Lingkungan Biotik .1 Kepadatan dan Frekuensi Kehadiran Lobster

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Lingkungan Biotik 4.1.1 Kepadatan dan Frekuensi Kehadiran Lobster Lobster yang diperoleh dari hasil penelitian sebanyak 54 individu lampiran 4 dan satu jenis yaitu Cherax quadricarinatus. Nilai kepadatan dan frekuensi kehadiran lobster yang diperoleh di setiap stasiun dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Data kepadatan indm 2 dan frekuensi kehadiran lobster pada setiap stasiun pengamatan No Spesies Stasiun I Stasiun II Stasiun III K FK K FK K FK 1 Cherax quadricarinatus 0,018 100 0,033 100 0,010 66,66 Total 0,018 100 0,033 100 0,010 66,66 Tabel 2 menunjukkan bahwa nilai kepadatan dan frekuensi kehadiran yang paling tinggi terdapat pada stasiun II yaitu pada daerah keramba. Hal ini kemungkinan disebabkan karena tingginya kelimpahan bahan organik pada dasar perairan daerah tersebut berupa sisa pakan yang diberikan kepada ikan sebagai bahan makanan untuk lobster. Sumber pakan Cherax quadricarinatus umumnya dari pakan alami yang ada di dasar perairan, selain itu Cherax quadricarinatus juga menyukai pakan tambahan yang berasal dari sisa pakan ikan seperti pelet sesuai dengan pendapat oleh Wiyanto dan Hartono 2003 selain pakan alami segar, lobster juga menyukai pakan buatan terutama pelet. Nilai kepadatan dan frekuensi kehadiran yang paling rendah terdapat pada stasiun III, yaitu pada daerah pemukiman. Hal ini mungkin disebabkan karena banyaknya aktivitas masyarakat di daerah tersebut yang mengganggu keberadaan lobster dan adanya sisa pembuangan limbah rumah tangga yang mencemari perairan tersebut, sehingga lobster kurang cocok untuk hidup pada daerah tersebut. Universitas Sumatera Utara Sumber pakan alami yang tersedia di alam sangat mendukung kehidupan lobster. Kandungan organik substrat dan adanya tambahan makanan dari sisa pakan yang mengendap di dasar perairan, mendukung pertumbuhan dan lobster mudah ditemukan Wiyanto dan Hartono, 2006. Di perairan, zat yang mengandung bahan kimia seringkali menjadi faktor pembatas terhadap kehidupan organisme perairan, karena merupakan zat beracun dan nilainya bergantung pada kepadatan organisme tersebut. Organisme akuatik tidak dapat bertoleransi terhadap bahan kimia yang terlalu tinggi karena dapat mengganggu proses pengikatan oksigen oleh darah dan menggangu sistem metabolisme pada organisme akuatik tersebut Effendi, 2003.

4.1.2 Hubungan Panjang-Bobot Lobster

Hubungan panjang-bobot lobster digunakan untuk mengetahui pola pertumbuhan lobster pada masing-masing stasiun. Hubungan panjang-bobot lobster dapat dilihat pada Tabel 3 dan Gambar 8. Tabel 3. Data Hubungan panjang-bobot lobster Cherax quadricarinatus pada ketiga stasiun No Stasiun B Pola pertumbuhan 1 I 3,132 Allometrik + 2 II 2,680 Allometrik - 3 III 3,739 Allometrik + Hubungan panjang-bobot lobster dapat dilihat keeratannya pada Tabel 3 dan Gambar 8 yaitu lobster air tawar Cherax quadricarinatus pada stasiun I dan III memiliki nilai b 3,132 dan 3,739 yang bersifat allometrik positif artinya pertumbuhan bobot lebih dominan dibandingkan dengan panjang. Apabila nilai b3 maka hubungan panjang-bobot lobster bersifat allometrik positif yang artinya pertumbuhan bobot lebih dominan dibandingkan dengan panjang. Pada stasiun II memiliki nilai b 2,680 yang bersifat allometrik negatif yang artinya pertumbuhan panjang lebih dominan dibandingkan bobot. Apabila nilai b3 maka hubungan panjang-bobot lobster bersifat allometrik negatif yang artinya pertumbuhan panjang lebih dominan dibandingkan bobot. Hal ini kemungkinan disebabkan lobster lebih banyak di daerah tersebut sehingga adanya kompetisi dalam Universitas Sumatera Utara perebutan makanan, sehingga pertumbuhan beratnya lebih lambat dibandingkan pertumbuhan panjangnya. Adanya perbedaan hubungan panjang-bobot lobster di atas kemungkinan disebabkan oleh tersedianya bahan makanan di daerah tersebut, suhu perairan dan faktor kimia perairan. Suhu berpengaruh terhadap pertumbuhan lobster sesuai pendapat Dwi et al., 2008 Perubahan suhu yang cukup drastis sampai batas tertentu dapat menyebabkan lobster shock terhadap lingkungan yang tidak sesuai dengan kenyamanan hidupnya dan berpengaruh terhadap pertumbuhannya, sesuai pendapat setiawan 2006 suhu yang baik untuk pertumbuhan lobster berkisar 24-31 C. Stasiun I. Daerah Bebas Aktivitas Stasiun II. Daerah Keramba Stasiun III. Daerah Pemukiman Gambar 8 . Pola pertumbuhan lobster air tawar Cherax quadricarinatus yang diperoleh pada ketiga stasiun. Menurut Budiardi et al,. 2008 pada kepadatan yang lebih rendah lobster dapat memanfaatkan pakan secara lebih efisien dibandingkan dengan lobster pada kepadatan yang tinggi. Semakin tinggi kepadatan, maka nilai efisiensi pakan y = 0.016x 3.1323 R² = 0.9756 20 40 60 80 100 120 5 10 15 20 y = 0.049x 2.6806 R² = 0.9455 10 20 30 40 50 60 70 5 10 15 y = 0.0031x 3.7398 R² = 0.9601 20 40 60 80 100 120 5 10 15 20 Universitas Sumatera Utara semakin rendah. lobster akan tumbuh dan berkembang dengan optimal dalam lingkungan yang baik serta nutrisinya tercukupi. Menurut Hastuti 2006 dalam Selviani et al., 2013 salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan lobster air tawar agar optimal adalah terpenuhinya kebutuhan pakan, baik dari segi jumlah kuantitas maupun kualitasnya. Menurut Effendi 1979 pertambahan bobot badan sangat dipengaruhi oleh konsumsi makanan, karena konsumsi makanan menentukan masukan zat nutrisi ke dalam tubuh yang selanjutnya akan digunakan untuk pertumbuhan dan keperluan lainnya. Makanan merupakan pemasok energi bagi organisme untuk pertumbuhannya, energi dari makanan yang dikonsumsi digunakan untuk kegiatan metabolisme tubuh, pertumbuhan dan pembentukan gonad. Setiap bagian tubuh organisme memerlukan energi yang berbeda dan tergantung pada stadia serta jenis organismenya Rejeki, 2001 dalam Priyono, 2009. Energi yang dihasilkan dalam metabolisme dibutuhkan oleh tubuh dalam pembentukan komponen seperti jaringan otot yang berpengaruh terhadap berat lobster. Kualitas protein pada makanan lobster tidak hanya ditentukan oleh kandungan dalam sumber makanan saja tetapi ditentukan pula oleh keseimbangan asam amino yang dikandung Murtidjo, 2007 dalam Priyono, 2009. Proses pertumbuhan pada bangsa krustasea menurut Asbar 1994 adalah : 1. krustasea berganti kulit dengan melepaskan diri dari kulit luarnya yang keras, 2. air diserap sehingga ukuran udang menjadi lebih besar, 3. kulit luar yang baru tumbuh, 4. secara bertahap diganti oleh jaringan baru. Menurut Holdich dan Lowery 1988 dalam Mulis 2012 pertumbuhan krustasea adalah pertambahan berat dan panjang tubuh yang terjadi secara berkala saat setelah pergantian kulit molting. Pertambahan bobot dan panjang tubuh tidak akan terjadi tanpa didahului proses molting. Frekuensi ganti kulit udang tergantung pada umur dan makanan, yaitu jumlah dan mutu makanan yang diserap.

4.1.3 Rasio Kelamin

Perbandingan jenis kelamin jantan dan betina lobster air tawar selama penelitian dapat dilihat pada tabel 4. Universitas Sumatera Utara Tabel 4. Data perbandingan jenis kelamin lobster air tawar pada setiap stasiun No Stasiun Jantan Betina Rasio 1 I 6 10 1:1,6 2 II 12 16 1:1,3 3 III 4 5 1:1,25 Tabel 4 menunjukkan bahwa dari ketiga stasiun perbandingan rasio kelamin Cherax quadricarinatus jantan dan betina tertinggi terdapat pada stasiun I yaitu 1:1,6. Jumlah Cherax quadricarinatus betina lebih banyak daripada jantan. Hal ini sejalan dengan penelitian Primas et al., 2013 yang melakukan penelitian tentang udang rebon, bahwa rasio kelamin udang rebon jantan dan betina yang diperoleh selama penelitian berkisar 1:1,6. Perbandingan seperti ini tidak membahayakan bagi kelangsungan populasi udang Rebon. Menurut Effendi 2002 perbandingan rasio kelamin atau nisbah kelamin di alam tidaklah mutlak, hal ini dipengaruhi oleh pola distribusi yang disebabkan oleh ketersediaan makanan, kepadatan populasi dan keseimbangan rantai makanan. Pada waktu melakukan ruaya pemijahan, populasi udang didominasi oleh udang jantan, kemudian menjelang pemijahan populasi udang didominasi oleh udang betina. Menurut Suparjo 2005 dalam Djuwito 2013 pada perairan normal perbandingan udang jantan dan betina 1:1, namun pada masa bertelur jumlah udang jantan akan menurun karena mungkin sekali udang jantan akan mati lebih awal. Jadi ini menjadi salah satu faktor kenapa semakin lama udang betina jumlahnya lebih banyak dari pada udang jantan dalam suatu perairan. Menurut Naamin 1984 dalam Primas et al., 2013 jumlah udang betina sama dengan udang jantan masih menguntungkan karena pada saat musim pemijahan, sel telur akan dibuahi sel sperma sehingga meskipun tidak terjadi penambahan populasi yang lebih besar, udang masih mampu mempertahankan populasinya. Menurut Carman et al., 2008 pada umumnya Cherax quadricarinatus betina memiliki laju pertumbuhan yang lambat dibandingkan dengan yang jantan pada umur yang sama karena mengalami fase dalam menghasilkan telur dimana untuk aktivitas tersebut dibutuhkan energi, namun peluang telur untuk menetas menjadi jantan kurang dari 50. Hal ini menyebabkan terjadinya perbedaan jumlah lobster jantan dan betina di perairan. Universitas Sumatera Utara 4.2 Faktor Abiotik Lingkungan 4.2.1 Hasil Pengukuran Faktor Fisik-Kimia Perairan