• Citra Sosial Komponen ini adalah citra kandidat dalam pikiran pemilih mengenai
“berada” di dalam kelompok social mana atau tergolong sebagai sebuah partai atau kandidat politik. Citra social dapat terjadi oleh banyak factor,
diantaranya demografi meliputi usia, gender dan agama. Sosio ekonomi meliputi pekerjaan dan pendapatan, kultural dan etnik, dan politis-ideologi.
• Perasaan Emosional Perasaan emosional yaitu emosional yang terpancar dari sebuah kontestan
atau kontestan yang ditujukan oleh kebijakan politik yang ditawarkan. • Citra Kandidat
Citra kandidat yaitu mengacu pada sifat-sifat pribadi yang penting dan dianggap sebagai karakter seorang kandidat.
• Peristiwa Mutakhir Ini mengacu pada himbauan peristiwa, isu dan kebijakan yang berkembang
menjelang dan selama kampanye. • Peristiwa Personal
Ini mengacu pada kehidupan pribadi dan peristiwa yang dialami secara pribadi oleh seorang kandidat, misalnya skandal seksual, bisnis, dll.
• Faktor-faktor Epistemis Faktor-faktor epistemis yaitu isu-isu pemilihan yang spesifik yang dapat
memicu keingintahuan para pemilih mengenai hal-hal baru.
1.5.2.5 Tipe-tipe Pemilih
Terdapat dua orientasi dalam diri masing-masing pemilih.
18
Kedua, orientasi ‘ideologi’ yaitu suatu partai atau seorang kontestan akan lebih menekankan aspek-aspek subjektifitas seperti kedekatan nilai, budaya, agama,
Pertama adalah orientasi ‘policy-problem-solving’ yaitu ketika pemilih menilai partai politik atau
seorang kontestan dari kacamata ‘policy-problem-solving’, yang terpenting bagi mereka adalah sejauh mana para kontestan mampu menawarkan program kerja atas
solusi bagi suatu permasalahan yang ada. Pemilih akan cenderung memilih partai politik atau kontestan yang memiliki kepekaan terhadap masalah nasional ataupun
lokal dan kejelasan program kerja. Partai politik atau kontestan yang arah kebijakannya tidak jelas akan cenderung tidak terpilih.
18
Firmanzah. 2007. Marketing Politik Antara Pemahaman dan Realitas. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. hlm 128
Universitas Sumatera Utara
moralitas, norma, emosi dan psikografis. Semakin dekat kesamaan partai politik atau calon kontestan, pemilih jenis ini akan cenderung memberikan suaranya ke partai
politik dan kontestan tersebut. Berdasarkan konfigurasinya, pemilih terbagi menjadi empat, yaitu:
19
1. Pemilih Rasional Pemilih memiliki orientasi tinggi pada ‘policy problem solving’ dan
berorientasi rendah untuk factor ideologi. Pemilih dalam hal ini lebih mengutamakan kemampuan partai politik atau kontestan dalam program
kerjanya. Pemilih jenis ini memiliki cirri khas yang tidak begitu mementingkan ikatan ideology kepada suatu partai politik atau seorang
kontestan. Faktor seperti paham, asal-usul, nilai tradisional, budaya, agama dan psikografis memang dipertimbangkan juga, tetapi bukan hal yang
signifikan. Hal yang terpenting bagi jenis pemilih ini adalah apa yang biasa dan yang telah dilakukan oleh sebuah partai atau seorang kontestan. Oleh
karena itu, ketika sebuah partai politik atau seorang kontestan ingin menarik perhatian pemilih dalam matriks ini, mereka harus mengedepankan solusi
logis akan permasalahan ekonomi, pendidikan, kesejahteraan, social-budaya, hubungan luar negeri, pemerataan pendapatan, disintegrasi nasional dan lain-
lain. Pemilih tipe ini tidak akan segan-segan beralih dari sebuah partai atau seorang kontestan ke partai politik atau kontestan lain ketika mereka
dianggap tidak mampu menyelesaikan permasalahan nasional.
2. Pemilih Kritis Pemilih jenis ini merupakan perpaduan antara tingginya orientasi pada
kemampuan partai politik atau seorang kontestan dalam menuntaskan permasalahan bangsa maupun tingginya orientasi mereka akan hal-hal yang
bersifat ideologis. Pentingnya ikatan ideologis membuat loyalitas pemilih terhadap sebuah partai atau seorang kontestan cukup tinggi dan tidak
semudah ‘rational voter’ untuk berpaling ke partai lain. Proses untuk menjadi pemilih jenis ini bias terjadi melalui dua mekanisme. Pertama, jenis
pemilih ini menjadikan nilai ideologis sebagai pijakan untuk menentukan kepada partai politik mana mereka akan berpihak dan selanjutnya mereka
akan mengkritisi kebijakan yang akan atau yang telah dilakukan. Kedua, bias juga terjadi sebaliknya, pemilih tertarik dulu dengan program kerja yang
ditawarkan sebuah partaikontestan baru kemudian mencoba memahami nilai-nilai dan faham yang melatarbelakangi pembuatan sebuah kebijakan.
Pemilih jenis ini akan selalu menganalisis kaitan antara system nilai partai ideology dengan kebijakan yang dibuat. Tiga kemungkinan akan muncul
ketika terdapat perbedaan antara nilai ideology dengan ‘platform’ partai: 1 memberikan kritik internal, 2 frustasi, dan 3 membuat partai baru yang
memiliki kemiripan karakteristik ideology dengan partai lama.
19
Ibid., hlm 134-138.
Universitas Sumatera Utara
3. Pemilih Tradisional Pemilih dalam jenis ini memiliki orientasi ideologi yang sangat tinggi dan
tidak terlalu melihat kebijakan partai politik atau seorang kontestan sebagai suatu yang penting dalam pengambilan keputusan. Pemilih tradisional sangat
mengutamakan kedekatan sosial-budaya, nilai, aal usul, faham dan agama sebagai ukuran untuk memilih suatu partai politik. Kebijakan semisal
ekonomi, kesejahteraan, pemerataan pendapatan dan pendidikan, dan pengurangan angka inflasi dianggap sebagai parimeter kedua. Biasanya
pemilih jenis ini lebih mengutamakan figure dan kepribadian pemimpin, mitos dan nilai historis sebuah partai politik atau seorang kontestan. Salah
satu karakteristik mendasar jenis pemilih ini adalah tingkat pendidikan yang rendah dan sangat konservatif dalam memegang nilai serta faham yang
dianut. Pemilih tradisional adalah jenis pemilih yang bias dimobilisasi selama
periode kampanye. Loyalitas tinggi merupakan salah satu cirri khas yang paling kelihatan bagi pemilih jenis ini. Ideologi dianggap sebagai satu
landasan dalam membuat suatu keputusan serta bertindak dan kadang kebenarannya tidak bias diganggu gugat.
4. Pemilih Skeptis Pemilih jenis ini tidak memiliki orientasi ideologi cukup tinggi dengan
sebuah partai politik atau seorang kontestan, juga tidak menjadikan kebijakan sebagai sesuatu yang penting. Keinginan untuk terlibat dalam
sebuah partai politik pada pemilih jenis ini sangat kurang, karena kedekatan ideologis mereka memang rendah sekali. Mereka juga kurang
memperdulikan ‘platform’ dan kebijakan sebuah partai politik. Kalaupun berpartisipasi dalam pemungutan suara, biasanya mereka melakukannya
secara acak dan random. Mereka berkeyakinan bahwa siapapun dan partai apapun yang memenangkan pemilu tidak akan bias membawa bangsa kea
rah perbaikan yang mereka harapkan. Selain itu, mereka tidak memiliki ikatan emosional dengan sebuah partai politik atau seorang kontestan.
1.6 Metodologi Penelitian 1.6.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat kualitatif, karena penelitian ini menggunakan teori-teori, data-data dan konsep-konsep sebagai kerangka acuan untuk menjelaskan hasil
penelitian dan menjawab persoalan yang penulis teliti. “Penelitian kualitatif dilakukan dalam situasi yang wajar natural setting dan data yang dikumpulkan
Universitas Sumatera Utara