BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap orang akan melewati masa-masa penyesuaian diri terhadap pola- pola kehidupan dan harapan-harapan sosial yang baru. Seperti halnya orang
dewasa melakukan penyesuaian dengan peran baru dimana orang dewasa diharapkan memainkan peran baru sesuai harapan-harapan masyarakat, seperti
peran suamiistri, orang tua, pencari nafkah, mengembangkan sikap-sikap baru, keinginan-keinginan sesuai dengan tugas-tugas baru Hurlock, 1999.
Salah satu tugas yang dihadapi orang dewasa adalah memilih teman hidup yang merupakan keputusan paling penting selama masa kehidupan. Ada banyak
faktor yang mempengaruhi pemilihan teman hidup. DeGenova, 2008; Dressel, Rogler dan Steven., 1980 mengemukakan bahwa individu cenderung menikah
dengan orang-orang yang memiliki kesamaan dengan mereka dalam hal usia, ketertarikan fisik, kepribadian, kemampuan kognitif, pendidikan dan latar
belakang sosial. Perbedaan dan ketidaksamaan akan mengarahkan pada penghindaran interaksi sosial Matsumoto, 2008. Kecenderungan untuk memilih
teman hidup yang sama dengan dirinya disebut homogamy, dan yang memilih teman hidup berbeda disebut heterogamy.
Indonesia adalah negara yang terdiri dari bermacam-macam suku bangsa multietnik dimana dalam keberagaman ini akan terdapat kontak sosial yang
semakin beragam. DeGenova, 2008; Blau, Schwartz, 2007 menyatakan bahwa
Universitas Sumatera Utara
semakin beragam kontak sosial bberarti semakin beragam potensi mencari teman hidup, dan akan mengarahkan peningkatan perkawinan berbeda budaya.
Meningkatnya interaksi antar budaya akan membuat individu akan tertarik satu dengan yang lainnya, jatuh cinta, menikah dan memiliki keluarga. Tantangan
sosial terhadap pasangan yang berbeda budaya pun akan muncul. Meningkatnya hubungan antar budaya dan antar etnik juga dapat meningkatkan ketegangan,
frustasi, ketakutan dan kesenjangan Jahja, 2011. Rug 2008 menyatakan hukum negara Indonesia tidak melarang
perkawinan yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan yang berbeda suku bangsa, budaya, dan kewarganegaraan. Seperti yang disampaikan oleh Duvall
Miller 1985 bahwa perkawinan adalah suatu bentuk hubungan antara laki-laki dan perempuan yang meliputi hubungan seksual, legitimasi untuk memiliki
keturunan memiliki anak dan penetapan kewajiban yang dimiliki oleh masing- masing pasangan.
Perkawinan dimana pasangan berasal dari latar belakang etnis yang berbeda disebut dengan interethnic Muller, 2004. Melalui perkawinan campur,
individu dari latar belakang etnik yang berbeda dapat saling membantu dalam memperkenalkan tradisi yang berlangsung dalam kelompok etniknya Duvall
1985; Wicaksono, 2007. Perkawinan merupakan media budaya dalam mengatur hubungan antar sesama manusia yang berlainan jenis kelamin.
Kota Medan sebagai salah satu kota terbesar di Indonesia dengan beragam suku-suku seperti Jawa, Tapanuli Utara Batak, Tionghoa, Mandailing dan
Minang adalah kelompok etnik yang terbanyak. Dari kelima etnis tersebut, empat
Universitas Sumatera Utara
diantaranya Jawa, Tapanuli Utara, Mandailing, dan Minang oleh masyarakat umum disebut pribumi, sementara etnis Tionghoa yang menempati urutan ketiga
terbanyak masih disebut sebagai non pribumi yang berkonotasi pendatang Nasution, 2012. Kota Medan tidak mempunyai kebudayaan dominan sehingga
setiap etnis mempertahankan budayanya masing-masing. Masing-masing etnis mengembangkan gaya hidup dan sikap esklusif antara satu dengan yang lainnya
dan diantara etnik yang ada, etnis Batak Toba dan etnis Tionghoa dikatakan lebih dominan memegang peranan Lubis, 1999.
Budaya yang berbeda melahirkan standar masyarakat yang berbeda dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk juga dalam mengatur hubungan perkawinan
dan adat istiadat. Perbedaan juga terdapat dalam keluarga yang dikarakteristikkan melalui perbedaan dalam struktur keluarga, tujuan dan filosopi, struktur
kekuasaan, peran gender, hubungan suami istri, nilai-nilai dan perilaku seksual, dan pola-pola pengasuhan anak DeGenova, 2008.
Perkawinan antar budaya akan mengalami banyak masalah atau konflik seperti yang disampaikan oleh Markoff 1977 bahwa ada beberapa area masalah
dalam perkawinan antar budaya atau etnis. Masalah-masalah tersebut meliputi komunikasi verbal dan non verbal, perbedaan-perbedaan dalam nilai-nilai,
perbedaan konsep akan pernikahan dimana keputusan pasangan didasarkan pada kebutuhan dan tuntutan individual pasangan atau didasarkan pada tradisi atau
persetujuan sosial keluarga. Seperti halnya dalam cara berkomunikasi, orang Batak Toba adalah dua kata yang dikenal oleh orang diluar suku Batak sebagai
gambaran orang yang tidak mau kalah, bersuara keras, terbuka, spontan, agresif,
Universitas Sumatera Utara
dan memiliki keberanian untuk membela kepentingan seluruh keluarga dan sanak saudara Irmawati, 2007.
Etnis Batak Toba juga adalah etnik yang terbuka, empati, lebih komunikatif dengan sesama etniknya. Hal ini membuat mereka untuk cenderung
blak-blakan dalam menyatakan sesuatu. Etnis Batak Toba selalu merasa positif, berusaha menjaga kesamaan dan tidak mencari perbedaan dengan etnik lainnya.
Sama halnya dengan etnis Batak Toba, etnis Tionghoa sendiri lebih empati dan memelihara keseimbangan dengan sesama etniknya, tapi mereka memiliki
perasaan positif dengan etnik lainnya Lubis, 1999. Orang Batak juga memiliki prinsip hidup bahwa anak-anak harus patuh
kepada orang tua, dimana kewajiban anak-anak terhadap orang tua baik sebelum maupun sesudah menikah harus tetap berbakti kepada orang tua, begitu juga
dengan hubungan sosial yang penting dalam keluarga sesuai dengan etika hubungan sosial saudara laki-laki terhadap saudara perempuan dan hubungan
suami istri Vergowen, 2004. Tidak jauh berbeda dengan budaya Batak Toba, etnis Tionghoa juga mencintai dan hormat dengan orangtua dan keluarga mereka
dan mereka lebih ditekankan untuk lebih unggul daripada penduduk pribumi, sehingga mereka dikenal sebagai etnis yang rajin, pekerja keras dan berprestasi
baik di bidang bisnis, olahraga, maupun akademis As’adi, 2011. Tan 1987 menambahkan bahwa etnis Tionghoa juga baik dalam hal perencanaan keluarga,
seperti halnya perencanaan jumlah anak dan pendidikan masa depan anak-anak mereka.
Universitas Sumatera Utara
Bagi masyarakat Batak Toba sendiri, perkawinan itu adalah di mana seorang laki-laki mengikatkan diri dengan seorang wanita, untuk hidup bersama
dalam satu rumah tangga dengan melalui prosedur yang ditentukan dalam ketentuan-ketentuan hukum adat Batak. Seorang laki-laki pada masyarakat Batak
Toba adalah menjadi penerus marga Saragih, 1980. Bruner 1994 juga menyatakan bahwa pada masyarakat Batak Toba, perkawinan harus dilakukan
dengan orang diluar dari marga sendiri, dan tidak boleh melakukan perkawinan secara timbal balik. Apabila terjadi perkawinan dalam satu marga, perkawinannya
disebut kawin sumbang. Jika seorang yang bukan masyarakat Batak Toba ingin menikah dengan orang Batak Toba, maka terlebih dahulu diberikan marga.
Pemberian marga kepada laki-laki disebut manampe marga dan kepada perempuan disebut marboruhon.
Orang Batak Toba, untuk dapat membangun satu rumah tangga yang berbahagia, suami dan istri itu harus mempunyai modal berupa harta perkawinan
yang dapat digunakan untuk membiayai kehidupan mereka dimana harta kekayaan keluarga baru terpisah dari harta kekayaan orangtuanya yang disebut dengan
manjahe. Keluarga baru mempunyai tempat tinggal sendiri dan terpisah dari rumah orang tuanya Lubis, 1999.
Dalam keluarga Batak Toba, suami adalah kepala keluarga, yang memerintah rumah, penguasa atas anak-anak, istri dan harta benda dan menangani
perkara pengadilan. Suami menyebut istrinya na hutuhor yang saya beli karena perempuan pada Batak Toba dibeli oleh pihak laki-laki, sedangkan istri
melaksanakan pekerjaan rumah tangga akan tetapi istri juga disebut sebagai raja
Universitas Sumatera Utara
rumah apalagi jika memiliki banyak anak laki-laki dan perempuan. Istrilah yang membina rumah, mempersiapkan makanan untuk tamunya, dia yang pertama
memetik hasil panen, dan jika ada pesta di rumah istrilah yang membukanya dengan tarian. Pada saat si istri mengandung dan melahirkan, maka suami mulai
memberi kejutan untuk menyenangkan istrinya dan suami akan memandang istrinya dengan rasa hormat. Masalah dan percecokan dalam rumah tangga atau
perlakuan yang kasar terhadap istri harus dapat diterima sampai batas tertentu Vergowen, 2004.
Vergowen 2004 menambahkan bahwa dalam hubungan dengan anggota keluarga, ada sejumlah larangan yang harus dipatuhi seperti mertua laki-laki dan
menantu perempuan dilarang untuk bertegur sapa juga antara saudara laki-laki yang lebih tua dan istri saudara laki-laki yang lebih muda. Pasangan yang sudah
menikah juga dilarang untuk saling menyebut nama pasangan atau anggota keluarga.
Etnis Tionghoa sendiri menganut paham patrilineal, dimana prialah yang berperan sebagai pemimpin dalam rumah tangga serta mengatur dan menentukan
jalannya ruah tangga. Dalam keluarga Tionghoa, ayah mempunyai peranan dan kekuasaan yang besar. Selain sebagai pemimpin keluarga, ia juga menjadi
pemimpin dalam upacara pemujaan pada leluhurnya. Semua anggota keluarga harus menghormatinya. Ayah berhak merendahkan bahkan mengusir bahkan
mengucilkan anak yang tidak menghormatinya. Anak-anak Tionghoa ini juga dengan cepat tidak menjadi tanggung jawab orang tua lagi dan ajaran konfusius
yang dianut mengajarkan anak-anak mereka harus berbakti dan hormat kepada
Universitas Sumatera Utara
orangtua yang ditunjukkan melalui kerjanya yang baik, apabila orang tua masih hidup harus dapat merawat dan menyenangkan orangtua dan apabila telah tiada
harus melakukan pemujaan sebagai tanda bakti Lubis, 1999. Markoff 1977 menambahkan bahwa prasangka dan stereotipe juga
memainkan peran dalam konflik perkawinan yang menyebabkan penyimpangan terhadap peran dan kepribadian pasangan. Banyak perbedaan yang ditemukan
pada etnis Tionghoa dibandingkan dengan orang-orang pribumi baik dari aspek agama, fisik maupun tradisi. Etnis Tionghoa, walaupun sudah lama tinggal dan
berbaur dengan orang pribumi, tradisi yang diwariskan dari nenek moyang mereka tidaklah ikut luntur. Sikap yang suka menyendiri timbul karena orang Tionghoa
termasuk etnik yang mampu mempertahankan tradisi dan kepercayaan yang sudah ada. Berbakti kepada orang tua atau leluhur generasi yang diatasnya sudah
menjadi tradisi di kalangan orang Tionghoa. Budaya Tionghoa masih memegang beberapa tradisi sepert imlek, pemujaan dewa dan tradisi lainnya. Karena
perbedaan-perbedaan itu, maka etnis Tionghoa relatif memiliki cara hidup yang lebih “eksklusif”. Mereka juga lebih sering di anggap pelit, egois, dan galak oleh
pribumi sedangkan etnis Tionghoa merasa bahwa diri mereka diperlakukan tidak adil oleh orang pribumi As’adi, 2011.
Banyak penduduk pribumi yang memiliki stereotipe kepada etnis Tionghoa sebagai “komunitas tertutup”. As’adi, 2011 menambahkan bahwa
orang Tionghoa memilih untuk berkumpul dengan sesama etnisnya dikarenakan orang Tionghoa lebih nyaman berada pada komunitas yang sama. Prasangka
terhadap etnis Tionghoa, mengakibatkan orangtua etnis Tionghoa melarang
Universitas Sumatera Utara
anaknya untuk menikah dengan seorang etnis pribumi. Hal ini dapat dilihat dari kecenderungan orang Tionghoa untuk menikah dengan kalangan mereka sendiri
daripada etnis pribumi, mereka memilih sekolah yang banyak orang-orang sesama keturunan Tionghoa atau memilih rumah makan yang lebih banyak diramaikan
oleh orang Tionghoa. Ada perbedaan nilai sosial yang dimiliki oleh etnis Batak Toba dan
Tionghoa diantaranya adalah prinsip hormat dimana rasa hormat pada etnis Batak Toba berdasarkan pada kedudukan dan posisinya didalam susunan hierarkis
keluarga atau masyarakat. Sedangkan etnis Tionghoa berdasarkan pada usia dan hubungan keluarga. Demikian pula mengenai nilai tentang perkawinan dimana
perkawinan pada etnis Batak Toba terletak pada individu yang bersangkutan, sedangkan pada etnis Tionghoa nilai perkawinan menyangkut keluarga besar
Lubis, 1999. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lubis 1999 yang
menunjukkan bahwa orang Batak Toba menilai etnis Tionghoa sebagai etnis yang merasa dirinya sangat unggul yang memiliki sifat-sifat positif, sebaliknya orang
Tionghoa mengakui bahwa etnik Batak Toba mempunyai kelebihan sifat yaitu tidak egois, jujur dan lugu, sukarela dan bersahabat, serta lebih loyal dari etnik
lainnya. Penilain positif ini memungkinan etnik Batak toba dan etnik Tionghoa ini untuk menikah.
Di tahun-tahun awal perkawinan banyak masalah baru yang harus dihadapi seseorang yang salah satunya adalah beradaptasi dengan perkawinan. Duffy
dalam Wicaksono, 2007 menyatakan bahwa fleksibilitas dan keinginan untuk
Universitas Sumatera Utara
berubah dari setiap pasangan disebut dengan istilah penyesuaian perkawinan marital adjustment. Hurlock 1999, juga mengemukakan bahwa penyesuaian
perkawinan adalah sebagai proses adaptasi antara suami istri, dimana suami istri tersebut dapat mencegah terjadinya konflik dan menyelesaikan konflik dengan
baik melalui proses penyesuaian diri. Tahun pertama dan kedua perkawinan, pasangan suami istri biasanya harus melakukan penyesuaian perkawinan karena
masing-masing membawa nilai-nilai budaya, sikap, keyakinan, dan gaya penyesuaian sendiri-sendiri ke dalam perkawinan tersebut.
Perkawinan juga memerlukan penyesuaian secara terus menerus. Setiap perkawinan, selain cinta
juga diperlukan saling pengertian yang mendalam, kesediaan untuk saling menerima pasangan masing-masing dengan latar belakang yang merupakan
bagian dari kepribadiannya. Tanpa memperhatikan tipe keluarganya, penyesuaian status perkawinan
akan menjadi salah satu masalah yang paling sulit yang harus dialami pasangan muda. Latar belakang budaya akan mempengaruhi penyesuaian perkawinan
dimana semakin sama latar belakang suami dan istri, semakin mudah untuk saling menyesuaikan diri dan semakin berbeda pandangan hidup, maka semakin sulit
penyesuaian diri dilakukan Hurlock, 1999. Setelah mereka melakukan penyesuaian satu dengan yang lainnya, dengan anggota keluarga dan dengan
kawan-kawan, maka perlu menyesuaikan dengan kedudukan mereka sebagai orangtua Hurlock, 1999.
Orang menikah bukan hanya mempersatukan diri, tetapi juga seluruh keluarga besarnya Anjani Suryanto, 2006.
Universitas Sumatera Utara
Penyesuaian pernikahan berhubungan dengan penyesuaian pasangan, penyesuaian seksual, penyesuaian keuangan, dan penyesuaian dengan keluarga
pasangan dan kriteria keberhasilan penyesuaian perkawinan bisa digunakan untuk menilai tingkat penyesuaian perkawinan seseorang yaitu kebahagiaan suami istri,
hubungan yang baik antara orangtua dan anak, penyesuaian yang baik dari anak- anak, kemampuan untuk memperoleh kepuasan dari perbedaan pendapat,
kebersamaan, penyesuaian yang baik dalam masalah keuangan, dan penyesuaian yang baik dari pihak keluarga pasangan Hurlock, 1999.
Menjadi seorang pasangan adalah salah satu transisi yang kompleks dan sulit dari siklus kehidupan keluarga McGoldrick 1989; Muller, 2004. Perbedaan
sikap personal, nilai-nilai, dan kepercayaan dapat menyebabkan stress dalam sistem keluarga, terutama jika pasangan tidak memiliki sumber-sumber untuk
mengatur perbedaan. Masa awal menjadi orangtua merupakan transisi hidup yang penuh tekanan yang dialami pasangan melibatkan perubahan yang postitif dan
negatif Cowan Cowan; Monk, dalam Sigelman Rider, 2003. Masa-masa merawat anak-anak menjadi sumber stress dan ketegangan yang lebih besar bagi
pasangan dan seiring bertambahnya usia anak, maka orangtua perlu mengadakan penyesuaian-penyesuaian sebagaimana dikatakan oleh Crnic Booth dalam
Sigelman Rider, 2003. Umumnya, tahap ini berlangsung selama kurang lebih 20 tahun Duvall, 1985; Lefrancois, 1993. Masing-masing memiliki latar
belakang dan pengalaman yang berbeda, tentu saja ada perbedaan dalam susunan nilai serta tujuan yang ingin dicapai, untuk itulah perlu dilakukan penyesuaian
Universitas Sumatera Utara
sehingga kebutuhan dan harapan masing-masing pasangan dapat terpenuhi dan memuaskan.
Berbagai faktor dapat mempengaruhi penyesuaian perkawinan dalam pernikahan antar budaya sepertihalnya nilai-nilai dan tujuan hidup, harapan yang
realistis dari perbedaan budaya yang mengharapkan bahwa akan ada konflik- konflik, self esteem dan self-worth dalam masing-masing pasangan, peran suami
dan istri dan salah satunya adalah dukungan dari keluarga, teman dan masyarakat Soncini 1997; Muller, 2004
Cohen dan Wills 1985 menyebutkan bahwa seseorang yang tengah mengalami kesulitan membutuhkan orang lain untuk dapat menolongnya,
membangkitkan kembali semangat serta rasa percaya dirinya dalam menghadapi kesulitan yang sedang dihadapi, merasa dipedulikan demikian halnya pasangan
yang tengah menghadapi masa-masa penyesuaian dalam perkawinannya membutuhkan orang lain yang dapat membuatnya merasa dicintai, dihargai,
diperhatikan, tidak merasa sendirian dalam menghadapinya dan menjadi bagian dari kelompok. Salah satu faktor yang membuat masa penyesuaian itu menjadi
sulit adalah jika tidak memperoleh bantuan atau dukungan dari orang tua atau siapa pun dalam menyelesaikan masalahnya Jahja, 2011.
Dukungan sosial didefenisikan sebagai “transaksi interpersonal’’ yang
menghasilkan perhatian emosi, bantuan instrumental, informasi atau informasi yang relevan terhadap evaluasi diri House dalam Goldsmith, 2004.
Cutrona, Reis Sprecher dalam Goldsmith 2004 juga menyatakan dukungan sosial
adalah harapan dari hubungan personal dan kemampuan interpersonal yang
Universitas Sumatera Utara
dirasakan serta kepuasan yang diterima dari teman-teman, keluarga, dan pasangan.
Dukungan sosial dihubungkan dalam berbagai situasi kehidupan diantaranya kesepian, isolasi sosial, stress, harga diri, penyesuaian dan kelekatan
dalam keluarga dan strategi coping Toepfer, 2010. Berbagai dukungan sosial dapat diterima dari lingkungan berupa emotional support dukungan emosi,
network support dukungan kebersamaan, esteem support dukungan penghargaan, tangible support dukungan berupa bantuan langsung, dan
informational support dukungan informasi akan membantu pasangan dalam mengurangi stress dan dalam proses penyesuaian perkawinan Cutrona Russell,
1990 Dukungan sosial diatas menjelaskan kelengkapan atau tersedianya bantuan
dari seseorang kepada yang lain. Dukungan sosial akan menjadi efektif dalam menghadapi dan mengurangi efek dari stress, sejauh bentuk dari bantuan sesuai
dengan tuntutan stress Cutrona Russell, 1990. Keefektifan dukungan sosial ditentukan apakah dukungan sosial sesuai dengan dukungan yang dibutuhkan dan
diinginkan melalui kejadian stress dan tekanan yang dialami individu Taylor, Kim Sherman., 2008.
Dukungan sosial dalam keluarga dihubungkan dengan peningkatan hubungan anak-anak dan kepuasan hidup, pertahanan, kegembiraan, adaptasi dan
keberfungsian sosial yang lebih baik dan meningkatnya kepuasan hubungan suami istri dan di dalam perkawinan, dukungan sosial juga dihubungkan dengan
kepuasan hubungan yang lebih besar, stabilisasi dalam kesehatan mental dan fisik
Universitas Sumatera Utara
Gardner Cutrona, 2004. Cutrona 1990 menambahkan bahwa dukungan sosial berkontribusi terhadap kepuasan perkawinan dimana dengan adanya
dukungan sosial dapat mencegah emosi atau depresi selama mengalami masa- masa stress dan mecegah konflik dalam keluarga.
Anggota keluarga, khususnya orangtua dan pasangan adalah sumber utama dari dukungan sosial baik secara umum generalized support maupun secara
khusus specific support. Weiss 1974; Lerner, Easterbrooks Mistry.,
2003 mengembangkan sebuah teori tentang persediaan dukungan dari famili dan dari
nonfamili. Teman-teman diharapkan menyediakan persahabatan dan intervensi krisis dalam jangka pendek, sedangkan anggota keluarga diharapkan menyediakan
sumber-sumber yang lebih signifikan pada area-area seperti masalah keuangan, kesehatan, tugas sehari-hari, diskusi akan masalah-masalah keluarga ketika
diperlukan, dan dukungan dalam jangka lama. Larson dalam Lerner, E asterbrooks
Mistry 2003 menambahkan bahwa anggota keluarga lebih responsif akan
penyediaan dukungan fisik dan emosional hari ke hari. Dapat dilihat bahwa individu yang mendapatkan dukungan sosial yang
baik tidak akan rentan terhadap kejadian-kejadian negatif seperti depresi, cemas dan mengalami masalah kesehatan yang menunjukkan bahwa perubahan sosial
negatif yang terjadi pada individu dikarenakan oles tress kehidupan juga kuranganya dukungan yang diterima Rook dalam Lerner, Easterbrooks Mistry,
2003. Demikian halnya dalam pernikahan pasangan yang berbeda etnis Batak
Toba-tionghoa akan mengalami masa krisis dan kesulitan dalam proses
Universitas Sumatera Utara
penyesuaian perkawinan mereka didukung dengan perbedaan latar belakang budaya masing-masing. Pasangan yang beda etnis ini juga membutuhkan
dukungan dari orang-orang sekitarnya khususnya keluarga mereka dan secara penelitian ini khusus membahas perkawinan beda etnis pada pasangan Batak
Toba-Tionghoa. Berdasarkan fenomena di atas, peneliti ingin meneliti tentang bagaimana
pengaruh dukungan sosial keluarga terhadap penyesuaian perkawinan pada pasangan etnis Batak Toba - Tionghoa dan penelitian ini juga hendak melihat
seberapa besar pengaruh antara bentuk-bentuk dukungan sosial dengan penyesuaian perkawinan pada pasangan etnis Batak Toba - Tionghoa.
B. Rumusan Masalah