Kelapa Sawit Rakyat: Hubungannya Dengan Perkembangan Kecamatan Bagan Sinembah, Kabupaten Rokan Hilir Tahun 1981-2000
KELAPA SAWIT RAKYAT: HUBUNGANNYA DENGAN PERKEMBANGAN KECAMATAN BAGAN SINEMBAH, KABUPATEN ROKAN HILIR TAHUN 1981-2000
Skripsi Sarjana Disusun
O L E H
NAMA : ELISA PURBA
NIM : 090706017
DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(2)
LEMBAR PERSETUJUAN UJIAN SKRIPSI
KELAPA SAWIT RAKYAT: HUBUNGANNYA DENGAN PERKEMBANGAN KECAMATAN BAGAN SINEMBAH, KABUPATEN ROKAN HILIR TAHUN 1981-2000
Yang diajukan oleh: Nama : Elisa Purba Nim : 090706017
Telah disetujui untuk diujikan dalam ujian skripsi oleh: Pembimbing,
Dra. Penina Simanjuntak, M.S., Tanggal, 12 Juli 2013 NIP. 196102261986012001
Ketua Departeman Sejarah
Drs. Edi Sumarno, M. Hum Tanggal, 12 Juli 2013 NIP 196409221989031001
DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2013
(3)
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI
KELAPA SAWIT RAKYAT: HUBUNGANNYA DENGAN PERKEMBANGAN KECAMATAN BAGAN SINEMBAH, KABUPATEN ROKAN HILIR TAHUN 1981-2000
DIKERJAKAN O
L E H
Nama : ELISA PURBA Nim : 090706017 Pembimbing,
Dra. Penina Simanjuntak M.S., NIP. 196102261986012001
Skripsi ini diajukan kepada panitia Fakultas Ilmu Budaya USU Medan, Untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana Ilmu Budaya
Dalam bidang Ilmu Sejarah
DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(4)
LEMBAR PERSETUJUAN KETUA DEPARTEMEN
DISETUJUI OLEH:
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
DEPARTEMEN SEJARAH Ketua Departemen,
Drs. Edi Sumarno, M.Hum. NIP 196409221989031001
(5)
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI OLEH DEKAN DAN PANITIA UJIAN
PENGESAHAN:
Diterima Oleh:
Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Ilmu Budaya Dalam Ilmu Sejarah pada Fakultas Ilmu Budaya USU Medan
Pada :
Tanggal : 19 Juli 2013 Hari : Jumat
Fakultas Ilmu Budaya USU Dekan,
Dr. Syahron Lubis, M.A. NIP 195110131976031001
Panitia Ujian
No. Nama Tanda Tangan
1. Drs. Edi Sumarno, M.Hum ( ) 2. Dra. Nurhabsyah, M.Si ( )
3. Dra. Penina Simanjuntak, M.S ( )
4. Drs. Samsul Tarigan ( )
(6)
(7)
KATA PENGANTAR
Dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan puji dan syukur yang
sebesar-besarnya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala anugerah, kasih dan penyertaanNya
yang selalu penulis rasakan sehingga penulis mampu menyelesaikan penyusunan skripsi ini
tepat pada waktunya.
Suatu kebahagian tersendiri bagi penulis ketika mampu menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “KELAPA SAWIT RAKYAT: HUBUNGANNYA DENGAN PERKEMBANGAN KECAMATAN BAGAN SINEMBAH, KABUPATEN ROKAN HILIR TAHUN 1981-2000” ini. Adapun yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini ialah untuk melengkapi persyaratan di dalam mencapai gelar sarjana di Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. Selain menambah referensi di Departemen Sejarah dan Perpustakaan Umum Universitas Sumatera Utara, penulis juga sangat mengharapkan agar dengan hadirnya skripsi ini mampu menambah wawasan pembaca mengenai perkebunan kelapa sawit rakyat yang mampu meningkatkan taraf kehidupan petani khususnya bagi masyarakat di kecamatan Bagan Sinembah, Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau yang berpengaruh terhadap pertambahan penduduk serta perkembangan wilayahnya. Penulis sangat berharap, kehadiran skripsi ini bermanfaat bagi banyak orang.
Skripsi ini bukanlah mutlak gagasan penulis, akan tetapi adalah rangkaian kuliah,
ditambah dengan hasil penelitian (wawancara dan observasi), dan studi kepustakaan. Penulis
juga menyadari adanya keterbatasan dalam pengerjaan skripsi ini. Dengan demikian, penulis
belum berani mengatakan bahwa skripsi ini memiliki bobot ilmiah yang sempurna, tetapi
penulis telah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikannya dengan sebaik-baiknya
sehingga “tidak ada gading yang tak retak”.
Skripsi ini tentu masih jauh dari yang diharapkan, kendati penulis sudah berusaha
(8)
kemungkinan tentang perbedaan pendapat bahkan kesalahan di dalam skripsi ini. Untuk
itulah, demi kesempurnaannya segala kritik dan saran untuk perbaikan skripsi ini sangat
penulis harapkan.
Medan, Juli 2013
(9)
UCAPAN TERIMA KASIH
Skripsi ini tidak mungkin selesai tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak, baik
moril maupun materil. Ucapan puji syukur dan rasa terima kasih sebesar-besarnya penulis
sampaikan kepada Tuhan yang Maha Pengasih, yang telah memberikan kesehatan serta
kesempatan kepada penulis, sehingga mampu menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya.
Istimewa sekali ucapan terima kasih yang setingi-tingginya kepada kedua orang tua
yang sangat saya sayangi Ayahanda P. Purba dan Ibunda N br Sembiring. Mereka disatukan
Tuhan untuk membesarkan, menyayangi, membimbing serta mendidik dengan tulus tanpa mengharapkan imbalan sedikitpun. Kepada adik-adik saya tercinta Alberto Purba, Jhon
Pranata Purba dan Michael Efrata Purba, serta sepupu saya Aldi Purba, terima kasih atas
semangat, hiburan serta bantuan yang telah kalian berikan. Tidak lupa juga penulis ucapkan
rasa terima kasih yang tiada henti-hentinya kepada karoku tercinta yang selalu peduli
terhadap kesehatan penulis selama empat tahun masa perkuliahan di Medan.
Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada segenap dosen, pejabat dan staf
administrasi Fakultas Ilmu Budaya dan Departemen Sejarah USU. Kepada:
1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya USU beserta
Bapak Pembantu Dekan I, II dan III.
2. Bapak Drs. Edi Sumarno, M.Hum selaku Ketua Departemen Sejarah dan Dra.
Nurhabsyah, M.Si, selaku Sekretaris Departemen Sejarah sebagai pimpinan telah
banyak memberikan bantuan serta pelajaran yang berharga kepada penulis selama
dalam perkuliahan maupun selama penyusunan skripsi ini.
3. Ibu Dra. Penina Simanjuntak, M.S., selaku dosen pembimbing penulis dalam
(10)
segala bimbingan, nasehat, motivasi dan pengertian yang telah ibu berikan terhadap
penulis, sangat membantu di dalam penyusunan skripsi ini.
4. Ibu Dra. Fitriaty Harahap, S.U., selaku dosen wali penulis selama mengikuti
perkuliahan di Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya USU.
5. Kepada semua dosen di Departemen Sejarah yang terlibat dalam pemberian materi
kuliah selama penulis menjadi mahasiswa dan selama penulis menyelesaikan tugas
akhir ini dan bang Ampera, selaku staf administrasi Departemen Sejarah USU.
6. Terima kasih kepada Bapak Hadiyono, SH., selaku Camat Bagan Sinembah. Kepada
Bapak Muktar Waslin selaku Kepala Desa Bagan Batu beserta sekretaris desa.
Kepada Pak Jayono, Bapak Sururi dan Bapak Ahmadan Simatupang. Kepada pegawai
BPS, Perpustakaan dan Arsip Rokan Hilir serta terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada seluruh informan.
7. Terima kasih kepada kakak kelompokku kak Meisya, buat semangat dan doa-doanya
dan kelompok kecilku “Serafim”. Kepada bang Julianto dan kak Oriza Satyva, yang
telah memberikan dorongan serta semangat dan sebagai tempat bertanya penulis
selama proses penyusunan skripsi ini.
8. Terima kasih kepada teman-teman seperjuangan penulis, stambuk 2009 yang unik,
lucu dan ngangenin, sahabat yang sekaligus penulis anggap sebagai saudara
Akhirnya kepada berbagai pihak yang telah membantu penulis yang tidak mungkin
disebutkan satu persatu dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis ucapkan terima kasih yang
(11)
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kehidupan masyarakat di kecamatan Bagan Sinembah sebelum dan setelah berkembangnya perkebunan kelapa sawit, perkembangan perkebunan kelapa sawit yang diawali melalui program pemerintah yakni dengan pola PIR serta pengaruh dari pertanian kelapa sawit rakyat tersebut terhadap perkembangan masyarakat di Kecamatan Bagan sinembah baik secara ekonomi maupun sosial.
Skripsi ini diberi judul ”Kelapa Sawit Rakyat: Hubungannya Dengan Perkembangan
Kecamatan Bagan Sinembah, Kabupaten Rokan Hilir Tahun 1981-2000”. Metode penelitian
dalam penulisan skripsi ini menggunakan metode sejarah yaitu: Heuristik, verifikasi yang terdiri dari kritik sumber (intern dan ekstern). Interpretasi, dan Historiografi. Dalam heuristik, penelitian ini menggunakan metode studi kepustakaan (library research) dan studi lapangan (field research). Kemudian untuk kritik sumber digunakan untuk mendapatkan kredibilitas atau kebenaran sumber, sehingga data yang didapat dapat dipercaya dan objektif. Untuk metode interpretasi digunakan untuk membuat kesimpulan atau keterangan terhadap sumber yang dapat dipercaya dari bahan-bahan yang ada. Dalam historiografi dilakukan penyusunan hasil penelitian ke dalam karya tulis sejarah yang deskriptif analisis.
Awalnya daerah Bagan Sinembah ini merupakan kawasan yang sepi yang banyak kawasan hutannya. Namun, seiring perkembangan perkebunan kelapa sawit rakyat yang dikaitkan dengan campur tangan pemerintah melalui pola PIR, maka daerah ini semakin ramai ditandai dengan pertambahan serta keanekaragaman penduduknya. Ditambah lagi dengan adanya pola PIR yang dikaitkan dengan transmigrasi yang merupakan program pemerintah dalam hal penyebaran penduduk khususnya yang berasal dari pulau Jawa.
Hasil penelitian yang penulis lakukan menunjukkan bahwa perkembangan kelapa sawit rakyat tahun 1981-2000 di kecamatan Bagan Sinembah ini sejalan dengan perkembangan wilayahnya yang ditandai dengan pertambahan, penyebaran serta keanekaragaman penduduknya. Banyak masyarakat yang mulai tertarik dengan pertanian kelapa sawit karena telah menunjukkan peningkatan dalam segi ekonomi, baik yang berasal dari kecamatan Bagan Sinembah maupun yang berasal dari luar daerah terlebih dari daerah Sumatera Utara. Program yang dibuat oleh pemerintah untuk meningkatkan taraf kehidupan petani kelapa sawit melalui pola PIR ini cukup berhasil sehingga menarik minat banyak orang untuk menanam kelapa sawit di daerah ini. Ibarat pepatah, ada gula ada semut
begitulah keadaan perpindahan masyarakat di Kecamatan Bagan Sinembah pada saat itu. Akibatnya, wilayah yang awalnya sepi dan terpencil berubah menjadi wilayah yang ramai serta berkembang.
(12)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ………...i
UCAPAN TERIMA KASIH ………...iii
ABSTRAK ………...v
DAFTAR ISI ………...vi
DAFTAR TABEL ………ix
BAB I
PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah ………...11.2Rumusan Masalah ……….8
1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian ……….8
1.4Tinjauan Pustaka ………...9
1.5Metode Penelitian ………...12
BAB II
KEADAAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI KECAMATAN BAGAN SINEMBAH SEBELUM DIBUKANYA PERTANIAN KELAPA SAWIT 2.1 Letak Geografis ………162.2Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat Bagan Sinembah Sebelum Dibukanya Pertanian Kelapa Sawit Rakyat ……….………26
(13)
BAB III
SEJARAH PERTANIAN KELAPA SAWIT RAKYAT DI KEC. BAGAN SINEMBAH3.1PIR (Perkebunan Inti Rakyat) ……….34
3.2Pertanian Kelapa Sawit Rakyat ………...55
BAB IV
PENGARUH PERTANIAN KELAPA SAWIT RAKYAT TERHADAP PERKEMBANGAN KECAMATAN BAGAN SINEMBAH TAHUN 1981-2000 4.1 Perekonomian Masyarakat di Kecamatan Bagan Sinembah Setelah Dibukanya Pertanian Kelapa Sawit Rakyat……….674.2 Keadaan Sosial Masyarakat Kec. Bagan Sinembah Setelah Dibukanya Pertanian Kelapa Sawit Rakyat ………...71
4.2.1 Kepadatan Penduduk ………...71
4.2.2 Transportasi ………..82
4.2.3 Pengembangan Wilayah ………...83
4.2.4 Pendidikan ………90
4.2.5 Kesehatan……….….91
(14)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN5.1 Kesimpulan ……….93
5.2 Saran ………...95
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR INFORMAN
(15)
DAFTAR TABEL
Tabel 1: Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk Menurut Desa di Kecamatan Bagan Sinembah tahun 2000 ………18 Tabel 2: Kriteria Pola PIR ………...40 Tabel 3: Harga Rata-rata Tandan Buah Segar (TBS) PIR Bagan Sinembah perkilo dari tahun
1984-2000 ………59 Tabel 4: Jumlah Rumah Tangga yang Berusaha menurut Jenis Lapangan Pekerjaan di
Kecamatan Bagan Sinembah ……...70 Tabel 5: Perkembangan jumlah penduduk Kecamatan Bagan Sinembah Tahun 1981-2000..76 Tabel 6: Penduduk Kecamatan Bagan Sinembah menurut Etnis/suku (dalam persen) ……..78
(16)
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kehidupan masyarakat di kecamatan Bagan Sinembah sebelum dan setelah berkembangnya perkebunan kelapa sawit, perkembangan perkebunan kelapa sawit yang diawali melalui program pemerintah yakni dengan pola PIR serta pengaruh dari pertanian kelapa sawit rakyat tersebut terhadap perkembangan masyarakat di Kecamatan Bagan sinembah baik secara ekonomi maupun sosial.
Skripsi ini diberi judul ”Kelapa Sawit Rakyat: Hubungannya Dengan Perkembangan
Kecamatan Bagan Sinembah, Kabupaten Rokan Hilir Tahun 1981-2000”. Metode penelitian
dalam penulisan skripsi ini menggunakan metode sejarah yaitu: Heuristik, verifikasi yang terdiri dari kritik sumber (intern dan ekstern). Interpretasi, dan Historiografi. Dalam heuristik, penelitian ini menggunakan metode studi kepustakaan (library research) dan studi lapangan (field research). Kemudian untuk kritik sumber digunakan untuk mendapatkan kredibilitas atau kebenaran sumber, sehingga data yang didapat dapat dipercaya dan objektif. Untuk metode interpretasi digunakan untuk membuat kesimpulan atau keterangan terhadap sumber yang dapat dipercaya dari bahan-bahan yang ada. Dalam historiografi dilakukan penyusunan hasil penelitian ke dalam karya tulis sejarah yang deskriptif analisis.
Awalnya daerah Bagan Sinembah ini merupakan kawasan yang sepi yang banyak kawasan hutannya. Namun, seiring perkembangan perkebunan kelapa sawit rakyat yang dikaitkan dengan campur tangan pemerintah melalui pola PIR, maka daerah ini semakin ramai ditandai dengan pertambahan serta keanekaragaman penduduknya. Ditambah lagi dengan adanya pola PIR yang dikaitkan dengan transmigrasi yang merupakan program pemerintah dalam hal penyebaran penduduk khususnya yang berasal dari pulau Jawa.
Hasil penelitian yang penulis lakukan menunjukkan bahwa perkembangan kelapa sawit rakyat tahun 1981-2000 di kecamatan Bagan Sinembah ini sejalan dengan perkembangan wilayahnya yang ditandai dengan pertambahan, penyebaran serta keanekaragaman penduduknya. Banyak masyarakat yang mulai tertarik dengan pertanian kelapa sawit karena telah menunjukkan peningkatan dalam segi ekonomi, baik yang berasal dari kecamatan Bagan Sinembah maupun yang berasal dari luar daerah terlebih dari daerah Sumatera Utara. Program yang dibuat oleh pemerintah untuk meningkatkan taraf kehidupan petani kelapa sawit melalui pola PIR ini cukup berhasil sehingga menarik minat banyak orang untuk menanam kelapa sawit di daerah ini. Ibarat pepatah, ada gula ada semut
begitulah keadaan perpindahan masyarakat di Kecamatan Bagan Sinembah pada saat itu. Akibatnya, wilayah yang awalnya sepi dan terpencil berubah menjadi wilayah yang ramai serta berkembang.
(17)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sejarah perkebunan di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sejarah perkembangan
kolonialisme, kapitalisme dan modernisasi. Pada umumnya perkebunan hadir sebagai
perpanjangan dari perkembangan kapitalisme agraris Barat yang diperkenalkan melalui
sistem perekonomian kolonial. Awalnya, perkebunan di Indonesia hadir sebagai sebuah
sistem perekonomian baru yang belum dikenal oleh kalangan masyarakat Indonesia. Bangsa
ini hanya mengenal sistem kebun sebagai sistem perekonomian tradisional, yang
kegunaannya sebatas pemenuhan kebutuhan hidup dan dikerjakan dengan pola-pola
tradisional.
Jenis-jenis perkebunan terbagi dua yaitu perkebunan inti rakyat (PIR) yang dikelola
oleh perusahaan inti dan perkebunan rakyat (small holdings), yang merupakan bentuk usaha
kecil, tidak padat modal, tenaga kerja keluarga, serta penggunaan lahan yang terbatas, dan
perkebunan besar (plantation), yang merupakan bentuk pertanian skala besar dan kompleks,
padat modal, areal pertanian luas, organisasi tenaga kerja besar, dan menggunakan tegnologi
modern seperti PTPN. Jika dilihat dari jenis komoditasnya, pertanian terbagi dua yaitu
pertanian tanaman pangan (food crops), yang lebih ditujukan untuk tanaman konsumsi atau
subsisten dan pertanian tanaman perdagangan (commercial crops), yang sering juga disebut
(18)
Kedatangan Belanda ke Indonesia telah mengubah sistem perekonomian Indonesia
dari sistem ekonomi subsisten menjadi komersial melalui perusahaan-perusahaan
multinasional dan salah satunya adalah perusahaan perkebunan.1
Di samping memenuhi kebutuhan dalam negeri akan produk-produk perkebunan yang
terus meningkat, peran perkebunan dalam pembangunan nasional yang cukup besar lainnya
adalah sebagai upaya peningkatan pendapatan petani, penyediaan lapangan kerja dalam
jumlah besar, pemerataan pembangunan di daerah-daerah, penciptaan efek ganda (multiplier
effects) yang mendorong berkembangnya berbagai industri yang terkait termasuk
industri-industri jasa, pembentukan pusat-pusat pertumbuhan baru, sejalan dengan pembangunan
perkebunan baru di wilayah-wilayah yang semula terpencil, membantu pemerataan Perkebunan tersebut
mempunyai peran yang cukup signifikan dan membawa suatu perkembangan unik dalam
sejarah ekonomi yang berpengaruh terhadap pertumbuhan, penyebaran dan komposisi
penduduk serta perkembangan suatu daerah. Hal ini sangat berkaitan dengan perkebunan
yang sering disebut sebagai agen pembangunan (agent of development) serta memberikan
lapangan pekerjaan bagi rakyat.
Setelah proklamasi kemerdekaan, komoditas perkebunan turut memberikan saham
yang cukup besar dan berharga dalam menegakkan perekonomian rakyat dan Negara
Indonesia, serta memainkan peran yang semakin lama semakin penting dalam pembangunan
nasional. Sejak dulu usaha tani perkebunan berorientasi ekspor, dan dalam pembangunan
sekarang ini komoditas perkebunan merupakan salah satu sumber pendapatan devisa
nonmigas dalam jumlah yang cukup besar.
1
Evo Heri Anton Manik, “Dampak Perkebunan PTPN II Bandar Klippa terhadap Masyarakat Desa Kolam 1975-1995”, Skripsi, belum diterbitkan, Medan: Universitas Sumatera Utara, 2003.
(19)
penyebaran penduduk, karena adanya kaitan antara program perluasan areal perkebunan
dengan transmigrasi dan ikut memantapkan wawasan nusantara untuk meningkatkan
ketahanan nasional.
Jika dilihat dari bentuk perusahaan perkebunan, di Indonesia dikenal tiga bentuk
utama usaha perkebunan yaitu Perkebunan Rakyat (PR), Perkebunan Besar Swasta (PBS),
dan Perkebunan Besar Negara (PBN). Pada penelitian ini, penulis lebih menekankan pada
perkebunan kelapa sawit milik rakyat atau yang sering dikenal dengan perkebunan rakyat.
Perkebunan rakyat memegang peranan yang cukup penting dalam perekonomian Indonesia
yakni meningkatkan perekonomian rakyat, penyerapan tenaga kerja, dan sumber devisa
Negara. Selain itu, perkebunan rakyat juga dijadikan sebagai motor penggerak dari
pembangunan suatu wilayah. Oleh karena itu, sejak tahun 1980 pemerintah menetapkan
bahwa setiap perluasan perkebunan harus diikuti dengan pembangunan perkebunan rakyat di
sekelilingnya, yaitu yang biasa disebut dengan istilah plasma.2
Tingkat pendidikan rata-rata petani di Indonesia masih sangat rendah,3
2
Kumpulan Makalah, “Proceedings: Seminar dan Panel Diskusi Pengembangan dan Pembinaan Perkebunan Rakyat (28-29 Juni 1985), Medan: Percetakan Universitas Sisimangaraja XII. hlm.104.
3
Soepadiyo Mangoensoekarjo & Haryono Semangun (ed), Manajemen Agrobisnis Kelapa Sawit, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006, hlm. 37.
sehingga
tingkat keterampilan dan kemampuan pengelolaan yang mereka miliki juga rendah terlebih
dalam memahami informasi pasar dan ditambah lagi dengan modal yang mereka miliki juga
rendah. Dengan melihat kelemahan tersebut, mudah dimengerti bahwa tingkat produktivitas
maupun hasil yang dicapai petani sangat rendah dan petani sulit diharapkan untuk mampu
(20)
Mengingat pentingnya peranan dan potensi perkebunan rakyat dalam peningkatan
perekonomian, pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan yang berkaitan dengan
pengusahaan perkebunan kelapa sawit. Sejak pelita II telah disusun oleh Direktorat Jenderal
Perkebunan suatu kebijaksanaan pembangunan perkebunan yang memuat tentang
perkebunan rakyat sebagai sasaran utama pembangunan. Kemudian pada awal Pelita III
pemerintah melancarkan program pengembangan perkebunan secara besar-besaran dengan
berbagai pola, seperti pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR),4 pola Unit pelaksana Proyek
(UPP), pola Swadaya, Perusahaan Besar Swasta Nasional (PBSN), dan lain-lain.5
4
Perkebunan Inti Rakyat merupakan suatu pola pelaksanaan pengembangan perkebunan besar sebagai inti dan perkebuna rakyat sebagai plasma dengan melibatkan rakyat bukan sebagai buruh perkebunan, tetapi sebagai pekebun yang mandiri atau dengan kata lain pemerintah menyediakan kesempatan bagi rakyat yang terpilih untuk ikut dalam proyek PIR. Pola PIR ini dirancang tahun 1974/1975 dan diperkenalkan dalam bentuk proyek NES/PIR-BUN di daerah perkebunan pada 1977/1978.
5
Soepadiyo Mangoensoekarjo & Haryono Semangun (ed.), Op.Cit., hlm.6.
Dengan dibukanya perkebunan kelapa sawit di daerah Bagan Sinembah dengan
program pemerintah yakni PIR (Perkebunan Inti Rakyat), perekonomian masyarakatnya pun
semakin meningkat, mengingat kelapa sawit adalah komoditi ekspor yang penting dan sangat
menguntungkan. Sebelum PIR dibuka di daerah ini, masyarakatnya hanya memanfaatkan
hasil hutan sebagai sumber perekonomian mereka. Keadaan mulai menunjukkan perubahan
setelah pola PIR mulai dibuka. Dalam pola ini, PTPN atau PBS yang kemampuannya dinilai
cukup, diberi tugas untuk membuka suatu perkebunan termasuk pabrik pengolahannya. Dan
di daerah Bagan Batu sendiri PTPN yang membuka perkebunan inti rakyat disekitarnya atau
sering juga disebut sebagai bapak angkat perkebunan inti rakyat tersebut adalah PTPN-V,
yang merupakan perkebunan yang berasal dari kebun pengembangan proyek eks PTP-II,
(21)
Pertanian kelapa sawit rakyat merupakan penggerak ekonomi yang terbesar pada
masyarakat di Riau khususnya di Kecamatan Bagan Sinembah. Namun, harga kelapa sawit
yang tidak menentu sering menimbulkan kerugian bagi para petani sawit yang memiliki
modal kecil dan lahan yang tidak luas. Hal ini berdampak pada hampir semua kalangan di
daerah ini, terutama pada golongan ekonomi menengah ke bawah. Para pedagang pun sering
mengeluh akibat penurunan harga kelapa sawit. Ketika harga kelapa sawit turun, maka
terjadilah kelumpuhan perekonomian di daerah ini karena sebagian besar masyarakat di
Bagan Batu memiliki mata pencaharian sebagai petani kelapa sawit. Bila harga kelapa sawit
tinggi, petani diuntungkan, sehingga kestabilan harga kelapa sawit menentukan kestabilan
perekonomian di daerah ini.
Awalnya, daerah ini merupakan kawasan hutan yang sedikit penduduknya, yang
hanya didiami oleh beberapa penduduk pendatang dari Sumatera Utara dan penduduk asli
Riau yakni suku Melayu yang pada saat itu masih belum menetap tinggal di desa Bagan
Sinembah karena daerah tersebut pada saat itu yakni sekitar tahun 1950an dianggap tidak
menjanjikan dari segi ekonomi. Namun, seiring dengan perkembangan pertanian kelapa
sawit, daerah ini berubah menjadi daerah yang ramai, ditandai dengan pertambahan angka
penduduknya. Selain itu, perkembangan pertanian kelapa sawit yang begitu luar biasa ini,
menjadikan Bagan Batu dijuluki sebagai “Kota Sawit”.
Manusia cenderung mencari lokasi atau tempat tinggal yang terbaik untuk dirinya
maupun kelompoknya. Hal ini akan mengakibatkan pengelompokan kegiatan pada
tempat-tempat tertentu, terutama pada tempat-tempat-tempat-tempat yang mempunyai sumber daya yang baik. Pada
(22)
dan akan menimbulkan perkembangan serta perkembangan itu sendiri akhirnya menarik buat
orang lain, demikian seterusnya. Dalam ilmu ekonomi, hal ini sering dijelaskan dengan teori
pertumbuhan kegiatan ekonomi yang berakumulatif.6
Secara teoritis pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah, kawasan atau pun daerah
tertentu akan diikuti oleh perubahan-perubahan mendasar dalam segala aspek kehidupan
masyarakat. Perubahan pola konsumsi masyarakat misalnya merupakan salah satu aspek
yang terlihat paling jelas. Aktivitas migrasi yang berlangsung dari satu wilayah ke wilayah
tertentu pun merupakan imbas positif yang berkembang sebagai konsekuensi pertumbuhan
ekonomi daerah bersangkutan.7 Semakin baik perkembangan ekonomi suatu daerah maka
kemungkinan terjadinya pertambahan angka migrasi pun akan semakin meningkat. Sama
halnya seperti yang dialami oleh daerah Sumatera Timur yang semakin pesat pertambahan
angka penduduknya ketika pertanian telah berkembang dan menunjukkan perkembangan dari
segi ekonomi. Seperti pepatah ada gula ada semut begitulah keadaan yang bisa digambarkan
terhadap daerah Bagan Sinembah pada saat itu. Perkembangan perekonomian sejalan dengan
pertambahan jumlah penduduknya. Dengan kata lain, dengan adanya kegiatan-kegiatan
pembangunan, terlebih pada sektor perkebunan, dapat mempengaruhi pola dan tingkat gerak
penduduk. Begitu pula sebaliknya, gerak penduduk dapat mempengaruhi dan memperlancar
pembangunan serta mengakibatkan perubahan sosial-ekonomi.8
6
Urbanus M. Ambardi, Pengembangan Wilayah dan Otonomi Daerah: Konsep dan Pengembangan, Jakarta: Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah BPPT, 2002, hlm. 61.
7
Abdul Haris & Nyoman Andika (ed), Dinamika Kependudukan dan Pembangunan di Indonesia: dari perspektif makro ke realitas mikro, Yogyakarta: LESFI, 2002, hlm.21.
8
Muhammad Idrus Abustam, Gerak Penduduk, Pembangunan dan Perubahan Sosial: kasus tiga komunitas padi sawah di Sulawesi selatan, Jakarta: UI-Press, 1990, hlm. Vii.
Dalam hal ini, perjalanan
(23)
dikenal dengan masyarakat yang dinamis, baik itu perubahan yang lamban prosesnya ataupun
dengan proses yang cepat.
Persoalan di atas menarik untuk dikaji, karena pertanian kelapa sawit rakyat
memegang peranan yang sangat penting dalam perekonomian masyarakat di daerah ini dan
membawa perubahan-perubahan yang bersifat positif yakni kemajuan-kemajuan yang
dialami oleh daerah ini salah satunya adalah pertambahan serta keanekaragaman
penduduknya yang mencakup perkembangan perekonomian masyarakat suatu wilayah. Di
samping itu, menurut pengamatan saya, masalah ini juga belum pernah diteliti. Penelitian
mengenai pengaruh pertanian kelapa sawit rakyat terhadap perekonomian terlebih bagi
perkembangan wilayah di daerah Riau sudah pernah dilakukan, tetapi khusus di Kecamatan
Bagan Sinembah belum pernah dilakukan. Inilah alasan saya meneliti pertanian kelapa sawit
rakyat yang terletak di Kecamatan Bagan Sinembah, Riau.
Cakupan kajian ini adalah Kecamatan Bagan Sinembah sebagai satu bagian dari
Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau. Batasan temporalnya adalah tahun 1981-2000.
Batasan waktu berkaitan dengan pola PIR yang telah dirancang oleh pemerintah tahun
1974/1975 dan di desa Bagan Sinembah9
9
Awalnya Bagan Sinembah adalah nama sebuah desa, namun sejalan dengan perkembangan penduduknya maka berkembang menjadi sebuah Kecamatan yang terdiri dari beberapa desa.
PIR ini mulai dibuka tahun 1981 dan diserahkan
atau dikonversikan kepada rakyat sekitar tahun 1990-an. Pada tahun 1990-an ini pula
semakin banyak penduduk yang bermigrasi ke daerah ini dan mulai membuka perkebunan
kelapa sawit. Penulis membuat sampai tahun 2000, karena pengaruh pertanian kelapa sawit
(24)
masyarakat, serta perkembangan wilayah Bagan Sinembah, yakni dengan semakin
banyaknya bangunan permanen di daerah ini.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan argumentasi di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini
memfokuskan kepada :
1. Bagaimana keadaan Kecamatan Bagan Sinembah sebelum dibukanya pertanian
kelapa sawit?
2. Bagaimana perkembangan pertanian kelapa sawit rakyat di Kecamatan Bagan
Sinembah tahun 1981-2000 ?
3. Bagaimana pengaruh pertanian kelapa sawit rakyat terhadap perkembangan
masyarakat di Kecamatan Bagan Sinembah Tahun 1981-2000?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang diungkap dalam penelitian ini, maka tujuan dari
penelitian ini adalah :
1. Menjelaskan keadaaan Kecamatan Bagan Sinembah sebelum dibukanya pertanian
kelapa sawit.
2. Menjelaskan perkembangan pertanian kelapa sawit rakyat di Kecamatan Bagan
Sinembah tahun 1981-2000.
3. Menjelaskan pengaruh pertanian kelapa sawit rakyat terhadap perkembangan
(25)
Adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini nantinya adalah :
1.
Bagi displin Ilmu Sejarah, dapat menambah referensi sejarah pertanian kelapasawit di daerah Bagan Sinembah khususnya sejarah pertanian kelapa sawit rakyat.
2.
Bagi masyarakat, penelitian ini dapat memberikan penjelasan tentang pengaruhperkebunan kelapa sawit khususnya kelapa sawit rakyat terhadap perkembangan
masyarakat di daerah Bagan Sinembah tahun 1981-2000.
3.
Aspek praktis diharapkan dari hasil penelitian ini adalah menjadi masukan bagipemerintah dalam mengambil kebijakan untuk menangani masalah perekonomian
khususnya pada sektor perkebunan kelapa sawit rakyat di daerah Bagan Sinembah
dan di Indonesia pada umumnya.
1.4 Tinjauan Pustaka
Dalam kajian ini, selain akan melakukan penelitian ke lapangan, peneliti juga
menggunakan beberapa literatur kepustakaan berupa buku-buku dan laporan sebagai bentuk
studi kepustakaan yang akan dilakukan selama penelitian.
Jika berbicara mengenai perkebunan, langkah pertama yang dilakukan adalah dengan
mengkaji karya Karl J. Pelzer dalam Toean Keboen dan Petani (1985). Di dalam karyanya
ini, Karl J. Pelzer menjelaskan mengenai sejarah perkebunan Deli yang juga merupakan cikal
bakal perkembangan perkebunan di Sumatera Timur hingga sampai ke Riau dan Bagan
Sinembah khususnya. Sejarah perkebunan Deli dimulai ketika Jacobus Nienhuys dan para
pionir pengusaha perkebunan yang pertama kali menggarap atau membuka wilayah
(26)
perkembangan yang sangat pesat. Perkebunan tersebut yang pada saat itu menghasilkan
tanaman tembakau di tanah Deli yang dirintis oleh Jacobus Nienhuys. Terbukti pada saat itu
tembakau yang dihasilkan merupakan produk yang sangat menguntungkan di pasar
perdagangan di Eropa yang kemudian menjadikan Deli penghasil daun pembungkus cerutu
termasyhur di dunia.
Sejak itu wilayah Medan menjadi ramai hingga sekarang ini. Dengan berkembangnya
perkebunan di Sumatera Timur, maka semakin berkembanglah perekonomian di daerah
tersebut. Berdatanganlah penduduk dari daerah lain yakni dari Tapanuli, Jawa (kuli kontrak),
Minangkabau dan lain sebagainya. Hal serupa juga terjadi di daerah Bagan Sinembah.
Setelah pertanian kelapa sawit berkembang dan menunjukkan hasilnya dalam bentuk
peningkatan perekonomian maka mulai berdatanganlah para penduduk dari daerah lain
seperti dari Jawa, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan lain sebagainya.
Dalam Manajemen Agrobisnis Kelapa Sawit (2003) yang disunting oleh Soepadiyo
Mangoensoekarjo dan Haryono Semangun dijelaskan bahwa di Indonesia dikenal tiga bentuk
utama usaha perkebunan yaitu Perkebunan Rakyat (PR), Perkebunan Besar Swasta (PBS)
dan Perkebunan Besar Negara (PBN). Bentuk lain yang relatif baru, yaitu bentuk Perusahaan
Inti Rakyat (PIR), yang pada dasarnya merupakan bentuk gabungan antara Perkebunan
rakyat dengan Perkebunan Besar Negara atau dengan Perkebunan Besar Swasta, dengan tata
hubungan yang bersifat khusus. Juga disebutkan pola PIR dirancang tahun 1974/1975 dengan
tujuan membantu membangun pertanian rakyat di sekitarnya, atau rakyat yang dipindahkan
(transmigrasi), untuk dijadikan plasma. Perkebunan inti dan plasmanya merupakan sistem
(27)
rakyat diharapkan lebih mampu memperoleh pendapatan yang lebih layak. Dari penjelasan
buku ini, kita bisa menyimpulkan bahwa pola PIR yang diterapkan oleh pemerintah sangat
membantu perkebunan rakyat dalam mengembangkan pertanian kelapa sawitnya sehingga
sangat membantu dalam bidang perekonomian.
Fachri Yasin dalam Agribisnis Riau: Pembangunan Perkebunan Berbasis Kerakyatan
(2003), mengkaji tentang perkebunan kelapa sawit yang semakin penting peranannya dalam
ekonomi Indonesia karena membawa kontribusi besar terhadap perolehan devisa Negara.
Pada periode pertama pembangunan jangka panjang tahap pertama (PJP-I), subsektor
perkebunan kelapa sawit telah memberikan kontribusi yang cukup berarti terhadap Produk
Domestik Regional Bruto Provinsi Riau10
10
A.Z. Fachri Yasin, Agribisnis Riau: Pembangunan Perkebunan Berbasis Kerakyatan, Pekanbaru: UNRI Press, 2003. Hlm. 100.
dan subsektor perkebunan dalam pembangunan
nasional juga berperan sebagai penyedia lapangan kerja. Di dalam bukunya ini, Fachri Yasin
juga menambahkan bahwa pola pengusahaan perkebunan kelapa sawit telah mengalami
pergeseran, di mana Perkebunan Besar Negara dan Swasta (PBN dan PBS) tidak lagi
mendominasi perkebunan kelapa sawit dan telah melibatkan peran serta masyarakat petani
yang semakin bertambah dalam pengusahaan perkebunan kelapa sawit yang terbentuk dalam
pola perkebunan swasta besar dan menengah serta perkebunan rakyat. Sehingga buku ini
sangat perlu untuk dikaji serta sangat membantu di dalam penelitian saya di dalam menulis
pengaruh perkebunan kelapa sawit bagi masyarakat di Kecamatan Bagan Sinembah yakni
dalam bidang ekonomi yang berkaitan dengan penyedia lapangan kerja serta pergeseran pola
(28)
Sementara itu, Mulyadi S dalam Ekonomi Sumber Daya Manusia: Dalam Perspektif
Pembangunan (2006), mengkaji tentang pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan penduduk
diakibatkan oleh empat komponen yaitu kelahiran (fertilitas), kematian (mortalitas), migrasi
masuk dan migrasi keluar. Selisih antara kelahiran dan kematian disebut pertumbuhan
alamiah (natural-increase), sedangkan selisih antara migrasi masuk dan migrasi keluar
disebut migrasi neto (net-migration). Mulyadi juga menambahkan mengenai gambaran laju
pertumbuhan penduduk, berdasarkan hasil pendataan, dikemukakan bahwa laju pertumbuhan
penduduk tertinggi adalah Provinsi Riau yaitu sebesar 3,85%. Buku ini sangat membantu
penulis untuk menjelaskan pertambahan penduduk yang terjadi di daerah Bagan Sinembah
melalui migrasi yang sangat berkaitan dengan perkembangan perkebunan kelapa sawit di
daerah ini. Buku yang ditulis oleh Mulyadi ini juga menjelaskan bahwa migrasi merupakan
perpindahan sumber daya manusia yang umumnya disebabkan oleh alasan ekonomi seperti
menyangkut pekerjaan.
1.5 Metode Penelitian
Dalam menulis kejadian masa lalu yang dituangkan dalam historiografi harus
menggunakan metode sejarah. Metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisa secara
kritis rekaman dan peninggalan masa lampau11
11
Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, terjemahan dari Nugroho Notosusanto, Jakarta: UI Press, 1985. Hlm. 32.
. Kemudian menurut Kuntowijoyo, Metode
sejarah ialah petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis tentang bahan, kritik, interpretasi dan
(29)
Tulisan sejarah dianggap ilmiah jika tulisan tersebut menggunakan metode sejarah.
Dalam penerapannya, metode sejarah ada empat tahapan yaitu heuristik, verifikasi,
interpretasi dan historiografi. Heuristik yaitu proses menemukan dan mengumpulkan sumber
sesuai dengan permasalahan penelitian. Heuristik berasal dari bahasa Yunani Heurinkein
yang artinya to find. To find di sini berarti tidak hanya menemukan, tetapi mencari terlebih
dahulu baru menemukan12
Sementara itu metode wawancara (studi lapangan) dilakukan kepada orang-orang
yang terlibat atau tidak terlibat langsung dengan aktivitas di perkebunan kelapa sawit
khususnya perkebunan kelapa sawit rakyat di daerah Bagan Sinembah. Wawancara . Metode yang digunakan untuk pengumpulan data atau sumber
adalah studi pustaka (library research) dan studi lapangan (field research). Studi pustaka
dilakukan dengan mengumpulkan sejumlah sumber tertulis, baik primer maupun sekunder,
berupa buku, artikel, laporan penelitian, skripsi, tesis, serta disertasi yang berkaitan dengan
objek penelitian yang terdapat di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, Perpustakaan
Daerah Sumatera Utara, Perpustakaan FISIP USU, Lembaga Penelitian Kelapa Sawit (LPKS)
yang berada di jalan Brigjen Katamso, Medan, Lembaga Penelitian USU, dan Perpustakaan
Umum Unimed. Selain buku, sumber tertulis lainnya juga berupa arsip, dokumen serta
laporan dari pemerintah daerah baik desa maupun pada tingkat Kabupaten Rokan Hilir, yang
terdapat di kantor kepala desa Bagan Batu, Kantor Camat Bagan Sinembah, Perpustakaan &
Arsip Daerah Kabupaten Rokan Hilir, Dinas Perkebunan Kab. Rokan Hilir, Dinas
Kependudukan Kab Rokan Hilir, kantor BPS Rokan Hilir yang terletak di Bagan Siapi-api,
sekitar ± 4 jam perjalanan dengan menggunakan kendaraan dari objek penelitian, serta ke
PTP Nusantara V Tanah Putih, Riau.
12
(30)
dilakukan dengan cara wawancara mendalam untuk memperoleh data secara lengkap tentang
permasalahan penelitian. Penentuan informan dilakukan melalui seorang informan kunci
yaitu masyarakat yang telah lama tinggal di desa Bagan Sinembah serta masyarakat yang
dianggap mengetahui secara detail permasalahan pertanian kelapa sawit rakyat di Bagan
Sinembah khususnya bagi para peserta PIR yang masih ada dan informan selanjutnya
ditentukan berdasarkan informan kunci ini atau yang dikenal dengan snow ball sampling.13
Tahapan selanjutnya adalah interpretasi yaitu membuat analisis dan sintesis terhadap
data yang telah diverifikasi. Hal ini diperlukan untuk membuat sumber-sumber yang
tampaknya terlepas satu dengan yang lainnya menjadi satu hubungan yang saling berkaitan.
Tahapan ini dilakukan dengan cara menafsirkan fakta sehingga terdapat pemahaman terhadap
fakta sejarah baik secara tematis maupun kronologis dapat diungkapkan. Meskipun fakta
bersifat objektif tetapi tetap mengandung sifat subjektif karena ditafsirkan oleh seseorang. Setelah data terkumpul maka tahapan selanjutnya dilakukan kritik sumber baik kritik
intern maupun kritik ekstern. Kritik ekstern menyangkut dokumennya yaitu meneliti apakah
dokumen itu memang dibutuhkan, apakah asli atau palsu, utuh atau sudah diubah sebagian.
Kritik intern berupa meneliti serta isi dari data atau sumber untuk menilai kelayakan data
akan permasalahan penelitian. Tujuan dari kritik intern ini ialah untuk mendapatkan
kredibilitas sumber atau kebenaran isi dari sumber tersebut, apakah isi dari sumber dapat
dipercaya atau tidak. Hal ini dilakukan melalui pengelompokan data dan membandingkannya
dengan data yang lain.
13
Snow ball sampling merupakan suatu tehnik atau cara yang digunakan di dalam wawancara untuk mendapatkan informan yang sesungguhnya dengan melewati beberapa tahapan yakni dari orang yang satu kemudian ke orang yang lain dan seterusnya sampai menemukan informan yang sesungguhnya.
(31)
Dengan kata lain, tahapan ini dilakukan dengan membuat kesimpulan keterangan atau
sumber informasi yang dapat dipercaya dari bahan-bahan yang ada. Dalam artian sebagai
sejarawan, kita harus kritis terhadap data atau sumber yang ada, tidak langsung
mempercayainya begitu saja atau “menelannya secara bulat-bulat”.
Tahapan yang terakhir dalam metode sejarah adalah historiografi. Historiografi
merupakan konstruksi fakta yang terlepas satu sama lain untuk digabungkan menjadi satu
perpaduan yang harmonis, kronologis dan logis. Dalam penulisan sejarah, aspek kronologis
memang menjadi salah satu hal yang sangat penting untuk menghasilkan karya sejarah yang
ilmiah dan objektif karena jika kita berbicara sejarah maka kita akan berbicara mengenai
waktu, tempat dan manusia sebagai pelakunya. Selain itu, historiografi juga merupakan
bentuk tulisan yang kritis analitis dan bersifat ilmiah. Analitis berarti membutuhkan
teori-teori dari berbagai ilmu sosial yang berguna untuk memberi informasi terhadap peristiwa
yang kita selidiki. Oleh karena itu, agar tulisan mengenai pengaruh pertanian kelapa sawit
rakyat terhadap perkembangan Kecamatan Bagan Sinembah ini dapat disajikan secara ilmiah
(32)
BAB II
KEADAAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI KECAMATAN BAGAN SINEMBAH SEBELUM DIBUKANYA PERTANIAN KELAPA SAWIT
2.1 Letak Geografis
Kecamatan Bagan Sinembah adalah salah satu kecamatan yang terdapat di Kabupaten
Rokan Hilir, Provinsi Riau. Merupakan pintu gerbang masuk ke wilayah provinsi Riau dari
arah Sumatera Utara. Jarak menuju ibu kota Kabupaten Rokan Hilir, Bagan Siapi-api kurang
lebih 180 Km atau sekitar 4 jam jarak tempuh, dengan menggunakan kendaraan bermotor.
Sedangkan jarak menuju Pekan Baru yang merupakan ibu kota Provinsi Riau kurang lebih
360 Km atau sekitar 5-6 jam jarak tempuh. Secara geografis, Kecamatan Bagan Sinembah
berada di ketinggian 10 meter dari permukaan laut. Luas Wilayah Kecamatan Bagan
Sinembah ini secara keseluruhannya sekitar 847, 35 Km2, 89% dari luas wilayah tersebut
terdiri dari dataran, selebihnya merupakan daerah bergelombang yakni sekitar 11%.14
Kecamatan ini terdiri atas 14 desa , yang kesemuanya sudah definitif antara lain, desa
Bahtera Makmur, Gelora, Pelita, Kencana, Pasir Putih, Balai Jaya, Balam Sempurna, Lubuk
Jawi, Bagan Sinembah, Panca Mukti, Salak, Bagan Bhakti, Harapan Makmur, dan Bagan Kecamatan Bagan Sinembah memiliki batas-batas sebagai berikut:
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Simpang Kanan dan Kecamatan Kubu
2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Pujud 3. Sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Sumatra Utara 4. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Bangko Pusako
14
(33)
Batu. Desa-desa di kecamatan Bagan Sinembah merupakan wilayah dataran. Dan setiap desa
atau lebih dikenal dengan kepenghuluan yang berada di Kecamatan Bagan Sinembah
dipimpin oleh seorang kepala desa atau datuk penghulu. Dalam menjalankan tugasnya kepala
desa dibantu oleh beberapa aparatnya. Di Bagan Sinembah ini, aparat desa sudah lengkap.
Seluruh desa sudah memiliki sekretaris dan telah dilengkapi dengan Badan Perwakilan
Kepenghuluan (BPK) dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM). Pada setiap desa atau
kepenghuluan yang ada di kecamatan Bagan Sinembah telah terbentuk RT dan RW, jumlah
RT dan RW pada setiap desa cukup bervariasi, berkisar antara 8 sampai 74 untuk RT dan 2
sampai 25 untuk RW.15
15
BPS dan BAPPEDA Kabupaten Rokan Hilir, Kecamatan Bagan Sinembah dalam Angka 2004, Bagan Siapiapi: BPS Kabupaten Rokan Hilir, 2005, hlm. 2.
Desa yang paling luas wilayahnya adalah desa Balam Sempurna sedangkan yang
terkecil ialah desa Salak. Jumlah penduduk Kecamatan Bagan Sinembah pada tahun 2000
sebanyak 87,958 orang dan jumlah penduduk paling banyak berada di Bagan Batu yang
merupakan ibukota kecamatan Bagan Sinembah, sementara jumlah penduduk yang terendah
berada di desa Salak. Sebanyak 10 desa yang relatif dekat dan mudah aksesnya ke ibukota
kecamatan, jaraknya kurang lebih 20 Km, sedangkan 4 desa lainnya, antara lain desa Lubuk
Jawi, Panca Mukti, Salak dan Bagan Bhakti jaraknya mencapai 30 Km. Untuk lebih jelas,
(34)
Tabel 1
Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk Menurut Desa di Kecamatan Bagan Sinembah tahun 2000
No Desa Luas Wilayah (Km2) Jumlah Penduduk (jiwa)
1 Bahtera Makmur 150.75 9,688
2 Gelora 7.08 1,316
3 Pelita 11.53 1,245
4 Kencana 6.99 1,435
5 Pasir Putih 139.21 6,842
6 Balai Jaya 111.52 13,290
7 Balam Sempurna 203.05 19,366
8 Lubuk Jawi 11.58 1,576
9 Bagan Sinembah 75.76 5,351
10 Panca Mukti 8.51 1,443
11 Salak 5.81 1,006
12 Bagan Bhakti 7.05 1,276
13 Harapan Makmur 8.53 1,671
14 Bagan Batu 99.98 22,453
(35)
Satu hal yang menarik dari Kecamatan Bagan Sinembah ini, yaitu sampai sekarang
penyebutan desa masih menggunakan kata kepenghuluan dan datuk penghulu untuk
menyebut kepala desanya. Hal ini sudah menjadi peraturan daerah yakni bagi setiap daerah
yang masuk ke dalam Kabupaten Rokan Hilir wajib menggunakan kata kepenghuluan untuk
menyebut sebuah desa.16 Cara kerja atau struktur keorganisasian kepenghuluan ini
sebenarnya sama saja seperti sistem keorganisasian desa, hanya saja penyebutannya yang
berbeda. Dengan kata lain kepenghuluan dan desa itu sama saja. Menurut data sejarah,
sebelum tahun 1979, di daerah ini untuk penyebutan sebuah desa menggunakan kata
kepenghuluan. Namun setelah lahirnya UU No.5 Tahun 1979, penyebutan kepenghuluan
diganti menjadi desa dan berdasarkan UU No.22 1999 secara historis penyebutan desa
diganti menjadi kepenghuluan yang dipimpin oleh seorang datuk penghulu. Penyebutan
datuk penghulu ini dianggap lebih terhormat daripada kepala desa.17
Tidak bisa dipungkiri, bahwa evolusi pembangunan sebuah wilayah, kota maupun
Negara sebagian besar bermula dari perkembangan entitas sebuah desa. Desa dalam
pengertian umum adalah desa sebagai suatu gejala yang bersifat universal, terdapat di
manapun di dunia ini. Sebagai suatu komunitas kecil, yang terikat pada lokalitas tertentu baik
sebagai tempat tinggal (secara menetap) maupun bagi pemenuhan kebutuhannya, dan
terutama yang tergantung pada kegiatan pertanian. Pengertian desa secara umum lebih sering
dikaitkan dengan pertanian. Egon E. Bergel misalnya, mendefenisikan desa sebagai “setiap
pemukiman para petani (peasants)”.18
16
Op. Cit., 25 Februari 2013 17
Op. Cit., 30 Mei 2013. 18
Raharjo, Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1999, hlm.29-30.
(36)
hal yang selalu harus terlekat pada setiap desa, begitu juga sebaliknya, desa tidak harus
dikaitkan dengan kegiatan pertanian, hanya saja kebanyakan desa di Indonesia khususnya
yang menitikberatkan kegiatan perekonomiannya pada kegiatan pertanian, namun tidak
semua, ada juga desa yang menitikberatkan kegiatan perekonomiannya pada bidang lain
seperti bidang perikanan, industri rumahan (home industry) atau kegiatan pekerjaan tangan
dan lain sebagainya. Yang menjadi ciri utama dari suatu desa adalah fungsinya sebagai
tempat tinggal yang menetap dari suatu kelompok masyarakat yang relatif kecil. Atau dengan
kata lain, sebuah desa ditandai dengan keterikatan warganya terhadap suatu wilayah tertentu.
Keterikatan terhadap wilayah ini di samping sebagai tempat tinggal, juga sebagai penyangga
kehidupan mereka.
Terbentuknya suatu desa tidak terlepas dari insting manusia, yang secara naluriah
ingin hidup bersama keluarga suami/istri dan anak serta sanak familinya, yang kemudian
lazimnya memilih suatu tempat kediaman bersama. Tempat kediaman tersebut dapat berupa
suatu wilayah dengan berpindah-pindah terutama terjadi pada kawasan tertentu hutan atau
areal lahan yang masih memungkinkan keluarga tersebut berpindah-pindah. Hal ini masih
dapat ditemukan pada beberapa suku asli di Sumatera, seperti kubu, suku anak dalam,
beberapa warga melayu asli, juga di pulau-pulau lainnya di Nusa Tenggara, Kalimantan dan
Papua.19
19
Op. Cit., Hal. 10-11.
Sama halnya dengan pembentukan desa Bagan Batu, yang tidak berbeda dengan
pembentukan sebuah desa pada umumnya, yang secara naluriah ingin hidup bersama dengan
keluarga bahkan sanak famili mereka dan yang terpenting adalah untuk mempertahankan
(37)
Istilah desa itu sendiri semula hanya dikenal di Jawa, Madura dan Bali. Desa dan
dusun berasal dari bahasa Sanskrit yang berarti tanah ai, tanah asal atau tanah kelahiran.
Dusun dipakai di daerah Sumatera Selatan dan juga di Batak. Di Maluku dikenal istilah
dusundati. Tidak hanya sekedar nama, menurut beberapa ahli seperti van den Berg dan Kern,
desa-desa di Jawa menyerupai desa-desa di India.20
Berbeda dengan perkembangan peradaban di Negara-negara Eropa yang
menggunakan kota sebagai pusat peradaban dan desa menjadi sumber ekonomi semata,
perkembangan peradaban di Indonesia tidak terlepas dari perkembangan di wilayah
pedesaan. Awal perkembangan kota-kota Indonesia sendiri dimulai dari dua tipe pedesaan
yakni pedesaan berbasis pertanian (inland atau agrarian) dan tipe pedesaan yang berbasis
pesisir.
21
Berkembangnya suatu daerah yang semula masih terbelakang, baik dari segi
perkembangan ekonomi maupun pertambahan jumlah penduduknya, akan mengakibatkan
terciptanya desa-desa baru. Pemecahan suatu desa disebabkan oleh alasan yang objektif,
yakni karena adanya perkembangan, maupun karena adanya kebijakan tertentu oleh
pemerintah. Munculnya desa-desa baru juga disebabkan oleh berubahnya status unit-unit
pemukiman transmigran (UPT) yang setelah lima tahun dalam binaan kemudian resmi
berstatus desa. Sehingga, pada 25 Juni 1987, berdasarkan keputusan Bupati, Kepala Daerah Sama halnya dengan keberadaan kecamatan Bagan Sinembah ini. Awalnya
Kecamatan Bagan Sinembah belum ada, yang dikenal saat itu hanya desa Bagan Sinembah
yang masuk ke dalam Kecamatan Kubu, Kabupaten Bengkalis.
20
Ibid., hal. 48.
21
M.A.Chozin, Pembangunan Perdesaan dalam Rangka Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat, Bogor: IPB Press, 2010, hlm. 104.
(38)
Tingkat II Bengkalis Nomor: KPTS.151/VII/1987 Bagan Sinembah dimekarkan menjadi 7
desa perwakilan kecamatan Kubu di Bagan Batu yaitu:
1. Desa Induk Bagan Sinembah, Kepala desanya Wan Muhammad Nor
2. Desa Bagan Batu, Kepala desanya Wan Bahrum Noor
3. Desa Bahtera Makmur, Kepala desanya H. Nurdin AR
4. Desa Pasir Putih, Kepala desanya A. Marlani
5. Desa Balai Jaya, Kepala desanya H. Wan Muchtar Noor
6. Desa Balam Sempurna, Kepala desanya H. Abdul Azis Hasibuan
7. Desa Simpang Kanan, Kepala desanya M. Yazid Hamta
Begitu pula dengan kecamatan Bagan Sinembah yang sudah terbentuk sejak tahun
1995. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa kecamatan Bagan Sinembah ini awalnya
merupakan sebuah desa yang luas, dan berada di Kecamatan Kubu, Kabupaten Bengkalis.
Dan karena semakin meningkatnya jumlah penduduk dan kegiatan pemerintahan serta
pembangunan pada wilayah Kabupaten Tingkat II Bengkalis, dalam wilayah Provinsi Daerah
Tingkat I Riau, maka untuk memperlancar tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan serta
untuk meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat, maka dipandang perlu membentuk
kecamatan baru dan menata kecamatan di wilayah Kabupaten daerah tingkat II tersebut.
Dengan demikian, presiden mengeluarkan PP No.33 Tahun 1995, tentang pembentukan 13
kecamatan di wilayah kabupaten Tingkat II Bengkalis, Indragiri Hilir dan Kampar, dalam
(39)
nomor 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah, pembentukan kecamatan
harus ditetapkan dengan peraturan pemerintah;22
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945;
Mengingat:
2. Undang-undang Nomor 12 tahun 1956 tentang pembentukan daerah otonom
kabupaten dalam lingkungan daeerah Provinsi Sumatera Tengah (Lembaran Negara
tahun 1956 Nomor 25);
3. Undang-undang nomor 61 tahun 1958 tentang penetapan Undang-undang Darurat
Nomor 19 tahun 1957 tentang pembentukan daerah-daerah swatantra Tingkat I
Sumatera Barat, Jambi dan Riau (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 75)
4. Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah
(Lembaran Negara tahun 1974 Nomor 38);
Memutuskan:
1. Membentuk Kecamatan Bagan Sinembah di wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II
Bengkalis, yang meliputi wilayah: a. Desa Bagan Batu; b. Desa Simpang Kanan; c.
Desa Bagan Sinembah; d. Desa Pasir Putih; e. Desa Bahtera Makmur; f. Desa Balai
Jaya; g. Desa Balam Sempurna.
2. Wilayah Kecamatan Bagan Sinembah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), semula
merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Kubu. Dengan dibentuknya Kecamatan
22
Saaldi Syukri Hasibuan, Kontribusi Anak dalam Membantu Ekonomi Keluarga Petani Kelapa Sawit…, 2005. USU e-Repository.
(40)
Bagan Sinembah, maka wilayah Kecamatan Kubu dikurangi dengan Kecamatan
Bagan Sinembah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Berdasarkan musyawarah, mufakat serta dukungan seluruh lapisan masyarakat dan
pemerintah Kabupaten Rokan Hilir, Kecamatan Bagan Sinembah yang semula merupakan
bagian dari Kecamatan Kubu, Kabupaten Bengkalis secara resmi terbentuk sebagai suatu
kecamatan definitif, tepatnya pada hari rabu, tanggal 4 Januari 1995, yang dipimpin oleh
seorang camat yang pertama bernama Drs. H. Wan Achmad Saiful. Dan sebagai hari jadi
yang pertama, berdasarkan PP Nomor 33 Tahun 1995, Kecamatan Bagan Sinembah terdiri
dari 15 desa antara lain, desa Bagan Batu, Bagan Sinembah, Bahtera Makmur, Pasir Putih,
Balai Jaya, Balam Sempurna, Simpang kanan, Gelora, Pelita, Harapan Makmur, Salak, Panca
Mukti, Kencana, Bagan Bakti dan Lubuk Jawi.
Berdasarkan UU No.53 Tahun 1999, tepatnya pada bulan Oktober 1999 Kabupaten
Bengkalis beralih menjadi Kabupaten Rokan Hilir. Kabupaten Rokan Hilir dibentuk dari tiga
kenegerian yaitu negeri Kubu, Bangko dan Tanah Putih. Negeri-negeri tersebut dipimpin
oleh seorang kepala Negeri yang bertanggung jawab kepada Sultan Kerajaan Siak. Distrik
pertama didirikan Belanda di Tanah Putih pada saat menduduki daerah ini tahun 1890.
Setelah Bagan Siapiapi yang dibuka oleh pemukim-pemukim Cina berkembang pesat,
Belanda memindahkan pemerintahan kontroleurnya ke kota ini tahun 1901. Sejak itu
Belanda membangun kota pelabuhan modern terlengkap di masanya mengimbangi pelabuhan
lainnya di selat Malaka.23
23
Ibid.,
Bekas wilayah Bagan Siapiapi yang terdiri dari Kecamatan Tanah
(41)
pada Oktober 1999, ditetapkan oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai Kabupaten baru
di Provinsi Riau yakni Kabupaten Rokan Hilir yang ibukotanya terletak di Bagan Siapiapi.
Kadang-kadang alasan terbentuknya desa tercantum dalam nama desa, dari nama desa
dapat diketahui alasan terbentuknya suatu masyarakat desa tertentu.24 Kata Bagan Sinembah
sendiri memiliki berasal dari bahasa Melayu. Adapun arti dari kata Bagan adalah tempat, dan
kata sinembah, diambil dari nama seorang pendatang dari Sumatera Utara yaitu Janombah,
yang kemudian pengucapannya oleh orang Melayu berubah menjadi sinembah. Sehingga
dapat disimpulkan secara sederhana bahwa arti dari Bagan Sinembah ialah tempat si
Janombah.25
Selain penyebutan kata kepenghuluan, hal lain yang cukup menarik untuk dikaji dari
sisi historis ialah mengenai kata Sinembah yang merupakan nama Kecamatan dari desa
Bagan Batu sendiri. Jika kita mendengar kata Sinembah maka banyak yang heran dan
bertanya-tanya. Mengapa kata sinembah ada dan dijadikan sebagai nama tempat di daerah
tersebut, padahal kata Sinembah sendiri erat kaitannya dengan bahasa Batak dari Sumatera
Utara, namun nama atau kata tersebut ada di desa Bagan Sinembah yang merupakan kawasan
suku Melayu. Itulah hal pertama yang ditanyakan orang ketika mendengar kata sinembah.
Menurut sejarahnya, Bagan Sinembah berasal dari kata Bagan Jasinombah yang artinya
tempat pondok persinggahan. Letaknya di sekitar sungai Bagan Sinembah yang populernya
merupakan tempat persinggahan masyarakat. Karena jarak yang cukup jauh dari tempat
tinggal mereka, maka bagi orang yang juga membuka serta mengambil hasil hutan di daerah
Bagan Sinembah tersebut terpaksa singgah ataupun numpang istirahat di pondok itu, terlebih
24
Op. Cit., hal.11.
25
(42)
bagi masyarakat Kubu di mana pada saat itu jarak tempuh menuju Kubu bisa sampai
berhari-hari.
Menurut informasi yang dapat dipercaya bahwa nama Sinembah berasal dari nama
Jasinombah Siregar yang merupakan masyarakat dari Tapanuli Selatan yang merantau ke
daerah Riau tepatnya di daerah Salak Bagan Sinembah sekarang, ia mulai membuka hutan
dan hidup di daerah tersebut dengan memanfaatkan hasil hutan yang seadanya serta
membangun sebuah pondok atau gubuk gubuk didekatnya sebagai tempat tinggalnya. Pada
saat daerah itu sudah mulai ramai dikunjungi orang maka Jasinombah tidak berada di tempat
atau menghilang secara misterius, yang secara positif beliau tidak diketahui oleh orang lagi
keberadaannya dan saat itu masih zaman penjajahan Belanda lebih kurang sekitar abad ke-19
daerah tersebut disebut kepenghuluan Hulu Kubu dan Penghulunya bernama Penghulu
Gundah, Hulu Kubu tersebut masih dalam wilayah Kecamatan Kubu.26
2.2Keadaan Sosial-Ekonomi Masyarakat Kec. Bagan Sinembah sebelum Dibukanya Pertanian Kelapa Sawit
Sebelum dibukanya perkebunan kelapa sawit dengan program pemerintah, daerah ini
merupakan daerah yang sepi dan sangat sulit dijangkau karena jalur transportasinya yang
belum memadai. Menurut informasi, masyarakat yang mendiami daerah ini sangat sedikit
jika dibandingkan dengan setelah berkembangnya perkebunan kelapa sawit.27
26
Darsono, Sejarah Bagan Sinembah: Bagan Sinembah Kota Sawit (Hari Jadi Kecamatan Bagan Sinembah ke-17), Bagan Batu, 2012.
27
Op. Cit., Bapak Muktar Waslin
Pada saat itu,
orang yang tinggal di daerah ini kebanyakan adalah orang-orang yang berasal dari Sumatera
(43)
Sigambal dan lain sebagainya) karena menurut jarak, mereka lah yang paling dekat dengan
wilayah Bagan Sinembah, yang terdiri dari orang-orang Jawa, Tapanuli, baik Selatan maupun
Utara dan orang-orang Melayu yang merupakan penduduk asli daerah ini. Kebanyakan
mereka lebih memilih tinggal di daerah Kubu. Pada saat itu belum ditentukan batas wilayah
antara Provinsi Riau dengan Provinsi Sumatera Utara sehingga untuk menjaga keamanan
maka dikirimlah utusan dari Kodam yang berada di Pulau Jawa ke daerah Bagan Sinembah
yang kemudian menjadi penduduk lokal di daerah ini.28
Karena hasil hutan di daerah ini cukup baik seperti adanya kayu damar, gaharu, rotan
dan jenis kayu lainnya yang dianggap bernilai dan dibutuhkan sampai ke luar negeri maka
mulai dibuka perusahaan balok di sekitar daerah tersebut. Dibukanya perusahaan balok,
maka mulailah dirintis jalan sebagai jalur transportasi atau pengangkutan balok-balok
tersebut yang dikenal dengan jalan balok. Kondisi tanahnya juga masih memprihatinkan
terdiri dari tanah merah, yang berlumpur ketika musim hujan sehingga tidak jarang truk
lengket di dalamnya dan berabu ketika musim kemarau. Sebelum adanya jalan balok ini, Mereka bermata pencaharian sebagai pencari ikan, berdagang dan mengambil hasil
hutan seperti damar, rotan, gaharu dan lain sebagainya. Pada saat itu Bagan Sinembah
merupakan penghasil hutan rotan (Rotan Batu, Rotan Sogo, Rota Dahanan) yang bisa
dikatakan cukup baik sehingga sampai mengekspor ke luar negeri seperti Singapura dan
penghasil Jernang, damar mata kucing yang diolah menjadi pewarna kain atau pakaian yang
sekarang disebut wanted. Selain itu, mereka juga berkebun, tetapi hanya sebatas pemenuhan
kebutuhan pangan seperti menanam padi, ubi, jagung dan lain sebagainya.
28
Wawancara, Bapak Ahmadan Simatupang, di Kantor SMA Pembangunan Bagan Sinembah, 30 Mei 2013
(44)
orang Sumatera Utara yang hendak ke daerah Bagan Sinembah ini harus ke Tasik terlebih
dahulu. Tasik merupakan perkumpulan kayu balok yang dijadikan sebagai tempat
penyeberangan. Ketika orang hendak ke Bagan Sinembah dari arah Sumatera Utara maka
harus ke hulu Kota Pinang terlebih dahulu dengan naik boat menyeberang selama kurang
lebih 2 jam kemudian melewati jalan darat lagi hingga sampai ke daerah Bagan Sinembah.29
Begitulah keadaan transportasi saat itu, ketika perkebunan kelapa sawit belum berkembang.
Seiring perkembangannya, masyarakat yang tinggal di daerah tersebut mulai
membuka hutan serta membuka perkebunan seperti perkebunan kelapa sawit dan karet
dengan kualitas yang rendah. Masyarakat yang membuka perkebunan tersebut ada yang
menetap dan adapula yang tidak menetap. Mereka masih berpindah-pindah dan mencari
daerah yang dianggapnya lebih baik karena pada saat itu daerah Bagan Sinembah masih
sangat sepi dan bagi sebagian orang dianggap tidak memungkinkan untuk membawanya ke
taraf kehidupan yang lebih baik sehingga mereka menjual lahan mereka dan bahkan
meninggalkannya begitu saja. Inilah yang di kemudian hari menjadi salah satu penyebab
adanya konflik kepemilikan tanah di daerah ini. Bagi masyarakat yang menetap di daerah
tersebut, mereka dengan sabar merawat pertanian mereka, walaupun hasil yang didapatkan
belum memadai akibat belum terampilnya mereka dalam berkebun dan bibit yang digunakan
pun masih berkualitas rendah. Terbukti, kesabaran mereka membuahkan hasil. Lambat laun
perkebunan semakin berkembang sehingga mereka berhasil meningkatkan taraf kehidupan
mereka melalui perekonomian pertanian kelapa sawit ini.
29
(45)
2.2.1 Tingkat Pendidikan
Rendahnya tingkat pendidikan menimbulkan kesulitan untuk mendapatkan “figur
pengelola” di kalangan petani.30 Sebelum dibukanya pertanian kelapa sawit, tingkat
pendidikan masyarakat yang mendiami daerah ini masih rendah dan bahkan tidak pernah
mengecap pendidikan secara formal di sekolah sama sekali. Hanya beberapa orang yang
lulusan SMA, yakni masyarakat dari Sumatera Utara yang bekerja di PTP IV Gunung
Pamela.31
30
Bahtiar Saleh Abbas dan Burhani Syah, Beberapa aspek sosial ekonomi petani kelapa sawit proyek pengembangan perkebunan rakyat Sumatera Utara, Buletin BPP Medan, 1981, 12 (1), hlm 23-25.
31
Awalnya, yang menjadi perusahaan inti dari perkebunan rakyat di desa Bagan Sinembah adalah PTP IV Gunung Pamela, Sumatera Utara.
Kebanyakan mereka yang datang ke daerah ini dilatarbelakangi dengan pendidikan
yang minim. Bahkan, banyak yang masih buta huruf. Jangankan untuk sekolah, untuk
memenuhi kebutuhan pangan saja mereka sangat kesulitan terlebih para transmigran yang
berasal dari Pulau Jawa. Mereka datang ke daerah ini dengan maksud ingin mengubah nasib
yakni mengubah kehidupan dengan taraf ekonomi yang lebih baik. Walaupun tingkat
pendidikan mereka rendah, bagi sebagian orang hal tersebut tidak mengurangi rasa ingin tahu
dan semangat mereka untuk membuka perkebunan di daerah ini. Karena mereka menganggap
tanpa mengecap pendidikan secara formal pun mereka pasti mampu mengelola perkebunan
kelapa sawit walaupun awalnya hasilnya juga belum memuaskan, karena di dalam
perkebunan kelapa sawit ini tidak dibutuhan perlombaan tertulis dan yang mengharuskan
(46)
BAB III
SEJARAH PERTANIAN KELAPA SAWIT RAKYAT DI KECAMATAN BAGAN SINEMBAH
Sebelum membahas sejarah pertanian kelapa sawit rakyat di Kecamatan Bagan
Sinembah, ada baiknya dibahas sejarah atau pun riwayat kedatangan kelapa sawit di
Indonesia terlebih dahulu. Tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensis Jack) berasal dari Nigeria,
Afrika Barat. Walaupun demikian, ada yang mengatakan bahwa kelapa sawit berasal dari
Amerika Selatan yaitu Brazil karena lebih banyak ditemukan spesies kelapa sawit di hutan
Brazil dibandingkan dengan Afrika.32
Istilah kelapa mungkin dimaksudkan sebagai istilah umum untuk jenis palem.
Meskipun demikian, perkataan sudah ada sejak lama. Beberapa tempat (desa di Pulau Jawa)
sudah ada yang menggunakan nama “sawit” sebelum kelapa sawit masuk ke Indonesia pada
tahun 1848 yang ditanam di Kebun Raya Bogor. Dalam bahasa Jawa Kawi “sawit” artinya
siedhakep, kalung. Nama lain dalam bahasa Jawa adalah kelapa sewu dan dalam bahasa
Sunda sering disebut sebagai salak minyak atau kelapa ciung.
Meskipun kelapa sawit bukanlah tanaman asli
Indonesia, namun kenyataannya tanaman ini mampu hadir, tumbuh dan berkembang dengan
baik di luar daerah asalnya termasuk di Indonesia dan menjadi salah satu komoditas
perkebunan yang handal. Awalnya, kelapa sawit di Indonesia dijadikan sekedar tanaman hias
langka di Kebun Raya Bogor, dan sebagai tanaman penghias jalanan atau pekarangan.
33
32
Ir. Yan Fauzi, dkk, Kelapa sawit: Budi daya, Pemanfaatan Hasil dan Limbah, Analisis Usaha dan Pemasaran, Jakarta: Penebar Swadaya, 2002, hlm. 1.
33
(47)
Tahun 1848¸ Pemerintah Kolonial Belanda pertama kali memperkenalkan tanaman
kelapa sawit di Indonesia dengan mendatangkan empat batang bibit kelapa sawit dari
Mauritius dan Amsterdam yang kemudian ditanam di Kebun Raya Bogor. Selanjutnya hasil
anakannya dipindahkan ke Deli, Sumatera Utara. Di tempat ini, selama beberapa puluh
tahun, kelapa sawit yang telah berkembang biak hanya berperan sebagai tanaman hias di
sepanjang jalan di Deli sehingga potensi yang sesungguhnya belum kelihatan.34
Melihat hal tersebut, pemerintah kolonial Belanda yang mengetahui lebih banyak
tentang sisi ekonomis kelapa sawit, berupaya menarik minat masyarakat Indonesia terhadap
pengusahaan tanaman kelapa sawit. Beberapa percobaan penanaman kelapa sawit yang
disertai dengan kegiatan penyuluhan dilakukan di Muara Enim tahun 1869, Musi Hulu tahun
1870 dan di Belitung tahun 1890.35
Tanaman kelapa sawit ini mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial pada
tahun 1911. Orang yang merintis usaha ini adalah Adrien Hallet, seorang Belgia yang telah
belajar banyak tentang kelapa sawit di Afrika. Ia mengusahakan perkebunan kelapa sawitnya
di Sungai Liput (Aceh) dan Pulu Radja (Asahan). Rintisan Hallet ini kemudian diikuti oleh
K. Schadt, seorang Jerman yang mengusahakan perkebunannya di daerah Tanah Itan Ulu di
Deli. Dan budidaya kelapa sawit yang diusahakan secara komersial oleh A. Hallet ini Dan hasilnya ternyata belum memuaskan, masyarakat
pekebun masih belum yakin terhadap prospek ekonomis perkebunan kelapa sawit sehingga
peranan kelapa sawit belum berubah yakni hanya sebagai tanaman hias di jalanan.
34
Tim Penulis PS, Kelapa Sawit: Usaha Budidaya, Pemanfaatan Hasil, dan Aspek Pemasaran, Jakarta: Penebar Swadaya, 1997, hlm.2-3.
35 Ibid.,
(48)
kemudian diikuti oleh K. Schadt, yang menandai lahirnya perkebunan kelapa sawit di
Indonesia. Sejak saat itu perkebunan kelapa sawit di Indonesia mulai berkembang.
Pada masa penjajahan Belanda, perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang lokasinya
hanya ada di pantai Timur Sumatera (Deli) dan Aceh ini berkembang dengan pesat.
Awalnya, perkebunan-perkebunan kelapa sawit tersebut dimiliki oleh perorangan. Dalam
perkembangannya, usaha perkebunan perorangan ini tergeser dan akhirnya tergantikan oleh
perusahaan perkebunan asing milik swasta Belanda, Prancis dan Belgia yang bermodal besar.
Masa pendudukan Jepang, luas areal dan produksi perkebunan kelapa sawit di
Indonesia menurun drastis. Bahkan menjelang tahun 1943, pemerintahan Pendudukan Jepang
menghentikan secara keseluruhan produksi perkebunan kelapa sawit yang ada di Indonesia.
Hal ini berkaitan dengan pemerintah Pendudukan jepang yang lebih mengutamakan tanaman
pangan untuk keperluan logistik perang dibandingkan tanaman perkebunan atau industri.
Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, banyak laskar pemuda yang saling
berebut wilayah perkebunan untuk memperkuat perjuangan organisasinya masing-masing.
Akhirnya perkebunan tersebut dikelola dengan sistem manajemen mereka sendiri. Dan pada
agresi militer pertama, Belanda berhasil merebut kembali sebagian besar perkebunan yang
dikuasai oleh laskar pemuda dan menjelang akhir tahun 1948 Belanda menyerahkannya
kembali kepada pemiliknya terdahulu (swasta asing). Dua kejadian tersebut ikut mewarnai
perkembangan perkebunan kelapa sawit masa itu. Akibatnya luas areal dan produksi
(49)
Setelah Belanda dan Jepang meninggalkan Indonesia pada 10 Desember 1957,
pemerintah mengambil alih atau menasionalisasikan perkebunan asing yang ada di Indonesia
dengan alasan politik dan keamanan. Pemerintah menempatkan perwira-perwira militer di
setiap jenjang manajemen perkebunan yang bertujuan mengamankan jalannya produksi.
Pemerintah juga membentuk BUMIL (buruh militer) yang merupakan wadah kerjasama
antara buruh perkebunan dengan militer.
Memasuki pemerintahan orde baru, pembangunan perkebunan diarahkan dalam
rangka menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan sebagai
penghasil devisa Negara. Oleh karena itu, pemerintah terus mendorong pembukaan lahan
baru untuk perkebunan. Sampai tahun 1980 luas lahan mencapai 294.560 ha. Sejak saat itu
lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia berkembang pesat terutama perkebunan rakyat. Hal
ini didukung oleh kebijakan pemerintah yang melaksanakan program perkebunan inti rakyat
perkebunan (PIR-Bun).
Dalam perkembangannya, sesuai dengan kebijakan pemerintah tersebut,
pembangunan perkebunan pun diarahkan pada hal-hal seperti pembangunan perkebunan
rakyat untuk menjadikannya sebagai tulang punggung, pembangunan perkebunan besar
Negara (Perusahaan Negara/Perseroan Terbatas Perkebunan, PN/PTP) untuk menjadikannya
sebagai pendukung usaha perkebunan rakyat yakni memberitahu pengetahuan teknologi
budaya dan pengolahan, juga ikut membantu pengolahan serta pemasaran hasil dari
perkebunan rakyat dan pembangunan perkebunan besar swasta baik nasional maupun asing
(PBSN/PBSA) untuk menjadikannya pelengkap yang mampu mewadahi perkembangan
(50)
Di atas telah diuraikan bagaimana sejarah kedatangan kelapa sawit sampai ke
Indonesia bagaimana dimulainya perusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang
awalnya hanya sebagai tanaman hias di jalan. Di Kecamatan Bagan Sinembah sendiri,
perkebunan kelapa sawit ini dimulai dengan adanya program pemerintah di desa Bagan
Sinembah yang merupakan cikal bakal dari kecamatan Bagan Sinembah sekarang yakni
dengan adanya pola PIR. Awalnya desa Bagan Sinembah merupakan kawasan hutan.
Walaupun dikatakan kawasan hutan, namun ada juga beberapa masyarakat yang tinggal di
daerah ini yang bisa dikatakan mencoba-coba menanam kelapa sawit dan karet, dengan
kualitas bibit yang rendah dan hasilnya juga tentu rendah. Kala itu tidak banyak yang tertarik
untuk menanam kelapa sawit di daerah ini terlebih suku aslinya yakni suku Melayu yang
lebih memilih tinggal di daerah Kubu dari pada di desa Bagan Sinembah karena daerah
tersebut pada saat itu masih sepi dan perkebunan kelapa sawit pun saat itu dianggap tidak
menjanjikan.
3.1 PIR (Perkebunan Inti Rakyat)
Jumlah petani yang terlibat dalam perkebunan rakyat cukup besar dan umumnya
merupakan golongan ekonomi rendah. Pemerintah telah berusaha membantu golongan lemah
ini, antara lain melalui pengembangan perkebunan rakyat. Melalui proyek ini diharapkan
pendapatan petani akan meningkat, petani akan memiliki kebun sendiri, kemudian lahan
yang diusahakan petani yang selama ini seolah-olah diterlantarkan akan lebih bermanfaat dan
dalam skala nasional akan meningkatkan produksi perkebunan. Selain itu, keikutsertaan
(51)
orang tersebut menjadi petani pekebun yang professional dengan kata lain menjadi tuan di
tanahnya sendiri.36
Sejak tahun 1967 pengusahaan perkebunan kelapa sawit dilakukan oleh dua
perusahaan yaitu perusahaan perkebunan Negara dan perusahaan perkebunan swasta. Pembangunan perkebunan kelapa sawit rakyat pola PIR-BUN merupakan salah satu
bagian pembangunan ekonomi nasional serta regional yang pada dasarnya menjadi sumber
devisa Negara di samping minyak dan gas bumi. Pembangunan perkebunan rakyat tersebut
diharapkan dapat meningkatkan taraf kehidupan petani serta berpengaruh juga terhadap
peningkatan devisa Negara. Oleh karena itu, dalam usaha meningkatkan perekonomian
petani tersebut, diperlukan kerja keras atau bantuan dari pemerintah dalam usaha mengubah
pola hidup petani dari pola usaha tani yang berpindah-pindah ke pola usaha tani yang
menetap.
Agar pengelolaan usahatani tersebut dapat berjalan dengan baik, maka perlu upaya
peningkatan ekonomi petani plasma melalui berbagai kegiatan berupa pembinaan, bimbingan
dan penyuluhan serta bantuan kemudahan untuk memperoleh kredit dan fasilitas-fasilitas
lainnya sehingga pendapatan petani plasma meningkat. Dalam pola PIR, perusahaan
perkebunan besar ditugaskan sebagai pembina, salah satu alasannya adalah bahwa
produktivitas perkebunan besar jauh di atas perkebunan rakyat. Oleh karena itu, pemindahan
teknologi dari perkebunan besar ke perkebunan rakyat dapat lebih meningkatkan
produktivitas perkebunan rakyat. Dengan kata lain, dengan digunakannya teknologi modern
perkebunan besar oleh perkebunan rakyat, maka penghasilan petani kecil dapat ditingkatkan.
36
(52)
Dominasi perusahaan perkebunan atas kelapa sawit ini berakhir pada tahun 1975 yakni pada
saat masyarakat tani di Aek Nabara, Labuhan Batu, Sumatera Utara diberi kesempatan untuk
membudidayakan kelapa sawit dengan menjadi peserta Proyek Pengembangan Perkebunan
Rakyat Sumatera Utara (P3RSU).37
Kehadiran pola PIR ini membawa harapan yang baru bagi pembangunan perkebunan
di Indonesia khususnya perkebunan rakyat. Karena pada saat itulah, untuk pertama kalinya
dalam sejarah perkebunan di Indonesia, perusahaan perkebunan yang bermodal besar baik
perusahaan Negara maupun swasta bekerja sama dengan petani-pekebun yang bermodal kecil
yang bisa dikatakan dengan perkebunan rakyat. Bekerja sama yang dimaksud adalah dimana
perkebunan yang bermodal besar berperan sebagai inti, sedangkan petani-pekebun dan
peserta proyek sebagai plasma. Perusahaan inti bertugas membina kemampuan teknis
budidaya dan manajemen para petani plasma juga berkewajiban membeli seluruh hasil
perkebunan petani plasma, begitu juga sebaliknya, petani plasma berkewajiban untuk Pola PIR merupakan salah satu dari pola pengembangan perkebunan rakyat. Pola
Perkebunan Inti Rakyat ini mulai dirancang pada tahun 1974/1975 dan diperkenalkan dalam
bentuk Proyek NES/PIR-BUN di daerah perkebunan mulai pada tahun 1977/1978 yaitu PIR
Lokal, PIR Khusus, PIR Berbantuan, dan PIR Trans. Sejak tahun 1984, berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 853 tahun 1984, pengembangan perkebunan besar
kelapa sawit dilakukan dengan pola PIR. Kemudian tahun 1986, sesuai dengan Inpres Nomor
1 tahun 1986 telah ditetapkan bahwa pengembangan perkebunan dengan pola PIR harus
dikaitkan dengan program transmigrasi.
37
P3RSU merupakan bagian dari pola pembangunan perkebunan rakyat yang dikenal dengan nama Unik Pelaksana Proyek (UPP) dan pada proyek tersebut tiap petani peserta mendapat jatah tanah seluas 2 ha
(53)
menjual seluruh hasil kebun plasma kepada perusahaan inti. Selain itu, petani plasma juga
diharuskan untuk memelihara kebun plasma sesuai dengan bimbingan teknis budidaya yang
telah diberikan oleh perusahaan inti.
Pemerintah berharap dengan adanya pola PIR ini, kedua pihak yang terkait di
dalamnya yakni perusahaan inti dan petani plasma dapat bekerja sama dengan baik, dapat
duduk sama rendah berdiri sama tinggi artinya mereka dapat saling membutuhkan dan saling
memberi keuntungkan. Agar seluruh masyarakat pekebun di Indonesia terlebih di desa Bagan
Batu dapat terbantu dalam segi ekonomi sehingga mereka dapat meningkatkan taraf
kehidupan keluarga mereka dengan adanya pola PIR ini. Apabila dengan bimbingan yang
baik, maka produktivitas perkebunan kelapa sawit pola PIR ini diharapkan sama atau hampir
sama dengan perkebunan besar.
PIR-Perkebunan yang pertama dilaksanakan adalah melalui Nucleus Estate
Smallholder Project yang lebih dikenal dengan proyek NES dengan pembiayaan yang
bersumber dari Bank Dunia. Proyek NES-I dilaksanakan mulai tahun 1977 di dua lokasi
yaitu Alue Merah, Aceh dan Tabenan, Sumatera Selatan. Proyek NES ini dilaksanakan di
berbagai daerah sampai dengan NES-V. Sejak saat itu pola PIR di bidang perkebunan
berkembang hampir ke seluruh pelosok tanah air, terutama di daerah-daerah yang memiliki
potensi untuk perkebunan dan salah satunya terletak di daerah Riau tepatnya di desa Bagan
Sinembah, kemudian dikembangkan proyek PIR-khusus yang dipadukan dengan
penyelenggaraan program pemerintah yakni program transmigrasi. Selanjutnya PIR-khusus
(54)
Jika dilihat dari sumber dana dan peserta proyek, Proyek NES/PIR-BUN terdiri dari
empat model PIR yakni PIR-Lokal, PIR-Khusus, PIR-Berbantuan, dan PIR-Trans. Pada
bentuk pola PIR yang pertama yakni PIR-Lokal ini, sumber dananya berasal dari Bank
Dunia, pesertanya adalah penduduk setempat dan lokasinya pun di sekitar perkebunan yang
sudah ada. Pola yang pertama ini berbeda dengan pola Khusus, bantuan, dan
PIR-Trans. Perbedaannya terletak pada penyediaan tanaman pangan dan lahan pekarangan
termasuk rumah yang tidak diberikan atau disediakan kepada petani peserta melainkan hanya
tanaman pokok seluas 2 ha. Menurut analisa penulis, hal ini terjadi karena peserta pada pola
ini berasal dari penduduk setempat yang dianggap telah memiliki rumah dan tanaman pangan
di sekitar perkebunannya, yang berbeda jauh dengan peserta PIR-khusus, PIR-bantuan dan
PIR-Trans yang merupakan bukaan baru dan pesertanya merupakan para transmigran yang
berasal dari pulau Jawa.
PIR-Bantuan merupakan suatu pola PIR, di mana pesertanya adalah para petani di
sekitar proyek yang tanahnya terkena pembangunan PIR, atau petani yang dikaitkan dengan
lokasi yang bersedia bergabung menjadi petani plasma, lokasi perkebunannya merupakan
bukaan baru sehingga pemerintah menyediakan tanaman pangan dan lahan pekarangan seluas
1 ha dan sumber dananya berasal dari bantuan luar negeri. Kemudian Pola PIR-Khusus,
merupakan suatu pola yang pesertanya adalah penduduk baru, yang didatangkan dari Pulau
Jawa melalui program transmigrasi dan sumber dananya swadana atau PIR-Swadana, yaitu
pola PIR dengan sumber dana dalam negeri dan lokasinya juga merupakan bukaan baru.
(55)
Kelahiran pola PIR Trans ditandai dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden
Republik Indonesia (Inpres) nomor 1 tahun 1986, tentang perkembangan perkebunan dengan
pola PIR yang dikaitkan dengan program transmigrasi yang dikembangkan oleh pemerintah.
Ada empat hal atau pertimbangan yang melatarbelakangi diterapkannya pola PIR-Trans ini
yaitu untuk meningkatkan produksi komoditas non-migas, meningkatkan pendapatan petani,
membantu pengembangan wilayah, dan menunjang keberhasilan program transmigrasi.
Selain itu di dalam pola PIR-Trans ini dikenal pula beberapa jenis proyek mengenai PIR,
seperti proyek PIR-akselerasi, yaitu proyek PIR-perkebunan yang dikembangkan di
pemukiman transmigrasi yang sudah ada, yang merupakan atas permintaan para transmigran
pada lahan usaha yang seluas 1 ha, terdiri dari 0,50 tanaman pangan dan 0,50 lahan
pekarangan, pesertanya merupakan transmigran dan transmigran yang berasal dari penduduk
setempat atau bisa dikatakan transmigran yang sudah lama tinggal di daerah bersangkutan
serta telah menjadi penduduk setempat.
Seperti halnya PIR-BUN sebelumnya, PIR Trans juga terdiri dari dua komponen yang
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan yaitu perusahaan inti dan petani peserta.
Perusahaan inti ditetapkan dengan SK Menteri Pertanian sedangkan penentuan calon petani
peserta dilakukan oleh Menteri Transmigrasi dan Pemerintah Daerah berdasarkan
syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Menteri Pertanian. Untuk lebih jelasnya, lihat tabel di
(56)
Tabel 2
Kriteria dari pola PIR
No Kriteria PIR-Lokal PIR-Khusus
PIR-Bantuan
PIR-Trans
1 Tanaman pokok 2 ha 2 ha 2 ha 2 ha
2 Tanaman pangan 0 ha 0,75 ha 0,75 ha 0,50 ha
3 Lahan Pekarangan 0 ha 0,25 ha 0,25 ha 0,50 ha
4 Peserta Penduduk lokal Transmigran Penduduk
lokal
Transmigran
dan APPDT*
5 Rumah (m2) Tidak ada 36 36 36
6 Lokasi Sekitar
perkebunan
yang sudah ada
Bukaan baru Bukaan baru Bukaan baru
7 Sumber dana Bank dunia Swadana Bantuan Luar
negeri
Kredit
Khusus
Sumber: Buku Perkebunan dari NES ke PIR oleh Rofiq Ahmad. Hal 31.
*
APPDT adalah transmigran yang berasal dari penduduk setempat
Dalam pola PIR, fasilitas umum seperti jalan, sekolah, rumah ibadah, klinik dan
lain-lain juga merupakan bagian dari proyek. Lahan kebun inti berstatus Hak Guna Usaha (HGU),
sedangkan kebun plasma beserta lahan tambahannya menjadi hak milik petani peserta,
(57)
dan perumahan atau yang lebih dikenal dengan istilah konversi, dilakukan pada saat kebun
mulai menghasilkan. Selama menunggu konversi, para petani peserta berstatus sebagai
karyawan kebun inti. Dan selama masa tunggu ini merupakan masa yang sangat penting
dilihat dari segi pengembangan sumber daya manusia, khususnya dalam pengembangan
kemampuan petani peserta dalam hal berkebun kelapa sawit yang baik, sesuai dengan
petunjuk perkebunan inti. Kemudian, pada saat kebun mulai menghasilkan, para petani
peserta mulai membayar utang-utang mereka berupa seluruh biaya yang menyangkut
pengembangan unit kebun serta lahan tambahan kepada pemerintah. Karena pola ini
merupakan program pemerintah untuk meningkatkan taraf perekonomian petani kecil maka,
pembayarannya pun sangat meringankan para petani peserta yakni berupa cicilan perbulan
dan cicilan perbulam ini pun diperoleh dari 30% pendapatan dari hasil perkebunannya
dengan masa tenggang yang cukup panjang.
Adapun syarat-syarat masuk menjadi peserta PIR di Kecamatan Bagan Sinembah ini
tidak berbeda dengan syarat pada peserta PIR pada umumnya, yaitu KTP, Surat nikah, dan
KK, hanya saja yang membedakan adalah asal pesertanya. Untuk masuk ke dalam program
PIR ini, calon peserta harus terlebih dahulu mengajukan surat permohonan menjadi peserta
proyek perkebunan kepada Direktorat Jenderal Perkebunan. Ketika calon peserta sudah
memenuhi syarat, maka Dirjen Perkebunan membuat surat persetujuan. Kemudian
diadakanlah suatu kontrak kerja berupa surat perjanjian yang berisi tentang hak dan
kewajiban petani peserta dengan perkebunan inti. Setelah itu, petani peserta membuat surat
pernyataan menyangkut persetujuan serta kesediaannya mengikuti perjanjian tersebut,
(1)
Gambar SD Negeri 003 Bagan Sinembah
(2)
Sumber: Koleksi Pribadi, Tahun 2013
(3)
PUSKESMAS Bagan Sinembah
Sumber: Koleksi Pribadi, Tahun 2013
(4)
Dinas Pendapatan UPT Wilayah IV Kec. Bagan Sinembah
Sumber: Koleksi Pribadi, Tahun 2013
(5)
Kantor Pos Bagan Batu, Kec. Bagan Sinembah
Sumber: Koleksi Pribadi, Tahun 2013
(6)