Tinjauan Tentang Pembuktian Peranan Toksikologi Dalam Pembuatan Visum Et Repertum Terhadap Pembuktian Tindak Pidana Pembunuhan Dengan Menggunakan Racun

3 Delik comissionis dan delik omissionis Delik Comissionis yaitu delik yang berupa berbuat sesuatu. Delik Omissionis adalah delik yang berupa tidak berbuat sesuatu 4 Delik Dolus dan Delik Culpa. Delik dolus yaitu delik yang dilakukan dengan sengaja Delik culpa yaitu delik yang dilakukan dengan alpa. 5 Delik aduan dan Delik Bukan Aduan. Delik aduan yaitu delik yang penuntutannya tergantung pada adanya aduan dari pihak yang dirugikan. Delik bukan aduan yaitu delik biasa, yaitu tanpa ada aduan pelakunya dapat dituntut.

2. Tinjauan Tentang Pembuktian

Untuk mengetahui terjadinya suatu peristiwa, sangat dibutuhkan suatu proses kegiatan yang sistematis dengan menggunakan ukuran dan pemikiran yang layak dan rasional. Melakukan pembuktian dalam hukum acara pidana pada dasarnya sangat diharapkan untuk memperoleh kebenaran yang sebenar-benarnya. Untuk hal inilah Hukum Acara Pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materil. a. Pengertian Pembuktian Hukum pembuktian adalah merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, system yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut Universitas Sumatera Utara serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian. 4 Pembuktian dalam hukum acara pidana KUHAP dapat diartikan sebagai suatu upaya mendapatkan keterangan-keterangan melalui alat-alat bukti dan barang bukti guna memperoleh suatu keyakinan atas benar tidaknya kesalahan pada diri terdakwa. 5 Pembuktian merupakan titik sentral dalam proses pemeriksaan dalam sidang pengadilan. Pembuktian merupakan ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang tata cara yang dibenarkan Undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Selain itu juga mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan Undang-undang yang boleh digunakan hakim dalam membuktikan kesalahan terdakwa. 6 Pembuktian juga berarti usaha dari yang berwenang untuk mengemukakan kepada hakim sebanyak mungkin hal-hal yang berkenaan dengan suatu perkara yang bertujuan agar supaya dapat dipakai hakim sebagai bahan untuk memberi keputusan tentang perkara tersebut 7 Pembuktian juga sebagai suatu usaha untuk membuktikan bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya sehingga harus mempertanggungjawabkannya. 8 Dari berbagai pengertian diatas dapat diambil kesimpulan tentang alat bukti dan pembuktian yaitu alat adalah sesuatu hal barang dan non barang yang 4 Hari Sasangka, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Mandar Maju, Surabaya, 2003, Hal. 10. 5 Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia, Jakarta, 1984, Hal.77. 6 M. yahya Harahap, Op. cit, Hal.252. 7 J.C.T.Simorangkir dkk, kamus Hukum, Bumi Aksara baru, Jakarta, 1995, Hal. 123. 8 Darwan Sabuan dkk, Hukum Acara Pidana, Angkasa, Bandung, 1990, Hal. 185. Universitas Sumatera Utara ditentukan Undang-Undang yang dapat digunaan untuk memperkuat dakwaan, tuntutan atau gugatan maupun guna menolak dakwaan, tututan atau gugatan. Sedang pengertian Pembuktian adalah suatu proses bagaimana alat-alat bukti tersebut digunakan, diajukan ataupun dipertahankan, sesuatu yang berlaku. b. Teori-Teori Pembuktian Di dalam KUHAP dikenal beberapa macam teori pembuktian yang menjadi pegangan bagi hakim di dalam melakukan pemeriksaan terhadap terdakwa di siding pengadilan. Secara teoritis dapat dijelaskan 4 empat teori sistem pembuktian yaitu : 9 Sistem pembuktian Conviction-in Time menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim. Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim dan langsung menarik keyakinan dari keterangan dan pengakuan terdakwa. Sistem pembuktian ini, sudah tentu mengandung kelemahan. Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas dasar keyakinan belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukan walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. 1 Conviction-in Time 9 M. Yahya Harahap, SH., Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 1985, Hal. 256. Universitas Sumatera Utara 2 Conviction-Raisonee Dalam sistem ini pun dapat dikatakan keyakinan hakim tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi, dalam sistem pembuktian conviction-in Time peran keyakinan hakim leluasa tanpa batas maka pada sistem convection-raisonee, keyakinan hakim harus didukung dengan alasan-alasan yang jelas. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Tegasnya, keyakinan hakim dalam sistem conviction-raisonee, harus dilandasi reasoning atau alasan-alasan, dan reasoning itu harus reasonable, yakni berdasar alasan yang dapat diterima. 3 Sistem Pembuktian Positif Pembuktian ini merupakan kontroversi dari sistem pembuktian menurut keyakinan hakim atau conviction-in time. Dalam pembuktian ini peran hakim tidak ikut berperan menentukan salah tidaknya terdakwa. Sistem ini berpedoman pada pembuktian menurut undang-undang. Untuk membuktikan salah tidaknya seorang terdakwa maka harus berdasarkan alat-alat bukti yang sah. Alat bukti yang sah itulah yang terdapat dalam undang-undang. Dengan kata lain bahwa tanpa alat bukti yang sah berdasarkan undang-undang maka hakim tidak dapat menjatuhkan pidana terhadap kesalahan terdakwa. Sebaliknya ialah jika bukti- bukti yang sah berdasarkan undang-undang telah dipenuhi maka hakim dapat menentukan kesalahan terdakwa. 4 Sistem Pembuktian Negatif Negatief Wettelijk Stelsel Universitas Sumatera Utara Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian keyakinan hakim atau Conviction-in time. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrem. Dari keseimbangan menurut undang-undang secara negatif menggabungkan ke dalam dirinya secara terpadu sistem pembuktian menurut keyakinan dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif. Dari penggabungan kedua sistem tersebut terwujudlah sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Bertitik- tolak dari uraian di atas, untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif, terdapat dua komponen : a Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, b Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Asas Negatief Wettelijk Stelsel ini diatur juga dalam Pasal 6 ayat 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Setelah dijelaskan beberapa sistem pembuktian sebagai bahan perbandingan, pada bagian ini Penulis hendak mengkaji sistem pembuktian yang dianut dan diatur didalam KUHAP. Dalam Pasal 183 KUHAP ditegaskan Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Dalam rumusan pasal Universitas Sumatera Utara tersebut sangat jelas bahwa tanpa dua alat bukti yang sah maka seorang terdakwa tidak dapat dipidana. Sama halnya bagi Polri ataupun pihak kejaksaan kasus Tindak Pidana Tertentu dalam melakukan penangkapan harus mempunyai bukt i permulaan yang cukup Pasal 17 KUHAP. Akan tetapi sebaliknya apabila terdapat cukup bukti maka terdakwa dapat dinyatakan bersalah dan dipidana berdasarkan jenis tindak pidana yang dilakukannya. Dalam Hukum Acara Pidana dipakai yang dinamakan sistem negatif menurut Undang-Undang, sistem mana terkandung dalam pasal 294 ayat 1 RIB Reglemen Indonesia yang diperbaharui, yang berbunyi sebagai berikut : Tiada seorangpun dapat dihukum, kecuali jika hakim berdasarkan alat-alat bukti yang sah, memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan bahwa terdakwa telah bersalah melakukannya. 10 Toksikologi merupakan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan sumber, karakteristik dan kandungan racun, gejala dan tanda yang disebabkan racun, dosis fatal, periode fatal dan penatalaksanaan kasus keracunan.

3. Tinjauan tentang Toksikologi