Pengaruh Dukungan Sosial Dari Keluarga Terhadap Penyesuaian Diri Di Masa Pensiun Pada Pegawai Negeri Sipil

(1)

PENGARUH DUKUNGAN SOSIAL DARI KELUARGA

TERHADAP PENYESUAIAN DIRI DI MASA PENSIUN

PADA PEGAWAI NEGERI SIPIL

SKRIPSI

Oleh

Suri Mutia Siregar

061301029

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul :

Pengaruh Dukungan Sosial Keluarga Terhadap Penyesuaian Diri di Masa Pensiun Pada Pegawai Negeri Sipil

Adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaedah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Mei 2010

SURI MUTIA SIREGAR 061301029


(3)

Pengaruh Dukungan Sosial Keluarga Terhadap Penyesuaian Diri di Masa Pensiun Pada Pegawai Negeri Sipil

Suri Mutia Siregar dan Meidriani Ayu Siregar

ABSTRAK

Bekerja merupakan salah satu kebutuhan manusia. Sebab, dengan bekerja manusia akan dapat memenuhi kebutuhannya. Bekerja itu, disamping memberikan materiil dalam bentuk gaji, kekayaan dan macam-macam fasilitas materiil, juga memberikan ganjaran sosial yang nonmateriil; yaitu status sosial dan prestis sosial. Dalam bekerja, manusia umumnya akan mengalami tahap kemunduran, yaitu suatu tahap dimana manusia mulai memasuki masa pensiun. Saat memasuki masa pensiun, manusia memerlukan penyesuaian diri. Baik buruknya penyesuaian diri dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah dukungan sosial dari keluarga.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh dukungan sosial keluarga terhadap penyesuaian diri di masa pensiun. Jumlah sampel penelitian ini adalah 60 orang pensiunan pegawai negeri sipil, yang terdiri dari 46 orang (76,7%%) pensiunan pria dan 14 pensiunan wanita (23.3%). Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik non probability sampling secara incidental. Data dikumpulkan melalui dua buah skala yaitu skala dukungan sosial keluarga yang disusun oleh peneliti berdasarkan dimensi dukungan sosial keluarga dari House (dalam Smet, 1994) skala penyesuaian diri di masa pensiun yang disusun oleh peneliti berdasarkan karakteristik penyesuaian diri efektif oleh Habber dan Runyon (1984). Skala dukungan sosiial keluarga memiliki nilai reliabilitas koefisien alpha (α) sebesar 0.960, dan nilai reliabilitas skala penyesuaian diri di masa pensiun memiliki nilai reabilitas koefosien alpha (α) sebesar 0.941.

Data yang diperoleh pada penelitian ini diolah dengan menggunakan analisa regresi. Hasil penelitian ini menunjukkan ada pengaruh signifikan dukungan sosial keluarga terhadap penyesuaian diri di masa pensiun (R=0.774, F=71.851, p=0.000). Dukungan sosial keluarga memberikan sumbangan efektif sebesar 55.3 %.

Kata kunci : Dukungan Sosial Keluarga, Penyesuaian Diri di Masa Pensiun, Pegawai Negeri Sipil


(4)

Influence of Social Support in Families Against Self-Retirement Adjustment of Civil Servants

Suri Mutia Siregar Siregar and Meidriani Ayu

ABSTRACT

Working is one of human needs. Because, by working people will be able to meet their needs. Work, in addition to providing material in the form of salaries, wealth and all sorts of material facilities, also provides social rewards nonmateriil; social status and social prestige. In their work, people generally will experience a slowdown phase, which is a stage where people begin to retire. Upon entering retirement, people need self-adjustment. Good or poor adjustment is influenced by various factors, one of which is social support from family. This study aimed to observe the effect of family social support to adjustment in retirement.

Total sample of this research is 60 people retired civil servants, which consists of 46 persons (76.7%%), retired men and 14 retired woman (23.3%). Sampling was carried out using non-probability sampling techniques are incidental. Data were collected through two scales, family social support scale developed by researchers based on the dimensions of social support for families of the House (in Smet, 1994) scale of adjustment in retirement which was developed by researchers based on the characteristics of effective self-adjustment by Habber and Runyon (1984) . Social family support scale has a value of reliability

coefficient alpha (α) of 0960, and the reliability value of the adjustment scale at

retirement has a value of reliability koefosien alpha (α) of 0.941.

Data obtained in this study were processed using regression analysis. The results showed no significant effect of family social support to adjustment in retirement (R = 0774, F = 71 851, p = 0.000). Family social support contributes effectively amounted to 55.3%.


(5)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, atas segala rahmat, karunia, dan izin-Nya yang telah membantu penulis dalam pengerjaan proposal penelitian yang berjudul Pengaruh Dukungan Sosial Keluarga Terhadap Penyesuaian Diri di Masa Pensiun. Adapun pengerjaan proposal penelitian ini bertujuan untuk memenuhi persyaratan mata kuliah seminar di Fakultas Psikologi USU.

Selama pengerjaan proposal penelitian ini, penulis dibantu oleh banyak pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini peneliti mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua Hanafi Siregar dan Lisa Marlina. Terimakasih ya Ma, Pa, atas doa, kasih sayang, kesabaran, dan dukungan yang selalu diberikan. Tidak lupa pula terimakasih kepada dek Reza dan Mas Heri yang juga selalu memberikan dukungan kepada penulis, sehingga proposal seminar ini dapat terselesaikan.

Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan proposal seminar ini. Untuk itu, pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada :

1. Ibu Meidriani Ayu Siregar, M.Kes selaku pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu serta memberikan dukungan, semangat, kesabaran, serta arahan dalam proses pengerjaan proposal ini.

2. Ibu Dr. Wiwik Sulistyaningsih, psikolog dan Ibu Lili Garliah, M.Si, psikolog selaku penguji II dan III yang telah memberikan bantuan berupa


(6)

masukan, arahan, dan bahan pertimbangan kepada penulis dalam proses pengerjaan proposal ini.

3. Buat seluruh pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, teman-teman, dan keluarga yang telah membantu dan memberikan dukungan selama ini kepada penulis, saya ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam proposal penelitian ini, karena itu penulis memohon saran dan kritik yang membangun guna kesempurnaan proposal penelitian ini.

Medan, 28 Desember 2009


(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN ABSTRAK ……… i

HALAMAN ABSTRAK INGGRIS………. ii

KATA PENGANTAR……… iii

DAFTAR ISI ……… v

DAFTAR TABEL……… DAFTAR LAMPIRAN ……….. BAB I PENDAHULUAN ………. 1

A. Latar Belakang Masalah ………. 1

B. Perumusan Masalah ……….... 13

C. Tujuan Penelitian ……… 13

D. Manfaat Penelitian ……….. 13

E. Sistematika Penulisan ………. 14

BAB II LANDASAN TEORI ……… 16

A. Dukungan Sosial ………. 16

1. Pengertian Dukungan Sosial……….. ….. 16

2. Dimensi Dukungan Sosial ……… ….. 17

3. Sumber-sumber Dukungan Sosial………. 18

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Dukungan Sosial ……..……….. ….. 19

5. Dukungan Sosial Keluarga ……….. 19

B. Penyesuaian Diri ………... 21

1. Pengertian Penyesuaian Diri ……… 21

2. Aspek-aspek Penyesuaian Diri ………. ….. 22

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri……… 24


(8)

1. Pengertian Pensiun ……… 31

2. Sistem Pensiun ………. 32

3. Reaksi-reaksi dalam Menghadapi Pensiun ………….. 36

D. Pegawai Negeri Sipil ……….. 36

1. Pengertian Pegawai Negeri Sipil ……… 36

2. Kewajiban Pegawai Negeri Sipil ……… 37

3. Hak Pegawai Negeri ……….. 39

D. Dewasa Madya……….. 40

1. Pengertian Dewasa Madya….……….…... 40

2. Ciri-ciri Dewasa Madya………. 41

3. Tugas Perkembangan Dewasa Madya……… 46

E. Pengaruh Dukungan Sosial Keluarga Terhadap Penyesuaian Diri di Masa Pensiun ……… … 47

F. Hipotesis ……… 51

BAB III. METODE PENELITIAN ……… 52

A. Identifikasi Variabel Penelitian ………. 52

B. Definisi Operasional ……….. 53

1. Dukungan Sosial Keluarga ………. 53

2. Penyesuaian Diri di Masa Pensiun ………. 53

C. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel ……… 54

1. Populasi ……….….. 54

2. Metode Pengambilan Sampel ……….. 58

D. Metode Pengambilan Data ……….. 59

1. Skala Dukungan Sosial ………. ….. 60

2. Skala Penyesuaian Diri ……… 62

E. Validitas dan Reliabilitas ………. 64

1. Validitas ……… 64

2. Reliabilitas ……… 65

3. Daya Beda Aitem ………. 65


(9)

1. Skala Dukungan Sosial Keluarga……… 66

2. Skala Penyesuaian Diri di Masa Pensiun……… 69

G. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ………... 72

1. Tahap Persiapan ……… 72

2. Tahap Pelaksanaan ……… 73

3. Tahap Pengolahan Data ……… 73

H. Metode Analisa Data ………. 73

BAB IV. Analisa Data dan Pembahasan ……….. 75

A. Gambaran Subjek Penelitian ………... 75

B. Hasil Penelitian ………... 77

1. Hasil Uji Asumsi ……….. 77

a. Uji Normalitas Sebaran ……… 77

b. Uji Linearitas Hubungan ………. 78

2. Hasil Analisa Data ……….. 79

3. Deskripsi Data Penelitian ……… 82

a. Variabel Dukungan Sosial Keluarga……… 83

b. Variabel Penyesuaian Diri di Masa Pensiun…… 84

C. Hasil Analisa Tambahan ……… 86

1. Penyesuaian Diri Berdasarkan Jenis Kelamin ………… 86

2. Penyesuaian Diri Berdasarkan Jabatan Terakhir ……… 87

3. Penyesuaian Diri Berdasarkan Status Pekerjaan Istri…. 89 4. Pengaruh dimensi-dimensi dukungan sosial ………….. 90

D. Pembahasan ……….. 91

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ………. 98

A. Kesimpulan……….. 98

B. Saran ………... 99

1. Saran Metodologis……… 100


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Distribusi aitem-aitem skala dukungan sosial keluarga ……… 61

Tabel 2. Distribusi aitem-aitem skala penyesuaian diri di masa pensiun ………. 63

Tabel 3. Distribusi Susunan Aitem-Aitem Skala Dukungan Sosial Keluarga Setelah Uji Coba……… 67

Tabel 4. Distribusi Aitem-Aitem Skala Dukungan Sosial Keluarga Pada Saat Penelitian……… 68

Tabel 5. Distribusi Susunan Aitem-Aitem Skala Penyesuaian Diri di Masa Pensiun Setelah Uji Coba………. 69

Tabel 6. Distribusi Aitem-Aitem Skala Penyesuaian Diri di Masa Pensiun Pada Saat Penelitian ………. 71

Tabel 7. Gambaran subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin……… 75

Tabel 8. Gambaran subjek penelitian berdasarkan jabatan terakhir yang diduduki sebelum pensiun ………. 76

Tabel 9. Gambaran subjek penelitian status pekerjaan istri………. 77

Tabel 10.Uji Sebaran Normal Variabel Dengan Tes Kolmogorov-Smirnov 78 Tabel 11. Hasil Uji Linearitas……… 79

Tabel 12. Hasil Analisa Regresi... 80

Tabel 13. Parameter-parameter Persamaan Garis Regresi……….. 81

Tabel 14. Skor Empirik dan Hipotetik Dukungan Sosial Keluarga... 83

Tabel 15. Kategorisasi Dukungan Sosial Keluarga………. 83

Tabel 16. Skor Empirik dan Hipotetik Penyesuaian Diri di Masa Pensiun 84 Tabel 17. Kategorisasi Data Penyesuaian Diri di Masa Pensiun……….. 85


(11)

jenis kelamin……….. 86 Tabel 19. Hasil perhitungan Uji-t penyesuaian diri di masa pensiun… 86 Tabel 20. Gambaran penyesuaian diri di masa pensiun berdasarkan jabatan terakhir yang diduduki menjelang pensiun……… 87 Tabel 21 Uji homogenitas varians kelompok berdasarkan jabatan terakhir yang

diduduki menjelang pensiun……… 88

Tabel 22. Uji ANOVA untuk perbedaaan rata-rata kelompok berdasarkan jabatan terakhir yang diduduki menjelang pensiun………. 88 Tabel 23 Gambaran penyesuaian diri di masa pensiun berdasarkan status

pekerjaan istri………. 89

Tabel 24. Hasil perhitungan Uji-t penyesuaian diri di masa pensiun.. 90 Tabel. 25 Parameter-Parameter Persamaan Regresi………. 91


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A Data Try-Out Skala dan Reliabilitas Skala ……….. 105 Lampiran B Skala Penelitian ……… 128 Lampiran C Data Penelitian dan Hasil Pengolahan Data Penelitian…. 153 Lampiran D Hasil Tambahan………. 181


(13)

Pengaruh Dukungan Sosial Keluarga Terhadap Penyesuaian Diri di Masa Pensiun Pada Pegawai Negeri Sipil

Suri Mutia Siregar dan Meidriani Ayu Siregar

ABSTRAK

Bekerja merupakan salah satu kebutuhan manusia. Sebab, dengan bekerja manusia akan dapat memenuhi kebutuhannya. Bekerja itu, disamping memberikan materiil dalam bentuk gaji, kekayaan dan macam-macam fasilitas materiil, juga memberikan ganjaran sosial yang nonmateriil; yaitu status sosial dan prestis sosial. Dalam bekerja, manusia umumnya akan mengalami tahap kemunduran, yaitu suatu tahap dimana manusia mulai memasuki masa pensiun. Saat memasuki masa pensiun, manusia memerlukan penyesuaian diri. Baik buruknya penyesuaian diri dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah dukungan sosial dari keluarga.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh dukungan sosial keluarga terhadap penyesuaian diri di masa pensiun. Jumlah sampel penelitian ini adalah 60 orang pensiunan pegawai negeri sipil, yang terdiri dari 46 orang (76,7%%) pensiunan pria dan 14 pensiunan wanita (23.3%). Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik non probability sampling secara incidental. Data dikumpulkan melalui dua buah skala yaitu skala dukungan sosial keluarga yang disusun oleh peneliti berdasarkan dimensi dukungan sosial keluarga dari House (dalam Smet, 1994) skala penyesuaian diri di masa pensiun yang disusun oleh peneliti berdasarkan karakteristik penyesuaian diri efektif oleh Habber dan Runyon (1984). Skala dukungan sosiial keluarga memiliki nilai reliabilitas koefisien alpha (α) sebesar 0.960, dan nilai reliabilitas skala penyesuaian diri di masa pensiun memiliki nilai reabilitas koefosien alpha (α) sebesar 0.941.

Data yang diperoleh pada penelitian ini diolah dengan menggunakan analisa regresi. Hasil penelitian ini menunjukkan ada pengaruh signifikan dukungan sosial keluarga terhadap penyesuaian diri di masa pensiun (R=0.774, F=71.851, p=0.000). Dukungan sosial keluarga memberikan sumbangan efektif sebesar 55.3 %.

Kata kunci : Dukungan Sosial Keluarga, Penyesuaian Diri di Masa Pensiun, Pegawai Negeri Sipil


(14)

Influence of Social Support in Families Against Self-Retirement Adjustment of Civil Servants

Suri Mutia Siregar Siregar and Meidriani Ayu

ABSTRACT

Working is one of human needs. Because, by working people will be able to meet their needs. Work, in addition to providing material in the form of salaries, wealth and all sorts of material facilities, also provides social rewards nonmateriil; social status and social prestige. In their work, people generally will experience a slowdown phase, which is a stage where people begin to retire. Upon entering retirement, people need self-adjustment. Good or poor adjustment is influenced by various factors, one of which is social support from family. This study aimed to observe the effect of family social support to adjustment in retirement.

Total sample of this research is 60 people retired civil servants, which consists of 46 persons (76.7%%), retired men and 14 retired woman (23.3%). Sampling was carried out using non-probability sampling techniques are incidental. Data were collected through two scales, family social support scale developed by researchers based on the dimensions of social support for families of the House (in Smet, 1994) scale of adjustment in retirement which was developed by researchers based on the characteristics of effective self-adjustment by Habber and Runyon (1984) . Social family support scale has a value of reliability

coefficient alpha (α) of 0960, and the reliability value of the adjustment scale at

retirement has a value of reliability koefosien alpha (α) of 0.941.

Data obtained in this study were processed using regression analysis. The results showed no significant effect of family social support to adjustment in retirement (R = 0774, F = 71 851, p = 0.000). Family social support contributes effectively amounted to 55.3%.


(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Bekerja merupakan salah satu kebutuhan manusia. Sebab, dengan bekerja manusia akan dapat memenuhi kebutuhannya, yaitu (1) kebutuhan fisik dan rasa aman yang diartikan sebagai pemuasan terhadap rasa lapar, haus, tempat tinggal, dan perasaan aman dalam menikmati semua hal tersebut, (2) kebutuhan sosial, yang menunjukkan ketergantungan satu sama lain sehingga beberapa kebutuhan dapat terpuaskan karena ditolong orang lain, dan (3) kebutuhan ego yang berhubungan dengan keinginan untuk bebas mengerjakan sesuatu sendiri dan merasa puas bila berhasil menyelesaikannya (Strauss dan Seyle, dalam Isnaini, 2009).

Kartono (2003) mengemukakan bahwa bekerja itu, disamping memberikan materiil dalam bentuk gaji, kekayaan dan macam-macam fasilitas materiil, juga memberikan ganjaran sosial yang nonmateriil; yaitu status sosial dan prestis sosial. Maka rasa kebanggaan dan minat besar terhadap pekerjaan dengan segala pangkat, jabatan, penghormatan, dan simbol-simbol kebesaran menjadi insentif kuat bagi seseorang untuk mencintai pekerjaan.

Cherington (dalam Isnaini, 2009) mengemukakan bahwa di dalam masa bekerja, individu mengikuti tahap-tahap perkembangan karirnya yang dimulai dari penentuan karir, pemantapan karir, perawatan karir, sampai pada tahap


(16)

individu menghadapi masa akhir kerjanya dan memasuki masa-masa pensiun. Schwartz (dalam Hurlock, 1993) menyatakan bahwa masa pensiun merupakan akhir dari pola hidup seseorang dalam bekerja atau dapat pula disebut sebagai masa transisi ke pola hidup yang baru. Pensiun selalu menyangkut perubahan peran, perubahan keinginan dan nilai, dan perubahan secara keseluruhan terhadap pola hidup setiap individu.

Berdasarkan data dari Badan Kepegawaian Daerah (2008), batas usia pensiun (BUP) bagi pegawai negeri sipil adalah 56 tahun, BUP ini dapat saja diperpanjang menjadi 58 tahun, 60 tahun, 63 tahun, 65 tahun, atupun 70 tahun. Perpanjangan usia pensiun dari normalnya 56 tahun dapat terjadi karena berbagai alasan, seperti karena memangku suatu jabatan tertentu. Misalnya, seorang pegawai yang memangku jabatan struktural eselon I atau eselon II dapat saja tetap memangku jabatannya meski telah melewati BUP normal, yaitu 56 tahun. Hal ini juga berlaku bagi jabatan-jabatan lainnya seperti hakim, guru, ataupun jabatan lainnya yang ditentukan oleh presiden. Pada pegawai swasta, penentuan batas usia pensiun agak berbeda dengan pegawai negeri sipil. Menurut Rei (dalam Human Capital, 2009), batas usia pensiun normal pada pegawai swasta adalah 55 tahun, sedangkan usia pensiun maksimum adalah 60 tahun.

Jika ditinjau berdasarkan jumlah pensiunan, khususnya pensiunan Pegawai Negeri Sipil (PNS), saat ini terdapat hampir 4 juta pensiunan PNS di seluruh Indonesia (Carik, 2006). Deputi Menpan untuk Sumber Daya Manusia dan Aparatur Negara Tasdik Kinanto (dalam Martono, 2006) mengatakan bahwa setiap tahunnya ada sekitar 110 ribu hingga 120 ribu orang PNS yang akan


(17)

memasuki masa pensiun di Indonesia. Di Kota Medan sendiri, menurut kepala Badan Kepegawaiaan Daerah (BKD) Kota Medan, Lahum Lubis (dalam Waspada Online, 2009), pada tahun 2009 diketahui sebanyak 1.000 PNS yang pensiun. Berbeda dengan pegawai negeri, sistem pensiun pada pegawai swasta agak berbeda. Tidak seperti pegawai negeri yang mendapatkan pensiun setiap bulannya, pegawai swasta menerima sejumlah uang (pesangon) saat ia berhenti dari pekerjaannya (Hakim, 2009). Berdasarkan UU ketenagakerjaan no. 13 tahun 2003 pasal 156 (dalam Riyadi, 2008), pesangon adalah uang penghargaan yang diberikan kepada karyawan yang mengalami pemutusan hubungan kerja karena memasuki usia pensiun ataupun karena sebab-sebab lainnya. Sebagai salah satu contohnya, Bank Permata pada tahun 2009 berencana memensiunkan 2500 orang karyawannya, dimana para karyawan tersebut nantinya akan diberikan sejumlah pesangon (Winasis, 2009).

Dalam menghadapi masa pensiun, individu umumnya mengeluarkan berbagai macam reaksi. Hal ini tergantung dari kesiapan dalam menghadapinya. Secara garis besar ada tiga sikap ataupun reaksi yang umumnya dikeluarkan seseorang, yaitu (1) menerima, (2) terpaksa menerima, dan (3) menolak. Sikap penolakan terhadap masa pensiun umumnya terjadi dikarenakan yang bersangkutan tidak mau mengakui bahwa dirinya sudah harus pensiun (Isnaini, 2009).

Penolakan terhadap masa pensiun umumnya terjadi karena seseorang takut tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu. Saat memasuki masa


(18)

kekuasaan, kontak sosial, bahkan harga diri juga akan berubah karena hilangnya peran (Eyde dalam Eliana, 2003). Dahulu sewaktu masih bekerja, dirinya dihormati, dielu-elukan, disanjung dan dibelai-belai dengan segala kemanisan. Pada saat itu muncullah perasaan “agung”, bahagia, bangga, merasa berguna, merasa dikehendaki, dibutuhkan dan mendapatkan bermacam-macam fasilitas materiil yang menyenangkan. Namun saat memasuki masa pensiun, semua itu lenyap bak embun pagi yang disapu panasnya matahari. Muncullah “kekosongan”, tanpa arti, tanpa guna dan putus asa terhadap kondisi baru yang sedemikan ini (Kartono, 2003).

Penolakan terhadap masa pensiun seringkali memicu masalah-masalah tertentu. Hamidah (2004) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa dari 30 pensiunan yang diteliti, terdapat 46,6% peserta yang mengalami stres dengan kategori tinggi. Kondisi seperti ini muncul ketika seseorang tidak mampu menerima kondisi pensiun dengan baik, sehingga muncullah gangguan psikologis dan ketidaksehatan mental seperti cemas, stres, dan bahkan mungkin depresi. Suatu penelitian lain yang dilakukan oleh Jussi Vahtera di Paris, Prancis membuktikan bahwa tekanan stres yang dialami seseorang akibat pensiun menimbulkan efek bagi penderitanya, yaitu gangguan tidur. Penderita gangguan ini umumnya adalah orang-orang yang mengalami gejala post power syndrome, yaitu suatu gangguan psikologis yang muncul akibat penyesuaian diri yang kurang baik di masa pensiun. Penelitian tersebut membuktikan bahwa terdapat 15.000 pensiunan yang mengalami gangguan tidur setelah pensiun. Gangguan ini meningkat setelah memasuki masa 7 tahun sesudah pensiun (Republika online,


(19)

2009). Mantan menteri Pendidikan dan Kebudayaan 1993-1998, Wardiman Djojonegoro (dalam Septhiani 2009) menyebutkan bahwa pensiun mengakibatkan individu yang mengalaminya menjadi stres, meskipun individu yang bersangkutan sudah melakukan persiapan pensiun. Salah satu efek stres akibat pensiun adalah meningkatnya berat badan seseorang. Penelitian yang dilakukan oleh Holmes dan Rahe bahkan, mengungkapkan bahwa pensiun menempati rangking 10 besar untuk posisi stres (dalam Eliana, 2003).

Zimbardo (dalam Eliana, 2003) menyatakan bahwa permasalahan yang paling buruk dari pensiun adalah bisa mengakibatkan depresi dan bunuh diri. Sasono (2009) menyebutkan bahwa seorang pensiunan Petro di Surabaya yang mengalami depresi melakukan aksi gantung diri hingga tewas. Liem & Liem (dalam Eliana, 2003) menambahkan selain psikologis, kondisi pensiun juga dapat mempengaruhi fisiologis seseorang. Secara fisiologis pensiun bisa menyebabkan masalah penyakit terutama gastrointestinal, gangguan saraf, dan berkurangnya kepekaan. Ia menyebut penyakit di atas, dengan istilah retirement syndrome.

Gejala lainnya yang juga dapat muncul saat seseorang memasuki masa pensiun adalah gejala post power syndrome. Post power syndrome adalah gejala yang umumnya terjadi pada orang-orang yang tadinya mempunyai kekuasaan atau menjabat satu jabatan, namun ketika sudah tidak menjabat lagi, seketika itu terlihat gejala-gejala kejiwaan atau emosi yang kurang stabil (Elia, 2008). Berikut ini adalah kutipan kisah dari beberapa artikel mengenai pensiunan PNS yang mengalami post power syndrome:


(20)

terkadang istri pun terkena imbasnya, istri stres memikirkan sang suami yang "berubah" secara psikologis. Masalah makin berat tatkala keadaan keuangan tak lagi seperti dulu. Waktu berlalu begitu cepat. Terlebih lagi, pensiun sering dilakukan tanpa persiapan apa-apa. Akibatnya, di masa tua mengalami stres, jenuh, susah, dan cenderung marah-marah. Hidup terasa tidak lagi bermakna. Menapaki waktu dari pagi hingga sore sangatlah lama. Tidak ada yang dikerjakan. Ya, bagi sebagian orang, pensiun membuat frustrasi. "Jika suami saya sudah murung atau marah-marah, saya jadi stres, bingung harus berbuat apa. Apalagi saya harus memikirkan bagaimana membagi uang pensiun yang minim untuk kebutuhan sehari-hari, pusing deh," kata Indah (Suliztiarto, 2008).

Menurut Prawitasari (dalam Raharjo, 2007), reaksi-reaksi eksplosif, seperti kehilangan kendali, emosi yang meledak-ledak, marah-marah, dan agresif merupakan salah satu ciri dari post power syndrome. Post power syndrome umumnya muncul akibat penderita hidup di dalam bayang-bayang kebesaran masa lalunya dan seakan-akan tidak bisa memandang realita yang ada saat ini (www.angelfire.com/mt/matrixs/ psikologi.htm). Prawitasari (dalam Raharjo, 2007) mengemukakan bahwa post power syndrome umumnya dialami oleh orang-orang yang memiliki jabatan sebagai kepala bagian atau staf. Orang-orang-orang tersebut menolak realita bahwa ia tidak lagi mempunyai kekuasaan, sehingga muncullah berbagai gangguan mental dan fisik.

Permasalahan-permasalahan yang muncul akibat pensiun umumnya disebabkan oleh ketidaksiapan seseorang dalam mengahadapi masa pensiun. Ketidaksiapan ini timbul karena adanya kekhawatiran tidak dapat memenuhi kebutuhan–kebutuhan tertentu akibat pensiun. Perubahan yang diakibatkan oleh masa pensiun ini memerlukan penyesuaian diri (Eliana, 2003). Holmes dan Rahe (dalam Sarafino, 2006) mengungkapkan bahwa pensiun termasuk dalam salah satu peristiwa kehidupan yang muncul dalam kehidupan seseorang dan untuk menghadapinya dibutuhkan suatu penyesuaian psikologis. Atchley (Eliana, 2003)


(21)

mengatakan bahwa proses penyesuaian diri yang paling sulit adalah pada masa pensiun.

Penyesuaian diri merupakan bentuk tingkah laku yang ditujukan untuk menanggulangi kebutuhan-kebutuhan yang ada di dalam dirinya. Tujuannya adalah untuk mendapatkan keharmonisan antara tuntutan dari dalam diri, dan lingkungan dimana individu tersebut berada (Schneider, 1964). Hurlock ( dalam Gunarsa, 1986), menyatakan bahwa subjek yang mampu menyesuaikan diri kepada kelompoknya akan memperlihatkan sikap dan perilaku yang menyenangkan, sehingga ia dapat diterima oleh kelompok dan lingkungannya.

Habber dan Runyon (1984) menyebutkan, efektivitas dari penyesuaian diri ditandai dengan seberapa baik individu mampu menghadapi situasi dan kondisi yang berubah. Menurut Santrock (2002), lansia yang memiliki penyesuaian diri yang lebih baik pada fase pensiun adalah orang-orang lansia yang sehat, memiliki pendapatan yang layak, aktif, berpendidikan baik, memiliki relasi sosial yang luas baik keluarga maupun teman-teman, dan biasanya merasa puas dengan kehidupannya sebelum pensiun. Sementara itu penyesuaian diri lansia yang buruk adalah orang-orang yang tidak mengontrol hidup dan emosinya setelah pensiun, kesulitan membuat transisi dan penyesuaian memasuki usia lanjut, berpikir negatif tentang pensiun, mengalami stress selama pensiun seperti layaknya stres saat menghadapi kematian pasangan hidupnya.

Septanti (2009) mengungkapkan, bahwa penyesuaian diri pada masa pensiun ini tergantung pula pada waktu sejak dimulainya masa pensiun.


(22)

perhatian dari keluarga sangat berarti dan penting, namun saat menginjak tahun ke-5, umumnya lansia sudah mampu menganggap pensiun sebagai suatu hal yang biasa, bukan suatu hal yang istimewa. Dengan kata lain, lansia yang sudah menjalani pensiun lebih dari lima tahun dapat dianggap sudah terbiasa dengan situasi pensiun. Sementara menurut Khristiany (2007), masa penyesuaian terhadap pensiun umumnya terjadi di masa 2- 15 tahun. Dytchwald (2006) menyatakan bahwa tahapan 2-15 tahun sesudah pensiun disebut sebagai tahap reorientasi. Pada tahap ini seseorang akan mulai mengubah prioritasnya, aktivitas, hubungan, dan hidupnya. Para pensiunan umumnya menyatakan bahwa tahap reorientasi ini merupakan tahap yang penuh dengan tantangan. Pada tahapan ini seseorang akan mulai merasakan depresi, kecemasan, dan kebosanan akibat pensiun.

Cohen dan Willy (dalam Isnaini, 2009) menyebutkan bahwa seseorang yang tengah mengalami kesulitan membutuhkan orang lain untuk dapat menolongnya membangkitkan kembali semangat serta rasa percaya dirinya dalam menghadapi kesulitan yang sedang dihadapi. Seseorang yang tengah menghadapi masa pensiun membutuhkan orang lain yang dapat membuatnya merasa dicintai, diperhatikan, serta tidak merasa sendirian dalam menghadapi masa pensiun.

Menurut Winarini (2009), adanya dukungan dan pengertian dari orang-orang terdekat, khususnya keluarga akan sangat membantu pensiunan dalam menyesuaikan dirinya. Perilaku keluarga seperti menggerutu, menyindir, atau mengolok-olok akan mempersulit penyesuaian diri pada pensiunan. Karena itu, keluarga sebaiknya memberikan pemahaman dan pengertian kepada pensiunan untuk mendongkrak kondisi psikologisnya. Keluarga dapat menyampaikan bahwa


(23)

manusia tidak hanya berguna ketika ia memiliki jabatan tertentu. Sebab jabatan hanya bersifat sementara. Keluarga perlu menekankan kepada pensiunan bahwa meskipun tidak lagi berkuasa, seseorang dapat tetap bermanfaat bagi keluarga maupun masyarakat. Nyoman (dalam Suliztiarto, 2008) mengemukakan bahwa peran istri sangat sentral ketika suami memasuki masa pensiun :

"Menjelang pensiun sampai tiba masa pensiun, biasanya seseorang sudah mengalami stres atau depresi. Bawaannya ada yang emosional, sedih, atau diam saja. Nah, menghadapi suami yang mengalami stres ini sebaiknya istri menahan diri, hadapi suami dengan penuh kesabaran. Istri jangan sampai emosional juga atau nyinyir.

Suliztiarto (2008) juga menyatakan bahwa saat suami memasuki masa pensiun, terkadang istri juga terkena imbasnya. Suami menjadi lebih mudah marah atau bertingkah emosional. Oleh karena itu, peran istri menjadi sangat penting untuk mencegah terjadinya permasalahan yang lebih besar. Saat muncul suatu masalah keluarga, diharapkan istri dapat menyelesaikan dengan cara mendiskusikannya secara baik-baik.

Menurut Edratna (2008), saat seseorang memasuki usia pensiun, keluarga perlu memikirkan kegiatan-kegiatan yang kira-kira dapat dilakukan oleh pensiunan untuk mengisi waktu kosongnya. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat merupakan kegiatan yang memiliki nilai ekonomi ataupun sosial. Hal ini penting agar pensiunan senantiasa berasa dalam kondisi yang bahagia. Lebih lanjut Endratna mengemukakan bahwa sejumlah temannya yang sudah memasuki masa pensiun terlihat lebih riang dan bahagia saat mereka menemukan aktivitas pengganti, seperti membuka restoran, rumah peristirahatan, dan sebagainya.


(24)

Selain hal-hal diatas, ada pula hal sentral lain yang harus dipikirkan, yaitu berkaitan dengan berubahnya kondisi finansial keluarga akibat pensiun. Saat memasuki masa pensiun, keluarga juga sebaiknya terlibat dalam proses perencanaan keuangan. Menurut Nyoman (dalam Suliztiarto, 2008) pensiun adalah persoalan keluarga. Keluarga harus mempersiapkan diri jauh-jauh hari. Harus ada percakapan sebelumnya, karena fasilitas tidak ada lagi, dan gaji yang diperoleh hanya sedikit. Jadi, sebelum memasuki masa pensiun, keluarga sebaiknya sudah mempersiapkan diri, seperti menabung, melakukan investasi, dan merintis bisnis sampingan. Hal ini penting untuk mencegah penderitaan psikologis akibat beban finansial yang umumnya dialami oleh pensiunan.

Tiesnovyta (2007) juga mengemukakan bahwa masalah umumnya juga akan melanda pasangan suami istri saat suami pensiun sementara istri bekerja. Masalah umumnya timbul karena sikap suami yang tidak siap untuk pensiun dan adanya ego yang muncul karena posisi kepemimpinan keluarga diambil alih oleh istri. Oleh karena itu, dalam hal ini istri harus mampu meyakinkan suaminya bahwa ia tetap menghargai suaminya meskipun suami tidak lagi bekerja. Istri misalnya dapat mengatakan kepada suami bahwa ia bekerja untuk membantu kebutuhan finansial keluarga, bukan untuk mengambil alih posisi suami sebagai kepala keluarga.

Pertolongan dan perhatian merupakan beberapa ciri dari dukungan sosial. Sarafino (2006) menyatakan bahwa dukungan sosial mengacu pada memberikan kenyamanan pada orang lain, merawatnya, atau menghargainya. Pendapat senada juga diungkapkan oleh Sarason (dalam Smet, 1994) yang menyatakan bahwa


(25)

dukungan sosial adalah adanya transaksi interpersonal yang ditunjukkan dengan memberikan bantuan pada individu lain, dimana bantuan itu umumnya diperoleh dari orang yang berarti bagi individu yang bersangkutan. Dukungan sosial dapat berupa pemberian informasi, bantuan tingkah laku, ataupun materi yang didapat dari hubungan sosial akrab yang dapat membuat individu merasa diperhatikan, bernilai dan dicintai.

Berdasarkan hasil penelitian Septanti (2009), terhadap 40 pensiunan di Pasuruan ditemukan bahwa terdapat 40 %, pensiunan yang dikategorikan memiliki penyesuaian diri yang tinggi, 55 % pensiunan yang penyesuaian diri dengan kategori sedang, dan pensiunan yang memiliki penyesuaian diri dengan kategori rendah adalah sebanyak 5 %. Tinggi rendahnya penyesuaian diri yang dilakukan oleh para pensiunan ini sangat tergantung dari dukungan sosial yang diperolehnya. Dari penelitian yang sama, dijelaskan bahwa dukungan sosial memiliki hubungan positif yang signifikan dengan penyesuaian diri di masa pensiun. Hal dapat diartikan bahwa ketika dukungan sosial tinggi maka penyesuaian diri pada masa pensiun juga tinggi. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Jattuningtias (2003) yang menyebutkan bahwa seseorang yang memperoleh dukungan sosial dari keluarganya akan dapat menyesuaikan dirinya dengan lebih baik saat menghadapi masa pensiun dibandingkan orang yang tidak mendapatkan dukungan sosial dari keluarganya. Hal ini diungkapkan pula oleh Hurlock (2004), yang mengungkapkan bahwa faktor terpenting yang mempengaruhi penyesuaian diri seseorang di masa pensiun adalah sikap dari anggota keluarga.


(26)

Menurut Cobb (dalam Sarafino, 1994) seseorang yang mendapat dukungan sosial percaya bahwa mereka dicintai dan diperhatikan, dihargai dan menjadi bagian dari suatu kelompok sebagai sebuah keluarga atau anggota organisasi. Peranan dukungan sosial yang terdiri dari lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat sangat penting bagi penyesuaian diri seseorang yang memasuki masa pensiun. Dengan adanya dukungan sosial maka hambatan dalam menghadapi pensiun dapat diatasi. Seperti dikatakan oleh Smet (1983) jika seorang individu merasa didukung oleh lingkungannya, maka segala sesuatu akan terasa mudah ketika ia mengalami kejadian-kejadian yang menegangkan.

Individu yang mempunyai dukungan sosial yang tinggi lebih optimis dalam menghadapi situasi kehidupannya saat ini maupun masa depan, mempunyai harga diri yang lebih tinggi dengan tingkat kecemasan yang lebih rendah. Tersedianya dukungan sosial dapat membantu individu dalam menemukan jalan keluar dari masalah yang dihadapi dan membantu individu dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan yang terjadi (Septanti, 2009).

Berdasarkan uraian diatas, terlihat bahwa dukungan sosial memiliki kontribusi terhadap penyesuaian diri seseorang di masa pensiun. Semakin tinggi dukungan sosial yang diterima seseorang, maka semakin baik pula penyesuaian diri seseorang di masa pensiun, dan begitu pula sebaliknya. Karena itu dalam hal ini peneliti bermaksud untuk melihat seberapa besar pengaruh dukungan sosial dari keluarga terhadap penyesuaian diri pada masa pensiun.


(27)

B. PERUMUSAN MASALAH

Adapun perumusan masalah yang ingin diteliti pada penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar pengaruh dukungan sosial terhadap penyesuaian diri di masa pensiun.

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dukungan sosial keluarga terhadap penyesuaian diri dalam menghadapi masa pensiun.

D. MANFAAT PENELITIAN

Dari penelitian ini diharapkan akan memperoleh manfaat baik secara teoritis maupun manfaat secara praktis.

1. Manfaat teoritis

Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan ilmu psikologi, khususnya di bidang Psikologi Perkembangan dan juga dapat memberikan bukti teoritis serta empiris mengenai pengaruh dukungan sosial keluarga terhadap penyesuaian diri di masa pensiun.

2. Manfaat praktis

a. Memberikan wacana dan informasi kepada individu yang mengalami pensiun agar dapat memahami pentingnya penyesuaian diri di masa pensiun dan berapa besar pengaruh dukungan sosial terhadap penyesuaian diri tersebut.


(28)

b. Memberikan wacana dan informasi mengenai pensiun kepada keluarga agar dapat memberikan dukungan sosial kepada para pensiunan sehingga membantu penyesuaian diri mereka di masa pensiun.

c. Memberikan wacana dan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan seperti konselor dan akademisi mengenai penyesuaian diri di masa pensiun dan dukungan sosial keluarga.

E. SISTEMATIKA PENULISAN Bab I : Pendahuluan

Berisi penjelasan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II : Landasan Teori

Berisi teori dan hasil penelitian yang digunakan untuk menjadi landasan penelitian. Dalam penelitian ini akan digunakan teori mengenai dukungan sosial yang tediri dari pengertian dukungan sosial, dimensi dukungan sosial, sumber-sumber dukungan sosial, dan faktor-faktor yang mempengaruhi dukungan sosial. Teori penyesuaian diri yang terdiri dari pengertian penyesuaian diri, aspek-aspek penyesuaian diri, faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri, bentuk-bentuk penyesuaian diri, dan karakteristik penyesuaian diri efektif. Selain itu, pada bab ini dijelaskan pula mengenai mengenai lansia, pensiun, dan pengaruh


(29)

dukungan sosial keluarga terhadap penyesuaian diri dalam menghadapi masa pensiun.

BAB III : Metode Penelitian

Berisi identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, populasi dan sampel yang akan diteliti, metode penentuan sampel, alat ukur yang akan digunakan, prosedur pelaksanaan, dan metode analisis data yang digunakan.


(30)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA 1. Pengertian dukungan sosial

Pierce (dalam Kail & Cavanaugh 2000) mendefinisikan dukungan sosial sebagai sumber emosional, informasional atau pendampingan yang diberikan oleh orang-orang disekitar individu untuk menghadapi setiap permasalahan dan krisis yang terjadi sehari-hari dalam kehidupan. Diamtteo (1991) mendefinisikan dukungan sosial sebagai dukungan atau bantuan yang berasal dari orang lain seperti teman, keluarga, tetangga, teman kerja dan orang –orang lainnya.

Gottlieb (dalam Smet, 1994) menyatakan dukungan sosial terdiri dari informasi atau nasehat verbal maupun non verbal, bantuan nyata, atau tindakan yang didapat karena kehadiran orang lain dan mempunyai manfaat emosional atau efek perilaku bagi pihak penerima. Sarafino (2006) menyatakan bahwa dukungan sosial mengacu pada memberikan kenyamanan pada orang lain, merawatnya, atau menghargainya. Pendapat senada juga diungkapkan oleh Saroson (dalam Smet, 1994) yang menyatakan bahwa dukungan sosial adalah adanya transaksi interpersonal yang ditunjukkan dengan memberikan bantuan pada individu lain, dimana bantuan itu umumnya diperoleh dari orang yang berarti bagi individu yang bersangkutan. Dukungan sosial dapat berupa pemberian informasi, bantuan tingkah laku, ataupun materi yang didapat dari hubungan sosial akrab yang dapat membuat individu merasa diperhatikan, bernilai dan dicintai.


(31)

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial adalah dukungan atau bantuan yang berasal dari orang yang memiliki hubungan sosial akrab dengan individu yang menerima bantuan. Bentuk dukungan ini dapat berupa informasi, tingkah laku tertentu, atapun materi yang dapat menjadikan individu yang menerima bantuan merasa disayangi, diperhatikan, dan bernilai. 2. Dimensi dukungan sosial

House (dalam Smet, 1994) membedakan empat jenis atau dimensi dukungan sosial, antara lain :

a. Dukungan emosional, mencakup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap orang yang bersangkutan.

b. Dukungan penghargaan, terjadi lewat ungkapan hormat (penghargaan) positif untuk orang itu, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu, dan perbandingan positif orang itu dengan orang-orang lain, contohnya dengan membandingkannya dengan orang-orang lain yang lebih buruk keadaannya.

c. Dukungan instrumental, mencakup bantuan langsung, seperti kalau orang-orang memberi pinjaman uang kepada orang-orang itu.

d. Dukungan informatif, mencakup memberikan nasehat, petunjuk-petunjuk, saran-saran atau umpan balik.

3. Sumber-sumber dukungan sosial

Sumber-sumber dukungan sosial menurut Kahn & Antonoucci (dalam Orford, 1992) terbagi menjadi 3 kategori, yaitu:


(32)

a. Sumber dukungan sosial yang berasal dari individu yang selalu ada sepanjang hidupnya, yang selalu bersama dan mendukungnya. Misalnya keluarga dekat, pasangan (suami/istri) atau teman-teman dekat

b. Sumber dukungan sosial yang berasal dari individu lain yang sedikit berperan dalam hidupnya dan cenderung berubah sesuai dengan waktu. Sumber ini meliputi teman kerja, tetangga, sanak keluarga dan sepergaulan c. Sumber dukungan sosial yang berasal dari individu lain yang sangat jarang

memberi dukungan sosial dan memiliki peran yang sangat cepat berubah. Sumber dukungan yang dimaksud meliuputi supervisor, tenaga ahli/profesional dan keluarga jauh.

Teori konvoi sosial menyatakan bahwa perubahan dalam kontak sosial saat seseorang pensiun umumnya akan mempengaruhi lingkar luar mereka yang dekat dengan orang tersebut, bukan yang berada di lingkar dalam. Setelah pensiun, ketika teman kerja dan teman biasanya menjauh, sebagian besar individu akan mempertahankan lingkar dalam konvoi sosial yang stabil : teman dekat dan anggota keluarga, yang dapat mereka andalkan kesinambungan dukungannya dan yang amat mempengaruhi kesejahteraan mereka untuk menjadi lebih baik atau lebih buruk (Papalia, 2008).

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi dukungan sosial

Sarafino (2006) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi apakah seseorang akan menerima dukungan sosial atau tidak. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah :


(33)

Seseorang tidak akan menerima dukungan sosial dari orang lain jika ia tidak suka bersosial, tidak suka menolong orang lain, dan tidak ingin orang lain tahu bahwa ia membutuhkan bantuan. Beberapa orang terkadang tidak cukup asertif untuk memahami bahwa ia sebenarnya membutuhkan bantuan dari orang lain, atau merasa bahwa ia seharusnya mandiri dan tidak mengganggu orang lain, atau merasa tidak nyaman saat orang lain menolongnya, atau tidak tahu kepada siapa dia harus meminta pertolongan.

b. Faktor dari pemberi dukungan (providers)

Seseorang terkadang tidak memberikan dukungan sosial kepada orang lain ketika ia sendiri tidak memiliki sumberdaya untuk menolong orang lain, atau tengah menghadapi stres, harus menolong dirinya sendiri, atau kurang sensitif terhadap sekitarnya sehingga tidak menyadari bahwa orang lain membutuhkan dukungan darinya.

5. Dukungan Sosial Keluarga

Menurut Gunarsa (1995), keluarga adalah kelompok sosial yang bersifat abadi, dikukuhkan dalam hubungan nikah yang memberikan pengaruh terhadap keturunan dan lingkungan. Menurut Fadly (2009), Keluarga adalah unit/satuan masyarakat yang terkecil yang sekaligus merupakan suatu kelompok kecil dalam masyarakat. Keluarga biasanya terdiri dari suami, istri, dan juga anak-anak yang selalu menjaga rasa aman dan ketentraman ketika menghadapi segala suka duka hidup dalam eratnya arti ikatan luhur hidup bersama. Gunarsa & Gunarsa (1995),


(34)

a. Mendapatkan keturunan dan membesarkan anak

b. Memberikan afeksi/kasih sayang, dukungan, dan keakraban c. Mengembangkan kepribadian

d. Mengatur pembagian tugas, menanamkan kewajiban, hak, dan tanggung jawab

e. Mengajarkan dan meneruskan adat istiadat, kebudayaan, agama, dan sistem moral pada anak

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa keluarga merupakan pusat utama dalam kehidupan manusia yang senantiasa mendampingi dan mengiringi seorang manusia sepanjang hidupnya. Oleh karena itu, keluarga kerap kali menjadi sorotan saat seseorang berhasil atau gagal dalam menghadapi masalahnya. Keluarga adalah pendukung utama bagi individu yang mengalami masalah.

Berdasarkan beberapa literatur diatas, maka dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial keluarga adalah bantuan yang berasal dari keluarga individu yang menerima bantuan. Bentuk bantuan dapat berupa informasi, tingkah laku tertentu, atapun materiil yang dapat menjadikan individu yang menerima bantuan merasa disayangi, diperhatikan, dan bernilai. Dukungan sosial yang berasal dari keluarga merupakan dukungan yang sangat penting artinya bagi para pensiunan. Hal ini dikarenakan keluarga merupakan kumpulan orang-orang yang dapat diandalkan kesinambungan dukungannya di saat seorang pensiunan mulai terpisah dari lingkungan luarnya, seperti dari teman sekerja, rekan bisnis, ataupun orang lainnya di luar keluarga.


(35)

B. PENYESUAIAN DIRI 1. Pengertian penyesuaian diri

Kartono (2000) menyatakan bahwa penyesuaian diri adalah kegiatan adaptasi, atau mengakomodasi diri. Calhoun dan Acocella (1995) mengatakan bahwa penyesuaian dapat didefinisikan sebagai interaksi seseorang yang kontiniu dengan diri sendiri, dengan orang lain, dan dengan lingkungannya. Ketiga faktor ini secara konstan mempengaruhi seseorang, dan hubungan tersebut bersifat timbal balik.

Menurut Lazarus (1976) penyesuaian diri merupakan usaha mencocokkan kemampuan untuk mengatasi secara efektif, merubah tingkah laku yang lebih sesuai dan juga terdiri dari proses-proses psikologis untuk mengatasi berbagai tuntutan atau tekanan yang berasal dari lingkungannya. Hurlock ( dalam Gunarsa, 1986) ,menyatakan bahwa subjek yang mampu menyesuaikan diri kepada kelompoknya akan memperlihatkan sikap dan perilaku yang menyenangkan, sehingga ia dapat diterima oleh kelompok dan lingkungannya. Sedangkan menurut Schneider (1964), penyesuaian diri melibatkan respon-respon mental dari tingkah laku, dimana individu berusaha untuk menanggulangi kebutuhan-kebutuhan dalam dirinya. Tujuannya adalah untuk mendapatkan keharmonisan antara tuntutan dari dalam diri, dan tuntutan dari lingkungan dimana individu tersebut berada. Jadi untuk melakukan penyesuaian diri dibutuhkan adanya kecakapan seseorang dalam memberi reaksi yang efisien kepada diri sendiri


(36)

Dari beberapa teori di atas dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri adalah suatu bentuk perubahan tingkah laku individu yang dilakukan agar sesuai dengan keadaan dan keinginan lingkungan.

2. Aspek – aspek penyesuaian diri

Menurut Mutadin (2002), penyesuaian diri memiliki dua aspek yaitu: penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial.

a) Penyesuaian Personal

Penyesuaian pribadi adalah kemampuan individu untuk menerima dirinya sendiri sehingga tercapai hubungan yang harmonis antara dirinya dengan lingkungan sekitarnya. Ia menyadari sepenuhnya siapa dirinya sebenarnya, apa kelebihan dan kekurangannya dan mampu bertindak obyektif sesuai dengan kondisi dirinya tersebut. Keberhasilan penyesuaian pribadi ditandai dengan tidak adanya rasa benci, lari dari kenyataan atau tanggungjawab, dongkol, kecewa, atau tidak percaya pada kondisi dirinya. Kehidupan kejiwaannya ditandai dengan tidak adanya kegoncangan atau kecemasan yang menyertai rasa bersalah, rasa cemas, rasa tidak puas, rasa kurang dan keluhan terhadap nasib yang dialaminya.

Sebaliknya, kegagalan penyesuaian pribadi ditandai dengan keguncangan emosi, kecemasan, ketidakpuasan dan keluhan terhadap nasib yang dialaminya, sebagai akibat adanya jarak antara individu dengan tuntutan yang diharapkan oleh lingkungan. Jarak inilah yang menjadi sumber terjadinya konflik yang kemudian terwujud dalam rasa takut dan


(37)

kecemasan, sehingga untuk meredakannya individu harus melakukan penyesuaian diri.

b) Penyesuaian Sosial

Setiap individu hidup di dalam masyarakat. Proses saling mempengaruhi satu sama lain ada di dalam masyarakat, sehingga timbul suatu pola kebudayaan dan tingkah laku sesuai dengan sejumlah aturan, hukum, adat dan nilai-nilai yang mereka patuhi, demi untuk mencapai penyelesaian bagi persoalan-persoalan hidup sehari-hari. Bidang ilmu psikologi sosial, mengenal proses ini dengan sebutan proses penyesuaian sosial. Penyesuaian sosial terjadi dalam lingkup hubungan sosial tempat individu hidup dan berinteraksi dengan orang lain. Hubungan-hubungan tersebut mencakup hubungan dengan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya, keluarga, sekolah, teman atau masyarakat luas secara umum. Kedua unsur tersebut, individu dan masyarakat, sebenarnya sama-sama memberikan dampak bagi komunitas. Individu menyerap berbagai informasi, budaya dan adat istiadat yang ada, sementara komunitas (masyarakat) diperkaya oleh eksistensi atau karya yang diberikan oleh individu.

Proses interaksi yang diserap atau dipelajari individu dalam masyarakat saja masih belum cukup untuk menyempurnakan penyesuaian sosial yang memungkinkan individu untuk mencapai penyesuaian pribadi dan sosial dengan cukup baik. Proses berikutnya yang harus dilakukan individu dalam penyesuaian sosial adalah kemauan untuk mematuhi norma-norma


(38)

mengharuskan individu untuk mulai berkenalan dan mematuhi kaidah-kaidah dan peraturan-peraturan tersebut sehingga menjadi bagian dari pembentukan jiwa sosial pada dirinya dan menjadi pola tingkah laku kelompok. Hal ini perlu dilakukan untuk mencapai penyesuaian bagi persoalan-persoalan hidup, agar tetap sehat dari segi kejiwaan maupun sosial.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri

Hurlock (1994) mengungkapkan bahwa terdapat beberapa kondisi yang mempengaruhi penyesuaian pada masa pensiun, yaitu :

a. Para pekerja yang pensiun secara sukarela akan menyesuaikan diri lebih baik dibandingkan dengan mereka yang merasa pensiun dengan terpaksa terutama bagi mereka yang masih ingin melanjutkan bekerja

b. Kesehatan yang buruk pada waktu pensiun memudahkan penyesuaian sedangkan orang sehat mungkin cenderung melawan untuk melakukan penyesuaian diri.

c. Banyak pekerja yang merasa bahwa berhenti dari pekerjaan secara bertahap ternyata lebih baik efeknya dibandingkan dengan mereka yang tiba-tiba berhenti dari kebiasaan bekerja karena mereka tidak bisa mengatur persiapan pola hidup tanpa pekerjaan.

d. Bimbingan dan perencanaan pra pensiun akan membantu penyesuaian diri. e. Pekerja yang mengembangkan minat tertentu guna menggantikan aktivitas

kerja rutin, yang sangat bermanfaat bagi mereka, dan menghasilkan kepuasan yang dulu diperoleh dari pekerjaannya, tidak akan menemukan


(39)

penyesuaian terhadap masa pensiun, yang secara emosional membingungkan seperti mereka janggal mengembangkan minat pengganti.

f. Kontak sosial, sebagaimana diketemukan dalam rumah-rumah jompo, membantu mereka dalam penyesuaian diri terhadap masa pensiun. Apabila mereka tinggal dalam rumah mereka sendiri, atau di rumah anak yang sudah menikan atau anggota keluarga lainnya, yang memutuskan orang pensiunan untuk melakukan kontak sosial.

g. Semakin sedikit perubahan yang harus dilakukan terhadap kehidupan semasa pensiun semakin baik penyesuaian diri dapat dilakukan.

h. Status ekonomi yang baik, yang memungkinkan seseorang untuk hidup dengan nyaman dan dapat menikmati yang menyenangkan, adalah penting untuk penyesuaian yang baik pada masa pensiun.

i. Status perkawinan yang bahagia sangat membantu penyesuaian diri terhadap masa pensiun sedangkan perkawinan yang banyak diwarnai percekcokan cenderung menghambat.

j. Semakin para pekerja menyukai pekerjaan mereka, semakin buruk penyesuaian terhadap pensiun, Terdapat hubungan yang bertolak belakang antara kepuasan kerja dengan kepuasan pensiun.

k. Tempat tinggal seseorang mempengaruhi penyesuaian terhadap masa pensiun, Semakin besar masyarakat menawarkan berbagai kekompakan dan pelbagai kegiatan bagi orang usia lanjut, semakin lebih baik


(40)

l. Sikap anggota keluarga terhadap masa pensiun mempunyai pengaruh yang amat besar terhadap sikap pekerja, terutama sikap terhadap pasangan hidupnya.

4. Bentuk-bentuk penyesuaian diri

Kamalfachri (2009) mengungkapkan terdapat dua bentuk penyesuaian diri, yaitu penyesuaian diri positif dan penyesuaian diri yang salah.

a. Penyesuaian diri positif

Saat seseorang berhasil menyesuaikan dirinya secara positif, maka akan muncul beberapa tanda-tanda berikut ini :

1) Tidak menunjukkan ketegangan emosi.

2) Tidak menujukkan adanya mekanisme-mekanisme psikologis. 3) Tidak menunjukkan adanya frustasi pribadi.

4) Memiliki pertimbangan rasional dan pengarahan diri. 5) Mampu dalam belajar.

6) Menghargai pengalaman. 7) Bersikap realistik dan obyektif. b. Penyesuaian diri yang salah

Berkebalikan dengan diatas, saat seseorang salah dalam menyesuaikan dirinya, maka akan muncul beberapa tiga reaksi, dimana tiap-tiap reaksi tersebut akan menunjukkan tanda-tanda tertentu yaitu :

1) Reaksi bertahan (defence reaction) Tanda-tandanya :


(41)

b) Represi c) Proyeksi

2) Reaksi menyerang (aggressive reaction) Tanda-tandanya :

a) Selalu membenarkan diri

b) Mau berkuasa dalam setiap situasi c) Mau memiliki segalanya

d) Senang mengganggu orang lain e) Menggertak

f) Menunjukan sikap permusuhan g) Menyerang dan merusak h) Keras kepala

i) Balas dendam

j) Memperkosa hak orang lain k) Bertindak serampangan l) Marah secara sadis

3) Reaksi melarikan diri (escape reaction) Tanda-tandanya :

a) Berfantasi b) Banyak tidur

c) Minum - minuman keras d) Bunuh diri


(42)

f) Regresi

Menurut Santrock (2002), lansia yang memiliki penyesuaian diri yang lebih baik pada fase pensiun adalah orang-orang lansia yang sehat, memiliki pendapatan yang layak, aktif, berpendidikan baik, memiliki relasi sosial yang luas baik keluarga maupun teman-teman, dan biasanya merasa puas dengan kehidupannya sebelum pensiun. Sementara itu penyesuaian diri lansia yang buruk adalah orang-orang yang tidak mengontrol hidup dan emosinya setelah pensiun, kesulitan membuat transisi dan penyesuaian memasuki usia lanjut, berpikir negatif tentang pensiun, mengalami stress selama pensiun seperti layaknya stres saat menghadapi kematian pasangan hidupnya.

5. Karakteristik penyesuaian diri yang efektif

Selama rentang kehidupan, manusia akan selalu mengalami perubahan. Penyesuaian diri yang efektif terukur dari seberapa baik seseorang mengatasi perubahan dalam hidupnya. Menurut Habber dan Runyon (1984), penyesuaian diri yang efektif adalah menerima keterbatasan-keterbatasan yang tidak bisa berubah dan secara aktif memodifikasi keterbatasan yang masih bisa diubah. Berikut akan dijelaskan karakteristik penyesuaian diri yang efektif menurut Habber dan Runyon (1984):

a. Persepsi akurat terhadap realita

Persepsi terkait dengan keinginan dan motivasi pribadi, sehingga terkadang persepsi tersebut tidak murni sama dengan realita dan lebih merupakan keinginan individu. Penyesuaian diri individu dianggap baik apabila ia mampu untuk mempersepsikan dirinya sesuai dengan realita.


(43)

Selain itu, ia juga mempunyai tujuan yang realistis, mampu memodifikasi tujuan tersebut apabila situasi dan kondisi lingkungan menuntutnya untuk itu, serta menyadari konsekuensi tindakan yang diambil dan mengarahkan tingkah laku sesuai dengan konsekuensi tersebut.

b. Kemampuan mengatasi stres dan kecemasan

Halangan yang dialami individu disetiap proses pemenuhan kebutuhan atau pencapaian tujuan, dapat menimbulkan kegelisahan dan stres. Penyesuaian diri dikatakan baik apabila mampu mengatasi halangan, masalah, dan konflik yang timbul dengan baik.

c. Citra diri yang positif

Individu harus mempunyai citra diri yang positif dengan tetap menyadari sisi negatif dari dirinya, dimana individu menyeimbangkan persepsinya dengan persepsi orang lain.

d. Kemampuan mengekpresikan perasaan

Individu yang sehat secara emosional mampu untuk merasakan dan mengekspresikan seluruh emosinya. Pengekspresian emosi dilakukan secara realistis, terkendali dan konstruktif, serta tetap menjaga keseimbangan antara kontrol ekspresi yang berlebihan dengan kontrol ekspresi yang kurang.

e. Mempunyai hubungan interpersonal yang baik

Individu yang penyesuaian dirinya baik, mampu untuk saling berbagi perasaan dan emosi. Mereka mempunyai kompetensi menjalin hubungan


(44)

dalam hubungan sosial, dan menyadari bahwa suatu hubungan tidaklah selalu mulus.

Menurut Septanti (2009), penyesuaian diri di masa pensiun terjadi saat seorang lansia baru saja menginjak 1-4 tahun usia pensiun. Pada masa ini, perhatian dari keluarga sangat berarti dan penting, namun saat menginjak tahun ke-5, umumnya lansia sudah mampu menganggap pensiun sebagai suatu hal yang biasa, bukan suatu hal yang istimewa. Dengan kata lain, lansia yang sudah menjalani pensiun lebih dari lima tahun dapat dianggap sudah terbiasa dengan situasi pensiun.

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri di masa pensiun adalah suatu bentuk perubahan perilaku individu di masa pensiun yang memenuhi karakteristik seperti, persepsi akurat terhadap realita, kemampuan mengatasi stres dan kecemasan, citra diri yang positif, kemampuan mengekpresikan perasaan, dan mempunyai hubungan interpersonal yang baik, agar terjalin hubungan yang lebih sesuai antara diri individu dengan lingkungannya. Penyesuaian diri dilakukan oleh setiap orang yang memasuki masa pensiun. Adapun baik-buruknya penyesuaian diri akan mempengaruhi kondisi psikologis seorang pensiunan. Ketika seorang pensiunan mampu menyesuaikan dirinya dengan baik, maka ia akan terhindar dari gangguan psikologis maupun fisiologis seperti stres, sakit, tidak mampu membentuk hubungan personal yang baik, dan sebagainya. Sebaliknya saat seseorang memiliki penyesuaian diri yang buruk, maka akan timbul berbagai masalah


(45)

meliputi gangguan-gangguan psikologis dan fisiologis seperti stres, cemas, sakit, mudah marah, dan sebagainya.

C. PENSIUN

1. Pengertian pensiun

Pengertian pensiun jika ditinjau dari sistem pensiun antara instansi swasta dengan negeri sedikit berbeda. Jika ditinjau dari sistem pensiun pada pegawai negeri sipil, maka pensiun adalah bentuk jaminan hari tua yang diberikan negara kepada pegawai sebagai bentuk balas jasa untuk pengabdian diri selama bertahun-tahun kepada Negara (Badan Kepegawaian Nasional, 2009). Sedangkan jika pengertian pensiun ditinjau dari sistem pensiun pada perusahaan swasta dapat diartikan sebagai suatu istilah yang kurang lebih bermakna purna bhakti atau tugas selesai atau berhenti (retire). Pensiun merupakan suatu masa dimana seseorang berhenti bekerja dari pekerjaan formal dan rutin yang diberikan oleh perusahaan milik orang lain (Wicaksana, 2008).

2. Sistem pensiun

a. Sistem pensiun pada pegawai negeri sipil

Menurut Buku Saku PNS Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (2010), peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 tahun 1979 tentang pemberhentian pegawai negeri sipil pasal 3 dan pasal 4 menyebutkan bahwa pegawai negeri sipil yang telah mencapai batas usia pensiun, diberhentikan dengan hormat sebagai pegawai negeri sipil, dimana batas usia pensiun yang


(46)

negeri sipil yang memangku jabatan tertentu. Adapun peraturan mengenai perpanjangan tersebut sebagaimana dimuat dalam pasal 4 adalah sebagai berikut :

a. 65 tahun bagi pegawai negeri sipil yang memangku jabatan :

1. Ahli peneliti dan peneliti yang ditugaskan secara penuh di bidang penelitian;

2. Guru besar, Lektor kepala, Lektor yang ditugaskan secara penuh pada perguruan tinggi;

3. Jabatan lain yang ditentukan oleh presiden;

b. 60 tahun bagi pegawai negeri sipil yang memangku jabatan :

1. Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung;

2. Jaksa Agung;

3. Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara; 4. Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen;

5. Sekretaris Jenderal, Inspektur Jenderal, Direktur Jenderal, dan Kepala Badan di Departemen;

6. Eselon I dalam jabatan strukturil yang tidak termasuk dalam angka 2, 3, dan 4;

7. Eselon II dalam jabatan strukturil;

8. Dokter yang ditugaskan secara penuh pada Lembaga Kedokteran Negeri sesuai dengan profesinya;

9. Pengawas Sekolah Lanjutan Tingkat Atas dan Pengawas Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama;


(47)

10. Guru yang ditugaskan secara penuh pada Sekolah Lanjutan Tingkat Atas dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama;

11. Penilik Taman Kanak-kanak, Penilik Sekolah Dasar, dan Penilik Pendidikan Agama;

12. Guru yang ditigaskan secara penuh pada Sekolah Dasar; 13. Jabatan lain yang ditentukan oleh presiden;

c. 58 tahun bagi pegawai negeri sipil yang memangku jabatan : 1. Hakim pada Mahkamah Pelayanan

2. Hakim pada Pengadilan Tinggi 3. Hakim pada Pengadilan Negeri;

4. Hakim Agama pada Pengadilan Agama Tingkat Banding; 5. Hakim Agama pada Pengadilan Agama;

6. Jabatan lain yang ditentukan oleh presiden.

Menurut Agusset (2006), seorang pensiunan pegawai negeri akan mendapatkan uang pensiun setiap bulan dan asuransi kesehatan. Fasilitas ini diperoleh melalui sistem pemotongan gaji yang dilakukan terhadap mereka semasa mereka bekerja. Semakin tinggi gaji si PNS, semakin besar pula uang potongannya. Uang potongan gaji ini kemudian akan disalurkan ke dua pengelola, dimana uang untuk asuransi kesehatan dikelola oleh PT. ASKES, sementara untuk dana pensiun oleh PT. TASPEN. Menurut Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 1966 (1966), besarnya jumlah pensiun yang diterima oleh pensiunan setiap bulannya adalah 75% dari jumlah gaji pokoknya terakhir.


(48)

Menurut Young (2009), jumlah pensiun yang diterima setiap bulan oleh seorang pensiunan pegawai negeri sipil sangat tergantung pada golongan terakhir yang didudukinya saat ia masih bekerja. Pada sistem pegawai negeri, golongan merupakan penentu berapa besar jumlah gaji pokok yang mereka terima setiap bulannya. Adapun daftar gaji pokok Pegawai Negeri Sipil beserta perkiraan jumlah pensiun setiap bulannya dapat dilihat di tabel lampiran.

Menurut BPKSDM (2008), jika ditinjau berdasarkan golongannya, jumlah pegawai negeri sipil terbanyak umumnya berada di golongan III, dilanjutkan dengan golongan II, dan kemudian golongan IV. Namun, saat memasuki masa pensiun, golongan terakhir yang dipegang oleh seorang pegawai negeri sipil umumnya adalah golongan III atau golongan IV (SetdaProv Biro Humas, 2009). Hal ini terjadi dikarenakan adanya peraturan mengenai kenaikan golongan pada pegawai negeri sipil yang salah satu syaratnya adalah mengharuskan pegawai tersebut duduk di golongan sebelumnya selama 4 tahun terlebih dahulu sebelum mengajukan kenaikan golongan (Badan Kepegawaian Daerah, 2008). Sebagai contoh, seorang pegawai negeri berusia 35 tahun dengan golongan III A, dapat naik golongan sebanyak empat kali (jika ditinjau hanya dari syarat lamanya menduduki golongan terakhir, syarat-syarat lainnya tidak dipertimbangkan), maka diperkirakan yang bersangkutan dapat pensiun saat ia menduduki golongan IV A.


(49)

b. Sistem pensiun pada pegawai swasta

Pada pegawai swasta, penentuan batas usia pensiun agak berbeda dengan pegawai negeri sipil. Menurut Rei (2009), batas usia pensiun normal pada pegawai swasta adalah 55 tahun, sedangkan usia pensiun maksimum adalah 60 tahun.

Berbeda pula dengan pegawai negeri yang mendapatkan uang pensiun setiap bulan, pegawai swasta menerima sejumlah uang yang disebut dengan istilah pesangon di akhir masa kerjanya. Berdasarkan UU ketenagakerjaan no. 13 tahun 2003 pasal 156 (dalam Riyadi, 2008), pesangon adalah uang penghargaan yang diberikan kepada karyawan yang mengalami pemutusan hubungan kerja karena memasuki usia pensiun ataupun karena sebab-sebab lainnya. Besarnya jumlah pesangon yang diterima oleh pensiunan swasta adalah tergantung pada lamanya masa kerja yang telah ia lalui di instansinya. Sebagai contoh, bagi pegawai yang memiliki masa kerja selama 4 tahun tapi kurang dari 5 tahun akan mendapatkan pesangon senilai 5 bulan upah.

3. Reaksi-reaksi dalam menghadapi pensiun

Menurut Isnaini (2009), dalam menghadapi masa pensiun, individu umumnya mengeluarkan berbagai macam reaksi. Hal ini tergantung dari kesiapan di dalam menghadapinya. Secara garis besar, ada tiga sikap ataupun reaksi yang umumnya dikeluarkan seseorang, yaitu :

a. Menerima


(50)

b. Terpaksa Menerima

Sikap terpaksa akan muncul saat seseorang merasa terpaksa mempersiapkan dirinya meskipun hal itu sebenarnya tidak diinginkannya. c. Menolak

Sikap penolakan terhadap masa pensiun umumnya terjadi karena yang bersangkutan tidak mau mengakui bahwa dirinya sudah harus pensiun. D. Pegawai Negeri Sipil

1. Pengertian Pegawai Negeri Sipil

Menurut Undang-undang Republik Indonesia nomor 8 Tahun 1974 tentang pokok-pokok kepegawaian pasal 1, pegawai negeri sipil adalah mereka yang setelah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam sesuatu jabatan negeri atau diserahi tugas negara lainnya yang ditetapkan berdasarkan sesuatu peraturan perundang-undangan dan digaji menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Menurut pasal 2 Undang-undang Republik Indonesia nomor 8 Tahun 1974, pegawai negeri sipil terdiri dari :

a. Pegawai negeri sipil pusat b. Pegawai negeri sipil daerah


(51)

2. Kewajiban Pegawai Negeri Sipil

Berdasarkan Buku Saku PNS Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (2008), Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1980 Tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil Bab II Pasal 2, setiap Pegawai Negeri Sipil wajib :

a. Setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, Negara dan Pemerintah;

b. Mengutamakan kepentingan Negara di atas kepentingan golongan atau diri sendiri, serta menghindarjab segala sesuatu yang dapat mendesak kepentingan negara oleh kepentingan golongan, diri sendiri, atau pihak lain;

c. Menjunjung tinggi kehormatan dan martabat Negara, Pemerintah, dan Pegawai Negeri Sipil;

d. Mengangkat dan mentaati sumpah/janji jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

e. Menyimpan rahasia Negara dan atau rahasia jabatan dengan sebaik-baiknya;

f. Memperhatikan dan melaksanakan segala ketentuan pemerintah baik yang langsung menyangkut tugas kedinasannya maupun yang berlaku secara umum;

g. Melaksanakan tugas kedinasan dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh pengabdian, kesadaran dan tanggungjawab;


(52)

h. Memelihara dan meningkatkan keutuhan, kekompakan, persatuan dan kesatuan Korps Pegawai Negeri Sipil;

i. Segera melaporkan kepada atasannya, apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan atau merugikan Negara/Pemerintah, terutama di bidang keamanan, keuangan dan materiil;

j. Bekerja dengan jujur, tertib, cermat dan bersemangat untuk kepentingan negara;

k. Mentaati ketentuan jam kerja;

l. Menciptakan dan memelihara suasana kerja yang baik;

m. Menggunakan dan memelihara barang-barang milik Negara dengan sebaik-baiknya;

n. Memberikan pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada masyarakat menurut bidang tugasnya masing-masing;

o. Bertindak dan bersikap tegas, tetapi adil dan bijaksana terhadap bawahannya;

p. Membimbing bawahannya dalam melakukan tugasnya;

q. Menjadi dan memberikan contoh serta teladan yang baik terhadap bawahannya;

r. Mendorong bawahannya untuk meningkatkan prestasi kerjanya;

s. Memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengembangkan kariernya;


(53)

u. Berpakaian rapi dan sopan serta bersikap dan bertingkah laku sopan santun terhadap masyarakat, sesama pegawai negeri sipil, dan terhadap atasan; v. Hormat-menghormati antara sesama warganegara yang memeluk

agama/kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esam yang berlainan; w. Menjadi teladan sebagai warga negara yang baik dalam masyarakat; x. Mentaati perintah kedinasan dari atasan yang berwenang;

y. Memperhatikan dan menyelesaikan dengan sebaik-baiknya setiap laporan yang diterima mengenai pelanggaran disiplin.

3. Hak pegawai negeri

Berdasarkan Undang-undang negara Republik Indonesia nomor 8 Tahun 1974 pasal 7 – pasal 10, hak-hak seorang pegawai negeri sipil adalah sebagai berikut :

a. Setiap pegawai negeri berhak memperoleh gaji yang layak sesuai dengan pekerjaan dan tanggungjawabnya

b. Setiap pegawai negeri berhak atas cuti

c. Setiap pegawai negeri yang ditimpa oleh sesuatu kecelakaan dalam dan karena menjalankan tugas kewajibannya, berhak memperoleh perawatan d. Setiap pegawai negeri yang menderita cacat jasmani atau cacat rohani

dalam dan karena menjalankan tugas kewajibannya yang mengakibatkannya tidak dapat bekerja lagi dalam jabatan apapunjuga, berhak memperoleh tunjangan


(54)

f. Setiap pegawai negeri yang telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, berhak atas pensiun

E. DEWASA MADYA 1. Pengertian dewasa madya

Hurlock (2004) mengemukakan bahwa usia dewasa madya umumnya dipandang sebagai masa usia antara 40 sampai 60 tahun. Usia dewasa madya ini dibagi ke dalam dua subbagian, yaitu : usia madya dini yang membentang dari usia 40 hingga 50 tahun dan usia madya lanjut yang berbentang antara usia 50 hingga 60 tahun. Selama usia madya lanjut, perubahan fisik dan psikologis yang pertama kali mulai selama 40-an awal menjadi lebih kelihatan.

2. Ciri-ciri dewasa madya

Hurlock (2004) mengemukakan bahwa seperti halnya setiap periode dalam rentang kehidupan, usia madya pun diasosiasikan dengan karakteristik tertentu yang membuatnya berbeda. Berikut ini akan diuraikan sepuluh karakteristik yang amat penting.

1. Usia madya merupakan periode yang sangat ditakuti

Ciri pertama dari usia madya adalah bahwa masa tersebut merupakan periode yang sangat menakutkan. Diakui bahwa semakin mendekati usia tua, periode usia madya semakin terasa lebih menakutkan jika dilihat dari seluruh kehidupan manusia. Oleh karena itu orang-orang dewasa tidak akan mau mengakui bahwa mereka telah mencapai usia tersebut, sampai kalender dan cermin memaksa mereka untuk mengakui hal itu.


(55)

Pria dan wanita mempunyai banyak alasan yang kelihatannya berlaku untuk mereka, untuk takut memasuki usia madya. Beberapa di antaranya adalah banyaknya stereotip yang tidak menyenangkan tentang usia madya, yaitu kepercayaan tradisional tentang rusaknya mental dan fisik yang diduga disertai dengan berhentinya reproduksi kehidupan serta berbagai tekanan tentang pentingnya masa muda. Semua ini memberi pengaruh yang kurang menguntungkan terhadap sikap orang dewasa pada saat memasuki usia madya dalam kehidupan mereka. Sementara mereka ketakutan pada usia madya, kebanyakan orang dewasa menjadi rindu pada masa muda mereka dan berharap dapat kembali ke masa itu.

2. Usia madya merupakan masa transisi

Ciri keuda dari usia madya adalah bahea usia ini merupakan masa transisi. Usia madya merupakan masa di mana pria dan wanita meninggalkan ciri-ciri jasmani dan perilaku masa dewasanya dan memasuki suatu periode dalam kehidupan yang akan diliputi oleh ciri-ciri jasmani dan perilaku baru. Seperti yang telah diuraikan, bahwa periode ini merupakan masa di mana pria mengalami perubahan keperkasaan dan wanita dalam kesuburan.

Pada masa ini terjadi pula perubahan-perubahan peran dalam kehidupan individu. Pria perlu menyesuaikan dirinya dengan berubahnya kondisi pekerjaan, dimana pria harus menyesuaikan jenis pekerjaan dengan kondisi fisiknya yang menurun, sedangkan wania juga harus


(56)

Penyesuaian diri di rumah umumnya berkaitan dengan penyesuaian pada perginya anak-anak yang sering dikenal dengan istilah “sarang kosong”. Setiap perubahan peran yang penting mungkin mengakibatkan suatu krisis yang besar atau kecil. Selama usia madya, terjadi tiga bentuk krisis pengembangan yang umum dan hampir universal, yaitu :

Pertama, krisis sebagai masa orangtua ditandai dengan sindrom “di mana kesalahan kami?”. Krisis ini terjadi apabila anak-anak gagal memenuhi harapan orangtua dan para orangtua kemudian bertanya apakah mereka telah menggunakan metode yang tepat dalam mendidik anak, dan menyalahkan diri mereka sendiri karena kegagalan anak-anak untuk memenuhi harapan mereka.

Kedua, krisis yang timbul karena orangtua berusia lanjut, sehingga sering timbuk reaksi dari anak-anaknya : “Saya benci menempatkan ibu di situ”. Akibatnya banyak orangtua berusia madya yang berusaha memecahkan permasalahan mereka tentang lanjut usia, merasa bersalah ketika anak-anak mereka tidak dapat atau tidak mau menerima orangtua mereka yang berusisa lanjut tinggal bersama dalam rumah mereka.

Ketiga, krisi yang berhubungan dengan kematian, khususnya pada suami-istri. Umumnya krisis ini ditandai dengan sikap “Bagaimana saya dapat terus hidup?”. Sikap ini akan terus mewarnai penyesuaian pribadi dan sosial mereka dan hanya terpecahkan ketika individu mencapai tahap puas dalam hidupnya.


(57)

Ciri ketiga dari usia madya adalah bahwa usia ini merupakan masa stres. Penyesuaian secara radikal terhadap peran dan pola hidup yang berubah, khususnya bila disertai dengan berbagai perubahan fisik, selalu cenderung merusak homostasis fisik dan psikologis seseorang dan membawa ke masa stres, suatu masa bila sejumlah penyesuaian yang pokok harus dilakukan di rumah, bisnis, dan aspek sosial kehidupan mereka.

4. Usia madya adalah usia yang berbahaya

Ciri keempat dari usia madya adalah bahwa umumnya usia ini dianggap atau dipandang sebagai usia yang berbahaya dalam rentang kehidupan. Intrepretasi “usia berbahaya” ini umumnya berlaku di kalangan pria, dimana mereka cenderung melakukan pelampiasan dengan menggunakan kekerasan.

Usia madya menjadi berbahaya dalam beberapa hal lain juga. Saat ini merupakan suatu masa dimana seseorang mengalami kesusahan fisik sebagai akibat dari terlalu banyak bekerja, rasa cemas yang berlebihan, ataupun kurang memperhatikan kehidupan.

5. Usia madya adalah usia “canggung”

Ciri kelima dari usia madya dikenal dengan istilah “usia serba canggung”. Usia ini merupakan usia dimana seseorang bukan lagi “orang muda”, namun bukan pula “orang tua”. Franzblau mengatakan bahwa orang yang berusia madya seolah-olah berdiri diantara generasi pemberontak yang lebih muda dan generasi warga senior. Mereka secara terus menerus


(58)

menjadi sorotan dan menderita karena hal-hal yang tidak menyenangkan dan memalukan yang disebabkan ooleh kedua generasi tersebut.

Merasa bahwa keberadaan mereka dalam masyarakat tidak dianggap, orang-orang yang berusia madya sedapat mungkin berusaha untuk tidak dikenal oleh orang lain. Hal ini terlihat dari cara mereka berpakaian, yang umumnya diusahakan sesederhana mungkin agar tidak terlalu menarik perhatian orang lain. Semakin mereka kurang menarik perhatian, semakin mereka merasa di luar masyarakat yang memuja kaum muda.

6. Usia madya adalah masa berprestasi

Ciri keenam dari usia madya adalah bahwa usia tersebut adalah masa berprestasi. Usia ini adalah usia dimana seseorang memiliki kecenderungan untuk menghasilkan. Pada masa ini orang akan memiliki kemauan yang kuat untuk menghasilkan, dan akan mencapai puncaknya pada usia ini dan memungut hasil dari masa-masa persiapan dan kerja keras yang dilakukan sebelumnya.

Usia madya seyogianya tidak hanya menjadi masa untuk meraih keberhasilan keuangan dan prestise. Biasanya pria meraih puncak karir antara usia 40 – 50 tahun, yaitu setelah mereka puas terhadap hasil yang diperoleh dan menikmati hasil dari kesuksesan mereka. Usia madya merupakan masa dimana seseorang mendapatkan peran pemimpin. Kebanyakan organisasi khususnya organisasi yang sudah lama, umumnya memilih direkturnya yang berumur lima puluh tahun atau lebih.


(59)

Ciri ketujuh dari usia madya adalah bahwa usia ini terutama sebagai masa evaluasi diri. Karena usia madya pada umumnya merupakan saat pria dan wanita mencapai puncak prestasinya, maka logislah apabila masa ini juga merupakan saat mengevaluasi prestasi tersebut berdasarkan aspirasi mereka semula dan harapan-harapan orang lain, khususnya anggota keluarga dan teman.

8. Usia madya dievaluasi dengan standar ganda

Ciri kedelapan dari usia madya adalah bahwa masa itu dievaluasi dengan standar ganda. Pertama mereka harus tetap merasa nuda serta aktif, namun kedua, mereka juga harus menua dengan anggun semakin lambat dan hati-hati, dan menjalani hidup dengan nyaman.

9. Usia madya merupakan masa sepi

Ciri kesembilan dari usia mmadya adalah bahwa masa ini dialami sebagai masa sepi (empty nest), masa ketika anak-anak tidak lama lagi tinggal bersama orangtua. Setelah bertahun-tahun hidup dalam sebuah rumah yang berpusat pada keluarga (family-centered home), umumnya orang dewasa menemui kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan rumah yang berpusat pada pasangan suami-istri (pair-centered home). Pada masa ini individu juga mengalami tekanan batin karena dipensiunkan (retirement shock).

10. Usia madya merupakan masa jenuh


(60)

wanita mengalami kejenuhan pada akhir usia tigapuluhan atau empatpuluhan. Para pria menjadi jenuh dengan kegiatan rutin sehari-hari dan kehidupan bersama keluarga yang hanya memberikan sedikit hiburan. Wanita, yang hanya menghabiskan waktunya untuk memelihara dan membesarkan anak-anaknya, bertanya-tanya apa yang akan mereka lakukan pada usia setelah dua puluh atau tiga puluh yahun kemudian. Wanita yang tidak menikah atau yang mengabdikan hidupnya untuk bekerja atau karir, menjadi bosan dengan alasan yang sama dengan pria. 3. Tugas perkembangan dewasa madya

Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 2004), individu dewasa madya mempunyai tugas perkembangan sebagai berikut:

a) Mencapai tanggung jawab sosial dan dewasa sebagai warga negara

b) Membantu anak-anak remaja belajar untuk menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab dan bahagia

c) Mengembangkan kegiatan-kegiatan pengisis waktu senggang untuk orang dewasa

d) Menghubungkan diri sendiri dengan pasangan hidup sebagai suatu individu

e) Menerima dan menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan fisiologis yang terjadi pada tahap ini

f) Mencapai dan mempertahankan prestasi yang memuaskan dalam karir pekerjaan


(1)

ANOVA Table

Sum of

Squares df Mean Square F Sig. (Combined) 11088.933 31 357.708 3.236 .001 Linearity 7848.597 1 7848.597 70.999 .000 Between Groups

Deviation from

Linearity 3240.336 30 108.011 .977 .526 Within Groups 3095.250 28 110.545

Penye * Duksos

Total 14184.183 59

Measures of Association

R R Squared Eta Eta Squared Penye * Duksos .744 .553 .884 .782

ANALISA REGRESI LINEAR ANTARA DUKUNGAN SOSIAL

KELUARGA DENGAN PENYESUAIAN DIRI DI MASA PENSIUN

Variables Entered/Removed(b) Model Variables Entered Variables Removed Method 1 Duksos(a) . Enter a All requested variables entered.

b Dependent Variable: Penye

Model Summary

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate 1 .744(a) .553 .546 10.45152 a Predictors: (Constant), Duksos

ANOVA(b)

Model

Sum of

Squares df Mean Square F Sig. Regressio

n 7848.597 1 7848.597 71.851 .000(a) Residual 6335.586 58 109.234

1

Total 14184.183 59 a Predictors: (Constant), Duksos


(2)

Coefficients(a)

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

Model B Std. Error Beta t Sig.

(Constant

) 22.621 15.309 1.478 .145

1

Duksos .807 .095 .744 8.477 .000 a Dependent Variable: Penye


(3)

LAMPIRAN D


(4)

GAMBARAN PENYESUAIAN DIRI DI MASA PENSIUN

BERDASARKAN JENIS KELAMIN

Group Statistics

gender N Mean Std. Deviation

Std. Error Mean laki-laki 46 152.6739 15.50635 2.28629 Penye

perempua

n 14 149.2857 15.78913 4.21982

Independent Samples Test

GAMBARAN PENYESUAIAN DIRI DI MASA PENSIUN

BERDASARKAN JABATAN TERAKHIR YANG DIDUDUKI

MENJELANG PENSIUN

Descriptives

Penye

Levene's Test for

Equality of Variances t-test for Equality of Means

95% Confidence Interval of the Difference

F Sig. t df Sig. (2-tailed)

Mean Difference

Std. Error

Difference Lower Upper Equal

variances assumed

.779 .381 .713 58 .479 3.38820 4.75255 -6.12505 12.90145 Penye

Equal variances not assumed

.706 21.224 .488 3.38820 4.79938 -6.58624 13.36264

95% Confidence Interval for Mean

N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum staf 23 155.3043 14.91624 3.11025 148.8541 161.7546 129.00 187.00 fungsional 19 149.9474 13.05745 2.99559 143.6539 156.2409 109.00 172.00 struktural 18 149.5556 18.44299 4.34705 140.3841 158.7270 124.00 191.00 Total 60 151.8833 15.50516 2.00171 147.8779 155.8887 109.00 191.00


(5)

Test of Homogeneity of Variances

Penye Levene

Statistic df1 df2 Sig.

1.004 2 57 .373

ANOVA

Penye

Sum of

Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 437.922 2 218.961 .908 .409 Within Groups 13746.261 57 241.162

Total 14184.183 59

Multiple Comparisons

Dependent Variable: Penye

Penye

Subset for alpha =

.05

Jab.Benar N 1 struktural 18 149.5556

95% Confidence Interval

(I) Jab.Benar (J) Jab.Benar

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound fungsional 5.35698 4.81436 .510 -6.2284 16.9423 staf

struktural 5.74879 4.88705 .472 -6.0115 17.5091 fungsional staf -5.35698 4.81436 .510 -16.9423 6.2284 struktural .39181 5.10790 .997 -11.8999 12.6836 struktural staf -5.74879 4.88705 .472 -17.5091 6.0115 Tukey HSD

fungsional -.39181 5.10790 .997 -12.6836 11.8999 Bonferroni staf fungsional 5.35698 4.81436 .812 -6.5185 17.2325 struktural 5.74879 4.88705 .733 -6.3060 17.8036 fungsional staf -5.35698 4.81436 .812 -17.2325 6.5185 struktural .39181 5.10790 1.000 -12.2078 12.9914 struktural staf -5.74879 4.88705 .733 -17.8036 6.3060 fungsional -.39181 5.10790 1.000 -12.9914 12.2078


(6)

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 19.780.

b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.

GAMBARAN PENYESUAIAN DIRI DI MASA PENSIUN

BERDASARKAN JABATAN TERAKHIR YANG DIDUDUKI

MENJELANG PENSIUN

Group Statistics

Pek.Istri N Mean Std. Deviation

Std. Error Mean Bekerja 19 156.3158 18.68467 4.28656 Penye

Tidak

Bekerja 27 150.1111 12.56777 2.41867

Independent Samples Test

Levene's Test for

Equality of Variances t-test for Equality of Means

95% Confidence Interval of the Difference

F Sig. t df Sig. (2-tailed)

Mean Difference

Std. Error

Difference Lower Upper Equal

variances assumed

5.221 .027 1.348 44 .184 6.20468 4.60169 -3.06943 15.478 Penye

Equal variances not assumed


Dokumen yang terkait

Pengaruh Dukungan Sosial terhadap Penyesuaian Diri Lanjut Usia

3 53 123

HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA MASA PENSIUN

0 3 2

Pengaruh dukungan sosial dan kepribadian terhadap pentesuaian diri pada masa pensiun

0 24 110

PENGARUH SIKAP MENGHADAPI PENSIUN TERHADAP PENYESUAIAN DIRI MENJELANG MASA PENSIUN

6 44 143

KONTRIBUSI DUKUNGAN SOSIAL TERHADAP TINGKAT DEPRESI PADA PENSIUNAN PEGAWAI NEGERI SIPIL Kontribusi Dukungan Sosial terhadap Tingkat depresi Pada Pensiunan Pegawai Negeri Sipil Di Kecamatan Sukoharjo.

0 2 15

Pelatihan Masa Persiapan Pensiun dan Signifikansinya terhadap Perubahan Sikap Menghadapi Masa Pensiun pada Pegawai Negeri Sipil di Kota Bandung.

1 2 24

PENGARUH SIKAP MENGHADAPI PENSIUN TERHADAP PENYESUAIAN DIRI MENJELANG MASA PENSIUN (Penelitian Pada Pegawai Negeri Sipil Yang Memiliki Jabatan Eselon IV-II di Kabupaten Tegal Tahun 2006).

0 0 2

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DAN KONSEP DIRI DENGAN PENYESUAIAN DIRI MENGHADAPI MASA PENSIUN PADA GURU SMP NEGERI SE-KABUPATEN NGAWI.

0 0 18

2.1 Kecemasan Menjelang Pensiun 2.1.1 Pengertian Kecemasan - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penyesuaian Diri dan Dukungan Sosial Keluarga sebagai Prediktor Kecemasan Menjelang Pensiun Pegawai Negeri Sipil Pemerintah Kota Amb

0 0 29

1. Skala Kecemasan Menjelang Pensiun 2. Skala Penyesuaian diri 3. Skala Dukungan Sosial Keluarga - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penyesuaian Diri dan Dukungan Sosial Keluarga sebagai Prediktor Kecemasan Menjelang Pensiun Pe

0 0 24