BAB II LANDASAN TEORI
A. Penyesuaian Perkawinan
1. Defenisi Penyesuaian Perkawinan
Penyesuaian perkawinan didefenisikan sebagai “proses-proses yang dianggap perlu untuk mencapai sebuah hubungan perkawinan yang berfungsi dan
harmonis dan dihubungkan dengan perundingan yang dilakukan terus-menerus, komunikasi, dan proses adaptasi” Muller, R., 2004. Hurlock 1999 menyatakan,
bahwa penyesuaian perkawinan sebagai proses adaptasi antara suami istri, dimana suami istri tersebut dapat mencegah terjadinya konflik dan menyelesaikan konflik
dengan baik melalui proses penyesuaian diri. DeGenova 1990 juga mendefenisikan penyesuaian perkawinan sebagai
proses dari modifikasi, adaptasi, dan mengubah pola-pola perilaku individual dan pasangan dan interaksi untuk mencapai kepuasan maksimum dalam hubungan.
Senada dengan Lasswel Lasswel 1987 yang menyatakan bahwa penyesuaian perkawinan berarti kedua individu telah belajar untuk mengakomodasi kebutuhan,
keinginan, dan harapan masing-masing yang berarti mencapai suatu derajat kebahagiaan dalam hubungan.
Tokoh lain menyatakan bahwa penyesuaian perkawinan termasuk persetujuan pada tugas-tugas dan prioritas dari masing-masing tugas. Termasuk
juga persetujuan akan fleksibilitas masing-masing pasangan dalam memainkan perannya seperti latar belakang sosial ekonomi, stabilitas emosi dalam
Universitas Sumatera Utara
perkawinan, penyesuaian seksual, perubahan dalam sistem nilai, komunikasi, dan lainnya Dimpka 2010; Clayton 1978.
Dari pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa penyesuaian perkawinan adalah proses dimana suami istri melakukan adaptasi, akomodasi
kebutuhan, keinginan, dan harapan masing-masing pasangan untuk mendapatkan kepuasan maksimum dalam hubungan perkawinan.
2. Bentuk-bentuk Penyesuaian Diri dalam Pernikahan
Hurlock 1999 mengemukakan ada bentuk-bentuk penyesuaian yang paling umum dan paling penting dalam pernikahan yaitu:
1. Penyesuaian dengan pasangan Masalah yang paling penting yang pertama kali harus dihadapi saat
seseorang memasuki dunia pernikahan adalah penyesuaian dengan pasangan istri maupun suaminya. Apabila penyesuaian yang baik
dilakukan, pasangan harus memenuhi kebutuhan yang berasal dari pengalaman awal dan membantu pasangan memenuhi kebutuhan tersebut.
Degenova 2008, menambahkan bahwa pemenuhan kebutuhan didalam pernikahan meliputi kebutuhan psikologis cinta, perasaan, penerimaan
dan pemenuhan diri, kebutuhan sosial persahabatan dan pengalaman yang baru bersama pasangan dan kebutuhan seksual secara fisik dan
psikologis. Pasangan juga harus saling memainkan perannya masing- masing. Semakin banyak pengalaman dalam hubungan interpersonal
antara pria dan wanita yang diperoleh dimasa lalu, makin besar pengertian
Universitas Sumatera Utara
dan wawasan sosial mereka sehingga memudahkan dalam penyesuaian dengan pasangan.
2. Penyesuaian seksual Masalah penyesuaian utama yang kedua dalam pernikahan adalah
penyesuaian seksual, masalah ini adalah masalah yang paling sulit dalam pernikahan dan salah satu penyebab yang mengakibatkan pertengkaran
dan ketidakbahagiaan dalam pernikahan. Permasalahan biasanya dikarenakan pasangan belum mempunyai pengalaman yang cukup dan
tidak mampu mengendalikan emosi mereka. Sikap terhadap seks sangat dipengaruhi oleh cara pria dan wanita menerima informasi seks selama
masa anak-anak dan remaja. 3. Penyesuaian keuangan
Uang mempunyai pengaruh yang kuat terhadap penyesuaian diri individu dalam pernikahan. Istri yang berusia muda atau masih remaja cenderung
memiliki sedikit pengalaman dalam hal mengelola keuangan untuk kelangsungan hidup keluarga. Suami juga terkadang mengalami kesulitan
dalam menyesuaikan diri dengan keuangan, khususnya jika istrinya bekerja di luar rumah dan berhenti setelah memiliki anak pertama
sehingga mengurangi pendapatan keluarga. 4. Penyesuaian dengan pihak keluarga pasangan
Setiap individu yang menikah secara otomatis memperoleh sekelompok keluarga baru. Mereka itu adalah anggota keluarga pasangan dengan usia
yang berbeda, mulai dari bayi hingga kakek atau nenek dan terkadang
Universitas Sumatera Utara
dengan latar belakang yang berbeda, tingkat pendidikan yang berbeda, budaya dan latar belakang sosial yang berbeda. Ibu mertua dan kakak ipar
lebih cenderung sebagai masalah dalam ketidakcocokan dari pada bapak mertua dan abang ipar. Inti dalam perselisihan biasanya menyangkut
aktifitas dan peran wanita dalam rumah tangga.
3. Kondisi yang Menyebabkan Kesulitan dalam Penyesuaian Perkawinan
Hurlock 1999 mengemukakan beberapa faktor yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyesuaian pernikahan yaitu:
1. Persiapan yang terbatas untuk pernikahan Penyesuaian seksual saat ini terlihat lebih mudah dilakukan dibandingkan
masa lalu, dikarenakan banyaknya informasi namun kebanyakan pasangan suami istri hanya menerima sedikit persiapan dibidang keterampilan
domestik, mengasuh anak, dan manajemen uang. 2. Perubahan peran dan status sosial menjadi suami atau istri.
Kecenderungan terhadap perubahan peran dalam perkawinan bagi pria dan wanita serta konsep yang berbeda tentang peran membuat penyesuaian
dalam pernikahan semakin sulit saat ini dibandingkan pada masa lalu. 3. Pernikahan dini
Pernikahan dini akan lebih banyak memerlukan proses penyesuaian diri masing-masing pasangan karena pada umumnya di usia ini individu belum
terlalu matang dalam hal emosional, ekonomi, dan seksual. 4. Konsep yang tidak realistis tentang perkawinan.
Universitas Sumatera Utara
Orang dewasa yang belajar di perguruan tinggi dengan pengalaman yang sedikit cenderung memiliki konsep yang tidak realistis mengenai makna
pernikahan dengan pekerjaan, pembelanjaan uang, atau perubahan pola hidup.
5. Perkawinan campuran, Perkawinan yang dilakukan antara dua adat istiadat yang berbeda dan
dapat mempersulit dalam penyesuaian. 6. Pacaran yang dipersingkat.
Periode masa pacaran yang singkat pada masa sekarang dibandingkan masa lalu, sehingga pasangan memiliki sedikit waktu untuk memecahkan
masalah tentang penyesuaian sebelum melangsungkan pernikahan. 7. Romantika perkawinan
Harapan yang berlebihan mengenai tujuan dan hasil pernikahan sering membawa kekecewaan yang menambah kesulitan penyesuaian terhadap
tugas dan tanggung jawab pernikahan.
4. Kriteria Keberhasilan Penyesuaian Perkawinan
Hurlock 1999, mengemukakan kriteria keberhasilan penyesuaian dalam perkawinan yang digunakan untuk menilai tingkat penyesuaian perkawinan, yaitu:
1. Kebahagiaan Suami-Istri Suami istri memperoleh kebahagiaan bersama akan membuahkan kepuasan yang
diperoleh dari peran yang mereka mainkan bersama. Mereka juga memiliki cinta yang matang dan teguh satu dengan yang lainnya. Mereka
Universitas Sumatera Utara
juga dapat melakukan penyesuaian seksual yang baik serta menerima peran sebagai orangtua.
2. Hubungan yang baik antara orangtua dan anak Hubungan yang baik antara anak dan orang tuanya mencerminkan keberhasilan
penyesuaian perkawinan terhadap masalah dengan anak. Jika hubungan antara anak dan orangtuanya buruk, maka suasana rumah tangga akan
diwarnai oleh perselisihan yang menyebabkan penyesuaian perkawinan menjadi sulit
3. Penyesuaian yang baik dari anak-anak Penyesuaian yang baik dari anak-anak adalah apabila anak dapat menyesuaikan dirinya
dengan teman-temannya, dan sangat disenangi oleh teman sebayanya, ia akan berhasil dalam belajar dan merasa bahagia dalam sekolah. Ini
merupakan bukti keberhasilan proses penyesuaian kedua orangtuanya terhadap perkawinan dan perannya sebagai orangtua.
4. Kemampuan untuk memperoleh kepuasan dari perbedaan pendapat Perbedaan pendapat diantara anggota keluarga yang tidak dapat dielakkan biasanya
berakhir dengan salah satu dari tiga kemungkinan yaitu ketegangan tanpa pemecahan, salah satu mengalah demi perdamaian atau masing-masing
anggota keluarga mencoba untuk saling mengerti pendapat orang lain. Dalam jangka panjang hanya kemungkinan yang ketiga yang dapat
menimbulkan kepuasan jangka dalam penyesuaian perkawinan, walaupun kemungkinan pertama dan kedua dapat juga mengurangi ketegangan.
5. Kebersamaan
Universitas Sumatera Utara
Jika penyesuaian perkawinan dapat berhasil, maka keluarga dapat menikmati waktu yang digunakan untuk berkumpul bersama. Apabila hubungan keluarga telah
dibentuk dengan baik pada awal-awal tahun perkawinan, maka keduanya dapat mengikatkan tali persahabatan lebih erat lagi setelah menikah dan
membangun rumah atau usahanya sendiri. 6. Penyesuaian yang baik dengan keuangan
Bagaimanapun besarnya pendapatan, keluarga perlu mempelajari cara membelanjakan pendapatannya sehingga mereka dapat menghindari utang yang selalu
melilitnya agar disamping itu mereka dapat menikmati kepuasan atau usahanya dengan cara yang sebaik-baiknya.
7. Penyesuaian yang baik dari pihak keluarga pasangan Suami istri yang mempunyai hubungan yang baik dengan pihak keluarga pasangan,
khususnya mertua, ipar laki-laki dan ipar perempuan, kecil kemungkinannya untuk terjadi percecokan dan ketegangan hubungan
dengan mereka.
5. Faktor-faktor Pendukung Penyesuaian Perkawinan Antar Etnis
Tseng 1977 percaya bahwa kualitas dasar dari kesuksesan penyesuaian perkawinan, seperti masing-masing pasangan memiliki kemampuan menjadi diri
sendiri dan orang lain, masing-masing pasangan fokus akan kasih sayang orang lain, dan masing-masing memperoleh kesenangan dari perkawinan. Soncini, 1997;
Muller, 2004 juga menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan penyesuaian perkawinan dalam pernikahan antar budaya: berbagi nilai-nilai dan
Universitas Sumatera Utara
tujuan hidup, kesadaran akan cross-cultural; menyukai budaya pasangan; memiliki sebuah harapan yang realistis dari perbedaan budaya yang
mengharapkan bahwa akan ada konflik-konflik dan kekurapahaman; self esteem dan self-worth dalam masing-masing pasangan; rasa humoris; dan dukungan
sosial dari keluarga, teman dan masyarakat. Chan dan Wethington dalam Muller, 2004 menambahkan faktor dukungan yaitu social network pasangan yang
memiliki jaringan sosial yang luas dimana berpotensi akan menyediakan dukungan.
Tseng 1977 menunjukkan beberapa pola-pola penyesuaian antar budaya: 1. One-way adjustment
Salah satu pasangan mengadopsi pola-pola budaya dari yang lainnya, seperti ketika salah satu pasangan berubah pada keyakinan yang lainnya.
2. Alternative adjustment. Pasangan tidak dapat menemukan jalan untuk menyatukan kedua budaya mereka.
Solusinya adalah mengadopsi pola-pola budaya dari masing-masing pasangan pada waktu yang berbeda.
3. A ‘mid-point compromise” Pasangan mendiskusikan perspektif mereka dan sampai pada sebuah solusi yang
didasarkan pada kompromi. Masing-masing pasangan dapat mengekspresikan ide-ide dan kebutuhan mereka, dan yang lainnya dapat
belajar dan memahami lebih lagi akan budaya pasangan. 4. The “mixing” adjustment
Kedua pasangan mengkombinasikan pola-pola budaya mereka.
Universitas Sumatera Utara
5. A “creative” adjustment Masing-masing pasangan berdiskusi untuk menyerahkan aspek-aspek tertentu dari
budayanya, dan keduanya mengembangkan hal baru, budaya ketiga dari budaya pasangan.
B. Dukungan Sosial
1. Defenisi Dukungan Sosial
DiMatteo 1991 menyatakan bahwa dukungan sosial adalah dukungan atau bantuan yang berasal dari orang lain seperti teman, keluarga, tetangga, teman
sekerja dan orang lain yang berpotensi mendukung individu menghadapi kondisi- kondisi atau kejadian stress. Sarafino 2006 juga menyatakan bahwa dukungan
sosial mengacu pada memberikan kenyamanan pada orang lain, merawatnya, atau menghargainya.
Dukungan sosial juga didefenisikan sebagai “transaksi interpersonal’’
yang menghasilkan perhatian emosi, bantuan instrumental, informasi, atau informasi yang relevan terhadap evaluasi diri House, 1981.
Cutrona, 1990; Reis, 1988 Sprecher; Goldsmith, 2004 menyatakan bahwa dukungan sosial adalah
harapan dari hubungan personal dan kemampuan interpersonal yang dirasakan serta kepuasan yang diterima dari teman-teman, keluarga, rekan dan pasangan
romantis. Cutrona dan Russell 1990 menambahkan dukungan sosial sebagai bantuan penanganan individu dan didasarkan melalui interaksi interpersonal yang
memaksimalkan kesesuaian penanganan perilaku.
Universitas Sumatera Utara
Tokoh lain Thoits dalam Lyons, 1997 menyatakan dukungan sosial
sebagai derajat kebutuhan sosial dasar seseorang penghargaan, kasih sayang, indentitas, perlindungan, dll yang dipuaskan melalui interaksi dengan orang lain.
Menurut Sarason Pierce, 1990; Toepfer, 2010, dukungan sosial sebagai penilaian kognitif umum seorang individu akan dukungan melalui anggota-
anggota penting dari jaringan sosial seperti keluarga, teman-teman, dan yang penting lainnya. Tidak jauh berbeda,
dukungan sosial didasarkan pada “informasi yang mengarahkan subjek untuk percaya bahwa dia dicintai, dipedulikan, dihargai
dan termasuk dalam jaringan komunikasi bersama Cobb dalam Cohen,
Underwood, Gottlieb 2000 .
Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial adalah derajat bantuan, perhatian, kenyamanan, penghargaan, informasi yang diperoleh
dan dirasakan seseorang melalui transaksi interpersonal dengan orang lain. Dari defenisi di atas juga dapat disimpulkan bahwa sumber dukungan sosial didapatkan
dari interaksinya dengan orang lain seperti pasangan hidup, orangtua, teman- teman, tetangga, rekan kerja dan lainnya.
2. Bentuk-Bentuk Dukungan Sosial
Cutrona Russell 1990 membedakan lima bentuk dari dukungan sosial antara lain:
1. Emotional support Emotional support mencakup kemampuan untuk memperoleh kenyaman dan
perlindungan dari orang lain selama masa-masa stress, mengarahkan orang
Universitas Sumatera Utara
lain merasakan bahwa dia diperhatikan oleh orang lain. Menurut Tolsdorf Wills dalam Orford, 1992, tipe dukungan ini lebih mengacu kepada
pemberian semangat, kehangatan, cinta, kasih, dan emosi. Sarafino 2006 menambahkan bahwa dukungan emosional mencakup ungkapan empati,
kepedulian dan perhatian orang yang bersangkutan. 2. Network support
Network support merupakan perasaan seseorang menjadi bagian dari sebuah kelompok yang mana anggota-anggota memiliki ketertarikan dan fokus yang sama.
Menurut Cohen Wills, 1985; Orford, 1992, dukungan ini dapat berupa menghabiskan waktu bersama-sama dalam aktivitas, rekreasional di waktu
senggang. Barren Ainlay dalam Orford, 1992 menambahkan bahwa dukungan ini dapat meliputi membuat lelucon, membicarakan minat,
melakukan kegiatan yang mendatangkan kesenangan. 3. Esteem support
Esteem support mencakup dukungan atau sokongan akan rasa kemampuan seseorang atau harga diri, pujian dan penghargaan dari orang lain. Menurut
Cohen Wills, 1985; Orford, 1992, dukungan ini dapat berupa pemberian informasi kepada seseorang bahwa dia dihargai dan diterima,
sehingga harga diri seseorang dapat ditingkatkan. 4. Tangible Support
Tangible support merupakan bantuan instrumental yang nyata, dapat berupa jasa, waktu atau uang. Dimatteo 1991, menyatakan tangible
Universitas Sumatera Utara
support sebagai bentuk-bentuk yang lebih nyata seperti meminjamkan uang, berbelanja, dan merawat anak, dll.
5. Informational support Informational support mencakup nasehat, saran-saran, petunjuk-petunjuk atau panduan
yang memungkinkan menyelesaikan sebuah masalah. Dimatteo 1991, menyatakan informational support merupakan dukungan sosial dengan
menasehatkan tindakan-tindakan alternatif yang dapat membantu menyelesaikan masalah yang dapat menghasilkan stress.
Bentuk dukungan sosial yang digunakan adalah menurut Cutrona Russell 1990 yaitu, emotional support, network support, esteem support,
tangibel support, dan informational support. Meskipun fungsi-fungsi dukungan dapat dibedakan secara konseptual, tetapi dalam naturalnya mereka tidak selalu
terpisah. Seseorang adalah mungkin memiliki pertemanan sosial yang lebih menerima bantuan instrumental dan dukungan esteem Cohen Wills, 1985.
Dalam Sarafino 2006 disebutkan beberapa contoh efek negatif yang timbul dari dukungan sosial antara lain:
1. Dukungan yang tersedia tidak dianggap sebagai sesuatu yang membantu. Hal ini dapat terjadi karena dukungan yang diberikan tidak cukup, individu merasa
tidak perlu dibantu atau terlalu khawatir secara emosional sehingga tidak memperhatikan dukungan yang diberikan
2. Dukungan yang diberikan tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan individu 3. Sumber dukungan memberikan contoh yang buruk pada individu seperti
melakukan atau menyarankan perilaku tidak sehat
Universitas Sumatera Utara
4. Terlalu menjaga atau tidak mendukung individu dalam melakukan sesuatu yang diinginkannya.
3. Dukungan Sosial Keluarga
Menurut Gunarsa 1993, keluarga adalah kelompok sosial yang bersifat abadi, dikukuhkan dalam hubungan nikah yang memberikan pengaruh terhadap
keturunan dan lingkungan. Weiss, 1974; Lerner,
Easterbrooks Mistry , 2003 dalam teorinya tentang
persediaan dukungan dari family dan nonfamily, bahwa ada perbedaan peran dari keluarga dan teman-teman. Teman-teman menyediakan persahabatan dan
intervensi krisis dalam jangka pendek, sedangkan anggota keluarga diharapkan menyediakan sumber-sumber yang lebih signifikan pada area-area seperti masalah
keuangan, kesehatan, tugas sehari-hari, diskusi masalah-masalah keluarga ketika diperlukan, dan dukungan jangka lama. Anggota keluarga seperti orangtua dan
pasangan adalah sumber dukungan yang penting dalam beberapa konteks seperti masa sekolah, dewasa muda, dan wanita yang mengalami kanker payudara. Orang
dewasa yang tidak memiliki keluarga atau hubungan yang lemah dengan keluarga memiliki level well-being yang lebih rendah daripada yang lainnya Thompson
heller dalam Lerner, Easterbrooks Mistry.,
2003. Dapat disimpulkan bahwa keluarga merupakan pusat utama dalam
kehidupan manusia yang senantiasa mendampingi dan mengiringi seorang manusia sepanjang hidupnya. Oleh karena itu, keluarga kerap kali menjadi sorotan
Universitas Sumatera Utara
saat seseorang berhasil atau gagal dalam menghadapi masalahnya. Keluarga adalah pendukung utama bagi individu yang mengalami masalah.
Berdasarkan beberapa literatur diatas, maka dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial keluarga adalah bantuan yang diperoleh dan dirasakan seseorang
dari keluarganya.
C. Perkawinan antar Etnis
1. Defenisi Perkawinan antar Etnis
Perkawinan yang mana pasangan dengan latar belakang yang berbeda dari ras, agama, retnis, dan atau budaya disebut dengan intermarriage, sedangkan
perkawinan dimana pasangan berasal dari latarb elakang etnis yang berbeda disebut dengan interethnic Muller, 2004.
Budaya menjadi suatu aspek yang penting dalam perkawinan, dimana pasangan tersebut tentu memiliki nilai-nilai budaya yang dianut, menurut
keyakinan dan kebiasaan, serta adat istiadat dan gaya hidup budaya.
2. Tahap-Tahap Perkawinan
Dalam perkawinan, setiap pasangan akan melewati urutan perubahan dalam komposisi, peran, dan hubungan dari saat pasangan menikah hingga
mereka meninggal yang disebut sebagai Family Life Cycle Hill Rodgers, dalam Sigelman Rider, 2003. Cole dalam Lefrancois, 1993 membagi tahap
perkawinan menjadi awal perkawinan, kelahiran mengasuh anak emptynest sampai usia tua.
Universitas Sumatera Utara
a. Tahap I : Pasangan Awal Married Couple Berdasarkan family life cycle dari Duvall Lefrancois, 1993, tahap ini
berlangsung selama kurang lebih 2 tahun dimulai dari ketika pasangan menikah berakhir ketika anak pertama lahir.
b. Tahap II: Membesarkan Anak Childrearing Tahap ini dimulai dari kelahiran anak pertama sampai anak berusia 20
tahun. Umumnya, tahap ini berlangsung selama kurang lebih 20 tahun Duvall, dalam Lefrancois, 1993. Rata-rata masa awal menjadi orangtua merupakan
transisi hidup yang penuh tekanan yang melibatkan perubahan yang postitif dan negatif Cowan Cowan; Monk et al, dalam Sigelman Rider, 2003. Selain itu,
kepuasan pernikahan juga menurun pada tahun-tahun pertama setelah bayi lahir dan biasanya penurunan ini lebih tajam pada wanita dibandingkan pria
dikarenakan tanggung jawab yang lebih besar terhadap pengasuhan anak Levy Shiff, dalam Sigelman Rider, 2003.
Seiring bertambahnya usia anak, maka orangtua perlu mengadakan penyesuaian-penyesuaian sebagaimana dikatakan oleh Crnic Booth dalam
Sigelman Rider, 2003 bahwa stress dan ketegangan merawat anak-anak lebih besar daripada merawat bayi dan lahirnya anak kedua akan menambah tingkat
stres orangtua dimana semakin dewasa anak maka akan timbul konflik-konflik baru antara orang tua dan anak seperti memberikan waktu dan tenaganya kepada
anak-anak yang akan menimbulkan stress orang tua O’ Brien, dalam Sigelman Rider, 2003.
Universitas Sumatera Utara
c. Tahap III: Kekosongan Emptynest Cepat atau lambat, anak-anak biasanya akan bebas secara emosional dan
finansial dari orangtua mereka. Tahap emptynest dimulai dengan “launching” anak terakhir dan berlangsung selama lebih kurang 15 tahun Duvall, dalam
Lefrancois, 1993. Pada umumnya, suami dan istri menyatakan bahwa pernikahan mereka
berlangsung baik hampir setiap waktu. Pada tahap emptynest, kebahagiaan dan kepuasan kembali meningkat sampai pada tahun-tahun pensiun Rollin
Feldman, dalam Lefrancois, 1993 dan usia tua Foner Schwab, dalam Lefrancois, 1993.
D. Etnis Batak Toba
Etnis Batak Toba merupakan salah satu dari enam sub etnis Batak yang mendiami pulau Sumatera Utara. Orang Batak Toba ialah mereka yang karena
status kelahirannya mengikuti status ayah yang berasal dari wilayah kabupaten Tapanuli Utara Lubis, 1999. Secara geografis, daerah asli yang didiami oleh
etnis Batak Toba Kabupaten Tapanuli meliputi pulau Samosir dan daerah sekitar Danau Toba, adalah pusat Tanah Batak dengan mayoritas penduduknya beragama
Kristen Harahap dan Siahaan, 1987. Masyarakat Batak Toba memegang nilai-nilai fisafat hidup sebagai orang
Batak Toba yaitu, hagabeon ‘anak’, hamoraon ‘kekayaan’ dan hasangapon ‘kehormatan’ yang menjadi tujuan dan pedoman hidup ideal orang Batak Toba.
Universitas Sumatera Utara
Sebagai pedoman hidup, maka hagabeon, hamoraon, hasangapon adalah sebuah
nilai atau value bagi etnik Batak Toba Irmawati, 2002.
Bagi masyarakat Batak Toba, perkawinan itu adalah di mana seorang laki- laki mengikatkan diri dengan seorang wanita, untuk hidup bersama dalam satu
rumah tangga dengan melalui prosedur yang ditentukan dalam ketentuan- ketentuan hukum adat Batak. Seorang laki-laki pada masyarakat Batak Toba
adalah menjadi penerus marga Saragih, 1980. Sedangkan mengenai nilai tentang perkawinan, dimana perkawinan pada etnis Batak Toba terletak pada individu
yang bersangkutan. Nilai - Nilai Budaya Masyarakat Batak Toba:
Harahap dan Siahaan 1987 mengelompokkannya menjadi tujuh nilai yang dapat dianggap sebagai nilai utama, yaitu :
1. Kekerabatan. Nilai kekerabatan berada di tempat yang paling utama. Nilai inti
kekerabatan masyarakat Batak terwujud dalam pelaksanaan adat ’Dalihan Na Tolu’ Hula-hula, Dongan Tubu, Boru.
2. Agama. Ada wilayah Batak yang mayoritas penduduknya menganut agama Islam,
seperti Angkola-Mandailing, ada wilayah Batak yang mayoritas penduduknya menganut agama Kristen seperti Batak Toba, dan ada
wilayah yang penganutnya berimbang, seperti wilayah Batak Simalungun. 3.
Hagabeon.
Universitas Sumatera Utara
Nilai budaya hagabeon bermakna harapan panjang umur, punya anak, bercucu, dan baik-baik. Kebahagiaan bagi orang Batak belum lengkap jika
belum mempunyai anak, terlebih lagi anak laki-laki. 4.
Hamoraon. Adapun nilai kehormatan menurut adat Batak terletak pada keseimbangan
aspek spiritual dan materil yang ada pada diri seseorang. 5.
Uhum dan Ugari. Nilai suatu keadilan itu ditentukan dari ketaatan pada ugari habit serta
dengan padan janji. Setiap orang Batak yang menghormati uhum, ugari, dan janjinya dipandang sebagai orang Batak yang sempurna.
6. Pengayoman. Prinsipnya semua orang menjadi pengayom dan mendapat pengayoman
dari sesamanya adalah pendirian yang kokoh dalam pandangan adat Batak. 7.
Marsisarian. Artinya saling mengerti, menghargai, dan membantu. Prinsip ini
merupakan antisipasi dalam mengatasi konflik atau pertikaian.
E. Etnis Tionghoa
Istilah “Cina” dalam pers Indonesia tahun 1950-an telah diganti menjadi “tionghoa” untuk merujuk pada orang Cina dan “tiongkok” untuk negara Cina
dalam pers Indonesia 1951-an Liem, 2000. Etnis Tionghoa menurut Purcell dalam Liem, 2000 adalah seluruh imigran negara Tiongkok dan keturunannya
yang tinggal dalam ruang lingkup budaya Indonesia dan tidak tergantung dari
Universitas Sumatera Utara
kewarganegaraan mereka dan bahasa yang mereka gunakan. Etnis Tionghoa adalah individu yang memandang dirinya sebagai “tionghoa” atau dianggap
demikian oleh lingkungannya. Pada saat bersamaan mereka berhubungan dengan etnis Tionghoa perantauan lain atau negara tiongkok secara sosial, tanpa
memandang kebangsaan, bahasa, kaitan erat dengan budaya tiongkok. Etnis Tionghoa, suatu kelompok dengan elemen-elemen budaya yang
dikenal sebagai atribut dari Tionghoa, secara sosial anggota-anggota dari kelompok mengidentifikasi dan diidentifikasikan orang lain sebagai suatu
kelompok yang berbeda dari yang lainnya Tan, 1987. Di kota Medan keberadaan etnis Tionghoa dimulai pada abad ke-15,
ketika armada perdagangan Cina datang mengunjungi pelabuhan Sumatera Timur untuk melakukan hubungan dagang. Hubungan ini cukup berlangsung lama,
sehingga sebagian pedagang tersebut ada yang menetap di Sumatera Timur Lubis, 1999. Jumlah warga masyarakat Cina lebih sedikit dari penduduk asli,
dan kehadiran mereka musah ditandai dengan melihat pemukiman yang terletak di pusat perkotaan atau pusat perdagangan dengan menggunakan dialek Cina dalam
percakapan sehari-hari. Kedatangan mereka dari berbagi sub etnik menyebabkan mereka berkumpul diantara mereka sendiri, membuat perkampungan dan
memakai bahasa sendiri. Inilah awal esklusifime orang Tionghoa Lubis, 1999. Orang Cina Medan mengalami kesulitan berbaur dengan etnis pribumi
lainnya dikarenakan kota Medan yang heterogen, sehingga komunikasi dengan etnis lainnya tidak mudah sementara mereka biasa menggunakan bahasa daerah.
Universitas Sumatera Utara
Di Medan sendiri, etnis Cina termasuk kelompok masyarakat yang berhasil yang dapat menguasai industri, pertokoan, dan perbankan. Lubis, 1999.
Kebudayaan dan kehidupan suatu masyarakat banyak dipengaruhi oleh sistem kepercayaannya. Kepercayaan yang dianut etnis Tionghoa adalah Budha,
Taoisme, dan Konfusionisme dimana ajaran Konfisionisme lebih dominan dianut oalh Tionghoa dimanamengajarkan tentang moralitas yang harus dimiliki oleh
setiap orang. Kunci ini dipakai Konfusius untuk mengatur hubungan antar manusia dalam hidup bermasyarakat Lubis, 1999.
Nilai-nilai Sosial Budaya Tionghoa: 1. Hakekat Hidup
Tingkat tertinggi yang dapat dicapai manusia adalah memperoleh kedudukan sebagai orang yang “arif bijaksana”, suatu tingkat yang
pribadinya sudah “sama” dengan alam semesta. 2. Hakekat kerja
Etos kerja banyak dipengaruhi oleh ajaran konfusius yang disebut hubungan segitiga, hubunan antara konfusianisme, keluarga dan kerja.
Penanaman moral pertama kali harus terjadi dalam keluarga, dan membaur hubungan yang serasi dengan masyarakat. Etos kerja terletak
pada keinginan untuk bakti kepada keluarga dan memperoleh pahala kelak.
3. Hubungan antara Manusia dengan Alam.
Universitas Sumatera Utara
Dalam ajaran Tao manusia harus hidup menurut hukum alam yaitu memilih kesederhanaan seperti air yang selalu memilih tempat rendah dan
terlemah tapi dapat menembus batu-batuan. 4. Persepsi mengenai Waktu
Kebudayaan Tionghoa cenderung memiliki orientasi kepada masa mendatang, tetapi jangka waktu akan pendek yang bersifat praktis. Orang
Tionghoa berani mengubah sesuatu demi kelangsungan hidup di masa yang datang.
5. Hubungan antara Manusia dan Sesamanya Seluruh umat manusia merupakan satu keluarga dan keluarga adalah dasar
bagi terbentuknya masyarakat. Manusia harus bermurah hati yang terwujud dalam sikap suka menolong.
F. Dukungan Sosial Keluarga terhadap Penyesuaian Perkawinan pada
Pasangan Beda Etnis Batak Toba - Tionghoa
Cobb dalam Cohen, Underwood Gottlieb., 2000 menyatakan bahwa transisi dan krisis dalam kehidupan kehamilan, peran orangtua menempatkan
orang dalam situasi beresiko. Menjadi seorang pasangan adalah salah satu transisi yang kompleks dan sulit dari siklus kehidupan keluarga dimana perbedaan sikap
personal, nilai-nilai, dan kepercayaan masing-masing pasangan dapat menyebabkan stress dalam sistem keluarga yang baru Carter McGoldrick
1989; Muller, 2004.
Universitas Sumatera Utara
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Toepfer 2010 menunjukkan bahwa ketika dukungan sosial dari keluarga tersedia maka kebutuhan pasangan akan
dukungan informasi, feedback dan dukungan lainnya akan terpenuhi dan dapat mengatur konflik dengan cara yang lebih tepat.
Hasil penelitian lain dari Rostamil 2013, menunjukkan bahwa harapan dari peran budaya, stress dalam keluarga konflik diantara pasangan, tugas rumah
tangga, dan tanggung jawab pengasuhan dan stress kerja berperan sebagai stressor dalam hubungan perkawinan. Dilihat bahwa, dukungan sosial dari orang-
orang terdekat adalah faktor yang dapat membantu pasangan untuk menangani efek negative stress tersebut dalam perkawinan mereka.
Demikian halnya perbedaan nilai sosial yang dimiliki oleh etnis Batak Toba dan Tionghoa diantaranya adalah prinsip hormat dimana rasa hormat pada
etnis Batak Toba berdasarkan pada kedudukan dan posisinya didalam susunan hierarkis keluarga atau masyarakat. Sedangkan etnis Tionghoa berdasarkan pada
usia dan hubungan keluarga. Demikian pula mengenai nilai tentang perkawinan dimana perkawinan pada etnis Batak Toba terletak pada individu yang
bersangkutan, sedangkan pada etnis Tionghoa nilai perkawinan menyangkut keluarga besar. Dalam hal bekerja, etos kerja pada masyarakt Batak Toba
bertujuan untuk memperoleh kekayaan, kehormatan dan kebahagiaan sedangkan etos kerja terletak pada keinginan untuk bakti kepada keluarga dan memperoleh
pahala kelak Lubis, 1999. Berbagai perbedaan akan terdapat banyak konflik-konflik pasa pasangan
beda etnis, seperti hasil penelitian Cottrell dalam Matsumoto Juang 2008 yang
Universitas Sumatera Utara
menunjukkan konflik-konflik dalam pernikahan berbeda budaya seperti ekspresi akan cinta dan keintiman, sikap dan komitmen, pola pengasuhan. Area-area
konflik lainnya bagi pasangan yang menikah beda budaya termasuk tatacara makan, persahabatan dan jaringan sosial, keuangan, perbedaan keyakinan,
penyesuaian seksual, dan lainnya Ho 1990; Muller, 2004. Markoff 1977 menyatakan konflik lainnya seperti meliputi komunikasi verbal dan non verbal,
perbedaan dalam nilai-nilai, perbedaan dalam pengambilan keputusan didasarkan pada kebutuhan dan tuntutan individual pasangan atau didasarkan pada tradisi
atau persetujuan sosial keluarga dan prasangka, stereotipe dapat memainkan konflik dalam perkawinan dan level dari keterlibatan dari keluarga mengenai
konflik-konflik pasangan atau hubungan dengan keluarga besar. Banyaknya perbedaan dan permasalahan yang dihadapi oleh pasangan
beda etnis Batak Toba - Tionghoa di dalam tahap perkawinannya, kemampuan mereka untuk mengatasi tantangan tersebut mungkin dapat mempengaruhi
keberhasilan hubungan mereka. Salah satu faktor yang mempengaruhi penyesuaian pernikahan beda etnik ini adalah dukungan dari keluarga seperti yang
disampaikan oleh Soncini dalam Muller, 2004. Tanpa dukungan dari keluarga, teman dan masyarakat, hubungan perkawinan beda etnis akan mengalami
hambatan dan lebih rentan terhadap masalah. Keluarga adalah salah satu sumber utama dari dukungan sosial, seperti
yang disampaikan oleh Larson dalam Lerner, Easterbrooks Mistry.
, 2003 bahwa anggota keluarga lebih responsif dalam penyediaan dukungan fisik dan
emosional hari ke hari dan berkontribusi terhadap kesejahteraan.
Universitas Sumatera Utara
G. Hipotesis
Berdasarkan landasan teori yang dikemukakan dan analisa atas teori-teori tersebut maka hipotesa penelitian yang diajukan adalah “ada pengaruh positif
antara dukungan sosial keluarga terhadap penyesuaian perkawinan pada pasangan beda etnis Batak Toba - Tionghoa”.
Universitas Sumatera Utara
BAB III METODE PENELITIAN