2.4. Tinjauan Penelitian Terdahulu
Achmad Kusasi 1982 dengan melakukan analisa permintaan tepung terigu yang dipergunakan untuk memperkirakan harga tepung terigu lima tahun ke
depan untuk menekan laju konsumsi 1983-1987. Variabel dummy dan selera tidak dimasukkan dalam model karena dianggap tidak berpengaruh. Data yang
digunakan adalah data time series tahun 1971-1980. Dari analisis tersebut diperoleh elastisitas pendapatan terhadap permintaan terigu adalah 4.926,
elastisitas harga permintaan terigu adalah -0.2593, dan elastisitas silang terhadap harga beras adalah 2.495. Dengan demikian pada periode tahun 1971-1980 tepung
terigu termasuk barang mewah, inelastis permintaannya dan mempunyai hubungan substitusi erat dengan beras.
Bambang Djanuwardi 1988 melakukan penelitian tepung terigu, dengan judul “Analisis Permintaan Tepung Terigu di Indonesia”, dengan menitikberatkan
pada elastisitas permintaan tepung terigu dengan menggunakan data time series tahun 1967-1986. Dalam penelitiannya menyimpulkan adanya peningkatan nilai
elastisitas tepung terigu. Dibandingkan dengan perhitungan sebelumnya yang dijadikan acuan Djanuwardi, perhitungan Bambang Djanuwardi 1967-1986
menunjukkan nilai elastisitas pendapatan terhadap permintaan terigu adalah 1.767, elastisitas harga permintaan terigu adalah -0.9296, dan elastisitas silang terhadap
harga beras adalah 0.6435. Dengan demikian pada periode tahun 1967-1986 tepung terigu masih tergolong barang mewah, kurang inelastis permintaannya dan
hubungan substitusi dengan beras mulai berkurang. Dalam penelitian Djanuardi
ini terdapat kekurangan yaitu tidak diperhatikannya upaya meminimalkan terjadinya autokorelasi.
Andy Harfa 1996 meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan permintaan tepung terigu di Indonesia beserta arah perubahannya
pada analisis kwantitatifnya dengan periode tahun 1983-1994. Dari persamaan perhitungan menunjukkan bahwa nilai elastisitas pendapatan terhadap permintaan
terigu adalah 5.0169, elastisitas harga permintaan terigu adalah -1.3836, dan elastisitas silang terhadap harga beras adalah 0.61187.
Dengan demikian pada periode tahun 1983-1994 tepung terigu di masa mendatang mengalami peningkatan konsumsinya seiring dengan peningkatan
pendapatan, permintaannya yang semakin elastis dan hubungan substitusi dengan beras mulai berkurang. Dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa permintaan
tepung terigu telah mengalami perubahan pola yaitu dari pola konsumsi langsung menuju pola konsumsi tidak langsungbentuk olahannya seperti dalam bentuk
mie, roti. Sawit 2003 meneliti tentang kebijakan gandumtepung terigu yang harus
menumbuhkembangkan industri pangan dalam negeri. Dalam penelitiannya Sawit menjelaskan kebijakan tepung terigu orde baru, kebijakan liberalisasi, dan
skenario pembatasan impor tepung terigu. Menurutnya kebijakan penerapan bea masuk beras, akan berdampak pada peningkatan permintaan impor gandum,
karena eratnya substitusi antara tepung terigu dan beras. Semakin efektifnya penerapan bea masuk beras akan membuat harga beras dalam negeri menjadi
tinggi, akan mendorong impor gandum atau tepung terigu.
Oleh karena itu, menurut Sawit 2003 agar bea masuk untuk gandum diberlakukan juga, paling tidak setengah dari tingkat bea masuk ditetapkan untuk
beras. Apabila bea masuk beras ditetapkan Rp 400kg, mungkin tepat bila bea masuk gandum atau tepung terigu sekitar Rp 200kg. Dengan cara ini diharapkan
dapat membendung impor gandumtepung terigu yang terlalu berlebih dan harganya akan tinggi, sehingga akan mengurangmemperlambat laju konsumsi
tepung terigu, dan masyarakat akan beralih ke pangan produksi dalam negeri yang lebih murah seperti ubi-ubian, jagung, atau sagu.
2.5. Hipotesis Penelitian