Sekilas Tentang Kitab ‘ Post 5941df44d754bddd
Atinya: “Hai orang
-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu
menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka
melakukan pekerjaan keji yang nyatadan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, maka
bersabarlah karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal
Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
Dalam QS.al-Baqarah: 228, Allah Swt juga berfirman:
Artinya: “
Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang maruf. akan tetapi Para suami,
mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya.” Yang dimaksud kata patut dalam ayat di atas yaitu pertama
bijaksana. Maksudnya bahwa laki-laki harus bijaksana dalam mengatur waktu untuk istri.
Demikian pula dalam hal menafkahi istri merupakan bagian dari hak istri. Hal lain yang terkait dengan masalah kepatutan
disini adalah kehalusan dalam berbicara Busthomi,2000: 11-12.
Ayat di atas memberikan penjelasan bahwa wanita tetap mendapatkan hak-haknya meskipun suami dalam keadaan marah
kepada istri. Ayat tersebut juga merangkan agar suami koreksi diri atas perlakuannya terhadap istri. Apakah perlakuannya terhadap istri
tersebut disebabkan ketidak senangan, dan barangkali di dalam diri
istrinya terdapat kebaikan yang tidak dapat diketahui oleh dirinya karena keterbatasan kemampuan yang dimilikinya. Al-
Qur‟an menganjurkan kepada suami agar tetap mempergauli istrinya dengan
cara yang layak meskipun tidaksenang padanya.
Mengenai masalah kesimbangan antara hak dan kewajiban wanita, firman Allah SWT yang kedua itu menunjukkan bahwa laki-
laki dan wanita mempunyai hak yang sama dalam menuntut kewajiban terhadap yang lain sebagai suami istri, bukan masalah kelamin. Dalam
hubungan ini, hak mereka berbeda.
Karena laki-laki berhak untuk berpoligami. Adapun yang dimaksud dengan cara yang ma‟ruf ialah
cara yang baik menurut pandangan agama, seperti bersopan santun, tidak melakukan hal-hal yang dapat melukai perasaan, baik bagi suami
maupun istri. Bahkan sampai pada batas berdandan. Sebab, hal itu merupakan suatu cara yang ma‟ruf Busthomi, 2000: 11.
Islam telah menetapkan ketentuan yang seimbang antara hak dan kewajiban, bukan hanya dalam rumah tangga, tetapi dalam setiap
permasalahan dan ketentuan yang ada. Hanya dalam Islamlah yang mampu mengatur hukum yang bekenaan dengan umatnya pada
penempatan masalah secara adil dan proposional, tidak ditambah atau dikurangi. Karena, setiap hamba mempunyai hak dan kewajiban yang
sama.
Suami tidak sekedar mengurusi istrinya agar tidak berbuat kejelekan atau menghargai pendapatnya dan mempergaulinya dengan
cara yang baik atau mengambil tindakan yang perlu untuk member peringatan kepada istrinya. Seperti: memisahkan tempat tidur,
melimpahkan penyelesaian perselisihan dengan pengangkatan penegak yang adil, dan seimbang apabila ia tidak dapat menyelesaikannya
secara intern. Suami juga dianjurkan dalam hadits yang suci untuk berusaha dengan segala dengan kemampuannya demi memuaskan
istrinya, seperti halnya dirinya menginginkan agar istrinya berusaha dengan kemampuanya memuaskan suaminya.
Selain itu, ada hal lain yang perlu disebutkan disini, yaitu maksud ayat yang menyatakan bahwa laki-laki, yakni suami
mempunyai tingkat kelebihan dari pada istri. Hal ini terkait dengan hak suami yang diperolehnya atas tanggung jawab terhadap istri itu sendiri
dalam memberikan maskawin atau nafkah bagi istri.
Dalam hubungan ini, suami berhak memperoleh ketaatan istri. Dengan demikian, maka
istri wajib taat kepada suami sehubungan dengan tanggung jawabnya