Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Metodologi Penelitian .1 Jenis Penelitian

Dari uraian yang telah dipaparkan diatas, maka penulis tertarik untuk meneliti bagaimana perilaku permilih dalam pilkada Sumatera Utara tahun 2013. Adapun judul dari penelitian ini adalah “Perilaku Pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Sumatera Utara tahun 2013 di Kecamatan Medan Helvetia”.

1.2 Perumusan Masalah

Perumusan masalah ialah usaha untuk menyatakan secara tersurat pertanyaan penelitian apa saja yang perlu dijawab atau dicarikan jalan pemecahannya. Perumusan masalah merupakan penjabaran dari identifikasi masalah dan pembatasan masalah. Dengan kata lain, perumusan masalah merupakan pertanyaan yang lengkap dan terperinci mengenai ruang lingkup masalah yang akan diteliti didasarkan atas identifikasi masalah dan pembatasan masalah. 9 Berdasarkan latar belakang diatas, penulis merumuskan suatu masalah yang akan menjadi bahasan dalam penelitian ini, yaitu: Bagaimanakah perilaku pemilih Kecamatan Medan Helvetia dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Sumatera Utara tahun 2013 ?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui perilaku pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Sumatera Utara tahun 2013 khususnya masyarakat Kecamatan Medan Helvetia, Kotamadya Medan. 9 Husnaini Usman Purnomo Setiady Akbar. 2008. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara. hlm. 27. Universitas Sumatera Utara 2. Untuk mengetahui faktor apakah yang paling dominan dalam membentuk perilaku pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Sumatera Utara tahun 2013.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Secara akademis penelitian ini bermanfaat bagi penulis, yaitu mengembangkan kempuan berpikir dan mengasah kemampuan penulis dalam mebuat karya ilmiah untuk selanjutnya dapat menyelesaikan pendidikan di Strata Satu S-1 Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. 2. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah pengetahuan terhadap ilmu politik, yaitu dalam analisis perilaku pemilih. 3. Menambah referensi bagi mahasiswa Departemen Ilmu Politik FISIP USU mengenai perilaku pemilih. 1.5 Kerangka Teori 1.5.1 Partisipasi Politik Menurut Miriam Budiardjo partisipasi politik adalah : 10 “kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, dengan jalan memilih pemimpin Negara dan, secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan pemerintah public policy. Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan pendekatan atau hubungan contacting dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen dan sebagainya”. 10 Miriam Budiardjo. 2001. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. hlm. 184 Universitas Sumatera Utara Kegiatan partisipasi politik pada intinya tertuju kepada dua subjek, yaitu: 1 pemilihan penguasa, dan 2 melaksanakan segala kebijaksanaan penguasa pemerintah. Menurut Closky 1982 bahwa partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela voluntary dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara langsung direct atau tidak langsung indirect dalam proses pembentukan kebijaksanaan umum. “Di negara-negara demokrasi, konsep partisipasi politik bertolak dari paham bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat, yang dilaksanakan melalui kegiatan bersama untuk menetapkan tujuan-tujuan serta masa depan masyarakat itu dan untuk menentukan orang-orang yang akan memegang tampuk pimpinan. Jadi, partisipasi politik merupakan pengejawantahan dari penyelenggaraan kekuasaan politik yang abash oleh rakyat”. 11

1.5.1.1 Pemilihan Umum

Pemilihan umum adalah proses pemilihan orang-orang untuk mengisi jabatan- jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan tersebut beraneka ragam, mulai dari presiden, wakil rakyat, diberbagai tingkat pemerintahan sampai kepala desa. “Pemilu merupakan salah satu usaha untuk mempengaruhi rakyat secara persuasif tidak memaksa dengan melakukan kegiatan retorika, public relations, komunikasi massa, lobby dan kegiatan-kegiatan lain”. 12 “Pemilihan umum adalah pasar politik tempat individu masyarakat berinteraksi untuk melakukan kontrak sosial perjanjian masyarakat antara peserta pemilihan umum partai politik dengan pemilih rakyat yang memiliki hak pilih setelah terlebih dahulu melakukan serangkaian aktifitas politik yang meliputi kampanye, propaganda, iklan politik melalui media massa cetak, audio radio maupun audio visual televise serta media lainnya seperti spanduk, pamflet, selebaran bahkan komunikasi antara pribadi yang berbentuk face to face tatap muka atau lobby yang berisi penyampaian pesan 11 Ibid,. hlm. 368. 12 Arifin Anwar. 2006. Pencitraan dalam Politik. Jakarta: Pustaka Indonesia. hlm. 39. Universitas Sumatera Utara mengenai program, platform, asas, ideology serta janji-janji politik lainnya guna meyakinkan pemilih sehingga pada waktu dilaksanakannya pemilihan umum dapat menentukan pilihannya terhadap salah satu partai politik yang menjadi peserta pemilihan umum untuk mewakilinya dalam badan legislative maupun eksekutif”. 13 Affan Gafar mengajukan 5 lima parameter untuk sebuah pemilihan umum yang ideal : 14 “ Pertama, pemilihan umum yang akan datang haruslah diselenggarakan dengan cara yang demokratis sehingga memberikan peluang bagi semua partai dan calon legislatif yang terlibat untuk berkompetisi secara fair dan jujur. Rekayasa dan manipulasi yang sangat mewarnai penyelenggaraan pemilu masa lampau jangan sampai terulang lagi. Kedua, pemilihan umum haruslah menciptakan MPRDPR, DPRD Tingkat I dan DPRD Tingkat II yang lebih baik, lebih berkualitas, dan memiliki akuntabilitas politik yang tinggi. Ketiga, derajat keterwakilan, artinya bahwa anggota MPRDPR yang dibentuk melalui pemilihan umum haruslah memiliki keseimbangan perwakilan, baik antara wakil Jawa maupun luar Jawa atau antara pusat dengan daerah. Keempat, peraturan perundang-undangan pemilu haruslah tuntas. Kelima, pelaksanaan pemilu hendaknya bersifat praktis, artinya tidak rumit dan gampang dimengerti oleh kalangan masyarakat banyak”.

1.5.1.2 Pemilihan Umum Kepala Daerah Langsung

Pemilihan umum kepala daerah langsung merupakan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung oleh masyarakat yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil melalui pemungutan suara. Kepala daerah dan wakil kepala daerah memiliki peran yang sangat strategis dalam rangka pengembangan kehidupan demokratis, keadilan, pemerataan, kesejahteraan masyarakat, memelihara hubungan yang serasi antara pemerintah dan daerah serta antar daerah untuk menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia. 13 A. Rahman H. I. 2007. Sistem Politik Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu. hlm. 147. 14 Affan Gafar. 2000. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm. 251-255. Universitas Sumatera Utara Pemilihan umum kepala daerah langsung diatur dalam UU No. 322004 tentang Pemerintah Daerah Pasal 56 jo Pasal 119 dan Peraturan Pemerintah PP No. 62005 tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepalas Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Secara eksplisit ketentuan tentang pilkada langsung tercermin dalam cara pemilihan dan asas-asas yang digunakan dalam penyelenggaraaan pilkada. Dalam Pasal 56 ayat 1 disebutkan: “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.” Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, peserta pemilihan umum kepala daerah adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Ketentuan ini diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa peserta pemilihan umum kepala daerah juga dapat berasal dari pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Undang-undang ini menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan beberapa pasal menyangkut peserta pemilihan umum kepala daerah dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. 1.5.2 Perilaku Pemilih 1.5.2.2 Definisi Perilaku Pengertian perilaku dapat dibatasi sebagai keadaan jiwa untuk berpendapat, berfikir, bersikap, dan lain sebagainya yang merupakan refleksi dari berbagai macam aspek, baik fisik maupun non fisik. Perilaku juga diartikan sebagai suatu reaksi psikis seseorang terhadap lingkungannya, reaksi yang dimaksud digolongkan menjadi 2, Universitas Sumatera Utara yakni dalam bentuk pasif tanpa tindakan nyata atau konkrit, dan dalam bentuk aktif dengan tindakan konkrit, Sedangkan dalam pengertian umum perilaku adalah segala perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh makhluk hidup Soekidjo Notoatmodjo, 1987:1. Menurut Ensiklopedi Amerika, perilaku diartikan sebagai suatu aksi dan reaksi organisme terhadap lingkungannya, hal ini berarti bahwa perilaku baru akan terwujud bila ada sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan tanggapan yang disebut rangsangan, dengan demikian maka suatu rangsangan tertentu akan menghasilkan perilaku tertentu pula. “Robert Y. Kwick 1972 menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan dipelajari”. 15 Menurut Skinner, seperti yang dikutip oleh Notoatmodjo 2003, perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar. Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespons, maka teori Skinner ini disebut teori “S- O-R” atau Stimulus – Organisme – Respon.

1.5.2.3 Definisi Pemilih

Menurut Joko J Prihatmoko, pemilih diartikan sebagai semua pihak yang menjadi tujuan utama para consensus untuk mereka pengaruhi dan yakinkan agar mendukung dan kemudian memberikan suaranya kepada kontestan yang bersangkutan. Pemilih dalam hal ini dapat berupa konstituen maupun masyarakat pada umumnya. Konstituen adalah kelompok masyarakat yang merasa diwakili oleh 15 http:dewasastra.wordpress.com20120311konsep-dan-pengertian-perilaku diakses pada 30 April 2013, pukul 13.15 WIB. Universitas Sumatera Utara suatu ideologi tertentu yang kemudian termanifestai dalam institusi politik seperti partai politik. Disamping itu pemilih merupakan bagian masyarakat luas yang bias saja tidak menjadi konstituen partai politik tertentu. Masyarakat terdiri dari beragam kelompok, terdapat kelompok masyarakat yang memang non-partisan, dimana ideologi dan tujuan politik mereka tidak dikatakan terkait dengan partai politik tertentu. Mereka menunggu sampai ada suatu partai politik yang bisa menawarkan program kerja terbaik menurut mereka, sehingga partai tersebutlah yang akan mereka pilih. 16 Menurut UU Nomor 102008, pemilih adalah warga negara Indonesia yang telah genap berumur 17 tahun atau sudah pernah kawin. Tetapi dalam pelaksanaan pemilihan umum, yang berhak memberikan hak pilihnya adalah pemilih yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap DPT yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum KPU.

1.5.2.4 Definisi Perilaku Pemilih

Menurut Ramlan Surbakti perilaku memilih adalah keikutsertaan warga dalam pemilu sebagai rangkaian pembuatan keputusan. Perilaku memilih menjawab pertanyaan apakah warga masyarakat menggunakan hak pilih atau tidak? Apakah memilih partai X atau Y? Mengapa memilih partai X atau Y? 16 Firmanzah. 2007. Marketing Politik Antara Pemahaman dan Realitas. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Universitas Sumatera Utara Untuk memahami kecenderungan perilaku memilih mayoritas masyarakat secara akurat dapat dikombinasikan dalam beberapa pendekatan yang relevan, yaitu: 17 1. Pendekatan Sosiologis Pendekatan ini pada dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik social dan pengelompokan-pengelompokan social mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan perilaku pemilih. Pendekatan sosiologis dilandasi oleh pemikiran bahwa determinan pemilih dalam respon politiknya adalah status ekonomi, afiliasi religius. Dengan kata lain, pendekatan ini didasarkan pada ikatan social pemilih dari segi etnik, ras, agama, keluarga dan pertemanan yang dialami oleh agen pemilih secara historis. 2. Pendekatan Psikologis Pendekatan ini pada dasarnya melihat sosialisasi sebagai determinasi dalam menentukan perilaku politik pemilih, bukan karakter sosiologis. Pendekatan ini menjelaskan bahwa sikap seseorang menjadi variable yang cukup menentukan dalam mempengaruhi perilaku politik seseorang, karena itu pendekatan ini menekankan pada tiga aspek psikologis sebagai kajian utama, yaitu ikatan emosional pada suatu partai politik, isu-isu dan kandidat-kandidat. 3. Pendekatan Rasional Pendekatan ini menempatkan pemilih pada suatu keadaan yang bebas, di mana pemilih melaksanakan perilaku politik dengan pikiran rasionalnya dalam menilai calon kandidat yang terbaik menurut rasionalitas yang dimilikinya. Model ini ingin melihat pemilih sebagai produk kalkulasi untung rugi. Mayoritas pemilih biasanya selalu mempertimbangkan factor untung rugi dalam menentukan pilihannya terhadap calon yang dipilih. Seorang pemilih rasional adalah pemilih yang menghitung untung rugi tindakannya dalam memilih calon. Pada pendekatan rasional, perilaku politik dapat terjadi kapan saja dan dapat berubah sesuai dengan rasionalitasnya, bahkan keputusan dalam menentukan pilihan dapat berubah di bilik suara. 4. Pendekatan Domain Kognitif Menurut model ini, perilaku pemilih ditentukan oleh tujuh domain kognitif yang berbeda, yaitu: • Isu dan Kebijakan Publik Komponen ini mempresentasikan kebijakan atau program yang diperjuangkan dan dijanjikan oleh partai atau kandidat politik jika kelak menang pemilu. 17 Adman Nursal. 2004. Political Marketing: Strategi Memenangkan Pemilu. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama. hlm. 54. Universitas Sumatera Utara • Citra Sosial Komponen ini adalah citra kandidat dalam pikiran pemilih mengenai “berada” di dalam kelompok social mana atau tergolong sebagai sebuah partai atau kandidat politik. Citra social dapat terjadi oleh banyak factor, diantaranya demografi meliputi usia, gender dan agama. Sosio ekonomi meliputi pekerjaan dan pendapatan, kultural dan etnik, dan politis-ideologi. • Perasaan Emosional Perasaan emosional yaitu emosional yang terpancar dari sebuah kontestan atau kontestan yang ditujukan oleh kebijakan politik yang ditawarkan. • Citra Kandidat Citra kandidat yaitu mengacu pada sifat-sifat pribadi yang penting dan dianggap sebagai karakter seorang kandidat. • Peristiwa Mutakhir Ini mengacu pada himbauan peristiwa, isu dan kebijakan yang berkembang menjelang dan selama kampanye. • Peristiwa Personal Ini mengacu pada kehidupan pribadi dan peristiwa yang dialami secara pribadi oleh seorang kandidat, misalnya skandal seksual, bisnis, dll. • Faktor-faktor Epistemis Faktor-faktor epistemis yaitu isu-isu pemilihan yang spesifik yang dapat memicu keingintahuan para pemilih mengenai hal-hal baru.

1.5.2.5 Tipe-tipe Pemilih

Terdapat dua orientasi dalam diri masing-masing pemilih. 18 Kedua, orientasi ‘ideologi’ yaitu suatu partai atau seorang kontestan akan lebih menekankan aspek-aspek subjektifitas seperti kedekatan nilai, budaya, agama, Pertama adalah orientasi ‘policy-problem-solving’ yaitu ketika pemilih menilai partai politik atau seorang kontestan dari kacamata ‘policy-problem-solving’, yang terpenting bagi mereka adalah sejauh mana para kontestan mampu menawarkan program kerja atas solusi bagi suatu permasalahan yang ada. Pemilih akan cenderung memilih partai politik atau kontestan yang memiliki kepekaan terhadap masalah nasional ataupun lokal dan kejelasan program kerja. Partai politik atau kontestan yang arah kebijakannya tidak jelas akan cenderung tidak terpilih. 18 Firmanzah. 2007. Marketing Politik Antara Pemahaman dan Realitas. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. hlm 128 Universitas Sumatera Utara moralitas, norma, emosi dan psikografis. Semakin dekat kesamaan partai politik atau calon kontestan, pemilih jenis ini akan cenderung memberikan suaranya ke partai politik dan kontestan tersebut. Berdasarkan konfigurasinya, pemilih terbagi menjadi empat, yaitu: 19 1. Pemilih Rasional Pemilih memiliki orientasi tinggi pada ‘policy problem solving’ dan berorientasi rendah untuk factor ideologi. Pemilih dalam hal ini lebih mengutamakan kemampuan partai politik atau kontestan dalam program kerjanya. Pemilih jenis ini memiliki cirri khas yang tidak begitu mementingkan ikatan ideology kepada suatu partai politik atau seorang kontestan. Faktor seperti paham, asal-usul, nilai tradisional, budaya, agama dan psikografis memang dipertimbangkan juga, tetapi bukan hal yang signifikan. Hal yang terpenting bagi jenis pemilih ini adalah apa yang biasa dan yang telah dilakukan oleh sebuah partai atau seorang kontestan. Oleh karena itu, ketika sebuah partai politik atau seorang kontestan ingin menarik perhatian pemilih dalam matriks ini, mereka harus mengedepankan solusi logis akan permasalahan ekonomi, pendidikan, kesejahteraan, social-budaya, hubungan luar negeri, pemerataan pendapatan, disintegrasi nasional dan lain- lain. Pemilih tipe ini tidak akan segan-segan beralih dari sebuah partai atau seorang kontestan ke partai politik atau kontestan lain ketika mereka dianggap tidak mampu menyelesaikan permasalahan nasional. 2. Pemilih Kritis Pemilih jenis ini merupakan perpaduan antara tingginya orientasi pada kemampuan partai politik atau seorang kontestan dalam menuntaskan permasalahan bangsa maupun tingginya orientasi mereka akan hal-hal yang bersifat ideologis. Pentingnya ikatan ideologis membuat loyalitas pemilih terhadap sebuah partai atau seorang kontestan cukup tinggi dan tidak semudah ‘rational voter’ untuk berpaling ke partai lain. Proses untuk menjadi pemilih jenis ini bias terjadi melalui dua mekanisme. Pertama, jenis pemilih ini menjadikan nilai ideologis sebagai pijakan untuk menentukan kepada partai politik mana mereka akan berpihak dan selanjutnya mereka akan mengkritisi kebijakan yang akan atau yang telah dilakukan. Kedua, bias juga terjadi sebaliknya, pemilih tertarik dulu dengan program kerja yang ditawarkan sebuah partaikontestan baru kemudian mencoba memahami nilai-nilai dan faham yang melatarbelakangi pembuatan sebuah kebijakan. Pemilih jenis ini akan selalu menganalisis kaitan antara system nilai partai ideology dengan kebijakan yang dibuat. Tiga kemungkinan akan muncul ketika terdapat perbedaan antara nilai ideology dengan ‘platform’ partai: 1 memberikan kritik internal, 2 frustasi, dan 3 membuat partai baru yang memiliki kemiripan karakteristik ideology dengan partai lama. 19 Ibid., hlm 134-138. Universitas Sumatera Utara 3. Pemilih Tradisional Pemilih dalam jenis ini memiliki orientasi ideologi yang sangat tinggi dan tidak terlalu melihat kebijakan partai politik atau seorang kontestan sebagai suatu yang penting dalam pengambilan keputusan. Pemilih tradisional sangat mengutamakan kedekatan sosial-budaya, nilai, aal usul, faham dan agama sebagai ukuran untuk memilih suatu partai politik. Kebijakan semisal ekonomi, kesejahteraan, pemerataan pendapatan dan pendidikan, dan pengurangan angka inflasi dianggap sebagai parimeter kedua. Biasanya pemilih jenis ini lebih mengutamakan figure dan kepribadian pemimpin, mitos dan nilai historis sebuah partai politik atau seorang kontestan. Salah satu karakteristik mendasar jenis pemilih ini adalah tingkat pendidikan yang rendah dan sangat konservatif dalam memegang nilai serta faham yang dianut. Pemilih tradisional adalah jenis pemilih yang bias dimobilisasi selama periode kampanye. Loyalitas tinggi merupakan salah satu cirri khas yang paling kelihatan bagi pemilih jenis ini. Ideologi dianggap sebagai satu landasan dalam membuat suatu keputusan serta bertindak dan kadang kebenarannya tidak bias diganggu gugat. 4. Pemilih Skeptis Pemilih jenis ini tidak memiliki orientasi ideologi cukup tinggi dengan sebuah partai politik atau seorang kontestan, juga tidak menjadikan kebijakan sebagai sesuatu yang penting. Keinginan untuk terlibat dalam sebuah partai politik pada pemilih jenis ini sangat kurang, karena kedekatan ideologis mereka memang rendah sekali. Mereka juga kurang memperdulikan ‘platform’ dan kebijakan sebuah partai politik. Kalaupun berpartisipasi dalam pemungutan suara, biasanya mereka melakukannya secara acak dan random. Mereka berkeyakinan bahwa siapapun dan partai apapun yang memenangkan pemilu tidak akan bias membawa bangsa kea rah perbaikan yang mereka harapkan. Selain itu, mereka tidak memiliki ikatan emosional dengan sebuah partai politik atau seorang kontestan. 1.6 Metodologi Penelitian 1.6.1 Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat kualitatif, karena penelitian ini menggunakan teori-teori, data-data dan konsep-konsep sebagai kerangka acuan untuk menjelaskan hasil penelitian dan menjawab persoalan yang penulis teliti. “Penelitian kualitatif dilakukan dalam situasi yang wajar natural setting dan data yang dikumpulkan Universitas Sumatera Utara bersifat kualitatif. Metode kualitatif lebih didasarkan filsafat fenomenologis yang mengutamakan penghayatan verstehen”. 20 Penelitian ini akan berusaha memahami dan menggambarkan bagaimana perilaku pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Sumatera Utara tahun 2013 di Kecamatan Medan Helvetia, Kotamadya Medan, Provinsi Sumatera Utara.

1.6.2 Populasi

Yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh warga Kecamatan Medan Helvetia yang terdaftar dan tercatat sebagai warga Kecamatan Medan Helvetia dan yang termasuk ke dalam Daftar Pemilih Tetap dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Sumatera Utara tahun 2013 yaitu sebanyak 143.258 jiwa.

1.6.3 Sampel

Sampel adalah sebagian yang diambil dari populasi yang menggunakan cara tertentu. Dalam penelitian ini sampel yang diambil adalah masyarakat yang terdaftar sebagai Pemilih Tetap di Kecamatan Medan Helvetia. Dalam menentukan jumlah sampel untuk kuesioner, penulis akan menggunakan rumus Taro Yamane 21 Keterangan : , sebagai berikut : � = � � � 2 + 1 n : Jumlah sampel N : Jumlah Populasi yang terdaftar dalam DPT D : Presisi 20 Husnaini Usman Purnomo Setiady Akbar. 2008. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara. hlm. 78. 21 Jalaluddin Rakhmat. 1991. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. hal. 81 Universitas Sumatera Utara Tingkat presisi yang dimaksud diatas adalah rentang dimana nilai sebenarnya dari populasi yang diperkirakan. Sering pula disebut kesalahan sampling. Semakin besar tingkat kesalahan yang ditoleransi maka semakin kecil jumlah sampel yang diambil. Dan sebaliknya semakin kecil tingkat kesalahan yang ditoleransi, maka semakin besar mendekati populasi sampel yang harus diambil. Dari rumus diatas, maka jumlah sampel yang diambil adalah : � = 143.258 143.258 0,01 + 1 � = 143.258 1433, 58 n = 99,9 Orang Maka jumlah sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah 100 orang. Selanjutnya, untuk menentukan jumlah responden dari masing – masing kelurahan digunakan teknik proporsional sampling. “Penggunaan teknik proporsional sampling dilakukan dengan menyeleksi setiap unit sampel yang sesuai dengan ukuran unit sampel dan untuk memungkinkan memberi peluang kepada populasi yang lebih kecil untuk tetap dipilih sebagai sampel”. 22 Keterangan : Maka digunakanlah rumus : � = � 1 � � N : Jumlah Populasi n1 : Jumlah Daftar Pemilih Tetap Kecamatan n : jumlah sampel 22 Jonathan Sarwono. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta : Graha Ilmu. hal. 115. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan rumus diatas, maka dapat dihitung jumlah sampel yang diambil di setiap Kecamatan adalah sebagai berikut : Kelurahan Cinta Damai : 18139 x 100 : 143258 = 13 Kelurahan Dwi Kora : 20502 x 100 : 143258 = 14 Kelurahan Helvetia : 15530 x 100 : 143258 = 11 Kelurahan Helvetia Tengah : 30565 x 100 : 143258 = 21 Kelurahan Helvetia Timur : 22171 x 100 : 143258 = 16 Kelurahan Sei Sikambing C-II : 13226 x 100 : 143258 = 9 Kelurahan Tanjung Gusta : 23125 x 100 : 143258 = 16 Setelah menentukan jumlah sampel dari masing – masing kelurahan, selanjutnya untuk menentukan responden yang akan dijadikan sampel digunakan Teknik Sampling Kebetulan Accidental Sampling. “Teknik sampling kebetulan dilakukan apabila pemilihan anggota sampelnya dilakukan terhadap orang atau benda yang kebetulan ada atau dijumpai”. 23 Dalam melakukan penelitian ini, peneliti datang langsung ke masing – masing kelurahan untuk melakukan wawancara dengan kuisioner terhadap responden. Responden yang dijadikan sampel adalah mereka yang kebetulan dijumpai di warung – warung kopi, rumah, mesjid, dan tempat – tempat umum yang ada di wilayah kelurahan tersebut. Namun tidak jarang pula masyarakat yang menolak untuk diwawancarai oleh peneliti dengan alasan sibuk serta alasan – alasan lainnya. Keuntungan dari penggunaan teknik sampling ini adalah murah cepat dan mudah. 23 Husnaini Usman Purnomo Setiady Akbar. 2008. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara. hlm. 45 Universitas Sumatera Utara

1.6.4 Teknik Pengumpulan Data

Ada dua teknik pengumpulan data yang penulis gunakan didalam penelitian ini. Pertama, pengumpulan data melalui studi pustaka library research. Data-data yang dimaksud adalah data-data tertulis yang berasal dari buku-buku, dokumen- dokumen, undang-undang, media internet maupun skripsi yang memiliki kesamaan dengan masalah penelitian ini. Data-data yang diperoleh dari studi pustaka merupakan data sekunder dalam penelitian ini. Kedua, studi lapangan field research yaitu dengan melakukan interaksi langsung terhadap narasumber dan melalui penyebaran angket. Data yang diperoleh langsung dari lapangan ini merupakan data utama guna menunjang keberhasilan penelitian ini, karena objek utama dari penelitian ini adalah narasumber khususnya masyarakat yang menggunakan hak pilihnya dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Sumatera Utara tahun 2013 di Kecamatan Medan Helvetia, Kotamadya Medan, Provinsi Sumatera Utara.

1.6.5 Teknik Analisa Data

Adapun teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data deskriptif kualitatif, dimana teknik ini melakukan analisa atas masalah yang ada sehingga diperoleh gambaran yang jelas tentang objek yang akan diteliti dan kemudian dilakukan penarikan kesimpulan. Universitas Sumatera Utara

1.7 Sistematika Penulisan