampai jorong, ujung runcing, pangkal tumpul sampai bundar, tepi rata, pertulangan menyirip, permukaan licin tidak berambut, panjang 2-7 cm, lebar 1,5-4 cm, dan warna hijau muda. (IPTEKa, 2005).

Daun ceremai berbau khas aromatik dan tidak berasa. Kandungan kimia yang terdapat pada daun, kulit batang, dan kayu ceremai adalah saponin, flavonoida, tanin, dan polifenol. Akar mengandung saponin, zat samak, dan zat beracun (toksik), sedangkan buah ceremai mengandung vitamin C. Bagian dari pohon ceremai yang biasa digunakan sebagai obat adalah daun, kulit akar, dan biji. Setiap bagian pohon ceremai memiliki khasiat yang berbeda-beda untuk menyembuhkan penyakit. Daun ceremai berkhasiat untuk menyembuhkan batuk berdahak, mual, kanker, sariawan, dan dapat menguruskan bahan. Bagian kulit pohon ceremai dapat digunakan mengobati asma dan sakit kulit, sedangkan biji ceremai berkhasiat untuk mengobati sembelit dan mual akibat perut kotor (Dalimartha, 1999).


(20)

Gambar 1. Ceremai (Phyllanthus acidus [L.] Skeels.) Sumber : IPTEK (2005a)

B. Delima Putih (Punica granatum Linn)

Delima, konon, berasal dari negeri Persia, dan kemudian menyebar ke segala penjuru dunia. Tanaman ini tersebar di daerah subtropik sampai tropik, dari dataran rendah sampai di bawah 1.000 m. Delima sering ditanam di kebun-kebun sebagai tanaman hias, tanaman obat, atau dikonsumsi karena buahnya dapat dimakan. Pohon delima merupakan perdu atau pohon kecil dengan tinggi 2-5 m. Helaian daun bentuknya lonjong, pangkal lancip, ujung tumpul, tepi rata, pertulangan menyirip, permukaan mengkilap, panjang 1-9 cm, lebar 0,5-2,5 cm, warnanya hijau. Buahnya buah buni, bentuknya bulat dengan diameter 5-12 cm, warna kulitnya beragam, seperti hijau keunguan, putih, cokelat kemerahan, atau ungu kehitaman (IPTEKc, 2005).

Bagian tanaman yang digunakan sebagai obat adalah kulit kayu, kulit akar, kulit buah, daun, biji, dan bunganya. Kulit buah mengandung alkaloid pelletieren, granatin, resin, triterpenoid, kalsium oksalat, dan pati. Kulit akar dan kulit kayu mengandung sekitar 20% elligatanin dan 0,5-1% senyawa alkaloid. Daun mengandung alkaloid, tanin, kalsium oksalat, lemak, sulfur, dan peroksidase. Alkaloid yang terdapat pada tanaman ini dipercaya dapat menyebabkan kelumpuhan cacing pita, cacing gelang, dan cacing keremi (IPTEKc, 2005).

Setiap bagian tanaman ini secara tradisional digunakan untuk menyembuhkan beberapa penyakit, yaitu kulit buah biasa digunakan untuk


(21)

sakit perut karena cacing, buang air besar mengandung darah dan lendir (disentri amuba), diare kronis, perdarahan seperti wasir berdarah, muntah darah, batuk darah, perdarahan rahim, perdarahan rektum, prolaps rektum, radang tenggorok, radang telinga, keputihan (leukorea), dan nyeri lambung. Bunga delima biasa digunakan untuk radang gusi, perdarahan, dan bronkhitis. Daging buah dapat digunakan untuk cacingan, sariawan, sakit tenggorokan, hipertensi, rematik, dan perut kembung. Bagian daun delima dan daging buah biasa digunakan untuk menurunkan berat badan (IPTEKc, 2005).

Gambar 2. Delima Putih (Punica granatum Linn) Sumber : IPTEK (2005c)

C. Jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk)

Jati belanda merupakan tanaman dari jenis Sterculiaceae. Tanaman ini merupakan tanaman pohon yang memiliki tinggi lebih kurang 10 meter. Batang keras, bulat, permukaan kasar, banyak alur, berkayu, bercabang, warna hijau keputih-putihan. Daun tunggal, bulat telur, permukaan kasar, tepi bergerigi, ujung runcing, pangkal berlekuk, pertulangan menyirip, panjang 10-16 cm, lebar 3-6 cm, warna hijau. (IPTEKd, 2005).

Jati Belanda biasa digunakan sebagai obat tradisional oleh masyarakat Indonesia. Bagian pohon ini yang biasa digunakan adalah daun, biji, dan buah. Masing-masing bagian memiliki khasiat mengobati yang berbeda-beda. Daun jati Belanda dapat digunakan untuk mengurangi


(22)

kegemukan, sedangkan buahnya digunakan untuk menyembuhkan penyakit bronkhitis. Selain daun jati belanda, biji dari buah jati dapat juga digunakan sebagai obat untuk mengurangi berat badan. Senyawa kimia yang terkandung pada jati belanda yaitu tanin, lendir, zat pahit, dan damar.

Daun jati belanda biasa digunakan untuk obat penurun kolesterol. Daun jati belanda dipercaya bisa meluruhkan lemak dan menurunkan kadar kolesterol dalam darah. Senyawa tanin dan musilago yang terkandung dalam daun Jati belanda dapat mengendapkan mukosa protein yang ada di dalam permukaan usus halus sehingga dapat mengurangi penyerapan makanan dan proses obesitas (kegemukan) dapat dihambat (IPTEK,2005d).

Gambar 3. Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk) Sumber : IPTEK (2005d)

D. Kecombrang (Nicolaia speciosa Horan)

Kecombrang termasuk dalam famili Zingiberaceae. Tanaman ini merupakan tanaman tahunan berbentuk semak dengan ketinggian 1-3 m. Tanaman ini memiliki batang semu yang tegak dan berpelepah serta bentuknya menyerupai rimpang. Daun kecombrang merupakan daun tunggal dengan bagian ujung dan pangkal runcing. Panjang daun kecombrang sekitar 20-30 cm, dengan lebar 5-15 cm. Daunnya berwarna hijau dengan pertulangan daun menyirip. Bunga kecombrang merupakan bunga majemuk dengan panjang tangkainya sekitar 40-80 cm. Warna bunga kecombrang biasanya adalah putih atau merah jambu(DepKes, 2005).


(23)

Umumnya bunga kecombrang sering dimanfaatkan secara tradisional sebagai bunga hias dan disantap dalam bentuk pecel, lalapan, ataupun sambal. Selain itu, bunga kecombrang juga banyak digunakan untuk obat penghilang bau badan, memperbanyak air susu ibu, dan pembersih darah. Kandungan kimia yang terdapat di daun, batang , bunga, dan rimpang kecombrang adalah saponin dan flavonoid. Selain itu, kecombrang juga mengandung polifenol dan minyak atsiri (DepKes, 2005). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Naufalin et.al (2005), diketahui bahwa bunga kecombrang dapat menghambat pertumbuhan beberapa jenis bakteri patogen dan perusak pangan, seperti S. aureus, L. Monocytogenes, dan S.typhimurium.

Gambar 4. Kecombrang (Nicolaia speciosa Horan) E. Kemuning (Murraya paniculata [L..] Jack.)

Kemuning merupakan tanaman yang berasal dari kelas Rutaceae. Tanaman ini biasa tumbuh liar di semak belukar, tepi hutan, atau ditanam sebagai tanaman hias dan tanaman pagar. Selain itu dapat ditemukan sampai ketinggian ± 400 m. Kemuning yang biasa ditanam untuk memagari pekarangan, biasanya jenis yang berdaun kecil dan lebat (Dalimartha, 1999).

Kemuning termasuk jenis semak atau pohon kecil, bercabang banyak, tinggi 3-8 m, batangnya keras, beralur, tidak berduri. Helaian anak daunnya bertangkai, bentuk bulat telur sungsang atau jorong, ujung dan pangkal runcing, tepi rata atau agak beringgit, panjang 2-7 cm, lebar 1-3 cm,


(24)

permukaan licin, mengilap, wamanya hijau, bila diremas tidak berbau. Bunga kemuning merupakan bunga majemuk berbentuk tandan, warnanya putih, dan wangi. (IPTEKb, 2005).

Setiap bagian pohon kemuning memiliki kandungan kimia yang berbeda-beda. Daun kemuning mengandung cadinene, bisabolena, P-earyophyllena, geraniol, carene-3, eugenol, sitronellol, metil salisilat, s-guaiazulan, ostholan, panikulatin, tanin, dan koumurrayin. Kulit batang mengandung mexotioin, 5-7-dimethoxy-8- (2,3-dihydroxyisopentyl) coumarin, sedangkan bunga kemuning mengandung scopeletin, dan buahnya mengandung semi-ec-carotenone (Dalimartha, 1999).

Secara tradisional, kemuning banyak digunakan untuk radang buah zakar (orchitis), radang saluran napas (bronkhitis), infeksi saluran kencing, kencing nanah, keputihan, sakit gigi, haid tidak teratur, lemak tubuh berlebihan, pelangsing tubuh, nyeri pada tukak (ulkus), kulit kasar, memar akibat benturan, rematik, keseleo, digigit serangga dan ular berbisa, ekzema, bisul, koreng, luka terbuka di kulit. Bagian kemuning yang biasa digunakan sebagai obat adalah daun, ranting, akar, dan kulit batang (IPTEKb, 2005).

Gambar 5. Kemuning (Murraya paniculata [L..] Jack.) Sumber : IPTEK (2005b)

F. Antioksidan

Antioksidan merupakan jenis senyawa yang digunakan untuk menangkap radikal bebas yang dapat mengakibatkan kerusakan sel dengan


(25)

menstabilkan radikal tersebut. Antioksidan adalah senyawa yang secara alami terdapat dalam hampir semua bahan pangan (Andarwulan, 1995). Menurut Buhler (2000), antioksidan adalah suatu senyawa yang dapat melindungi sel dari kerusakan yang disebabkan oleh reactive oxygen species (ROS) seperti singlet oxygen ataupun superoksida. Ketidakseimbangan antara antioksidan dan ROS menyebabkan terjadinya stres oksidatif, sehingga memicu terjadinya kerusakan sel. Antioksidan dapat menghambat dan mencegah proses oksidasi walaupun terdapat dalam jumlah yang sedikit dan tubuh juga memiliki sistem antioksidan alami yang dapat di produksi sendiri.

Salah satu metode yang biasa digunakan untuk menentukan kapasitas antioksidan suatu bahan adalah metode DPPH (2,2-diphenyl-1-picrylhydrazil atau 1,1-diphenyl-2-(2,2-diphenyl-1-picrylhydrazil). DPPH merupakan senyawa radikal bebas yang stabil dalam larutan metanol dan berwarna ungu tua. Mekanisme yang terjadi adalah proses reduksi senyawa DPPH oleh antioksidan yang menghasilkan pengurangan intensitas warna dari larutan DPPH. Pemudaran warna akan mengakibatkan penurunan nilai absorbansi sinar tampak dari spektofotometer.

Menurut Benabadji et.al. (2004), reaksi yang terjadi adalah pembentukan α,α-diphenyl-β-picrylhydrazine, melalui kemampuan antioksidan menyumbang hidrogen. Semakin pudarnya warna DPPH setelah direaksikan dengan antioksidan menunjukkan kapasitas antioksidan yang semakin besar pula.

Senyawa DPPH (biru) DPPH tereduksi (kuning) NO2 NO2

NO2 N N•

NO2 NO2

NO2 N NH + AOH


(26)

Salah satu jenis antioksidan dalam bahan pangan adalah senyawa fenolik. Senyawa fenolik merupakan senyawa kimia yang memiliki satu buah cincin aromatik yang mengandung satu atau lebih gugus hidroksi. Senyawa ini merupakan hasil metabolit sekunder dari tanaman. Senyawa fenolik diklasifikasikan dalam tiga grup, yaitu fenol sederhana, asam hidroksinamat, dan flavonoid. Senyawa fenol sederhana terdiri atas monofenol, difenol, dan trifenol. Grup yang paling penting dari senyawa fenolik adalah flavonoid, termasuk di dalamnya katekin, antosianidin, flavon, dan glikosida (Tang,1991).

Senyawa fenolik dapat berperan sebagai senyawa antioksidan. Senyawa ini merupakan antioksidan primer karena dapat mencegah terjadinya autooksidasi pada lipid dan memperlambat proses oksidasi lipid dengan menghambat kerja enzim lipoksigenase (Tang,1991). Suatu molekul dapat berfungsi sebagai antioksidan primer jika dapat memberikan atom hidrogen secara cepat kepada radikal lipid atau dikonversi menjadi produk stabil. Radikal bebas yang terbentuk pada reaksi senyawa fenol dengan radikal lemak selalu distabilkan oleh delokalisasi elektron tidak berpasangan di sekitar cincin aromatik dari fenol. Aktivitas antioksidan dari senyawa fenol dipengaruhi beberapa faktor, yaitu adanya agen pengkelat, pH lingkungan sekitar, kelarutan, ketersediaan senyawa fenol dalam suatu bahan, dan stabilitas senyawa fenol

Fungsi senyawa fenolik sebagai antioksidan ini berperan dalam proses perlindungan membran sel limfosit dari oksidasi yang disebabkan oleh radikal bebas. Fungsi lainnya adalah menstimulus proliferasi sel limfosit karena dapat memicu pembentukan interleukin. Senyawa ini memicu sel limfosit untuk berproliferasi. Akan tetapi dalam jumlah yang terlalu banyak, seyawa fenolik dapat menyebabkan kematian sel karena kemampuannya untuk berikatan dengan protein membran. Protein yang berikatan akan berubah fungsi dan menyebabkan kerusakan membran (Tang,1991).

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui kandungan senyawa fenol di dalam tanaman. Sebagai contoh, senyawa fenol yang sudah


(27)

diketahui terdapat dalam daun rosemary adalah asam karnosik, karnosol, rosemanol, dan asam rosmarinik, sedangkan senyawa fenol yang terdapat di dalam kacang kedelai adalah flavonoid seperti quercetin dan rutin (Mukhopadhyay, 2000).

G. Uji Toksisitas

Toksisitas suatu bahan dapat diartikan sebagai sebagai kapasitas bahan untuk memicu terjadinya reaksi berkebalikan dari mahkluk hidup. Dalam hal ini berhubungan dengan timbulnya efek yang tidak diharapkan oleh tubuh (Vries, 1997) . Ilmu yang mempelajari tentang toksisitas adalah toksikologi. Toksisitas erat hubungannya dengan senyawa toksik. Senyawa toksik dapat menyebabkan denaturasi protein dan kerusakan membran sel sehingga menyebabkan DNA, RNA, dan komponen sel yang lain akan rusak juga (Bitton dan Dutka, 1986).

Pengujian toksisitas suatu senyawa dilakukan secara in vitro yaitu dengan menggunakan sel limfosit manusia. Keuntungan pengujian secara in vitro adalah uji yang digunakan sangat sensitif dan dampak yang ditimbulkan dapat dilihat langsung (Vries, 1997). Efek dari ketoksikan suatu bahan dapat diamati dari seberapa banyak jumlah sel limfosit yang mati bila dibandingkan dengan keadaan awal dan dengan mengamati tingkat proliferasi sel limfosit. Pengujian ini tergolong dalam uji kualitatif karena penentuan jumlah sel yang hidup didasarkan pada absorbansi kontrol standar bukan berdasarkan perhitungan secara langsung. Jenis uji toksisitas yang dilakukan pada penelitian ini adalah uji toksisitas akut.

H. Sistem Imun dan Respom Imun

Sistem imun merupakan suatu sistem yang mengatur dan melindungi tubuh dari benda-benda asing (Thomas dan Robert, 1995). Faktor-faktor yang mempengaruhi sistem imun antara lain genetik, umur, kondisi metabolik, anatomi, status gizi, fisiologi manusia, dan sifat benda asing (Bellanti, 1993).

Immunogen adalah setiap bahan yang dapat menimbulkan respon imun, sedangkan antigen adalah setiap bahan yang bersifat imunogen dan


(28)

dapat mengikat komponen yang dihasilkan dari respon imun spesifik, misalnya antibodi dan limfosit T (Baratawidjaya, 1991). Respon imun didefinisikan sebagai respon atau reaktifitas yang terjadi jika ada kontak antara antigen dengan molekul yang memiliki konfigurasi spesifik (Kimball, 1992).

Respon imun terdiri atas dua jenis, yaitu respon imun spesifik dan non spesifik. Respon imun spesifik adalah respon imun yang diberi setelah setelah sel-sel imun terlebih dulu terpapar oleh antigen. Dalam tubuh, yang bertanggungjawab terhadap respon imun spesifik adalah sel limfosit. Respon imun non spesifik adalah respon imun yang memberikan respon secara langsung terhadap antigen walaupun belum pernah terpapar sebelumnya. Di dalam tubuh yang bertanggungjawab terhadap respon non spesifik adalah makrofag, lisosom, dan sel NK(Harlow dan David, 1988).

Respon imunspesifik limfosit terdiri atas respon humoral dan seluler. Respon humoral dilakukan oleh sel limfosit B, dimana sel ini menghasilkan antibodi sebagai respon imunnya, sedangkan respon imun seluler dilakukan oleh sel limfosit T, dimana sel ini menghasilkan limfokinesis yang dapat menolak keberadaan benda asing (Ganong, 1979). I. Limfosit

Limfosit merupakan satu dari beberapa jenis sel darah putih (leukosit) dalam tubuh manusia. Terdapat sekitar 4000 – 11000 sel darah putih per μl darah manusia.

Tabel 1. Komposisi sel darah putih manusia Sel / μl

( rata-rata )

Kira-kira Batas normal

Persentase

jumlah total sel darah putih Total sel darah putih 9000 4000 – 11000

Neutrofil 5400 3000 – 6000 50 – 70

Eosinofil 275 150 – 300 1 – 4

Basofil 35 0 – 100 0.4

Limfosit 2750 1500 – 4000 20 – 40

Monosit 540 300 – 600 2 – 8


(29)

Sel limfosit merupakan sel dengan inti yang besar dan bulat serta memiliki sedikit plasma. Telah dihitung bahwa pada manusia sekitar 3.5 x 1010 limfosit setiap hari masuk dalam sirkulasi darah. Menurut Guyton (1987), persentase limfosit di dalam darah putih adalah sekitar 30 %. Menurut Sheeler dan Bianchi (1982), sel limfosit berperan dalam sistem perlindungan tubuh dengan mensintesis dan mensekresi antibodi atau immunoglobulin ke dalam jaringan darah sebagai respon terhadap keberadaan benda asing.

Terdapat tiga kelompok limfosit yang dibedakan berdasarkan fungsinya, yaitu :

1. Limfosit B

Limfosit B merupakan sel yang berasal dari sel stem di dalam sumsum tulang dan tumbuh menjadi sel plasma, yang menghasilkan antibodi. Jumlah sel B limfosit adalah 25% dari total keseluruhan limfosit tubuh. Limfosit B mampu menghasilkan berbagai jenis antibodi yang digunakan untuk melawan antigen (Sheeler dan Bianchi, 1982). Sel ini memiliki reseptor-reseptor pada permukaannya untuk antigen tertentu.

2. Limfosit T

Di bawah mikroskop, morfologi Limfosit T dan B tidak dapat dibedakan. Ada tiga bentuk sel T, yaitu sel Thelper ( Th), Tsupresor ( Ts ), dan T cytotoksik (Tc) (Baratawidjaja, 1991). Sel Thelper atau sel T penolong merupakan sel T yang berperan dalam stimulasi sintesis antibodi dan aktivasi makrofag dengan cara mengsekresikan molekul yang disebut sitokinin. Sel ini bekerja bersama dengan aktivitas antibodi sel B. Sel Tsupresor berperan menekan aktivitas sel T yang lain. Sel ini mempunyai aktivitas dapat menurunkan produksi antibodi. Sel Tcytotoksik (Tc) memiliki kemampuan untuk menghancurkan sel alogenik dan sel sasaran yang terinfeksi patogen intraseluler (Baratawidjaja, 1991).


(30)

3. Limfosit NK ( Natural Killer )

Limfosit ini memiliki ukuran yang agak lebih besar daripada limfosit T dan B. Limfosit ini juga dikenal sebagai Large Granular Lymphocyte (LGL) karena merupakan sel dengan sejumlah besar sitoplasma dengan granula azurofilik (Kuby, 1992).

Uji aktivitas sel limfosit dapat dilakukan secara in vitro dan umumya merupakan indikator respon imun. Uji ketoksikan suatu senyawa dapat juga dilakukan dengan menggunakan limfosit. Limfosit digunakan dalam uji ketoksikan karena sel ini sangat rentan terhadap kerusakan yang diakibatkan oleh senyawa atau benda asing.

J. Kultur Sel

Kultur sel merupakan teknik yang biasa digunakan untuk mengembangbiakan sel di luar tubuh (in vitro). Kultur sel dapat digunakan untuk mengevaluasi dampak yang ditimbulkan dari kondisi abnormal atau dari keberadaan senyawa berbahaya pada sel (Novikoff dan Erick, 1970). Untuk melakukan kultur sel secara in vitro dibutuhkan kondisi pertumbuhan yang mirip dengan kondisi in vivo seperti pengaturan temperatur, konsentrasi O2 dan CO2, pH, tekanan osmosis, dan kandungan nutrisi (Davis, 1994). Kultur sel biasa dilakukan juga pada limfosit. Metode yang digunakan untuk mengkultur limfosit tidak berbeda jauh dengan metode pengkulturan sel yang lain.

Beberapa kelemahan dari teknik kultur sel, yaitu kultur sel harus dilakukan dalam kondisi steril, butuh keahlian dan ketrampilan khusus untuk mengkultur, dan biaya relatif mahal. Keuntungan penggunaan kultur sel adalah lingkungan tempat hidup sel dapat dikontrol, seperti pH, tekanan osmosis, tekanan CO2 dan O2, sehingga kondisi fisiologis dari kultur relatif konstan (Malole, 1990).

Menurut Malole (1990), faktor yang mendukung pertumbuhan sel dalam kultur adalah media pertumbuhan. Fungsi media kultur sel adalah mempertahankan pH, menyediakan lingkungan yang baik dimana sel dapat bertahan hidup, dan juga menyediakan sunbstansi-substansi yang tidak dapat


(31)

disintesis oleh sel itu sendiri. Nutrisi yang biasanya terkandung dalam plasma adalah asam amino, vitamin, glukosa atau gula lain, garam, dan protein tertentu (Novikoff dan Erick, 1970).

Pemilihan media pertumbuhan didasarkan pada kandungan zat gizi yang disesuaikan dengan jenis sel yang ditumbuhkan (Davis, 1994). Media yang sering digunakan untuk mengkultur sel limfosit manusia adalah RPMI-1640. RPMI dikembangkan oleh Roswell Park Memorial Institute. Selain RPMI-1640, terdapat juga RPMI-1630 dan RPMI-1629 ( Davis, 1994 ).

Hal lain yang perlu diperhatikan dalam metode kultur sel adalah konsentrasi sel yang akan dikulturkan. Menurut Bellanti (1993), limfosit tidak dapat bertahan hidup dan tumbuh pada konsentrasi sel yang rendah (kurang dari 1.5 x 105 sel/ml). Jumlah sel limfosit yang akan dikultur sebaiknya sekitar 1-4 x 106 sel/ml. Saat dikulturkan, sel ditambahkan serum sebesar 10%. Serum merupakan suplemen peningkat pertumbuhan yang efektif untuk semua jenis sel karena kompleksitas dan banyak faktor pertumbuhan, perlindungan sel, dan faktor nutrisi di dalamnya. Jenis serum yang biasa digunakan dalam kultur sel adalah serum hewan. Fetal Bovine Serum telah digunakan sebagai suplemen standar. Pada umumnya, serum ditambahkan dengan konsentrasi 5-20 % (Walum, E.,et all, 1990).

Pada pembuatan medium untuk kultur sel, dilakukan penambahan buffer dan antibiotik. Buffer ditambahkan dengan tujuan menjaga keseimbangan pH agar tetap memiliki nilai 7.4. Menurut Freshney (1992), pertumbuhan sel memerlukan pH 7.4. Bila pada proses pertumbuhan, pH lingkungan sekitar lebih rendah dari 7, maka pertumbuhan sel akan terhambat. Buffer yang biasa digunakan adalah NaHCO3. Penambahan antibiotik pada medium bertujuan mencegah kontaminasi pada medium. Faktor utama untuk memilih jenis antibiotik adalah tidak bersifat toksik, memiliki spektrum antimikroba yang luas, ekonomis, dan kecenderungan minimum untuk menginduksi pembentukan mikroba yang kebal.

Sel limfosit membutuhkan O2 untuk bertahan hidup. Kondisi rendah O2 dapat mendorong proses proliferasi, tetapi pertumbuhan tidak berlangsung lama dalam kondisi anaerob. Suhu kultur dipertahankan 370C


(32)

dengan konsentrasi CO2 5%dan O2 95% untuk menyamakan dengan kondisi di dalam tubuh. Selain memberikan pengaruh langsung terhadap pertumbuhan sel, temperatur juga mempengaruhi pH melalui peningkatan kelarutan CO2 dan melalui perubahan ionisasi dan dari pH buffer (Freshney,1994).

K. Proliferasi Sel Limfosit

Proliferasi merupakan fungsi biologis, yaitu proses diferensiasi dan pembelahan sel secara mitosis. Respon proliferasi sel limfosit yang diuji pada sistem in vitro dapat digunakan untuk menggambarkan fungsi limfosit dan status imun individu (Fletcher et al.,1994)

Proliferasi sel limfosit dapat diinduksi oleh suatu senyawa yang disebut mitogen. Tidak seperti immunogen yang hanya mengaktivasi reseptor spesifik pembawa limfosit, aktivitas mitogen adalah tidak spesifik. Beberapa mitogen hanya mampu menginduksi proliferasi sel limfosit B, sedangkan beberapa yang lain hanya mampu menginduksi sel limfosit T, tetapi ada juga sebagian kecil yang mampu menginduksi keduannya secara bersamaan.

Sejumlah mitogen yang umumnya digunakan adalah lektin. Lektin memiliki afinitas terhadap gula pada permukaan sel limfosit. Beberapa contoh mitogen yang berasal dari lektin adalah PHA (Phytohaemagglutinin ) dan PWM (Pokeweed). Akan tetapi tidak semua mitogen merupakan lektin, ada beberapa jenis senyawa yang biasa digunakan sebagai mitogen yaitu Concanavalin A (Con A). Senyawa ini berasal dari ekstrak tanaman kacang jack (Conavalin ensiformis). Mitogen ini menginduksi proliferasi sel limfosit T. Senyawa lain yang berperan sebagai mitogen adalah pokeweed (PWM), senyawa ini diekstrak dari tanaman pokeweed (Phytolacca americana). Mitogen pokeweed dapat menginduksi proliferasi sel limfosit T dan B secara bersama-sama (Tizard, 1988).

Pengamatan jumlah sel yang mati dan tingkat proliferasi sel limfosit yang telah ditambahkan mitogen dapat diamati menggunakan pewarna MTT (3-[4,5-Dimethylthiazol-2-yl]-2,5-diphenyltetrazolium bromide) atau terazole. Prinsip dari metode ini adalah konversi dari garam tetrazolium


(33)

(MTT) yang berwarna kuning menjadi senyawa formazan yang berwarna biru oleh aktivitas enzim suksinat dehidrogenase oleh mitokondria sel hidup. Metode MTT ini menggunakan enzim atau substrat yang spesifik (Davis, 1994). Senyawa yang terbentuk kemudian dihitung absorbansinya menggunakan microplate reader. Enzim suksinat dehidrogenase merupakan enzim yang disintesis hanya pada sel hidup. Jumlah formazan yang dihasilkan proporsional dengan jumlah sel limfosit yang hidup sehingga dengan metode pewarnaan MTT dapat diketahui jumlah sel limfosit hidupnya.

Selain dengan metode pewarnaan MTT, metode pengujian jumlah sel hidup dapat juga menggunakan metode pewarnaan biru tripan. Biru tripan merupakan larutan buffer isotonik (Sharper, 1988). Pada metode ini, sel yang hidup dapat dibedakan dengan sel mati. Sel hidup akan tidak berwarna dan berbentuk bulat, sedangkan sel mati akan berwarna biru dan mengkerut. Sel mati akan berwarna biru karena menyerap biru tripan.


(34)

III. BAHAN DAN METODE

A. BAHAN DAN ALAT 1. BAHAN

Bahan-bahan utama yang digunakan adalah daun ceremai, daun delima putih, daun jati belanda, bunga kecombrang, dan daun kemuning. Tanaman yang digunakan adalah tanaman muda. Bahan-bahan utama diperoleh dari Balitro, Bogor. Bahan kimia yang dipakai untuk ekstraksi adalah aquades, etanol 96%, dan kertas saring Whatman No.42. Bahan-bahan yang digunakan untuk isolasi limfosit dan kultur sel adalah darah dari donor yang sehat, RPMI-1640 (Sigma. USA), aquades, etanol 70%, antibiotik gentamycin, fycoll-histopaque (Sigma, USA), biru tripan, larutan mitogen (Con A dan LPS) pada konsentrasi 10µg/ml, PBS (Phospat Buffer Saline), NaHCO3 anhidrous, EDTA 0.1%, aquabides, 3-[4,5-Dimethylthiazol-2-yl]-2,5-diphenyltetrazolium bromide (MTT) (Sigma, USA), dan HCL-isopropanol 0.04 N. Bahan kimia yang dipakai untuk analisis kimia K2SO4, HgO, H2SO4 pekat, NaOH-Na2S2O3, asam borat, HCl 0.02 N, indikator metil merah dan metil biru, dan aquades. Bahan kimia yang digunakan untuk analisis antioksidan adalah larutan DPPH 3 mM segar, metanol, HPO3, asam askorbat, dan larutan buffer asetat (campuran Na-asetat dan asam asetat). Bahan kimia yang digunakan untuk analisis total fenol adalah etanol, air deion, pereaksi Folin Cioucalteceau 50%, Na2CO3 5%, dan asam tanat. Bahan kimia lain yang digunakan adalah KmnO4 dan larutan formaldehid.

2. ALAT

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi alat untuk ekstraksi dan persiapan sampel, yaitu blender kering, peralatan gelas, kompor, panci, kain saring, rotary vacuum evaporator, syringe, membran steril 0.22 μm (Sartorius), dan tabung eppendorf. Alat-alat yang digunakan untuk isolasi limfosit dan kultur sel adalah tabung vacutainer steril, sentrifuse CR412, tabung sentrifuse steril 15 ml disposible (Nunc),


(35)

mikropipet, mikrotip, vorteks, hemasitometer (Bright-line), mikroskop (Olympus CH 20), lempeng mikrokultur (96 well), laminar flow hood, inkubator VWR Scientific (CO2 5 %, 37oC), dan Spectrophotometer Microplate Reader (Bio-rad model 550). Alat-alat yang digunakan untuk analisis kimia adalah oven kering, oven vakum, gegep, neraca analitik, erlenmeyer 100 ml, cawan alumunium, labu kjedahl, pipet 5 ml, 3 ml, dan 10 ml, alat dekstruksi, alat destilasi, buret, gelas piala, sudip, dan gelas pengaduk. Alat-alat yang digunakan untuk analisis antioksidan dan total fenol adalah spektrofotometer, kuvet, tabung reaksi, gelas piala, botol gelap, mikropipet, pipet 5 ml, dan vorteks.

B. METODE PENELITIAN

Secara garis besar, penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap persiapan meliputi pembuatan ekstrak tanaman yang diujikan dan isolasi sel limfosit, tahap analisis kimia, dan tahap pengujian toksisitas serta daya imunomodulator ekstrak kelima tanaman terhadap proliferasi sel limfosit manusia secara in vitro. Analisis kimia terdiri dari analisis kadar air, analisiss kadar protein, analisis kadar total fenol, dan analisis kemampuan antioksidan ekstrak untuk menangkal radikal bebas (kapasitas antioksidan).

Pada analisis kadar air dan kadar protein, bahan yang diujikan adalah bahan segar kelima tanaman tersebut, sedangkan untuk analisis kadar total fenol, analisis kapasitas antioksidan, dan pengujian toksisitas serta daya imunomodulator, bahan yang diujikan adalah hasil ekstraksi kelima tanaman. Skema tahapan penelitian secara umum dapat dilihat pada Lampiran 1.

1. Tahap Persiapan

a. Ekstraksi bahan segar

Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan dua pelarut, yaitu aquades dan etanol 96 %. Bagian tanaman yang diekstrak adalah daun (untuk kemuning, ceremai, jati belanda, dan delima putih) dan bunga (untuk kecombrang). Perbandingan jumlah bahan yang diekstraksi untuk kelima tanaman tersebut tidak menggunakan perbandingan yang


(36)

sama tetapi jumlah bahan yang digunakan didasarkan pada konsumsi normal masyarakat.

a.1 Ekstraksi dengan pelarut aquades

Metode ekstraksi dilakukan berdasarkan modifikasi dari penelitian yang dilakukan oleh Pandoyo (2000). Bahan yang telah mengalami proses pembersihan kemudian langsung diblender dengan aquades. Jumlah bahan segar yang diekstraksi dibuat menjadi dua kali konsumsi normal masyarakat. Perbandingan antara jumlah tanaman dan pelarut yang diekstraksi dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Perbandingan bahan segar dan pelarut yang diekstrak Tanaman Bahan segar (g) Pelarut (ml)

Daun ceremai 40 200

Daun kemuning 40 200

Daun delima putih 20 200

Daun jati belanda 15 150

Bunga kecombrang 40 200

Setelah diblender, campuran bahan dan aquades tersebut kemudian dipanaskan pada suhu 80oC selama 10 menit. Setelah itu, sampel diangkat dan disaring menggunakan kain saring. Hasil saringan kemudian disentrifus pada 2000 rpm selama 10 menit dengan tujuan untuk memisahkan padatan yang masih tersisa. Supernatan yang diperoleh kemudian dipanaskan kembali pada suhu 800C sampai diperoleh volume akhir ekstrak 10 ml.

a.2 Ekstraksi dengan pelarut etanol (Marliyati et.al, 2005)

Perbandingan antara jumlah tanaman dan pelarut yang diekstraksi dapat dilihat pada Tabel 2. Bahan yang sudah melalui


(37)

proses pembersihan kemudian langsung diblender tanpa ditambahkan etanol. Setelah semua bahan diblender, kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan ditambahkan etanol. Perbandingan antara bahan dan pelarut sama dengan ekstraksi menggunakan aquades. Larutan yang diperoleh kemudian dimaserasi pada suhu ruang dengan kecepatan 35 rpm. Proses maserasi adalah proses ekstraksi dengan cara perendaman dan pengadukan secara terus-menerus selama 24 jam pada suhu ruang. Setelah satu malam, larutan tersebut disaring menggunakan pompa vakum yang diberi kertas saring Whatman No. 1 pada bagian atasnya. Hasil saringan yang diperoleh kemudian dipekatkan menggunakan rotary vacuum evaporator pada suhu 55oC sehingga diperoleh ekstrak pekat dengan volume 10 ml.

b. Isolasi Sel Limfosit (Modifikasi dari Nurrahman et al., 1999)

Darah donor sebanyak 30 ml diambil secara aseptis di klinik Farfa, Dramaga, Bogor oleh seorang suster. Darah kemudian dimasukkan ke dalam tabung vacuntainer steril. Darah tersebut kemudian dipindahkan ke dalam tabung sentrifus, pemindahan darah ini dilakukan secara aseptis di dalam laminar hood untuk menjamin keaseptisan proses.

Pemisahan limfosit awal dilakukan dengan pemusingan (sentrifuse) darah 111.11 x g selama 10 menit. Setelah itu, diambil lapisan buffycoat menggunakan mikropipet dan dilewatkan secara hati-hati di atas ficoll melalui dinding tabung. Dilakukan kembali sentrifuse 185.16 x g selama 30 menit. Gambar darah hasil pemisahan dapat dilihat pada Gambar 7. Diambil lapisan bagian atas dan dicuci dengan penambahan 5 ml larutan media RPMI. Campuran ini kemudian disentrifus 111.11 x g selama 10 menit dan dicuci sebanyak dua kali, sehingga didapatkan sel limfosit. Suspensi sel limfosit kemudian dihitung menggunakan haemacytometer dengan pewarnaan biru tripan


(38)

dan ditepatkan menjadi 2 x 106 sel / ml. Setelah itu ditambahkan serum darah AB sebanyak 10 %.

Suspensi sel yang diambil

Lapisan buffycoat

Sel darah merah

Gambar 7. Hasil pemisahan sel darah manusia N = A x FP x 104 sel / ml

Keterangan :N = jumlah sel limfosit / ml

A = jumlah sel hidup rata-rata per diagonal haemacytometer

FP = faktor Pengenceran 2. Tahap Analisis Kimia

Analisis kimia yang dilakukan adalah analisis kadar air, kadar protein, kadar total fenol, dan kapasitas antioksidan. Pengujian kadar air dan kadar protein dilakukan menggunakan bahan segar tanaman. Kelima tanaman tanpa melalui proses ekstraksi, dianalisis kadar air dan kadar protein menggunakan metode yang sudah ditentukan. Pengujian kadar total fenol dan kapasitas antioksidan dilakukan menggunakan ekstrak kelima tanaman.


(39)

2.1. Analisis kadar air metode oven (AOAC,1984)

Cawan aluminium dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan didinginkan dalam desikator selama 10 menit, kemudian ditimbang. Kelima tanaman (daun delima putih, daun kemuning, daun jati belanda, daun ceremai, dan bunga kecombrang) dipotong kecil-kecil kemudian ditimbang kurang lebih 5 gram dalam cawan. Selanjutnya cawan beserta isinya ditempatkan dalam oven selama 6 jam. Kemudian cawan dipindahkan ke desikator, lalu didinginkan. Setelah dingin ditimbang kembali dan diulang proses pengeringan dalam oven sampai diperoleh berat yang tetap.

Kadar air diperoleh dengan perhitungan sebagai berikut :

Keterangan : a = berat cawan dan sampel akhir (g) b = barat cawan (g)

c = berat sampel awal (g)

2.2. Analisis kadar protein (AOAC,1984)

Masing-masing tanaman (daun delima putih, daun kemuning, daun jati belanda, daun ceremai, dan bunga kecombrang) ditimbang 0.1-0.15 gram. Setelah itu dimasukkan masing-masing ke dalam labu Kjeldahl dan ditambahkan 1.9±0.1 g K2SO4, 40±10 mg HgO, dan 2.0±0.1 ml H2SO4. Contoh kemudian dididihkan sampai cairan menjadi jernih (sekitar 1 jam). Larutan jernih ini kemudian dipindahkan ke alat destilasi. Labu Kjeldahl dicuci dengan air (1-2 ml). Air cucian dimasukkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan 10 ml larutan NaOH-Na2S2O3. Digunakan asam standar yaitu asam borat yang telah ditambahkan indikator campuran merah metil dan metil biru. Destilasi dihentikan saat terjadi perubahan warna asam

Kadar air (bb) : c – (a-b) x 100 % c

Kadar air (bk) : c – (a-b) x 100 % (a-b)


(40)

standar dari biru violet menjadi hijau. Cairan hasil destilasi (dalam erlenmeyer) kemudian dititrasi oleh HCl 0.02 N. Titik akhir titrasi ketika warna titrat berubah dari hijau menjadi biru keunguan/abu-abu.

Kadar protein diperoleh dengan perhitungan sebagai berikut :

2.3. Analisis Total Fenol

Analisis terhadap total fenol kelima ekstrak tanaman dilakukan menurut metode Chandler dan Dodds yang dimodifikasi (Shetty et.al , 1995). Sebanyak 1 ml ekstrak tanaman (daun delima putih, daun kemuning, daun jati belanda, daun ceremai, dan bunga kecombrang)masing-masing diencerkan dengan perbandingan 1:100. Kemudian sebanyak 1 ml masing-masing ekstrak dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah berisi 1 ml etanol 95 % dan 5 ml air bebas ion. Pereaksi Folin-Ciocalteceau (50%, 0,5 ml) ditambahkan pada masing-masing sampel. Campuran tersebut kemudian divorteks dan didiamkan selama 5 menit. Setelah 5 menit, ditambahkan 1 ml Na2CO3 5 %, kemudian divorteks dan disimpan selama 60 menit dalam ruang gelap. Sampel dihomogenisasi kembali, dan absorbansinya diukur pada panjang gelombang 725 nm. Standar yang digunakan adalah asam tanat. Dengan konsentrasi 0,5,10,15,20, dan 25 ppm.

2.4. Pengujian Kemampuan Antioksidan untuk Meredam Radikal Bebas (Kapasitas Antioksidan) (Hatano, et.al,1988)

Analisis kapasitas antioksidan dilakukan dengan menggunakan metode DPPH. Sebanyak 2 ml buffer asetat dicampur %N = ( ml HCL sampel – ml HCL blanko ) x N HCL x 14.007 x 100

mg contoh Kadar Protein (KP) % = Faktor Konversi x %N


(41)

dengan 3.75 ml metanol dan 200 μl larutan DPPH. Campuran kemudian divorteks. Setelah itu ditambahkan masing-masing 50 μl ekstrak tanaman (daun delima putih, daun kemuning, daun jati belanda, daun ceremai, dan bunga kecombrang) atau kontrol standar atau kontrol positif. Larutan kemudian divorteks dan didiamkan selama 20 menit di ruang gelap. Absorbansi larutan diukur pada panjang gelombang 517 nm. Kontrol standar yang digunakan adalah metanol, sedangkan kontrol positif yang digunakan adalah adalah asam askorbat dengan konsentrasi 50 , 100 , 200 , 500 , dan 1000 ppm. Kapasitas antioksidan diperoleh dengan perhitungan sebagai berikut :

Kapasitas antioksidan (%) : [ A kontrol (-) – A sampel ] x 100 % A kontrol (-)

Antioksidan yang terdapat pada ekstrak tanaman selain dinyatakan dengan persen kapasitas antioksidan, dinyatakan juga dalam bentuk AEAC (Ascorbic acid Equivalent Antioxidant Capacity). Dibuat kurva standar asam askorbat dengan perbandingan antara kapasitas antioksidan (%) dan konsentrasi asam askorbat (ppm). Ascorbic acid Equivalent Antioxidant Capacity (AEAC) ekstrak ditentukan menggunakan persamaan kurva standar asam askorbat yang diperoleh, dan dinyatakan dalam mg / l AEAC.

3. Pengujian Toksisitas dan Daya Imunomodulator Ekstrak Kelima Tanaman Terhadap Proliferasi Sel Limfosit Manusia

3.1 Persiapan ekstrak kelima tanaman untuk kultur sel

Ekstrak yang digunakan untuk pengujian toksisitas dan daya imunomodulator diencerkan pada tiga taraf konsentrasi dengan media RPMI-1640 sebagai media pelarut, kemudian disterilisasi dengan membran 0.22 μm. Tiga taraf konsentrasi itu adalah C1, C2, dan C3. C1 adalah setengah konsentrasi dari konsumsi normal, C2 adalah konsentrasi pada konsumsi normal, dan C3 adalah dua kali


(42)

konsentrasi normal masyarakat. Konsentrasi normal ekstrak tanaman yang diujikan dapat dilihat pada Tabel 11

3.2. Metode biru tripan (Meiriana, 2006)

Pada masing-masing sumur ditambahkan sebanyak 20 μl ekstrak dengan tiga taraf konsentrasi dan suspensi sel sebanyak 80 μl (suspensi sel telah ditambahkan 10% serum terlebih dahulu). Sebagai kontrol standar, ke dalam setiap sumur dimasukkan suspensi sel sebanyak 80 μl dan 20 μl RPMI. Untuk kontrol positif, tiap sumur dimasukkan 80 μl suspensi sel dan 20 μl mitogen (Con A atau LPS). Konsentrasi mitogen yang digunakan adalah 10 μg mitogen / μl RPMI-1640. Kultur kemudian diinkubasi pada suhu 37oC (5% CO2, 95% O2) dan RH 96% selama 72 jam. Pengukuran jumlah sel mati dihitung dengan bantuan pewarnaan biru tripan menggunakan haemocytometer.

3.3. Metode MTT (Meiriana, 2006)

Langkah-langkah yang dilakukan sama dengan metode biru tripan, hanya saja 4 jam sebelum masa inkubasi berakhir, kultur sel ditambahkan 10 μl larutan MTT 0.5 %. Setelah masa inkubasi berakhir, pada masing-masing sumur kultur sel, ditambahkan dengan 100 μl HCL-Isopropanol 0.04 N untuk melarutkan kristal formazan yang terbentuk. Setelah itu dilakukan pengukuran absorbansi pada panjang gelombang 570 nm menggunakan Spectrophotometer Microplate Reader. Nilai absorbansi yang terbaca bersifat proporsional terhadap jumlah sel yang hidup. Indeks Stimulasi (I.S) dihitung menggunakan persamaan berikut :


(43)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Ekstraksi

Pada penelitian ini dilakukan ekstraksi terhadap lima tanaman yaitu kemuning, ceremai, delima putih, jati belanda, dan kecombrang. Untuk kemuning, delima putih, jati belanda, dan ceremai, bagian yang diekstrak adalah daun, sedangkan bagian yang diekstrak dari kecombrang adalah bunga. Pemilihan bagian tanaman tersebut berdasarkan pemanfaatan bagian tanaman secara tradisional oleh masyarakat.

Ekstraksi adalah metode pemisahan dimana komponen-komponen terlarut dari suatu campuran dipisahkan dari komponen-komponen yang tidak larut dengan pelarut yang sesuai (Leniger dan Beverloo, 1975). Metode paling sederhana untuk mengekstraksi padatan adalah dengan mencampur seluruh bahan dengan pelarut, lalu memisahkan larutan dengan padatan tidak terlarut. Pelarut yang digunakan untuk ekstraksi pada penelitian ini adalah aquades dan etanol 96 %.

Ekstrak dengan pelarut aquades digunakan sebagai pendekatan terhadap keadaan nyata konsumsi tanaman tersebut sehari-hari secara umum, karena secara tradisional pengkonsumsian kelima tanaman tersebut menggunakan pelarut air. Pelarut etanol digunakan karena memiliki polaritas lebih tinggi daripada aquades sehingga akan lebih banyak melarutkan komponen polar. Etanol mudah untuk melarutkan senyawa resin, lemak, minyak, asam lemak, dan senyawa organik lainnya, serta merupakan pelarut yang aman dalam arti tidak toksik (Somaatmaja, 1981), selain itu untuk mengekstrak suatu bahan yang belum diketahui kandungan kimianya secara jelas diharuskan menggunakan pelarut etanol atau air untuk alasan keamanan (DepKes, 2000).

Penelitian lain yang telah dilakukan dengan menggunakan pelarut aquades dan etanol 96% telah dilakukan oleh Nora (2003). Ekstrak tanaman yang digunakan adalah daun kumis kucing dan bunga kenop. Perbandingan antara jumlah tanaman dan pelarut pada saat ekstraksi berdasarkan konsumsi normal masyarakat. Hasil ekstraksi kemudian diujikan pada sel limfosit tikus


(44)

untuk mengetahui tingkat toksisitas dan daya imunomodulator ekstrak. Hasil yang diperoleh adalah semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun kumis kucing yang dikulturkan pada kultur sel limfosit, indeks stimulasi proliferasi sel limfosit akan semakin meningkat. Indeks proliferasi tertinggi terjadi pada konsentrasi ekstrak daun kumis kucing 38.4 mg / ml.

Perbandingan antara bahan dan pelarut didasarkan pada konsumsi sehari-hari masyarakat. Tujuan dari penentuan perbandingan bahan berdasarkan konsumsi normal adalah mengetahui tingkat efektifitas kelima tanaman ketika dikonsumsi dalam jumlah normal terhadap keseluruhan pengujian yang akan dilakukan. Perbandingan konsumsi sehari-hari bahan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Konsumsi normal masyarakat terhadap kelima tanaman

Tanaman Konsumsi Normal

Bahan segar (g) Pelarut (ml)

Daun ceremai 3 – 25a 200

Daun kemuning 20 – 60b 200

Daun delima putih 5 – 10c 200

Daun jati belanda 5 – 10d 150

Bunga kecombrang 20-50e 200

a

IPTEKa,2005 b

IPTEKb,2005 c

IPTEKc,2005 d

IPTEKd,2005 e

DepKes,2005

Jumlah bahan segar yang diekstraksi pada penelitian ini, dibuat menjadi dua kali konsumsi normal masyarakat. Perbandingan antara jumlah tanaman dan pelarut yang diekstraksi dapat dilihat pada Tabel 2. Bahan yang diekstraksi merupakan bahan segar. Hal ini mengacu pada cara ekstraksi tradisional masyarakat saat mengkonsumsi kelima tanaman tersebut, yaitu bahan segar.

Bagian tanaman (daun delima putih, daun kemuning, daun jati belanda, daun ceremai, dan bunga kecombrang) yang akan diekstrak mengalami proses


(45)

penghalusan menggunakan blender dengan maksud memperluas daya pelarutan sampel, sehingga pelarutan komponen pada sampel dapat lebih merata.

Ekstraksi menggunakan pelarut aquades berdasarkan modifikasi dari penelitian Pandoyo (2000). Pada ekstraksi menggunakan pelarut aquades, dilakukan pemanasan pada suhu 80oC selama 10 menit. Tujuannya adalah mempercepat proses pelarutan dan menginaktivasi enzim tertentu yang dapat menyebabkan terjadinya reaksi oksidasi sehingga perubahan kimiawi pada ekstrak dapat dicegah contohnya proses oksidasi yang dilakukan oleh enzim fenolase (Giner, 2001). Penggunaan suhu yang agak tinggi dalam waktu yang relatif singkat bertujuan mencegah kerusakan komponen aktif ekstrak dalam jumlah besar. Setelah itu, sampel kemudian disaring menggunakan kain saring. Filtrat yang diperoleh kemudian disentrifus pada 2000 rpm selama 10 menit dengan tujuan mengendapkan padatan yang masih tersisa. Ekstraksi menggunakan pelarut etanol dilakukan dengan metode maserasi, yaitu proses ekstraksi dengan cara perendaman dan pengadukan secara terus menerus selama 24 jam pada suhu ruang. Setelah dimaserasi, ekstrak dipisahkan dari ampas dengan menggunakan pompa vakum. Pada tahap akhir, baik untuk ekstrak yang menggunakan pelarut aquades ataupun etanol, dilakukan pemisahan ekstrak dari pelarut, untuk pelarut aquades dilakukan pemisahan dengan memanaskan sampel pada suhu 80oC sampai diperoleh volume akhir 10 ml, sedangkan untuk etanol pemisahan dilakukan menggunakan rotary evaporator pada suhu 55oC sehingga diperoleh volume akhir 10 ml. Penentuan suhu 55oC berdasarkan metode ekstraksi yang dilakukan oleh Marliyati et.al (2005). Menurut Oher (2002), kisaran suhu yang biasa digunakan untuk memekatkan etanol menggunakan rotary evaporator adalah 40oC – 55oC. Pada kisaran suhu tersebut, etanol sudah mulai menguap.

Pada penelitian ini, proses ekstraksi dihentikan setelah diperoleh volume ekstrak 10 ml. Pada volume 10 ml diharapkan residu pelarut di ekstrak dalam jumlah kecil sehingga tidak memberikan efek yang signifikan pada hasil penelitian walaupun kemungkinan sisa pelarut tersebut juga mempengaruhi pengujian toksisitas pada sel limfosit. Hasil ekstraksi


(46)

kemudian dihitung bobotnya pada volume 10 ml. Bobot hasil ekstraksi dapat dilihat secara lengkap pada Tabel 4. Contoh perbandingan warna antara ekstrak dengan pelarut aquades dan etanol dapat dilihat pada Gambar 8.

Tabel 4. Bobot hasil ekstraksi kelima tanaman pada volume 10 ml Bahan Bobot hasil ekstraksi (gr)

Etanol Aquades Daun ceremai

Daun kemuning Bunga kecombrang Daun delima putih Daun jati belanda

9.42 9.36 9.31 8.94 8.80

10.50 11.70 10.90 11.43 8.89

a. ceremai air b. ceremai etanol c. kemuning air d. kemuning etanol Gambar 8. Perbandingan warna antara hasil ekstraksi menggunakan pelarut

aquades dan etanol

Pada penelitian ini, tidak dilakukan pengujian untuk mengetahui residu etanol ataupun aquades yang tersisa pada ekstrak. Pemekatan sisa pelarut dapat dilakukan menggunakan gas N2, tetapi pada penelitian ini tidak dilakukan. Indikator terdapatnya residu etanol dalam jumlah kecil dapat diketahui dari tidak terdeteksinya lagi aroma etanol pada ekstrak seperti pada awal proses ekstraksi. Menurut Sandres (1995), etanol merupakan salah satu jenis pelarut yang diizinkan untuk digunakan dalam pengujian walaupun masih tersisa residu di dalamnya. Pelarut lain yang juga diizinkan adalah propanol. Walaupun masih diizinkan, tetapi harus juga diperhatikan konsentrasi ekstrak yang diujikan. Penelitian untuk mengetahui efek yang ditimbulkan oleh residu etanol terhadap proliferasi sel limfosit B manusia


(47)

telah dilakukan Alexander, et.all (2003). Penelitian ini dilakukan menggunakan tanaman Cissampelos s.eichl. Hasil yang diperoleh penambahan ekstrak tanaman pada konsentrasi 100 mg/ml ke dalam kultur sel limfosit ternyata tidak mempengaruhi proliferasi sel limfosit. Ekstrak yang ditambahkan ke dalam kultur masih mengandung residu etanol dalam jumlah yang tidak diketahui.

2. Analisis Kimia Kadar Air

Air merupakan komponen terbesar yang terdapat secara umum pada setiap tanaman tropis. Air berperan sebagai pembawa zat-zat makanan dan sisa-sisa metabolisme, sebagai media reaksi yang menstabilkan pembentukan biopolimer, dan sebagainya (Winarno, 1992). Kadar air suatu bahan pangan erat kaitannya dengan mutu bahan dan kecepatan kerusakan bahan, baik yang sifatnya mikrobiologi ataupun kimia.

Penentuan kadar air merupakan suatu cara untuk mengukur banyaknya air yang terdapat di dalam bahan pangan. Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk menentukan kadar air, diantaranya metode oven vakum, oven kering, destilasi azeotropik, dan lain-lain. Pemilihan metode tersebut disesuaikan dengan sampel yang akan diukur. Pada penelitian ini, dilakukan penentuan kadar air menggunakan metode oven kering. Suhu oven yang digunakan untuk mengeringkan memiliki kisaran antara 105-110oC.

Untuk menghindari terjadinya kesalahan positif, yaitu adanya penambahan kadar air sampel yang berasal dari cawan yang digunakan, sebelumnya dilakukan pengeringan terhadap cawan tersebut. Sampel yang akan diukur kadar airnya kemudian dimasukkan ke dalam oven selama enam jam. Setelah enam jam, sampel diukur bobotnya, kemudian dimasukkan kembali ke dalam oven sampai diperoleh bobot yang tetap.

Pada penelitian ini, perhitungan kadar air kelima tanaman menggunakan bahan segar tanaman tersebut artinya bahan yang diujikan


(48)

tidak mengalami proses pengeringan terlebih dahulu. Kelima tanaman tanpa mengalami proses ekstraksi, langsung dihitung menggunakan metode perhitungan kadar air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bunga kecombrang memiliki kadar air tertinggi bila dibandingkan dengan keempat sampel lain, yaitu 92.30 % (b.b), sedangkan daun delima putih memiliki kadar air terendah yaitu 58.26 % (b.b). Hasil perhitungan kadar air lebih lengkap dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Kadar air bahan segar dari kelima tanaman yang digunakan

Bahan Kadar Air

(% b.b) Daun ceremai 65.20 Daun kemuning 67.96 Bunga kecombrang 92.30 Daun jati belanda 63.02 Daun delima putih 58.26

Sebagai pembanding, telah dilakukan penelitian oleh Ayu (2004), diperoleh hasil bahwa kadar air daun jati belanda basah sekitar 72.92 %, sedangkan kadar air daun kemuning sekitar 69.82 %. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Anggraeni (2007), menunjukkkan bahwa kadar air bunga kecombrang berdasarkan bobot basahnya adalah 90.23 %. Kadar air tanaman lain diantaranya kadar air daun kumis kucing berdasarkan bobot basah adalah 81.42 % dan kadar air bunga knop berdasarkan bobot basah adalah 73.13 % (Nora, 2003). Kadar air daun sambiloto adalah 79.5 %, kadar air daun saga adalah 83.39 %, dan kadar air daun pare adalah 83.25 % (Jurai, 2007).

Kadar Protein

Analisis kadar protein pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode Kjeldahl. Alasan pemilihan metode ini karena dapat diaplikasikan untuk semua jenis bahan pangan, sederhana, tidak mahal,


(49)

dan cukup akurat untuk menghitung protein kasar (Winarno, 1992). Pada metode ini, dilakukan pengukuran terhadap kadar nitrogen total dalam sampel. Prinsip metode ini adalah mula-mula sampel didekstruksi dengan asam sulfat pekat menggunakan katalis. Amonia yang terjadi ditampung dan dititrasi dengan bantuan indikator (Winarno, 1992).

Penentuan kadar protein dilakukan dengan menggunakan bahan segar dari setiap tanaman yang diujikan. Setiap tanaman tanpa mengalami proses ekstraksi, langsung dihitung kadar proteinnya. Kadar protein kelima tanaman yang diujikan dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Kadar protein dari bahan segar kelima tanaman yang digunakan

Bahan Kadar Protein

(%)

Daun ceremai 6.40

Daun kemuning 4.65 Bunga kecombrang 1.38 Daun jati belanda 6.05 Daun delima putih 5.88

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa bunga kecombrang memiliki kadar protein terendah yaitu sekitar 1.38 % berdasarkan bobot basahnya, sedangkan daun ceremai memiliki kadar protein tertinggi yaitu 6.40 % perbobot basahnya. Kadar protein beberapa daun-daunan menurut Muchtadi dan Sugiyono (1989), yaitu daun bayam sebesar 3.5 % (b.b), daun pepaya sebesar 8.0 % (b.b), daun singkong sebesar 6.8 % (b.b). Sebagai pembanding, berdasarkan penelitian Ayu (2004), diketahui kadar protein jati belanda sebesar 8.44 % (b.b) dan kadar protein kemuning sebesar 7.38 % (b.b), sedangkan berdasarkan penelitian Daroini (2006), diketahui bahwa kadar protein daun ceremai berdasarkan bobot keringnya adalah 12.65 %. Kadar protein daun saga adalah 16.48 %, kadar protein daun sambiloto adalah 20.79 %, dan kadar protein daun pare adalah 12.09 % (Jurai, 2007).


(50)

Kekurangan protein dan asam amino sangat mengganggu sistem kekebalan tubuh terutama imunitas seluler, fungsi fagositosis, kadar komplemen, antibodi yang disekresi dan afinitas antibodi (Zakaria, 1996). Dengan mengetahui adanya pengaruh kandungan protein terhadap sistem imun, maka dianggap perlu dilakukan analisis terhadap kadar protein pada kelima tanaman yang diujikan. Selain itu, perhitungan protein juga berkaitan erat dengan kandungan fenol di dalam suatu tanaman. Fenol bebas dan produk oksidasinya diketahui berinteraksi dengan protein bahan pangan dan menghambat aktivitas enzim-enzim seperti oksidase, tripsin, arginase, dan lipase (Haslam, E. et.al., 1992). Interaksi ini dapat mempengaruhi metabolisme komponen fenolik atau protein itu sendiri di dalam tubuh atau secara invitro.

Walaupun setiap bahan yang diujikan memiliki kadar protein yang lebih rendah dibandingkan kadar protein yang berasal dari sumber protein contohnya kacang hijau. Kacang hijau memiliki kadar protein sekitar 20.7 % (b.b) (Muchtadi dan Sugiyono,1989). Namun apabila dikonsumsi dalam jumlah yang sesuai, diharapkan dapat memberikan sumbangan protein bagi tubuh.

Kadar Total Fenol

Komponen fenol dapat berfungsi sebagai antioksidan karena dapat menghentikan reaksi rantai radikal bebas pada oksidasi lipid (Kochlar dan Russell,1990). Aktivitas fenol sebagai antioksidan berhubungan dengan kemampuannya untuk menyumbangkan atom hidrogen (Singh et.al, 2002).

Pada penelitian ini, standar yang digunakan untuk penentuan total fenol adalah asam tanat. Data kurva standar dapat dilihat pada Tabel 7. Persamaan yang diperoleh dari kurva standar akan digunakan untuk menentukan total fenol dari ekstrak yang diujikan.


(51)

Tabel 7. Data kurva standar asam tanat

Standar [ ] ppm Absorbansi

Asam Tanat 0 5 10 15 20 25 0.000 0.095 0.160 0.240 0.298 0.386

Ekstrak yang akan dihitung kandungan fenolnya harus diencerkan terlebih dahulu. Pada umumnya sebelum digunakan, ekstrak diencerkan dengan perbandingan antara 1:500 sampai 1:1000 (Singh et.al, 2002). Pada penelitian ini, faktor pengenceran yang digunakan adalah 1:100 mempertimbangkan jumlah fenol yang terdapat di dalam ekstrak. Pengenceran diperlukan karena kandungan fenol yang tinggi sehingga absorbansi tidak dapat terbaca di spektrofotometer. Hasil pengukuran kadar total fenol pada ekstrak kelima tanaman dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Kadar total fenol ekstrak kelima tanaman pada konsumsi normal masyarakat

Ekstrak Tanaman

[ ] Fenol ( x 102 ppm)

Etanol Aquades Daun ceremai

Daun kemuning Bunga kecombrang Daun jati belanda Daun delima putih

32.24 77.84 25.84 15.51 81.37 41.57 44.11 16.57 4.44 62.31

Secara keseluruhan, ekstrak dengan pelarut etanol cenderung memiliki kadar fenol yang lebih tinggi dibandingkan dengan pelarut aquades (Tabel 8). Hal ini disebabkan karena komponen fenolik mudah larut pada pelarut organik yang bersifat polar seperti etanol (Hounghton


(52)

dan Raman, 1998). Terjadi penyimpangan pada ekstrak daun ceremai. Daun ceremai yang diekstrak menggunakan etanol memiliki total fenol lebih rendah dibanding ekstrak dengan aquades. Hal ini dapat disebabkan karena fenol yang terdapat pada daun ceremai merupakan fenol yang terikat dengan senyawa lain. Menurut Suradikusuma (1989), senyawa fenol yang berikatan dengan protein ataupun gula glikosida cenderung mudah larut pada pelarut aquades dibandingkan pelarut yang lain.

Ekstrak yang memiliki kandungan fenol tertinggi adalah ekstrak daun delima putih dengan etanol yaitu sebesar 81.37 x 102 ppm (mg/l ekstrak), sedangkan ekstrak dengan total fenol terendah adalah ekstrak daun jati belanda dengan aquades yaitu 4.44 x 102 ppm (mg/l ekstrak). Sebagai pembanding, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Anggraeni (2007), diketahui bahwa kadar total fenol bunga kecombrang menggunakan pelarut aquades adalah 5.41 x 102 ppm. Penelitian lain tentang kadar total fenol tanaman lain adalah total fenol pada daun cincau hijau yang diekstrak dengan aquades adalah 5.7 x 102 ppm dan dengan pelarut etanol 1.2 x 102 ppm (Pandoyo, 2000), sedangkan kadar total fenol pada bunga kenop adalah 3.40 x 103 ppm (Nora, 2003).

Fungsi fisiologis senyawa fenol antara lain sebagai antikanker, antimikroba, antioksidan, dan merangsang sistem daya tahan tubuh. Oleh karena itu, senyawa fenol dapat menjadi senyawa yang melindungi limfosit dari senyawa asing seperti radikal bebas (Singh et.al, 2002).

Pengujian Kemampuan Antioksidan untuk Meredam Radikal Bebas (Kapasitas Antioksidan)

Pada penelitian ini, perhitungan kapasitas antioksidan dilakukan dengan menggunakan metode DPPH (2,2-diphenyl-1-picrylhydrazil atau 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil). Metode ini dipilih karena cukup sederhana untuk menghitung kapasitas antioksidan dan hanya membutuhkan waktu singkat. Prinsip kerja dari metode ini adalah proses reduksi senyawa DPPH oleh antioksidan yang menghasilkan pengurangan intensitas warna dari larutan DPPH. Pemudaran warna akan mengakibatkan penurunan nilai


(1)

b.

Ekstrak

etanol

Dosis

2x

1x

0.5x

Ulangan

1 1.18

1.88

2.32

2 2.40

2.90

3.24

3 2.90

3.00

3.30


(2)

Lampiran 5. Kurva Standar Total Fenol

Standar [

]

ppm

(mg/l)

Absorbansi

Asam Tanat

0

5

10

15

20

25

0.000

0.095

0.160

0.240

0.298

0.386

Contoh perhitungan kandungan total fenol pada ekstrak aquades daun ceremai :

Rata-rata nilai absorbansi = 0.635

y = 0.015x + 0.0094

0.635 = 0.015x + 0.0094

X = 41.57 ppm ekstrak

Æ

karena pada awalnya sampel diencerkan 100 x, maka total fenol sampel

sebenarnya adalah 41.57 x 10

2

ppm ekstrak

0, 0 5, 0.095 10, 0.16 15, 0.24 20, 0.298 25, 0.386 y = 0.015x + 0.0094

R2 = 0.9963

0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35 0.4 0.45

0 5 10 15 20 25 30

[ ] (ppm )

A b s o rb an si


(3)

-20

0

20

40

60

80

100

50

100

200

500

1000

Konsentrasi asam askorbat (ppm)

D

aya p

er

ed

am

an

r

ad

ika

l

be

ba

s

(

%

)

Lampiran 6. Kurva Standar asam Askorbat

Standar [

]

ppm

(mg/l)

Absorbansi Daya

peredaman

radikal

bebas (%)

Asam

Askorbat

50

100

200

500

1000

1.180

1.170

1.050

0.778

0.233

2.88

3.70

13.58

36.79

80.82

y = 0.083 x -3.261

Contoh perhitungan kadar AEAC pada ekstrak aquades daun ceremai :

Rata-rata daya peredaman radikal bebas (%) = 85.88 %

y = 0.083 x -3.261

85.88 = 0.083 x -3.261

x = 1003.14 mg/l AEAC


(4)

Lampiran 7.

Inform Concern

INFORM CONCERN

PERNYATAAN KESEDIAAN MENJADI RESPONDEN

PENELITIAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama

: Andal Kuntarso

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pekerjaan

: Mahasiswa Ilmu dan Teknologi pangan (ITP)

NRP

:

F24103112

Alamat

: Pagelaran GG.2 No.9, Ciomas, Bogor

Telepon :

0251-634016

Menyatakan dalam keadaan sehat dan bersedia atau tidak berkeberatan

untuk dilakukan pengambilan darah untuk keperluan penelitian yang berjudul

“Pengaruh ekstrak tanaman ceremai, delima putih, jati belanda, kecombrang, dan

kemuning terhadap proliferasi sel limfosit manusia secara

in vitro

sebagai tahapan

awal menuju minuman fungsional”. Penelitian ini dilakukan dalam rangka

penulisan skripsi oleh Agnes Krismawati / NRP F24103085.

Pengambilan darah dilakukan di klinik praktek dokter evi afifah

darmaga-bogor pada bulan Maret-Mei 2007.

Demikian keterangan ini dibuat untuk digunakan seperlunya.

Bogor,

Mei

2007

Petugas Pengambil Darah

Responden


(5)

Lampiran 8. Foto kultur sel yang ditambahkan ekstrak

a. kultur yang ditambahkan bunga b. Kultur yang ditambahakan ekstrak

kecombrang aquades C1 (1000x) bunga kecombrang aquades C3 (400x)

c. kultur yang ditambahkan daun jati a. kultur yang ditambahkan daun jati

belanda aquades C2 (1000 x)

belanda aquades C3 (400 x )


(6)