BAB IV PENUTUP
IV.1. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan mengenai kebijakan politik Orde Baru terhadap PPP dapat disimpulkan beberapa hal :
1. Pengalaman traumatik dengan kehidupan kepartaian yang berorientasi
kepada ideologi dan implikasinya pada sistem-sistem politik sebelumnya, menumbuhkan obsesi ganda pemerintah Orde Baru yaitu stabilitas politik
dan stabilitas ekonomi. Dengan demikian, penataan politik kepartaian yang dilaksanakan rezim Orde Baru diarahkan kepada komitmen kepartaian yang
ada terhadap pembangunan. 2.
Kebijakan politik Fusi dianggap sebagai upaya yang amat logis dan wajar untuk menjaga dan mempertahankan stabilitas. Dalam konteks ini, kebijakan
politik fusi merupakan manifestasi dari tuntutan akan suatu sistem politik yang lebih stabil serta dapat menjamin berlangsungnya perbaikan kehidupan
ekonomi. 3.
Kebijakan politik fusi berhasil meredam konflik nasional yang disebabkan perbedaan politikideologi yang dibawa oleh partai politik. Namun yang
terjadi selanjutnya adalah konflik politik nasional yang terjadi sebelumnya berpindah kedalam partai politik hasil fusi tersebut antara unsur-unsur partai
hasil fusi tersebut. 4.
Selain daripada itu implikasi dari diterapkan kebijakan politik fusi ini juga melahirkan partai politik yang tidak lagi merupakan perpanjangan
kepentingan dan aspirasi rakyat. Negara menjadi sumber utama rujukan dan
Universitas Sumatera Utara
legitimasi bagi partai, baik dalam menetukan asas, pembuatan program, memilih ketua umum, menetukan calon dan kemudian menariknya kembali
dari DPR, maupun dalam mengartikulasi dan mengagregasikan kepentingan masyarakat.
5. Akan tetapi dalam praktis politik selanjutnya, arah politik kepartaian melalui
kebijakan politik fusi ini, ternyata bergeser menjadi instrumen bagi status quo politik. Dengan demikian, partai politik dan pemilu bergeser dari
mekanisme demokratis mewujudkan asas kedaulatan rakyat menjadi sekedar prosesi pelestarian kekuasaan. Melalui retorika pemenangan Orde Baru
adalah kelangsungan pembangunan, dan berbagai versinya mencerminkan kejelasan kecenderungan tersebut.
6. Dalam mempersempit ruang gerak PPP dalam kancah perpolitikan nasional,
dilakukan berbagai cara. Selain aksi penggembosan, runtuhnya kekuasaan PPP juga disebabkan oleh tindakan pemerintahan Orde Baru yang
memberlakukan UU No.31985 tentang Perubahan atas UU No.31975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya yang mewajibkan perubahan
lambang partai dan penetapan Pancasila sebagai satu-satunya asas kekuatan sosial politik. Tahun itu juga PPP langsung mengganti lambangnya dari
Ka’bah menjadi bintang, sekaligus menanggalkan Islam sebagai asasnya. Sejak saat itu PPP dibiarkan sebagai partai yang tergantung-gantung tanpa
akar. Di bawah pimpinan Ismail Hasan Metareum, PPP tampil dengan pembawaan yang lebih kalem. Pribadi Buya – panggilan akrab Ketua
Umum PPP – yang tenang turut membentuk karakter PPP menjadi partai yang sejuk. Bercermin kepada pengalaman kepemimpinan J.Naro yang
Universitas Sumatera Utara
cenderung memancing gejolak di dalam PPP, tampaknya Buya berusaha untuk mengakhiri situasi seperti itu dan segera menciptakan ketenangan dan
kesejukan. Salah satu caranya adalah dengan meningkatkan demokratisasi di lingkungan partai dan melanjutkan konsolidasi dalam rangka menyatukan
kembali seluruh umat PPP. Konsolidasi yang dibangun oleh Buya ini secara internal berhasil meredam munculnya gejolak di dalam partai bintang.
Namun, secara eksternal langkah yang ditempuh Buya itu belum mengubah citra PPP sebagai satu partai yang sarat konflik. Kendati demikian, dalam
Pemilu 1992 PPP bisa tampil lebih “kompak” dibanding Pemilu 1987 dan 1982. Dari 107.565.697 pemilih yang terdaftar pada Pemilu 1992, PPP bisa
meraih 17,07 persen suara, atau sebanyak 62 kursi di DPR 15,5 persen. Perolehan kursi tersebut menunjukkan PPP hanya berhasil menambah satu
kursi dibanding perolehannya pada Pemilu 1987. Perolehan tersebut terpaut jauh di bawah Golkar yang berhasil meraup 67,98 persen suara pemilih, atau
282 kursi DPR 70,5 persen. 7.
Kecenderungan pemerintah memihak kepada Golkar telah membuat warga partai politik, khususnya PPP, banyak yang mengalami perlakuan
diskriminatif dari pemerintah daerahnya masing-masing. Sebagai contoh, agar bisa menjadi lurah – dan PNS lainnya – warga masyarakat harus
memiliki Nomor Pokok Anggota Golkar NPAG. Ketentuan NPAG ini dirasa sangat merugikan partai karena masyarakat yang mau menjadi PNS
atau membuka usaha lainnya boleh jadi akan berpikir dua atau tiga kali untuk memilih PPP.
Universitas Sumatera Utara
8. Ketua Panitia Pelaksanaan Pemilu Pusat Panwaslakpus Singgih SH
mencatat ada 2.956 kasus pelanggaran selama pemilu 1997. Dari jumlah tersebut, laporan dari PPP sebanyak 984 kasus, Golkar 1.572 dan PDI 370
kasus. Untuk PPP sendiri jauh-jauh dari sudah mengumumkan adanya pelanggaran dalam bentuk dokumen “Operasi Fajar” yang berisi rencana
operasi pemenangan Golkar di desakelurahan dengan memberikan santunanbekal kepada pemilih sebelum menuju ke tempat pemungutan
suara TPS. Bahkan, PPP juga pernah mempermasalahkan surat Sekjen Departemen Penerangan dengan nomor 44SJKIII1997 tanggal 20 Maret
1997 yang ditujukan kepada Inspektur Jenderal, Dirjen Penerangan Umum, Dirjen RTF, Dirjen PPG dan Kepala Badan Litbang Penerangan, yang
isinya antara lain mengatakan, “...sebagai upaya memenangkan Gokar di DKI Jakarta sesuai konsensus Gubernur DKI Jakarta dan Gubernur Jawa
Barat, bahwa untuk mendukung suara di DPRD Tk I DKI Jakarta setiap anggota Korpri yang bermukim di wilayah Bogor, Tangerang, dan Bekasi
harus pindah domisili formalitas ke kelurahan di wilayah DKI Jakarta, sehingga dalam menggunakan hak pilihnya dapat memperoleh dua kartu
suara”..
IV.2. Saran