saat seseorang berhasil atau gagal dalam menghadapi masalahnya. Keluarga adalah pendukung utama bagi individu yang mengalami masalah.
Berdasarkan beberapa literatur diatas, maka dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial keluarga adalah bantuan yang diperoleh dan dirasakan seseorang
dari keluarganya.
C. Perkawinan antar Etnis
1. Defenisi Perkawinan antar Etnis
Perkawinan yang mana pasangan dengan latar belakang yang berbeda dari ras, agama, retnis, dan atau budaya disebut dengan intermarriage, sedangkan
perkawinan dimana pasangan berasal dari latarb elakang etnis yang berbeda disebut dengan interethnic Muller, 2004.
Budaya menjadi suatu aspek yang penting dalam perkawinan, dimana pasangan tersebut tentu memiliki nilai-nilai budaya yang dianut, menurut
keyakinan dan kebiasaan, serta adat istiadat dan gaya hidup budaya.
2. Tahap-Tahap Perkawinan
Dalam perkawinan, setiap pasangan akan melewati urutan perubahan dalam komposisi, peran, dan hubungan dari saat pasangan menikah hingga
mereka meninggal yang disebut sebagai Family Life Cycle Hill Rodgers, dalam Sigelman Rider, 2003. Cole dalam Lefrancois, 1993 membagi tahap
perkawinan menjadi awal perkawinan, kelahiran mengasuh anak emptynest sampai usia tua.
Universitas Sumatera Utara
a. Tahap I : Pasangan Awal Married Couple Berdasarkan family life cycle dari Duvall Lefrancois, 1993, tahap ini
berlangsung selama kurang lebih 2 tahun dimulai dari ketika pasangan menikah berakhir ketika anak pertama lahir.
b. Tahap II: Membesarkan Anak Childrearing Tahap ini dimulai dari kelahiran anak pertama sampai anak berusia 20
tahun. Umumnya, tahap ini berlangsung selama kurang lebih 20 tahun Duvall, dalam Lefrancois, 1993. Rata-rata masa awal menjadi orangtua merupakan
transisi hidup yang penuh tekanan yang melibatkan perubahan yang postitif dan negatif Cowan Cowan; Monk et al, dalam Sigelman Rider, 2003. Selain itu,
kepuasan pernikahan juga menurun pada tahun-tahun pertama setelah bayi lahir dan biasanya penurunan ini lebih tajam pada wanita dibandingkan pria
dikarenakan tanggung jawab yang lebih besar terhadap pengasuhan anak Levy Shiff, dalam Sigelman Rider, 2003.
Seiring bertambahnya usia anak, maka orangtua perlu mengadakan penyesuaian-penyesuaian sebagaimana dikatakan oleh Crnic Booth dalam
Sigelman Rider, 2003 bahwa stress dan ketegangan merawat anak-anak lebih besar daripada merawat bayi dan lahirnya anak kedua akan menambah tingkat
stres orangtua dimana semakin dewasa anak maka akan timbul konflik-konflik baru antara orang tua dan anak seperti memberikan waktu dan tenaganya kepada
anak-anak yang akan menimbulkan stress orang tua O’ Brien, dalam Sigelman Rider, 2003.
Universitas Sumatera Utara
c. Tahap III: Kekosongan Emptynest Cepat atau lambat, anak-anak biasanya akan bebas secara emosional dan
finansial dari orangtua mereka. Tahap emptynest dimulai dengan “launching” anak terakhir dan berlangsung selama lebih kurang 15 tahun Duvall, dalam
Lefrancois, 1993. Pada umumnya, suami dan istri menyatakan bahwa pernikahan mereka
berlangsung baik hampir setiap waktu. Pada tahap emptynest, kebahagiaan dan kepuasan kembali meningkat sampai pada tahun-tahun pensiun Rollin
Feldman, dalam Lefrancois, 1993 dan usia tua Foner Schwab, dalam Lefrancois, 1993.
D. Etnis Batak Toba
Etnis Batak Toba merupakan salah satu dari enam sub etnis Batak yang mendiami pulau Sumatera Utara. Orang Batak Toba ialah mereka yang karena
status kelahirannya mengikuti status ayah yang berasal dari wilayah kabupaten Tapanuli Utara Lubis, 1999. Secara geografis, daerah asli yang didiami oleh
etnis Batak Toba Kabupaten Tapanuli meliputi pulau Samosir dan daerah sekitar Danau Toba, adalah pusat Tanah Batak dengan mayoritas penduduknya beragama
Kristen Harahap dan Siahaan, 1987. Masyarakat Batak Toba memegang nilai-nilai fisafat hidup sebagai orang
Batak Toba yaitu, hagabeon ‘anak’, hamoraon ‘kekayaan’ dan hasangapon ‘kehormatan’ yang menjadi tujuan dan pedoman hidup ideal orang Batak Toba.
Universitas Sumatera Utara
Sebagai pedoman hidup, maka hagabeon, hamoraon, hasangapon adalah sebuah
nilai atau value bagi etnik Batak Toba Irmawati, 2002.
Bagi masyarakat Batak Toba, perkawinan itu adalah di mana seorang laki- laki mengikatkan diri dengan seorang wanita, untuk hidup bersama dalam satu
rumah tangga dengan melalui prosedur yang ditentukan dalam ketentuan- ketentuan hukum adat Batak. Seorang laki-laki pada masyarakat Batak Toba
adalah menjadi penerus marga Saragih, 1980. Sedangkan mengenai nilai tentang perkawinan, dimana perkawinan pada etnis Batak Toba terletak pada individu
yang bersangkutan. Nilai - Nilai Budaya Masyarakat Batak Toba:
Harahap dan Siahaan 1987 mengelompokkannya menjadi tujuh nilai yang dapat dianggap sebagai nilai utama, yaitu :
1. Kekerabatan. Nilai kekerabatan berada di tempat yang paling utama. Nilai inti
kekerabatan masyarakat Batak terwujud dalam pelaksanaan adat ’Dalihan Na Tolu’ Hula-hula, Dongan Tubu, Boru.
2. Agama. Ada wilayah Batak yang mayoritas penduduknya menganut agama Islam,
seperti Angkola-Mandailing, ada wilayah Batak yang mayoritas penduduknya menganut agama Kristen seperti Batak Toba, dan ada
wilayah yang penganutnya berimbang, seperti wilayah Batak Simalungun. 3.
Hagabeon.
Universitas Sumatera Utara
Nilai budaya hagabeon bermakna harapan panjang umur, punya anak, bercucu, dan baik-baik. Kebahagiaan bagi orang Batak belum lengkap jika
belum mempunyai anak, terlebih lagi anak laki-laki. 4.
Hamoraon. Adapun nilai kehormatan menurut adat Batak terletak pada keseimbangan
aspek spiritual dan materil yang ada pada diri seseorang. 5.
Uhum dan Ugari. Nilai suatu keadilan itu ditentukan dari ketaatan pada ugari habit serta
dengan padan janji. Setiap orang Batak yang menghormati uhum, ugari, dan janjinya dipandang sebagai orang Batak yang sempurna.
6. Pengayoman. Prinsipnya semua orang menjadi pengayom dan mendapat pengayoman
dari sesamanya adalah pendirian yang kokoh dalam pandangan adat Batak. 7.
Marsisarian. Artinya saling mengerti, menghargai, dan membantu. Prinsip ini
merupakan antisipasi dalam mengatasi konflik atau pertikaian.
E. Etnis Tionghoa
Istilah “Cina” dalam pers Indonesia tahun 1950-an telah diganti menjadi “tionghoa” untuk merujuk pada orang Cina dan “tiongkok” untuk negara Cina
dalam pers Indonesia 1951-an Liem, 2000. Etnis Tionghoa menurut Purcell dalam Liem, 2000 adalah seluruh imigran negara Tiongkok dan keturunannya
yang tinggal dalam ruang lingkup budaya Indonesia dan tidak tergantung dari
Universitas Sumatera Utara
kewarganegaraan mereka dan bahasa yang mereka gunakan. Etnis Tionghoa adalah individu yang memandang dirinya sebagai “tionghoa” atau dianggap
demikian oleh lingkungannya. Pada saat bersamaan mereka berhubungan dengan etnis Tionghoa perantauan lain atau negara tiongkok secara sosial, tanpa
memandang kebangsaan, bahasa, kaitan erat dengan budaya tiongkok. Etnis Tionghoa, suatu kelompok dengan elemen-elemen budaya yang
dikenal sebagai atribut dari Tionghoa, secara sosial anggota-anggota dari kelompok mengidentifikasi dan diidentifikasikan orang lain sebagai suatu
kelompok yang berbeda dari yang lainnya Tan, 1987. Di kota Medan keberadaan etnis Tionghoa dimulai pada abad ke-15,
ketika armada perdagangan Cina datang mengunjungi pelabuhan Sumatera Timur untuk melakukan hubungan dagang. Hubungan ini cukup berlangsung lama,
sehingga sebagian pedagang tersebut ada yang menetap di Sumatera Timur Lubis, 1999. Jumlah warga masyarakat Cina lebih sedikit dari penduduk asli,
dan kehadiran mereka musah ditandai dengan melihat pemukiman yang terletak di pusat perkotaan atau pusat perdagangan dengan menggunakan dialek Cina dalam
percakapan sehari-hari. Kedatangan mereka dari berbagi sub etnik menyebabkan mereka berkumpul diantara mereka sendiri, membuat perkampungan dan
memakai bahasa sendiri. Inilah awal esklusifime orang Tionghoa Lubis, 1999. Orang Cina Medan mengalami kesulitan berbaur dengan etnis pribumi
lainnya dikarenakan kota Medan yang heterogen, sehingga komunikasi dengan etnis lainnya tidak mudah sementara mereka biasa menggunakan bahasa daerah.
Universitas Sumatera Utara
Di Medan sendiri, etnis Cina termasuk kelompok masyarakat yang berhasil yang dapat menguasai industri, pertokoan, dan perbankan. Lubis, 1999.
Kebudayaan dan kehidupan suatu masyarakat banyak dipengaruhi oleh sistem kepercayaannya. Kepercayaan yang dianut etnis Tionghoa adalah Budha,
Taoisme, dan Konfusionisme dimana ajaran Konfisionisme lebih dominan dianut oalh Tionghoa dimanamengajarkan tentang moralitas yang harus dimiliki oleh
setiap orang. Kunci ini dipakai Konfusius untuk mengatur hubungan antar manusia dalam hidup bermasyarakat Lubis, 1999.
Nilai-nilai Sosial Budaya Tionghoa: 1. Hakekat Hidup
Tingkat tertinggi yang dapat dicapai manusia adalah memperoleh kedudukan sebagai orang yang “arif bijaksana”, suatu tingkat yang
pribadinya sudah “sama” dengan alam semesta. 2. Hakekat kerja
Etos kerja banyak dipengaruhi oleh ajaran konfusius yang disebut hubungan segitiga, hubunan antara konfusianisme, keluarga dan kerja.
Penanaman moral pertama kali harus terjadi dalam keluarga, dan membaur hubungan yang serasi dengan masyarakat. Etos kerja terletak
pada keinginan untuk bakti kepada keluarga dan memperoleh pahala kelak.
3. Hubungan antara Manusia dengan Alam.
Universitas Sumatera Utara
Dalam ajaran Tao manusia harus hidup menurut hukum alam yaitu memilih kesederhanaan seperti air yang selalu memilih tempat rendah dan
terlemah tapi dapat menembus batu-batuan. 4. Persepsi mengenai Waktu
Kebudayaan Tionghoa cenderung memiliki orientasi kepada masa mendatang, tetapi jangka waktu akan pendek yang bersifat praktis. Orang
Tionghoa berani mengubah sesuatu demi kelangsungan hidup di masa yang datang.
5. Hubungan antara Manusia dan Sesamanya Seluruh umat manusia merupakan satu keluarga dan keluarga adalah dasar
bagi terbentuknya masyarakat. Manusia harus bermurah hati yang terwujud dalam sikap suka menolong.
F. Dukungan Sosial Keluarga terhadap Penyesuaian Perkawinan pada
Pasangan Beda Etnis Batak Toba - Tionghoa
Cobb dalam Cohen, Underwood Gottlieb., 2000 menyatakan bahwa transisi dan krisis dalam kehidupan kehamilan, peran orangtua menempatkan
orang dalam situasi beresiko. Menjadi seorang pasangan adalah salah satu transisi yang kompleks dan sulit dari siklus kehidupan keluarga dimana perbedaan sikap
personal, nilai-nilai, dan kepercayaan masing-masing pasangan dapat menyebabkan stress dalam sistem keluarga yang baru Carter McGoldrick
1989; Muller, 2004.
Universitas Sumatera Utara
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Toepfer 2010 menunjukkan bahwa ketika dukungan sosial dari keluarga tersedia maka kebutuhan pasangan akan
dukungan informasi, feedback dan dukungan lainnya akan terpenuhi dan dapat mengatur konflik dengan cara yang lebih tepat.
Hasil penelitian lain dari Rostamil 2013, menunjukkan bahwa harapan dari peran budaya, stress dalam keluarga konflik diantara pasangan, tugas rumah
tangga, dan tanggung jawab pengasuhan dan stress kerja berperan sebagai stressor dalam hubungan perkawinan. Dilihat bahwa, dukungan sosial dari orang-
orang terdekat adalah faktor yang dapat membantu pasangan untuk menangani efek negative stress tersebut dalam perkawinan mereka.
Demikian halnya perbedaan nilai sosial yang dimiliki oleh etnis Batak Toba dan Tionghoa diantaranya adalah prinsip hormat dimana rasa hormat pada
etnis Batak Toba berdasarkan pada kedudukan dan posisinya didalam susunan hierarkis keluarga atau masyarakat. Sedangkan etnis Tionghoa berdasarkan pada
usia dan hubungan keluarga. Demikian pula mengenai nilai tentang perkawinan dimana perkawinan pada etnis Batak Toba terletak pada individu yang
bersangkutan, sedangkan pada etnis Tionghoa nilai perkawinan menyangkut keluarga besar. Dalam hal bekerja, etos kerja pada masyarakt Batak Toba
bertujuan untuk memperoleh kekayaan, kehormatan dan kebahagiaan sedangkan etos kerja terletak pada keinginan untuk bakti kepada keluarga dan memperoleh
pahala kelak Lubis, 1999. Berbagai perbedaan akan terdapat banyak konflik-konflik pasa pasangan
beda etnis, seperti hasil penelitian Cottrell dalam Matsumoto Juang 2008 yang
Universitas Sumatera Utara
menunjukkan konflik-konflik dalam pernikahan berbeda budaya seperti ekspresi akan cinta dan keintiman, sikap dan komitmen, pola pengasuhan. Area-area
konflik lainnya bagi pasangan yang menikah beda budaya termasuk tatacara makan, persahabatan dan jaringan sosial, keuangan, perbedaan keyakinan,
penyesuaian seksual, dan lainnya Ho 1990; Muller, 2004. Markoff 1977 menyatakan konflik lainnya seperti meliputi komunikasi verbal dan non verbal,
perbedaan dalam nilai-nilai, perbedaan dalam pengambilan keputusan didasarkan pada kebutuhan dan tuntutan individual pasangan atau didasarkan pada tradisi
atau persetujuan sosial keluarga dan prasangka, stereotipe dapat memainkan konflik dalam perkawinan dan level dari keterlibatan dari keluarga mengenai
konflik-konflik pasangan atau hubungan dengan keluarga besar. Banyaknya perbedaan dan permasalahan yang dihadapi oleh pasangan
beda etnis Batak Toba - Tionghoa di dalam tahap perkawinannya, kemampuan mereka untuk mengatasi tantangan tersebut mungkin dapat mempengaruhi
keberhasilan hubungan mereka. Salah satu faktor yang mempengaruhi penyesuaian pernikahan beda etnik ini adalah dukungan dari keluarga seperti yang
disampaikan oleh Soncini dalam Muller, 2004. Tanpa dukungan dari keluarga, teman dan masyarakat, hubungan perkawinan beda etnis akan mengalami
hambatan dan lebih rentan terhadap masalah. Keluarga adalah salah satu sumber utama dari dukungan sosial, seperti
yang disampaikan oleh Larson dalam Lerner, Easterbrooks Mistry.
, 2003 bahwa anggota keluarga lebih responsif dalam penyediaan dukungan fisik dan
emosional hari ke hari dan berkontribusi terhadap kesejahteraan.
Universitas Sumatera Utara
G. Hipotesis
Berdasarkan landasan teori yang dikemukakan dan analisa atas teori-teori tersebut maka hipotesa penelitian yang diajukan adalah “ada pengaruh positif
antara dukungan sosial keluarga terhadap penyesuaian perkawinan pada pasangan beda etnis Batak Toba - Tionghoa”.
Universitas Sumatera Utara
BAB III METODE PENELITIAN
Metode penelitian adalah penelitian kuantitatif dengan metode regresi untuk melihat kemungkinan hubungan sebab akibat dengan cara pengamatan
terhadap akibat yang ada dengan melihat faktor yang mungkin menjadi penyebab melalui data tertentu Suryabrata, 2008. Jadi, dalam penelitian ini, peneliti akan
meneliti pengaruh dukungan sosial keluarga terhadap penyesuaian perkawinan pada pasangan beda etnis.
A. Identifikasi Variabel Penelitian
Identifikasi variabel penelitian digunakan untuk menguji hipotesa penelitian. Variabel-variabel dalam penelitian ini adalah :
1. Variabel tergantung : Penyesuaian Perkawinan 2. Variabel bebas : Dukungan Sosial Keluarga
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian 1. Penyesuaian Perkawinan
Penyesuaian perkawinan adalah proses dimana suami istri melakukan adaptasi, akomodasi kebutuhan, keinginan, dan harapan masing-masing pasangan
untuk mendapatkan kepuasan maksimum dalam hubungan pernikahan. Penyesuaian perkawinan diukur dengan skala yang dirancang sendiri oleh peneliti
berdasarkan kriteria penyesuaian perkawinan yang dikemukakan Hurlock 1999 yaitu kebahagiaan suami istri, kemampuan untuk memperoleh kepuasan dari
Universitas Sumatera Utara
perbedaan pendapat, penyesuaian yang baik dari anak-anak, hubungan yang baik antara orangtua dan anak, kebersamaan, penyesuaian yang baik dalam masalah
keuangan dan penyesuaian yang baik dari pihak keluarga pasangan. Penyesuaian perkawinan dapat dilihat dari skor yang diperoleh pada skala
penyesuaian perkawinan. Skor yang tinggi pada skala penyesuaian perkawinan menunjukkan bahwa pasangan berhasil dalam penyesuaian perkawinannya,
sebaliknya skor yang rendah pada skala penyesuaian perkawinan menunjukkan pasangan gagal dalam penyesuaian perkawinannya.
2. Dukungan Sosial Keluarga
Dukungan sosial keluarga adalah derajat bantuan, perhatian, kenyamanan, penghargaan, informasi yang diperoleh dan dirasakan seseorang dari keluarganya.
Pengukuran pada dukungan sosial ini didasarkan pada kualitas dukungan sosial yang diterima, sebagaimana yang dipersepsikan individu penerima dukungan.
Dukungan sosial diukur dari bentuk-bentuk dukungan sosial yang dikemukanan Cutrona Russell 1990 yang terdiri dari, Emotional support, Network support,
Esteem support, Tangible Support dan Informational support. Dukungan sosial keluarga dapat dilihat dari skor yang diperoleh pada skala
dukungan sosial. Skor tinggi pada skala dukungan sosial yang diperoleh pasangan menunjukkan bahwa pasangan mendapatkan dukungan sosial yang tepat,
sebaliknya skor rendah pada skala dukungan sosial menunjukkan bahwa pasangan kurang mendapatkan dukungan sosial.
Universitas Sumatera Utara
C. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel
1. Populasi dan Sampel
Populasi penelitian merupakan individu yang menjadi sumber data penelitian. Populasi dibatasi sebagai sejumlah subjek atau individu yang paling
sedikit memiliki satu sifat yang sama Hadi, 2000. Populasi dalam penelitian ini adalah pasangan etnis Batak Toba -Tionghoa.
Mengingat keterbatasan penulis untuk menjangkau seluruh populasi, maka penulis hanya meneliti sebagian dari keseluruhan populasi yang dijadikan sebagai
subjek penelitian yaitu yang lebih dikenal dengan nama sampel. Karakteristik sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Usia pernikahan 20 tahun kebawah Masa awal menjadi orangtua merupakan transisi hidup yang penuh
tekanan yang melibatkan perubahan yang postitif dan negatif Cowan Cowan dalam Sigelman Rider, 2003. Seiring bertambahnya usia anak, maka orangtua
perlu mengadakan penyesuaian-penyesuaian sebagaimana dikatakan oleh Crnic Booth dalam Sigelman Rider, 2003 bahwa stress dan ketegangan merawat
anak-anak lebih besar daripada merawat bayi dan lahirnya anak kedua akan menambah tingkat stres orangtua O’ Brien, dalam Sigelman Rider, 2003.
Semakin dewasa usia anak maka timbul konflik-konflik baru antara anak dan orang tua. Ini berlangsung kurang lebih selama 20 tahun Duvall, 1985.
2. Memiliki anak Sesuai dengan yang disampaikan oleh Hurlock 1999, bahwa salah satu
kriteria keberhasilan penyesuaian perkawinan adalah hubungan yang baik antara
Universitas Sumatera Utara
orang tua dan anak, dan penyesuaian yang baik dengan anak-anak yang dapat dilihat dari keberhasilan penyesuaian pasangan.
3. Pasangan Batak Toba - Tionghoa Sesuai dengan Hurlock 1999 bahwa pernikahan campuran, latar
belakang budaya yang berbeda dapat mempengaruhi penyesuaian dalam pernikahan.
2. Metode Pengambilan Sampel