Post 5941df44d754bddd

(1)

PENDIDIKAN KELUARGA SAKINAH

MENURUT SYAIKH NAWAWI DALAM KITAB

‘UQUDUL

LIJAIN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Kewajiban dan Melengkapi Syarat

Guna Memperoleh Gelar SarjanaPendidikan Islam (S.Pd.I)

Oleh

Sutoyo

NIM 111 08 002

JURUSAN TARBIYAH

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI

SALATIGA

2013


(2)

(3)

KEMENTERIAN AGAMA RI

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)

Jl. Stadion 03 telp. (0298) 323706, 323433 Salatiga 50721 Website: www.Stainsalatiga.ac.idE-mail:[email protected]

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Setelahdikoreksidandiperbaiki, makaskripsisaudara:

Nama : Sutoyo

Nim : 111 08 002

Jurusan : Tarbiyah

Program Studi : Pendidikan Agama Islam

Judul :Pendidikan Keluarga SakinahMenurut Syaikh

Nawawi Dalam Kitab „Uqudullijain

Telah kami setujuiuntukdimunaqosahkan.

Salatiga, 15 April 2013 Pembimbing

AchmadMaimun, M. Ag. NIP. 19700510199803 1 003


(4)

(5)

KEMENTERIAN AGAMA RI

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)

Jl. Stadion 03 telp. (0298) 323706, 323433 Salatiga 50721 Website: www.Stainsalatiga.ac.idE-mail:[email protected]

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertandatangan di bawahini:

Nama : Sutoyo

NIM : 111 08 002

Jurusan : Tarbiyah

Program Studi : PendidikanAgamaIslam

Menyatakandengansebenarnyabahwaskripsi yang sayatulis,

benar-benarmerupakanhasilkaryasendiri,

bukanmerupakanpengambialihantulisanataukarya orang lain yang

sayaakuisebagaihasiltulisanataukaryasendiri, kecualiinformasi yang

terdapatdalamreferensi yang dijadikanbahanrujukan.Apabila di

kemudianhariterbuktiskripsiinihasiljiplakan,

makasayabersediamempertanggungjawabkankemabalikeaslianskripsiini di

hadapan siding munaqosahskripsi.

Salatiga, 15 April 2013 Yang membuatpernyataan

Sutoyo NIM: 111 08 002


(6)

MOTTO



















”Teman-temanakrabpadahariitusebagiannyamenjadimusuhbagisebagian yang


(7)

PERSEMBAHAN

Dengan penuh rasa syukur dan terimakasih, skripsi ini penulis persembahkan kepada:

1. Kepada ibu tercinta (ibu Siti Kalijah), yang selalu mendukung baik moril

maupun materi dengan penuh kasih sayangnya.

2. Kepada para masayikh dan guru-guru pembimbing spiritual (abah) yang

selalu mendoa‟akan sepanjang waktu khususnya ustadz Sabiqun. Berkat

barokah doa beliau menjadikan penulis mampu menghadapi semua tantangan dan rintangan hidup.

3. Kepada keluarga yang tercinta kakak dan adik (mas Sulistiyo, mas

Sunariyo, mbak Tatik, adik Giarto), yang selalu memberikan motivasi.

4. Kepada semua teman seperjuangan (khusus PAI A 2008) yang

memberikan pahit manis pelajaran kehidupan.

5. Kepada seseorang yang mengisi kehidupanku, yang insya Allah kelak juga


(8)

KATA PENGANTAR

Pujisyukursenantiasapenulispanjatkanpada Allah SWT, yang

tanpalelahnyamelimpahkanrahmatkasihsayangya.Sehinggapenulisdapatmenyelesa ikanpenulisanini.SholawatsertasalampenulishaturkankepadajunjunganNabiAgung Muhammad SAW, yang telahberjuang agar umatnyamendapatkemuliaan di

duniadanakhirat.Dalampenulisaninibanyakpihak yang penulislibatkan,

olehkarenaitupenulismengucapkanbanyak-banyakterimakasih, khususnyakepada:

1. Bapak Dr. Imam Sutomo, M.Ag.selakuketua STAIN yang

telahmenyetujuipenelitianskripsiini.

2. BapakDr. RahmatHariyadi, M.Pd. selakuketuajurusanTarbiyah yang

telahmemberikankemudahanbagipenulisdalamperijinanpenelitian.

3. IbuDra. SitiAsdiqoh, M.Si, selakuketua program studiPendidikan Agama

Islam

4. BapakAchmadMaimun, M.Ag.selakudosenpembimbing yang

telahmemberikanbimbingandanpengarahandenganpenuhkeikhlasandansab armencurahkanpikirandantenaganya,

sertapengorbananwaktunyadalammembimbingpenyelesaianpenulisanskrip siini.

5. UstadzSabiqun yang telahmembantubaiksecaramorilmaupunmateri.

6. Semuapihakyangtidakdapatpenulissebutkansatupersatu, yang


(9)

Semogaamalbaikmerekadicatatoleh Allah SWT

sertamendapatkanbalasan yang berlipatganda

,Amin.Penulismenyadaridanmengakuibahwapenulisanskripsiinimasihjauh dariharapan, semuaitudikarenakankefaqiranpenulis, keterbatasanwaktu,

biayadantenaga.OlehKarenaitukritikdan saran yang

sifatnyamembangunsangatpenulisharapkandalammemperbaikiskripsiini.D anakhirnyapenulisberharapsemogaskripsiinidapatbermanfaatbagipenuliskh ususnyadanumumnyabagisemuapihak yangmembutuhkannya.

Salatiga, 15 April 2013


(10)

ABSTRAK

Sutoyo. 2013. Pendidikan Keluarga Sakinah Menurut Syaikh Nawawi Dalam

Kitab „Uqudullijain. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Achmad Maimun, M.Ag.

Kata Kunci:Pendidikan Keluarga Sakinah.

Latar belakang penelitian ini mengajak model pendidikan keluarga

Rasulullah. Subjek penelitian ini adalah kitab „Uqudullijain. Rumusan masalah

yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah (1) Untuk mengetahui pendidikan

keluarga sakinah dalam kitab „Uqudullijain, (2) Untuk mengetahui konteks sosial

penulisan kitab „Uqudullijain, (3) Untuk mengetahui relevansinya pemikiran.

Syaikh Nawawi dalam konteks pendidikan keluarga sakinah di Indonesia. Dari penelitian ini diharapkan akan mendapat berbagai manfaat yaitu:(1) Manfaat teoritis, yaitu didapatnya suatu konsep pendidikan berkeluarga menurut tradisi Rasulullah SAW., (2) Manfaat praktis, yaitu memberikan manfaat pada suami istri agar dapat menciptakan keharmonisan dalam berumah tangga yang sesuai ajaran Rasulullah SAW. Jenis penelitian ini adalah pendekatan kualitatif.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada relevansi pemikiran

Syaikh Nawawi dalam kitab „Uqudullijain dalam pendidikan keluarga sakinah di

Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode analisis data. Subjek penelitian kitab „Uqudullijain karangan Syaikh Nawawi.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pendidikan keluarga sakinah dalam kitab „Uqudullijain karangan Syaikh Nawawi berpengaruh besar dalam membentuk keluarga sakinah, sebagaimana kehidupan keluarga pada zaman Rasulullah SAW.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

SUSUNAN PANITIA PENGUJI ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

ABSTRAK ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Kegunaan Penelitian ... 4

E. Metode Penelitian ... 5

F. Penegasan Istilah ... 7

G. Sistematika Penulisan ... 8


(12)

A. Riwayat Hidup ... 10

B. Riwayat Pendidikan ... 13

C. Silsilah ... 15

D. Karya-Karya ... 18

BAB III. DESKRIPSI PEMIKIRAN SYAIKH MUHAMMAD NAWAWI ... 20

A. Sekilas Tentang Kitab „Uqudullijain... 20

B. Hak-hak Istri Atas Suami ... 22

C. Hak Suami Atas Istri ... 38

D. Keutamaan Shalat Wanita di Rumahnya ... 54

E. Larangan Melihat Lawan Jenis ... 59

BAB IV. PEMBAHASAN ... 64

A. Tinjauan Pendidikan Islam ... 64

B. Konteks sosial syaikh nawawi ketika menulis kitab „Udullijain ... 65

C. Analisis konsep pendidikan keluarga sakinah menurut Syaikh Nawawi dalam kitab „Uqudullijain ... 66

D. Relevansi pendapat Syaikh Nawawi dalam kitab „Uqudullijain dengan realitas keluarga muslim sekarang di Indonesia ... 77

BAB V. PENUTUP ... 78

A. Kesimpulan ... 78


(13)

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1.1 Daftar Riwayat Hidup ...

1.2 Nilai SKK ...

1.3 Lembar Konsultasi Skripsi ...


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Rumah tangga merupakan markas atau pusat pergaulan dan susunan kehidupan yang mengekalkan keturunan. Rumah tangga adalah alam pergaulan manusia yang sudah diperkecil. Di dalam rumah tangga lahir dan tumbuh apa yang disebut dengan kekuasaan, agama, pendidikan, hukum, dan perusahaan. Keluarga adalah jamaah yang bulat, teratur, dan sempurna (Leter, 1985:2).

Keluarga merupakan pondasi awal dari bangunan masyarakat dan bangsa. Keselamatan dan kemurnian rumah tangga adalah faktor penentu bagi keselamatan dan kemurnian masyarakat. Rumah tangga juga sebagai penentu kekuatan, kekokohan, dan keselamatan dari bangunan negara. Jadi, apabila bangunan sebuah rumah tangga hancur maka sebagai konsekuensinya masyarakat serta negara dapat diperkirakan akan hancur juga.

Dalam keluarga banyak terjadi permasalah-permasalahn yang muncul. Hal ini apabila tidak segera teratasi maka akan terjadi percerain. Kasus perceraian pada tahun 2013 di Indonesia cukup tinggi. Tingginya kasus perceraian dibuktikan dengan banyak kasus perceraian yang terjadi tahun 2012, yakni sebanyak 285.184 kasus. Data yang dirilis Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama RI, tahun 2013, jumlah penduduk Indonesia yang


(16)

menikah sebanyak 2 juta orang, sementara 285.284 perkara perceraian.

Maka, dalam keluarga seharusnya dibutuhkan adanya seorang pemimpin yang tegas. Pemimpin yang dapat mendidik, mengarahkan, dan

mencukupi baik kebutuhan dhohiriyah dan bathiniyah. Sudah barang tentu,

keluarga akan menjadi sakinah, mawaddah wa rahmah. Di dalam al-Qur‟an,

yang menjadi pemimpin keluarga adalah suami.

Seperti yang tertuang dalam QS.An-Nisa‟: 34:





























































Artinya: ”kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena

Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri, ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.

Keluarga adalah amanah ilahi yang harus dipelihara dan dibina dengan baik sebagai tiang kehidupan masyarakat dan bangsa dalam menyiapkan


(17)

generasi penerus, karena itu agama Islam menitik beratkan pada mutu kualitas suatu keluarga, sehingga akan terbentuk rumah tangga yang utuh, kuat, berbadan sehat, dan berfikir jernih, mampu menghadapi tantangan kehidupan (Leter, 1985:45).

Untuk itu sebagai umat Islam hendaknya kembali tradisi Rasulullah SAW dalam membina rumah tangga, seperti yang tertuang dalam kitab

Uqudullijain yaitu karangan Syekh Muhammad Nawawi. Di dalam kitab tersebut termuat tata cara berkeluarga yang baik sesuai ajaran Rasulullah SAW.

Dalam penelitian ini penulis ingin menunjukkan bagaimanakah etika

yang baik dalam kehidupan berkeluarga sesuai kitab Uqudullijain. Penulis

berharap penelitian ini bisa menjadi acuan dalam membina rumah tangga yang sakinah, mawwadah wa rahmah sesuai ajaran Rasulullah. Penulis berharap semoga kehidupan rumah tangga muslim bisa berjalan sesuai norma-norma agama. Jadi, untuk tujuan ini penulis tertarik memberi judul penelitian ini “PENDIDIKAN KELUARGA SAKINAH MENURUT SYAIKH NAWAWI DALAM KITAB ‘UQUDUL LIJAIN”.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pendidikan keluarga sakinah yang ada dalam kitab


(18)

2. Bagaimana konteks sosial Syaikh Nawawi ketika menulis kitab

„Uqudullijain?

3. Sejauhmana relevansi pemikiran Syaikh Nawawi dalam konteks

pendidikan keluarga sakinah di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pendidikan keluarga sakinah dalam kitab

„Uqudullijain.

2. Untuk mengetahui konteks sosial Syaikh Nawawi ketika menulis kitab

„Uqudullijain.

3. Untuk mengetahui relevansinya pemikiran Syaikh Nawawi dalam

konteks pendidikan keluarga sakinah di Indonesia.

D. Kegunaan Penelitian

Dari penelitian ini diharapkan akan mendapat berbagai manfaat yaitu:

1. Manfaat teoritis, maka akan didapat suatu konsep pendidikan berkeluarga

menurut tradisi Rasulullah SAW.

2. Manfaat praktis, dapat memberikan manfaat pada suami istri agar dapat

menciptakan keharmonisan dalam berumah tangga yang sesuai ajaran Rasulullah SAW.


(19)

Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Jenis dan sifat penelitian

Melalui riset perpustakaan untuk mengkaji sumber-sumber tertulis yang telah dipublikasikan atau belum (Arikunta, 1980:10).

Adapun sumber data dalam penelitian ini dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:

a. Sumber Data Primer

Yaitu sumber data yang langsung berkaitan dengan objek riset.

Dalam penelitian ini sumber primernya adalah kitab „Uqudullijain

(Dhahara, 1980:60).

b. Sumber Data Sekunder

Yaitu sumber data yang mengandung dan melengkapi sumber data primer. Adapun sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku atau karya-karya lain yang isinya dapat melengkapi data penelitian yang penulis teliti, seperti diantaranya terjemahan Uqudullijain.

2. Metode analisis data

Yaitu cara penanganan tertentu dengan cara memilah-milah pengertian yang satu dengan yang lain. Dengan menggunakan metode ini


(20)

tidaklah dimaksudkan untuk pengertian yang baru, akan tetapi hanya ingin mendapatkan kejelasan atau penjelasan suatu pengertian tertentu dari penelaahan obyek penelitian.

Untuk lebih memahami penelitian ini, maka penulis memilih metode analisis sebagai berikut:

a. Interpretasi

Isi buku diselami untuk dapat setepat mungkin menangkap arti dan nuansa uraian yang disajikan (Soemargono, 1983:21).

Karena dalam penelitian ini objeknya adalah kitab „Uqudullijain, maka penulis akan menyelami isi kitab tersebut sebagai obyek penelitian.

Disamping itu juga penulis pilih sumber-sumber lain yamg penulis anggap representif terhadap penelitian ini.

b. Metode induksi

Yaitu metode yang berangkat dari fakta-fakta khusus, peristiwa-peristiwa konkret, kemudian dari fakta-fakta dan peristiwa-peristiwa yang konkret tersebut ditarik dalam generalisasi yang bersifat umum (Hadi, 1990: 26).


(21)

F. Penegasan Istilah

Istilah banyak menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda, maka penulis perlu menjelaskan beberapa istilah yang dipakai dalam penelitian ini. Hal ini penulis maksudkan untuk menghindari terjadinya kesalah pahaman dalam penafsiran terhadap istilah istilah-istilah yang perlu dijelaskan sebagai berikut:

1. Pendidikan

Pendidikan adalah bimbingan dan pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si pendidik untuk menuju terbentuknya kepribadian yang utama (Marimba, 1960: 19).

2. Keluarga

Keluarga adalah sanak saudara, kaum kerabat. Dapat pula berarti sekumpulan orang yang hidup dalam tempat tinggal bersama masing-masing anggota merasakan ada pertalian batin, sehingga saling mempengaruhi, menyerahkan diri, melengkapi, dan menyempurnakan (KBBI, 1989: 234).

3. Kitab „Uqudullijain

Yaitu kitab tentang etika rumah tangga karya Syekh Muhammad Nawawi. Adapun isi kitab meliputi hak-hak istri atas suami, hak suami


(22)

istri, keutamaan wanita shalat di rumahnya, dan larangan melihat lawan jenis.

G. Sistematika Penulisan Skripsi

1. Bagian awal ini memuat bagian awal skripsi yang memuat halaman judul,

notasi Dinas, halaman pengesahan, halaman pernyataan keaslian tulisan, halaman motto, halaman persembahan, halaman pengantar, halaman abstrak, dan daftar isi.

2. Bagian utama

Pada bagian ini terdiri dari lima bab, yaitu:

Bab I Pendahuluan berisi tentang uraian latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian, pegasan istilah, dan sistematika pembahasan.

Bab II Bab ini meliputi: riwayat hidup, riwayat pendidikan, sisilah, dan karya-karya Syekh Muhammad Nawawi.

Bab III adalah isi pokok pemikiran Syaikh Nawawi dalam kitab „Uqudullijain, meliputi:

1. Sekilas gambaran tentang kitab „Uqullijain.

2. Pemikiran Syekh Muhammad Nawawi dalam kitab „Uqudullijain,

meliputi:


(23)

b. Hak-hak suami terhadap istri

c. Keutamaan shalat wanita di rumahnya

d. Larangan melihat lawan jenis

Bab IV adalah relevansi pendidikan berrumah tangga menurut Syekh Nawawi dalam kitab „Uqudullijain dengan pendidikan keluarga sakinah Islam di Indonesia, meliputi:

1. Tinjauan pendidikan Islam.

2. Relevansi pendapat Syekh Nawawi dalam kitab „Uqudullijain dengan realitas keluarga muslim sekarang di Indonesia.

Bab V merupakan penutup atau bagian akhir penulisan yang mencakup kesimpulan dan saran-saran.

3. Bagian akhir skripsi ini berisi tentang daftar pustaka, lampiran-lampiran,


(24)

BAB II

BIOGRAFI PENGARANG 1. Riwayat Hidup Syaikh Muhammad Nawawi

Syaikh Muhammad Nawawi, lahir di Banten, pada tahun 1230 H/1813 M. Nama aslinya adalah Muhammad Nawawi bin Umar Arabi. Ia disebut juga Nawawi Al-Bantani. Di kalangan keluarganya, Syaikh

Nawawi Al-Jawi dikenal dengan sebutan Abdul Mu‟ti. Ayahnya bernama

K.H. Umar bin Arabi, seorang ulama dan pengulu di Tanara Banten. Ibunya bernama Jubaidah, penduduk asli Tanara. Dari silsilah keturunan ayahnya, Syaikh Nawawi merupakan salah satu keturunan Maulana Hasannudin (Sulthan Hasanuddin), putera Maulana Syarif Hidayatullah (Depag, 1992:422).

Syaikh Nawawi merupakan salah seorang ulama besar di kalangan umat islam internasional. Ia dikenal melalui karya-karya tulisnya yang sangat banyak. Beberapa julukan kehormatan dari Arab Saudi, Mesir, dan Suriah diberikan kepadanya, seperti Sayyid Ulama Al-Hijaz, Mufti, dan Fakih. Dalam kehidupan sehari-hari ia tampil dengan sangat sederhana.

Sejak kecil Syaikh Nawawi telah mendapat pendidikan agama dari orang tuanya. Mata pelajaran yang diterimanya antara lain bahasa arab, fikih, dan ilmu tafsir. Selain itu ia belajar pada Kyai Yusuf di Purwakarta. Pada usia 15 tahun ia pergi menunaikan ibadah haji ke Makkah dan bermukim di sana selama 3 bulan. Di Makkah ia belajar pada beberapa orang Syaikh yang bertempat tinggal di Masjidil Haram, seperti Syaikh Ahmad Nawawi, Syaikh Ahmad Dimyati, dan Syaikh Ahmad Zaini Dahlan. Ia juga pernah belajar di Madinah di bawah bimbingan Syaikh Muhammad Khatib Al- Hanbali.

Sekitar tahun 1248 H/1831 M, ia kembali ke Indonesia. Di tempat kelahiranya ia membina pesantren peninggalan orang tuanya. Karena situasi politik yang tidak menguntungkan, ia kembali ke Makkah setelah 3 tahun berada di Tanara dan meneruskan belajarnya di sana. Sejak keberangkatanya yang kedua kalinya, Syaikh Nawawi tidak pernah kembali di Indonesia.Ia menetap disana hingga akhir hayatnya. Ia meninggal pada tanggal 25 Syawal 1314 H atau tahun 1897 M. Ia wafat dalam usianya yang ke-84 tahun di tempat kediamanya yang terakhir yaitu kampung Syiib Ali Makkah (Depag, 1992:423).


(25)

Jenazahnya di kuburkan di pekuburan Ma‟la, Makkah, berdekatan dengan kuburan Ibnu Hajar Siti Asma binti Abu Bakar Shiddiq. Ia wafat pada saat sedang menyusun sebuah tulisan yang menguraikan Minhaj Ath-Thalibin-nya Aman Yahya bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jama‟ah bin Hujam An-Nawawi (Hasan, 1987:39).

Menurut catatan sejarah di Makkah, ia berupaya mendalami ilmu-ilmu agama dari para gurunya, seperti Syaikh Muhammad Khatib bin Sambas, Syaikh Abdul Ghani Bima, Syaikh Yusuf Sumulaweni dan Syaikh Abdul Hamid Dagastani. Dengan bekal pengetahuan agama yang telah ditekuninya selama lebih kurang 30 tahun, Syaikh Nawawi setiap hari mengajar di Masjidil Haram.Murid- muridnya berasal dari berbagai penjuru dunia. Ada yang berasal dari Negara Indonesia, seperti K.H.

Kholil (Bangkalan, Madura), K.H. Asy‟ari (Jombang, Jawa Timur). Ada

pula yang dari Negara Malaysia, seperti K.H. Dawud (Perak).

Ia mengajarkan pengetahuan agama secara mendalam kepada murid-muridnya, yang meliputi hampir seluruh bidang. Di samping membina pengajian, melalui murid-muridnya, Syaikh Nawawi memantau perkembangan politik di Tanah Air dan menyumbangkan ide-ide dan pemikiranya untuk kemajuan masyarakat Indonesia.

Di Makkah ia aktif membina suatu perkumpulan yang disebut

Koloni Jawa, yang menghimpun masyarakat Indonesia yang berada di sana. Aktivitas koloni jawa ini mendapat perhatian dan pengawasan khusus dari pemerintahan Kolonial Belanda. Syaikh Nawawi memiliki beberapa pandangan dan pendirian yang khas. Diantaranya, dalam

mengahadapi Kolonial Belanda, ia tidak agresif atau reaksioner.

Ia juga sangat anti bekerjasama dengan pihak kolonial dalam bentuk apapun. Ia lebih suka mengarahkan perhatiannya pada pendidikan, membekali murid-murid dengan jiwa keagamaan dan semangat untuk menegakkan kebenaran. Adapun terhadap orang kafir yang tidak menjajah, ia membolehkan umat islam berhubungan dengan mereka untuk tujuan kebaikan dunia. Ia memandang semua manusia adalah saudara, sekalipun dengan orang kafir. Ia juga menganggap bahwa pembaharuan dalam pemahaman agama perlu dilakukan untuk terus menggali hakikat kebenaran.

Dalam mengahadapi tantangan zaman, ia memandang umat islam perlu mengusai berbagai bidang keterampilan atau keahlian. Ia memahami “perbedaan umat adalah rahmat” dalam konteks keragaman


(26)

kemampuan dan persaingan untuk kemajuan umat islam. Dalam bidang syari‟at, mendasarkan pandanganya pada al- qura‟an, hadits, ijma‟, dan qiyas. Ini sesuai dengan dasar-dasar syari‟at yang dipakai oleh Imam Syafi‟i. Mengenai ijtihad dan taqlid, ia berpendapat bahwa yang termasuk mujtahid (ahli ijtihad) mutlak adalah Imam Syafi‟i, Imam Hanafi, Imam Malik, Dan Imam Hambali. Bagi mereka haram taklid, sedang orang-orang selain mereka, baik mujtahid Fi-Al-Mazhab, mujtahid Al-Mufti, maupun orang-orang awam/masyarakat biasa, wajib taklid kepada salah satu mazhab dari mujtahid mutlak (Aziz, 1994:23).

2. Riwayat Pendidikan Syaikh Muhammad Nawawi

Syaikh Nawawi hidup di kalangan ulama. Pada masa kanak-kanak, ia belajar agama bersama saudara-saudaranya dari ayahnya sendiri.

Ilmu-ilmu yang dipelajari meliputi pengetahuan tentang bahasa , fikih, dan

tafsir. Dari pengetahuan dasar itu, mendorong ia untuk meneruskan

pelajarannya ke beberapa pesantren di pulau Jawa. Pendidikan Syaikh

Nawawi sebenarnya dilatar belakangi oleh minat dan semangat dari Imam Syafi‟i yaitu imam besar yang wafat pada tahun 204 H. Ia mempunyai makalah yang tertulis sebagaimana pertanyaan di bawah ini “ untuk mencari ilmu tinggalkanlah negerimu, berkelanalah, engkau pasti akan menemukan pengganti orang-orang yang kamu cintai, bersusah payahlah karena sesungguhnya ketinggian derajat dan kehidupan biasa dicapai dengan kesusah payahan” (Hasan., 1987:40).

Pemikiran di atas nampaknya memacu Syaikh Nawawi untuk selalu mengembara meninggalkan tanah airnya. Dalam mendalami berbagai ilmu pengetahuan, terutama ilmu agama islam, Syaikh Nawawi menjadi terkenal di Indonesia. Bukan hanya itu saja, ia juga pandai menerangkan kata-kata bahasa arab yang artinya tidak jelas dan sulit. Sebagaimana yang tertulis dalam syair keagamaan.

Karyanya ternyata banyak yang beredar di Negara Arab. Namun


(27)

misalnya, ia terkenal pada tafsiranya, sehingga ia dijuluki dengan sebutan

Sayyid „Ulama Hijaz. Secara kronologis, pedidikan Syaikh Nawawi dari

berbagai sumber tidak dijelaskan secara rinci. Hanya saja ada sebagian besar yang mengatakan bahwa cara belajar ia berpindah-pindah dari guru ke guru yang lain.

Guru-guru yang terkenal adalah Sayyid Ahmad Nahrawi, Sayyid Ahmad Dinyati, dan Ahmad Zaini Dahlan. Ketiga guru ia ini yang berada di Makkah. Sedangkan di Madinah ia belajar dengan Muhammad Khatib Al Hanbali. Dan selanjutnya ia melenjutkan pelajarannya pada ulama-ulama besar di Mesir dan Syam (Syiria) (Hasan, 1987:41).

3. Silsilah Syaikh Nawawi

Syaikh Nawawi mempunyai garis keturunan ayah dan ibu. Adapun garis keturunan ayah adalah sebagai berikut: Kyai Umar bin Kyai Ali bin Ki Jamat bin Ki Janta bin Mas Bugil bin Ki Maskun bin Ki Masnun bin Ki Wasmi bin Tajul „Arusy Tanara bin Maulana Hasanuddin bin Maulana Syari Hidayatullah Cirebon Abdullah bin Ali bin Raja Amatuddin Abdullah bin Ali Nuruddin bin Malik bin Sayyid Muhammad bin Shahib Mirabath bin Sayyid Qoli‟ Qosim bin sayyid Ali bin Imam Ubaidilah bin Imam Isa Naqib bin Imam Ali Al Ridhi bin Imam Ja‟far Al Shadiq bin Imam Ali Al Baqir bin Imam Ali Zainal Abiding bin Sayyiduna Fatimah Zahra binti Muhammad SAW.

Adapun silsilah ibu dari sebagai berikut: Imam Nawawi bin Nyi Zubaidah binti Muhammad Singaraja bin Kyai Ali bin Ki Jamad bin Ki Janta Bin Ki Masyarakat Bugil bin Ki Masnun bin Maulana Hasanuddin Banten bin Maulana Syarif Hidayatullah Cirebon bin Raja amatuddin Abdullah bin Ali Nuruddin bin Maulana Jamaluddin Akbar Husain bin Imam Amir Abdullah Malik bin Sayyid Alwi bin Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin Sayyid Ali Khali‟qosim bin Sayyid Ali Alwi Bin Imam Ubaidillah binMuhammad Muhajid Ilallah bin Imam Isa Al Naqib


(28)

Imam Muhammad Naqib

bin Imam Muhammad Naqib bin Imam Ali Al Ridhi bin Imam Ja‟far Al Shadiq bin Imam Muhammad Al Baqli bin Sayyiduna Husain bin Sayyiduna Fatimah Zahra binti Muhammad SAW.

Untuk lebih jelasnya tentang silsilah Syaikh Nawawi dapat dilihat dari skema berikut:

Ahmad Muhajir Ilallahi Muhammad Saw Sayyidatina Fatimah Zahra

Imam Ali Zainal Abidin Imam Muhammas Al Baqir Imam Ja‟far As-Shadiq

Sayyiduna Husain

Imam Ali Al Ridha

Imam Ubaidillah

Amir Abdullah Malik Sayyid Alwi


(29)

Abdullah Ahmad Khan Imam Sayyid Ahmad Syah Jabbal Maulana Jamaluddin Akbar Husain

Ali Nuruddin Raja Aminuddin Abdullah Maulana Syarif Hidayatullah (Cirebon)

Maulana Hasanuddin Banten Ki Tajul Arrusy Tanara

Ki Masywi Ki Masnun Ki Mas Bugil

Kyai Ali Ki Jamad Ki Janta

Muhammad Singaraja

Kyai Umar Nyi Zubaidah


(30)

Syaikh Nawawi merupakan keturunan yang ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu keturunan dari putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten) yang bernama Sunyaras (Tajul Arusy) (Ensyklopedi Islam Indonesia, 1992).

4. Karya-Karya Syaikh Muhammad Nawawi

Sebagai seorang Syaikh, ia menguasai hampir seluruh cabang ilmu agama, seperti ilmu tafsir, Ilmu tauhid, ilmu fiqih, akhlaq, tarikh, dan bahasa arab. Pendiri-penderinya, khususnya dalam bidang ilmu kalam dan

fiqih, bercorak Ahlusunnah Waljama‟ah. Keahlianya dalam bidang-bidang

ilmu tersebut dapat dilihat melalui karya-karya tulisnya yang cukup banyak. Menurut suatu sumber, ia mengarang kitab sekitar 115 buah, menurut sumber lain sekitar 99 buah, yang terdiri dari berbagai ilmu agama.

Di antara karangannya, dalam bidang tafsir ia menyusun kitab Tafsir Al Munir (yang memberi sinar). Dalam bidang hadits, kitab Tankih Al Qoul/meluruskan pendapat (Syarah Lubab Al Hadits, As-Suyuti). Dalam bidang tauhid, diantaranya kitab Al Fath Al-Majid/pembuka bagi yang mulia (Syarah Ad-Dur Al- Farid Fi Al-Tauhid, Al Bajuri) yang berisi penjelasan tentang masalah tauhid. Dalam bidang fiqih, diantaranya kitab Sulam Al Munajah/tangga untuk mencapai keselamatan (Syarah Safinah As-Salam), At-Tausyih (Syarah) Al Qorib Al-Mujib, Ibnu Qosun Al-Gazi yang menguraikan masalah-masalah fiqih Adab Nihayah Az-Zen,\. Dalam

bidang politik atau tasawuf, diantanya kitab Salim Al-Fudhola‟/tangga

bagi para ulama terpandang (Syarah Manzumah Hidayah Al-Askiya‟)

Misbah Az-Zalam (penerangan kegelapan), Bidayah Al-Hidayah. Dalam bidang tarikh, diantaranya kitab Al-Ibriz Ad-Dani (emas yang dekat), Bugyah Al-Awam (kezaliman orang awam), dan Fathu As-Samad (kunci untuk mencapai yang Maha Pemberi). Dalam bidang bahasa dan kesustraan, diantara Fathu Gafir Al-Khatiyyah (kunci untuk mencapai pengampunan kesalahan).

Beberapa keistimewaan dari karya-karyanya telah ditemukan oleh peneliti, diantaranya kemampuan untuk menghidupkan isi karangan sehingga dapat dijiwai oleh pembaca, pemakaian bahasa yang mudah dipahami sehingga mampu menjelaskan istilah-istilah yang sulit dan keluasan isi karangannya. Buku-buku karangannya juga banyak digunakan di Timur Tengah (Aziz, 1994:23-25).


(31)

BAB III

DISKRIPSI PEMIKIRAN SYAIKH MUHAMMAD NAWAWI DALAM KITAB ‘UQUDULLIJAIN

A. Sekilas Tentang Kitab ‘Uqudullijain

Kitab „Uqudullijain merupakan salah satu karangan Syaikh Nawawi

dari beberapa kitab yang dikarangnya. Kitab „Uqudullijain ini sudah

sangat terkenal, khususnya di kalangan pesantren salafi yang akrab dengan sebutan kitab kuning atau kitab gundulan. Kitab ini merupakan kitab yang diajarkan di pondok pesantren salafi. Syaikh Muhammad adalah salah satu tokoh ulama besar yang ada di Indonesia yaitu di daerah Banten. Beliau salah seorang warga negara yang bermukim di Arab.

Kitab „Uqudullijain ini ditulis tahun 1294 H. Dalam kitabnya, Beliau mengatakan bahwa kitab kecil ini penting bagi seseorang yang

menginginkan kelurga yang sakinah berdasarkan Al-Qur‟an, hadits, dan

sejarah para tokoh terdahulu dan juga pendapat-pendapat pribadi yang terperinci dalam empat bahasan, yaitu:

1. Hak Istri Atas Suami

Dalam pembahasan ini terdapat tinjauan penting antara lain adalah perlakuan baik oleh suami terhadap istri baik mengenai masalah ibadah wajib maupun sunah. Namun apabila dalam tatacara beribadah

tersebut belum tahu, maka suami harus mengajarkannya kepada istri. Suami harus mengajarkan tentang pentingnya ketaatan istri terhadap perintah suami selagi perintah itu tidak berbau maksiat.

2. Hak Suami Atas Istri

Pembahahasan ini terkait dalam masalah ketaatan istri kepada suami di luar kemaksiatan,penyerahan diri istri terhadap suami, perlakuan baik istri terhadap suami, menjaga diri dari perbuatan mesum. Pembahasan mengenai menutup aurat, kewajaran permintaan, dan berpenampilan bersih atau suci serta kejujuran mengenai haid maupun ketiadaanya.


(32)

Pembahasan ini mengenai seorang wanita, termasuk di dalamnya membahas tentang shalat wanita di kamar, di luar rumah, dan di masjid beserta nabi Muhammad Saw. Disamping itu juga menyinggung hal-hal pengaruh setan terhadap wanita, dan anjuran nabi Muhammad Saw terkait dengan masalah pengaruh setan. Selain itu juga menyinggung tentang peringatan nabi Muhammad Saw terhadap wanita, pandanganhukum terhadap tindakan wanita dan hal-hal yang sangat berguna bagi wanita.

4. Larangan Bagi Laki-Laki Melihat Wanita Lain Dan Sabaliknya.

Dalam pembahasan ini, pembahasan diarahkan pada laki-laki dan wanita terutama menyangkut hal-hal yang diharamkan, seperti laki-laki melihat wanita yang bukan muhrimnya atau sebaliknya. Demikian pula halnya laki-laki yang sudah beristri atau sebaliknya. Di luar itu terdapat hal-hal seperti analogi hukum bagi remaja sehubungan larangan di atas, dan masalah berjabat tangan, berdua di tempat yang sepi serta masalah-masalah lain yang tidak dibenarkan dalam agama (Busthomi, 2000: 8-9).

B. Hak-Hak Istri Terhadap Suami

Ada beberapa pokok pembahasan yang penulis sajikan berbagai macam etika dalam membina rumah tangga menurut syaikh Muhammad

Nawawi dalam salah satu karyanya yaitu kitab „Uqudullijain. Syaikh

Nawawi menjabarkan tugas-tugas seorang suami yang wajib dilakukan terhadap seorang istri demi mewujudkan keluarga yang harmonis serta penuh kasih sayang dan cinta antara lain yaitu:

1. Perlakuan Baik Terhadap Istri

Syaikh Nawawi mengatakan dalam kitabnya menjelaskan bahwa hendaknya seorang suami mempergauli seorang istri dengan baik

sesuai firman Allah SWT dalam QS. An-Nisa‟:19:






































(33)















































Atinya: “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu

mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyatadan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal

Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”

Dalam QS.al-Baqarah: 228, Allah Swt juga berfirman:











Artinya: “Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami,

mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya.”

Yang dimaksud kata patut dalam ayat di atas yaitu pertama bijaksana. Maksudnya bahwa laki-laki harus bijaksana dalam mengatur

waktu untuk istri.Demikian pula dalam hal menafkahi istri merupakan

bagian dari hak istri. Hal lain yang terkait dengan masalah kepatutan disini adalah kehalusan dalam berbicara (Busthomi,2000: 11-12).

Ayat di atas memberikan penjelasan bahwa wanita tetap mendapatkan hak-haknya meskipun suami dalam keadaan marah kepada istri. Ayat tersebut juga merangkan agar suami koreksi diri atas perlakuannya terhadap istri. Apakah perlakuannya terhadap istri tersebut disebabkan ketidak senangan, dan barangkali di dalam diri


(34)

istrinya terdapat kebaikan yang tidak dapat diketahui oleh dirinya

karena keterbatasan kemampuan yang dimilikinya. Al-Qur‟an

menganjurkan kepada suami agar tetap mempergauli istrinya dengan cara yang layak meskipun tidaksenang padanya.

Mengenai masalah kesimbangan antara hak dan kewajiban wanita, firman Allah SWT yang kedua itu menunjukkan bahwa laki-laki dan wanita mempunyai hak yang sama dalam menuntut kewajiban terhadap yang lain sebagai suami istri, bukan masalah kelamin. Dalam

hubungan ini, hak mereka berbeda. Karena laki-laki berhak untuk

berpoligami. Adapun yang dimaksud dengan cara yang ma‟ruf ialah cara yang baik menurut pandangan agama, seperti bersopan santun, tidak melakukan hal-hal yang dapat melukai perasaan, baik bagi suami maupun istri. Bahkan sampai pada batas berdandan. Sebab, hal itu merupakan suatu cara yang ma‟ruf (Busthomi, 2000: 11).

Islam telah menetapkan ketentuan yang seimbang antara hak dan kewajiban, bukan hanya dalam rumah tangga, tetapi dalam setiap permasalahan dan ketentuan yang ada. Hanya dalam Islamlah yang mampu mengatur hukum yang bekenaan dengan umatnya pada penempatan masalah secara adil dan proposional, tidak ditambah atau dikurangi. Karena, setiap hamba mempunyai hak dan kewajiban yang sama.

Suami tidak sekedar mengurusi istrinya agar tidak berbuat kejelekan atau menghargai pendapatnya dan mempergaulinya dengan cara yang baik atau mengambil tindakan yang perlu untuk member peringatan kepada istrinya. Seperti: memisahkan tempat tidur, melimpahkan penyelesaian perselisihan dengan pengangkatan penegak yang adil, dan seimbang apabila ia tidak dapat menyelesaikannya secara intern. Suami juga dianjurkan dalam hadits yang suci untuk berusaha dengan segala dengan kemampuannya demi memuaskan istrinya, seperti halnya dirinya menginginkan agar istrinya berusaha dengan kemampuanya memuaskan suaminya.

Selain itu, ada hal lain yang perlu disebutkan disini, yaitu maksud ayat yang menyatakan bahwa laki-laki, yakni suami mempunyai tingkat kelebihan dari pada istri. Hal ini terkait dengan hak suami yang diperolehnya atas tanggung jawab terhadap istri itu sendiri

dalam memberikan maskawin atau nafkah bagi istri.Dalam hubungan

ini, suami berhak memperoleh ketaatan istri. Dengan demikian, maka istri wajib taat kepada suami sehubungan dengan tanggung jawabnya


(35)

dalam mewujudkan dan memelihara kemasalahatan istri, disamping di dalam kesejahteraan hidupnya ditanggung suami (Busthomi, 2000: 12).

2. Bersikap lembut terhadap istri

Syaikh Nawawi menjelaskan tentang isi dalam hadits di atas Nabi Muhammad SAW bermaksud memberikan perhatian kepada kaum muslimin agar mendengarkan apa yang diwasiatkan kepada mereka dan selanjutkan melaksanakan wasiat itu. Dalam hal ini beliau menganjurkan agar kaum muslimin berhati lembut terhadap istri serta menunjukkan perilaku yang baik dalam bergaul dengan mereka. Itulah yang dimaksud dengan melakukan hal yang terbaik bagi wanita. Sebab, wasiat Nabi Muhammad SAWdalam hadits diatas sudah barang tentu muncul karena faktor lemahnya wanita, termasuk di dalamnya kebutuhan wanita itu sendiri terhadap keluhuran budi suami sebagai seorang yang menyediakan hal-hal yang menjadi keperluan mereka (Busthomi, 2000: 13-14).

Rasullah yang mulia telah mempergauli istri-istrinya dengan baik.Secara sukarela, beliau membantu mereka menyelesaikan

pekerjaan dan kewajiban mereka sehari-hari. „Aisyah mengatakan : “

Rasulullah dahulu sering membantu pekerjaan keluarganya. Beliau keluar hanya untuk shalat, jika waktu shalat telah datang“ (Mahmud, 1991: 144).

Disampinng mempergauli istri dengan baik, suami juga wajib menjaga martabat dan kehormatan istrinya, mencegah istrinya jangan sampai hina, jangan sampai istrinya berkata jelek. Inilah kecemberuan yang disukai Allah SWT. Bersabda:

Artinya: “Allah cemburu dan manusia cemburu, kecemburuan

Allah adalah apabila ada hamba-Nya yang melanggar larangan-Nya.”

(HR. Bukhori,t.t juz. 3: 264) (Sa‟id, 2002: 163).


(36)

Mengenai kewajiban seorang suami dalam memenuhi hak berupa materi terhadap istri telah diatur dalam Islam, yaitu suami memberi nafkah kepada istri, sebagai ganti ketidak bebasan istri karenanya, ketaatan padanya, mengurus urusan rumah tangga dan suaminya. Setiap mereka mempunyai hak dan kewajiban. Seperti firman Allah SWT pada QS.Al- Baqarah :228:











Artinya: “Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan

kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami,

mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya.”

Perlu disebutkan di sini suatu riwayat lain yang berkaitan dengan apa yang yang dinyatakan Nabi Muhammad SAW dalam hadits di atas. Dalam riwayat itu beliau menyatakan hal-hal mengenai hak-hak

istri memperolehpelajaran dari suami tatkala melakukan nusyuz.

Dalam hungan ini beliau bersabda:

Artinya: “Hak wanita atas suaminya ialah bahwa suami memeberikan konsumsi pangan kepada istri apabila mengkonsumsi bahan pangan. Disamping itu, memberikan sandang kepadanya apabila dia berpakain.Dan janganlah suami itu memukul bagian wajah istri,

mengumpatnya serta menghindarinya kacuali di dalam rumah.”(HR.

Abu Dawud, t.t, juz. 2: 244-245).

Salah satu hak yang wajib dipenuhi oleh suami terhadap istrinya adalah bertanggung jawab sepenuhnya untuk memberikan nafkahnya.

Hal ini telah ditetapkan oleh Al-Qur‟an, hadits, dan ijma‟. Nafkah ini

bermacam-macam sesuai kebutuhan wanita: bisa berupa makanan, tempat tinggal, pelayanan (perhatian), pengobatan, dan pakaian meskipun wanita itu kaya (Hamid, 1996: 128).

Istri berhak minta nafkahnya kepada sang suami, jika sang suami akan bepergian jauh. Hal yang menggugurkan hak nafkah istri adalah

menggugurkan hak nafkah wanita dalam iddah raj‟iyah, misalnya


(37)

Nusyuz adalah sikap istri yang durhaka serta angkuh atas perintah Allah SWT agar mentaati suaminya.Ada pula yang berpendapat bahwa

nusyuz itu saling membenci antara suami istri (Sufyan, 2007: 6).

Nusyuz terjadi dengan istri menolak suami melakukan tamattu‟

walaupun dalam bentuk semacam memegang atau pada anggota tubuh yang dipilih suami (As‟ad, 1979: 6).

Dalam kasus tertentu, yaitu ketika istri melakukan nusyuz, suami

boleh memukul pada bagian badan di luar wajah istri. Sebab, hal ini merupakan hak istri itu sendiri manakala ia melakukan kesalahan. Dan itu telah dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW kendati pun harus dilakukan setelah upaya “menghindar”. Hal lain yang harus diperhatikan suami ialah bahwa istri tidak berhak mendapat penghinaan dari suami. Sebab, Nabi Muhammad SAW dengan tegas melarangnya mengumpat istri, yaitu dengan melontarkan kata-kata yang tidak disukainya, seperti mengatakan “dasar wanita jelek”.

Kemudian masalah “menghindar” seperti yang telah dimaklumi, Nabi Muhammad SAW melarang suami menghindar dari istri kecuali di dalam rumah , yakni di tempat peraduan. Inilah ketentuan yang

boleh dilakukan oleh suami manakala istri melakukan nusyuz. Adapun

hal lain di luar itu, seperti menghindar dalam konteks komunikasi secara lisan, tidak disyaratkan di dalam hadits. Dengan demikian, suami tidak boleh membungkam atau membisu dalam kasus ini.Apabila hal itu dilakukan, berarti suami telah berbuat dosa, karena tindakan itu haram, kecuali karena uzur (Busthomi, 2000: 16).

4. Pendidikan terhadap Istri

Sebagai seorang suami, laki-laki wajib memperhatikan ajaran-ajaran yang terkait dengan segala sesuatu yang harus dilakukan terhadap istrinya.Sebab, Nabi Muhammad SAW memberikan peringatan serius mengenai kewajiban dalam merealisasikan hak-hak wanita yang diperistikannya (Busthomi, 2000: 17).

Dalam hadis lain Nabi Muhammad SAW memberikan petunjuk yang harus dilakukan oleh seorang laki-laki dalam memberikan segala


(38)

sesuatu yang merupakan hak-hak seorang istri. Hal ini tercermin dalam suatu hadis yang menyatakan :

Artinya: “Rasulullah SAW. Bersabda: “Sesungguhnya orang-orang

mukmin yang paling sempurna imannya adalah mereka yang paling

baik akhlaknya dan paling lembut sikapnya kepada keluarganya.”

(HR. Turmudzi, 1384, juz. 2: 315).

Akhlak dalam hadis tersebut adalah budi pekerti yang luhur. Semua itu tentunya dimaksudkan sebagai realisasi dari kewajiban suami dalam mengejawantahkan hak-hak istri kendatipun hal ini merupakan konsep yang lebih khusus. Dengan demikian, walaupun kata “keluarga” di sini memberikan pengertian yang luas karena melibatkan banyak unsur termasuk di dalamnya anak-anak, suami, dan kerabat dekatnya, istri sudah barang tentu mendapatkan prioritas khusus. Sebab, dialah yang berfungsi sebagai pendukung utama bagi terciptanya sebuah keluarga. Oleh sebab itu, kondisi etik yang positif sebagaimana telah disinyalir di dalam hadist tadi perlu mendapatkan penekanan khusus dalam pembicaraan mengenai kewajiban suami untuk mewujudkan hak-hak istri sehubungan dengan fungsi itu sendiri seperti tersebut di atas.

Dalam hadits lain Nabi Muhammad cukup tegas dalam menganjurkan kewajiban etik seorang suami terhadap istri:


(39)

Artinya: “orang yang terbaik di antara kamu sekalian adalah mereka

yang paling baik terhadap istri, dan aku sendiri lebih baik dari pada kamu sekalian atas (kebaikanku) terhadap istriku.” (HR. Tirmidzi, 1384, juz. 2: 45).

5. Sabar terhadap Istri

Dalam hal ini Syaikh Nawawi menjelaskan dalam menerapkan norma-norma akhlak di dalam kehidupan rumah tangga, seorang suami harus memiliki pedoman moral yang strategis. Untuk itu, Nabi Muhammad SAW.memberikan petunjuk agar seorang suami bersabar hati dalam menghadapi cobaan istri. Dengan demikian, suami dapat melaksanakan kewajibannya secara baik sesuai dengan ajaran agama untuk memahami cobaan dari istri (Busthomi, 2000: 19).

Hendaklah engkau selalu sabar, karena sabar adalah sendi dasar yang harus kau miliki selama kamu hidup di dunia ini. Ia pun termasuk akhlak yang mulia dan keutamaan-keutamaan yang agung. Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah: 153 :























Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat

sebagai penolongmu, Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang

sabar” (Munawwir, 2007: 203).


(40)

Syaikh Nawawi menjelaskan tentang beberapa hal yang dimana suami diperbolehkan memukul istri:

a. Suami boleh memukul istri karena suami menghendaki istri berhias

dan bersolek, sedangkan istri tidak mengindahkan kehendak suami itu. Juga karena istri menolak ajakan ke tempat tidur.

b. Suami boleh memukul istri karena keluar dari rumah tanpa izin,

memukul anaknya menangis, menyobek-nyobek pakain suami, atau karena memegang jenggot suami seraya berkata, “Hai keledai, hai goblok,” sekalipun suami memaki istri terlebih dahulu.

c. Suami boleh memukul istri karena membuka mukanya dengan

lelaki bukan muhrimnya, berincang-bincang dengan lelaki lain, bicara dengan suami agar orang lain mendengar suaranya, memberikan sesuatu dari rumah istri yang tidak wajar diberikan, atau karena tidak mandi haid.

Dalam hal ini memukul istri karena meninggalkan shalat ada dua pendapat. Yang lebih baik, sebaiknya suami memukul istri karena meninggalkan shalat, jika tidak mau melaksanakan shalat karena diperintah (Busthomi, 2000: 24-25).

7. Pesan-Pesan terhadap Seorang Laki-laki

Ketahuilah, sebaiknya suami itu melakukan hal-hal berikut kepada istri:

a. Memberikan wasiat, memerintahkan, mengingatkan, dan


(41)

b. Hendaknya suami memberikan nafkah istrinya sesuai kemampuannya, usaha dan kekuatannya.

c. Suami hendaknya dapat menahan diri, tidak mudah marah apabila

istri menyakiti hatinya.

d. Suami hendaknya menundukkan dan menyenankan hati istri

dengan menuruti kehendaknya dengan kebaikan. Sebab, umumnya wanita itu kurang sempurna akal dan agamanya.

e. Suami hendaknya menyuruh istrinya melakukan perbuatan yang

baik.

Syeikh Ramli mengatakan dalam kitab Umdatur Rabih, “Suami

tidak boleh memukul istri karena meninggalkan salat maksudnya

cukup memerintahkan salat.”

f. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikh „Athiyah‟, “Suami hendaknya

mengajar istrinya apa yang menjadi kebutuhan agamanya, dari hukum-hukum bersuci seperti mandi haid, janabat, wudlu dan tayammum.”

g. Suami harus mengajar berbagai macam ibadah kepada istri. Baik

ibadah fardlu maupun sunat, seperti salat, zakat, puasa dan haji. Jika suaminya dapat mengajar sendiri, maka istri tidak boleh keluar rumah untuk bertanya kepada orang-orang alim atau ulama atau pergi ke tempat majlis ta‟lim atau pengajian kecuali izin suaminya. Jika suami tidak dapat mengajar sendiri karena kebodohannya maka sebagai gantinya dialah yang harus bertanya kepada ulama,


(42)

lalu menerangkan jawabannya kepada sang istri. Jika suami tidak mampu keluar maka istri boleh keluar untuk bertanya, bahkan wajib keluar, dan suami berdosa melarangnya. Allah SWT. berfirman dalam Q.S. At-Tahrim: 6:









































Artinya :“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan

keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah mansuai dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya

kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”

h. Suami hendaknya mengajar budi pekerti yang baik kepada

keluarganya. Sebab, manusia yang sangat berat siksanya pada hari kiamat adalah orang di mana keluarganya bodoh-bodoh dalam agama Islam.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar r.a. dari Nabi Muhammad SAW. Beliau bersabda:


(43)

Artinya:“Setiap kamu adalah pemimpin dan akan dipertanggung

jawabkan atas kepemimpinannya. Seorang suami menjadi pemimpin keluarganya dan dipertangungjawabkan kepemimpinannya.Seorang istri menjadi pemimpin di rumah suaminya dan dipertanggung jawabkan atas kepemimpinannya.Seorang pelayan adalah pemimpin harta tuannya dan dipertanggung jawabkan dari kepemimpinannya. Seorang anak menjadi pemimpin harta orang tuanya dan dipertanggungjawabkan dari kepemimpinannya. Maka setiap kamu adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya.”

(HR. Bukhori, t.t, juz. 2: 257).

8. Tanggung Jawab Seorang Pemimpin

Syaikh Nawawi menerangkan dalam kitabnya mengenai tanggungjawab sebagai seorang pemimpin bahwa Penguasa agung atau penggantinya adalah orang yang memimpin dan menjaga serta menguasai rakyatnya. Ia akan diminta tanggung jawab dalam memimpin rakyatnya, atuakah sudah menjaga hak-hak rakyatnya atau belum (Busthomi, 2000 : 28).

Apabila kaum laki-laki mengabaikan apa yang telah menjadi tugas dan kewajibannya, sedang kaum wanitanya telah melampaui batas kodratnya atau justru tidak melakukan tanggungjawabnya, maka keharmonisan dalam rumah tangga menjadi berantakan (Said, 1421: 277).

Seorang suami menjadi pemimpin keluarga, istri dan anak-anaknya. Ia akan dimintai tanggung jawab atas keluarganya, apakah


(44)

sudah memenuhi hak-hak mereka atau belum, seperti memberi pakaian, memelihara, mengasuh, mendidik, dan yang lain seperti bergaul dengan baik kepada mereka atau tidak. Seorang istri menjadi pemimpin di rumah suaminya. Ia harus dapat mengatur penghidupan dengan baik, harus bersikap baik terhadap suami, serta memelihara harta suami dan anak-anaknya. Istri juga akan dimintai pertanggungan jawab atas kepemimpinannya, apakah sudah melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya atau belum (Busthomi, 2000: 28-29).

Istri juga harus mengatur pengeluarannya selama masih dalam batas ketaatan kepada suaminya. Istri tidak diperkenankan membelanjakan ssesuatu atau memberi seseorang dari harta suaminya kecuali dengan izin suaminya dan yakin bahwa ia rela untuk urusan itu (Mahmud, 1991 : 151).

Seorang pelayan harus menjaga harta tuannya dan menata apa yang menjadi kebaikannya. Pelayan juga akan dimintai tanggung jawabnya atas apa yang dikuasainya, apakah ia telah memenuhi kewajibannya atau belum. Seorang anak harus menjaga harta ayahnya dan mengaturnya dengan baik. Anak juga dimintai pertanggungan jawab atas apa yang dikuasainya, apakah sudah memenuhi atau belum. Jadi, setiap kamu adalah pemimpin, dan akan dipertanggungjawabkan

kepemimpinannya. “Fa” dari kata “Fakullukun” menjadi jawab syarat

yang terbuang.Kata itu bersifat umum.Ia dapat memasukkan seseorang yang hidup sendirian, belum beristri dan tidak punya pelayan. Sebab,


(45)

orang seperti ini dapat dikategorikan sebagai pemimpin.Maksudnya, orang yang menjaga anggota tubuhnya sehingga mau melakukan kewajiban yang diperintahkan dan menjauhi segala larangan.

Sementara itu, ulama mengatakan bahwa orang yang pertama kali mengganduli seorang lelaki di hari kiamat adalah keluarga dan

anak-anaknya, mereka seraya berkata, “wahai Tuhan kami! Ambillah

hak kami pada orang ini, karena ia tidak mengajarkan urusan agama kepada kami. Dan memberi makan kami dari yang haram, sedangkan kami tidak tahu.” Orang itu lalu dipukul, kemudian dibawa ke neraka.

Demikianlah sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Jawahir karya

Imam Abu Laits As-Samarqandi (Busthomi, 2000:29-31).

C. Hak Suami Istri

1. Kepemimpinan Laki-laki

Syaikh Nawawi mendasarkan dalam hal ini sesuai firman Allah Ta‟ala

dalam QS. An-Nisa‟: 34:






































































(46)























Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh

karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (lakk-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka, sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka), wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.Sesungguhnya Allah Maha

Tinggi lagi Maha besar.”

Hukum Allah telah menetapkan, bahwa dalam setiap bentuk makhluk yang diciptakan Allah, pasti ada yang memimpin dan ada yang dipimpin.Ada yang mengatur dan ada yang diatur. Hal itu agar pemikiran-pemikiran tidak tumpang tindih dan keinginan-keinginan tidak bersimpang siur, yang mengakibatkan keretakan kerukunan, putus tali kasih sayang, pudar persatuan dan perselisihan (Fadlil, 1421 : 149).

Kaum laki-laki sebagai pemimpin bagi kaum wanita maksudnya bahwa kaum laki-laki harus menguasai dan mengurus keperluan istri termasuk mendidik budi pekerti mereka.Allah melebihkan kaum laki-laki atas kaum wanita karena laki-laki-laki-laki (suami) memberikan harta kepada kaum wanita (istri) dalam pernikahan, seperti maskawin dan nafkah.


(47)

Di antara sebab utama mengapa laki-laki diserahi tanggung jawab sebagai pemimpin adalah karena kekuatan fisiknya, kemampuan melindungi dari serangan musuh, dan mampu mencari nafkah, tanggung jawab mencari nafkah untuk memenuhi segala apa yang dibutuhkan oleh istrinya, anak-anaknya, dan segenap keluarganya (Hamid, 1996 : 160).

2. Ketaatan Istri terhadap Suami

Selanjutnya wanita-wanita yang saleh dalam ayat tersebut adalah wanita-wanita yang taat kepada Allah dan suaminya.Wanita-wanita itu memelihara hak suaminya, menjaga farjinya, serta memelihara rahasia dan

barang-barang suaminya, karena Allah telah memelihara

mereka.Maksudnya, Allah menjaga dan memberikan pertolongan kepada wanita-wanita. Atau, Allah telah berpesan dan melarang wanita-wanita agar tidak berselisih (Busthomi, 2000 : 34-35).

Hak pertama atas suami atas isterinya adalah ketaatan. Allah telah mempercayakan kepemimpinan keluarga kepadanya, dan semua anggota keluarganya wajib menaatinya, sehingga ia dapat melaksanakan tugas kepemimpinan itu dengan mudah dan gampang tanpa menemui hambatan (Mahmud, 1991 : 148).

Seorang istri wajib taat kepada seorang suaminya, begitu juga tinggal di rumah suaminya, mengelola dan mengatur rumahnya serta menjaga dan

mendidik anak-anaknya.Nabi bersabda “Seorang suami adalah pemimpin


(48)

dipimpinnya.Sedangkan seorang istri juga pemimpin di rumah suaminya,

dan ia harus bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya.”(Hamid,

1996: 135).

Wanita-wanita yang kamu khawatiri musyuznya, maka nasehatilah

mereka. Maksudnya, wanita-wanita yang kamu sangka meninggalkan kewajiban bersuami istri, seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya dan menentang kamu dengan sombong, nasehatilah mereka dengan menakut-nakuti akan siksaan Allah. Memberikan nasehat di sini hukumnya sunah. Seperti seorang suami berkata kepada istrinya, “Takutlah kamu kepada Allah atas hak yang wajib kamu penuhi kepadaku, dan takutlah kamu akan siksaan Allah.”

Suami juga hendaknya menjelaskan kepada istri bahwa perbuatan

nusyuz itu dapat menggugurkan nafkah dan giliran. Nasehat itu tidak boleh disertai dengan mendiamkan dan memukul istri. Kalau istri menampakkan uzumnya atau bertobat dan apa yang telah diperbuatnya tanpa uzur, maka suami disunatkan mengingatkan istri tentang hadis Bukhari dan Muslim bahwa Nabi SAW, bersabda:

Artinya: “Jika istri itu bermalam meninggalkan tempat tidur suaminbya,

maka para malaikat mengutuknya hingga pagi.” (HR. Bukhori, t.t, juz. 3:


(49)

Demikian sebagaimana disebutkan di dalam syarah Nihayah‟ala

Ghayah. Maksud “Dan pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka” adalah bahwa para suami diperintahkan meninggal para istri dari tempat tidurnya, bukan mendiamkan bicara dan memukul, sebab memisahkan diri dari tempat tidur itu memberikan dampak yang jelas dalam mendidik para

wanita. Kata “Dan pukullah mereka”, maksudnya adalah bahwa wanita

-wanita yang nusyuz itu boleh dipukul dengan pukulan yang tidak

menyakitkan tubuh. Hal itu dilakukan kalau memang membawa faedah. Jika tidak, maka tidak perlu melakukan pemukulan. Jika akan memukul, tidak boleh sampai memukul muka dan anggota tubuh yang dapat menjadikan kerusakan tubuh. Tetapi memukul yang wajar saja.Bahkan yang lebih baik hendaknya suami memaafkan.Berbeda dengan wali anak kecil, itu lebih baik tidak memaafkan. Sebab, wali yang memukul anaknya yang masih kecil itu justru membawa kemaslahatan untuk mendidik anak. Sedangkan pukulan suami terhadap istri, kemaslahatannya untuk dirinya sendiri. Menurut Imam Rafi‟i, istri itu boleh dipukul kalau berkali-kali

musyuz. Tetapi menurut Imam Nawawi, istri itu boleh dipukul meskipun

tidak berulang kali nusyuzi, jika memang dapat memberikan faedah.

Tafsir ayat ini menurut Nawawi demikian, “Wanita-wanita yang

kalau kamu khawatiri nusyuznya, maka jika mereka ternyata nusyuz,

pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka dan pukullah mereka.”Maka

“Takhaafuuna (yang kamu khawatiri) di sini adalah Ta‟alamuuna (kamu


(50)

terdapat tanda-tanda nusyuzi dengan sebab ucapan. Seprti istri menjawab suaminya dengan perkataan yang kasar setelah bicara yang halus. Atau sebab perbuatan, seperti suami melihat istri berpaling dan cemberut setelah ia menghadapkan muka dengan bermuka manis. Jika hal ini terdapat

tanda-tanda nusyuz, maka suami agar menasehatinya. Jangan

meninggalkan dan jangan memukul (Busthomi, 2000: 35-36).

3. Pahala Laki-laki dan Wanita

Syaikh Nawawi mendasarkan hal ini sesuai firman Allah dalam QS. An-Nisa‟: 32:































Artinya: “Bagi orang laki-laki ada bagian daripada apa yang mereka

usahakan dan bagi para wanita ada bagian dariapa yang mereka

usahakan.”

Maksudnya, bagi para lelaki itu memperoleh pahala dari amal jihad yang dilakukannya, bagi para wanita juga punya hak memperoleh pahala dari apa yang diperbuatnya, yaitu menjaga farjinya, serta taat kepada Allah dan suaminya. Jadi para laki-laki dan wanita, dalam urusan pahala di akhirat memperoleh hak yang sama. Hal itu karena pahala satu kebaikan dilipatkan sepuluh kali, itu berlaku bagi para laki-laki dan perempuan, kelebihan para laki-laki-laki-laki mengalahkan dan menguasai wanita itu hanya di dunia. Demikian menurut Syaikh Sarbini dalam Tafsirnya (Busthomi, 2000: 39-40).


(51)

Sang istri juga mendapatkan pahala seperti pahala seorang laki-laki yang berjihad, dengan cara berlaku baik kepada suami dan membina keluarganya. Suami bisa menjadi sebab datangnya pahala tersebut jika dia meniatkannya (Malik, 2010: 19).

4. Harta Suami

Bahasan selanjutnya, para wanita sebaiknya mengetahui bahwa dirinya seperti sahaya yang dimiliki suami dan tawanan yang lemah tak berdaya dalam kekuasaan suami, maka wanita tidak boleh membelanjakan suami untuk apa saja kecuali dengan izinnya. Bahkan mayoritas ulama mengatakan istri itu mendapatkan izin suami, karena istri itu seperti orang yang tertahan perbelanjaannya karena suami (Busthomi, 2000: 41).

Diantara hak suami dari isterinya adalah penjagaan isteri atas kekayaan suaminya. Ia juga harus mengatur pengeluarannya selama masih dalam batas ketaatan kepada suaminya. Isteri tidak diperkenankan membelanjakan sesuatu atau memberi seseorang dari harta suaminya kecuali dengan izin suaminya dan yakin bahwa ia rela untuk urusan itu (Mahmud, 1991: 151).

5. Istri dan Rasa Malu

Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa istri wajib merasa malu terhadap suami, tidak berani menentang, menundukkan muka dan pandangannya dihadapan suami, taat kepada suami ketika diperintah apa saja kecuali maksiat, diam ketika suami berbicara, menjemput


(52)

kedatangan suami ketika keluar rumah, menampakkan cintanya kepada suami ketika suami mendekatinya, menyenangkan suami ketika akan tidur, mengenakan harum-haruman, membiasakan merawat mulut dari bau yang tidak menyenangkan dengan misik dan harum-haruman, membersihkan pakaian, membiasakan berhias diri dihadapan suami dan tidak boleh berhias bila ditinggal suami (Busthomi, 2000:41).

6. Pemberian kepada Orang Lain

Kitab tersebut juga menyebutkan bahwa istri hendaknya tidak berhianat pada suami ketika suami sedang pergi dari tempat tidurnya, istri tidak boleh menyelewengkan harta suami.

Rasulullah SAW, bersabda :

Artinya :“Istri tidak boleh memberi makan orang lain dari rumah

suaminya tanpa izinnya, kecuali makanan basah-basah yang dikhawatirkan basi. Jika ia memberi makan dari izin suaminya, maka ia memperoleh pahala seperti pahala suaminya, dan jika ia memberi makan tanpa seizin suaminya, maka suaminya mendapat pahala,

sedangkan istri mendapat dosa.”(HR Abu Dawud, t.t., juz. 2:131)

7. Memuliakan Keluarga Suami

Selanjutnya istri hendaknya memuliakan keluarga suami dan famili-familinya sekalipun berupa ucapan yang baik. Istri juga harus memandang pemberian sedikit dari suami sebagai hal yang banyak, menerima perbuatan suami, memandang utama dan bersyukur atas sikap


(53)

suami, dan tidak boleh menolak permintaan sekalipun dipunggung unta (Bustomi, 2000 : 12).

8. Adab Persetubuh

Menurut Syaikh Nawawi seorang suami tidak boleh menyetubuhi istri dihadapan lelaki atau wanita lain. Pada waktu suami ingin

mengumpuli istri disunahkan memulai dengan membaca basmalah, surat

ikhlash, kalimat terakhir dan tahlil serta membaca doa sesuai sabda Nabi Muhammad SAW.

Artinya : “sesungguhnya kalau seorang dari kamu mendatangi istrinya,

hendaklah ia membaca Allahuma jannihnisy, syaithaana wa jannibisy syaithanna maa razaqtanaa (Ya Allah, jauhkanlah diriku dari syaitan dan jauhkanlah setan dari apa yang telah engkau rezekikan kepada kami) maka jika dari keduanya melahirkan anak, setan tidak dapat

berbuat bahaya.” (HR. Muslim, t.t., juz 1:606)

Jika anda telah mendekati organisme, maka bacalah do‟a dalam hati dengan menggerakkan bibir anda :

Artinya: “Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan manusia dari

air, lalu dijadikan manusia itu punya keturunan dan mushaharah dan

Tuhanmu adalah maha Esa.”

Suami istri yang melakukan persetubuhan tidak boleh menghadap kiblat.Jangan bersenggama menghadap kiblat, karena memuliakan


(54)

kiblat.Ketika bersenggama hendaknya menutupi tubuhnya dan tubuh istrinya dengan selimut (Busthomi, 2000: 44).

Beberapa adab bercampur dalam Islam:

1. Suami dilarang membayangkan orang lain ketika bercampur dengan

istrinya, karena hal itu termasuk zina, begitu pula larangan ini berlaku untuk isteri. Para ulama „berpendapat: “Barang siapa mengambil segelas air putih lalu meminumnya dan pada saat yang sama ia membayangkan air putih tersebut adalah khamr, maka air yang ia minum itu haram baginya.”

2. Percampuran itu boleh dilakukan setiap bulan, setiap waktu, atau

setiap hari, atau pada setiap siang dan malam, kecuali waktu haid,

nifas, puasa, dan ihram. Sedangkan mandi jumat adalah sunah

muakkad, meskipun tidak didahului dengan percampuran.

3. Suami dilarang memegang penisnya dengan tangan kanan, dan

dilarang mendatangi isterinya setelah ia bermimpi (bercampur) dengan orang lain, kecuali setelah ia mandi, mencuci penisnya atau berusaha kencing agar air mani bekas mimpinya bersih.

4. Pengantin laki-laki diperkenankan membayar sesuatu kepada

pasanganya sebagai imbalan agar ia melepas bajunya. Ia juga tidak diperkenankan membayar sesuatu agar isterinya mau bercampur dengannya. Sebab itu adalah zina.

5. Sangat dianjurkan kepada pasangan suami–istri untuk menggosok


(1)

F. Relevansi pendapat Syaikh Nawawi dalam kitab ‘Uqudullijain dengan realitas keluarga muslim sekarang di Indonesia.

Setelah kita mengetahui pendidikan keluarga sakinah yang ditawarkan Syaikh Nawawi tertentu kita dapat menyimpulkan bagaimana apabila kita terapkan saat sekarang ini, penelitian ini tidak dimaksudkan sebagai koreksi terhadap pendapat siapapun. Kahadirannya didasari pada pemahaman bahwa setiap pemikiran memiliki kebenaran relatif sesuai dengan realitas konteks zamannya. Kitab „Uqudullijain karya Syaikh Nawawi barang kali mempunyai relevansi secara penuh pada zamannya. Namun seiring dengan perkembangan zamannnya. Namun seiring perkembangan zaman, kebenaran relatif yang memiliki relevansi pada zamannya, harus dilakukan penyesuaian agar tidak ketinggalan zaman dan tetap relevan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.


(2)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah selesainya penelitian dan analisis ini penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut:

1. Pemikiran Syaikh Nawawi yang tertuang dalam kitab „Uqudullijain‟ dikatakan sangat memperhatikan pentingnya mengetahui dan melaksanakan hak-hak suami istri dalam lingkup keluarga. Dengan demikian masing-masing pribadi baik istri maupun suami akan sadar terhadap apa yang sepatutnya dilaksanakan dalam kekeluargaan. Hal ini dapat mengurangi tingkat permasalahan dalam keluarga supaya tidak sampai pada perceraian.

2. Kontek sosial ketika Syaikh Nawawi menulis kitab „Uqudullijain ini dibidang keilmuan islam sangatlah berkembang. Hal terlihat akan macam-macam keilmuan islam waktu itu, seperti tauhid, fikih, hadits, dan tafsir. 3. Bicara masalah relevansi maka suatu karya ilmiah apapun pasti

mempunyai relevansi, kitab „uqudullijain penting untuk diajarkan zaman sekarang karena di dalamnya terdapat aturan-aturan berkeluarga yang penting, seperti mengenalkan akan hak-hak antara suami istri. Hal itu akan dapat mempengaruhi akan apa yang sebaiknya dilakukan oleh


(3)

masing-langsung dirujuk dari dasar Al-Qur‟an, hadits, dan pendapat ulama‟. Penulis yakini bahwa dasar itu sudah cukup jelas antara yang hak dan yang batil. Dengan demikian umat islam dapat kembali pada ajran-ajaran Nabi Muhammad SAW.

B. Saran-Saran

Berdasarkan penelitian ini, ada beberapa saran yang dikemukakan dalam penelitian skripsi ini:

1. Perkembangan pikiran didalam Islam adalah merupakan suatu fenomena wajar. Oleh sebab itu para Ulama intelektual dan cendekiawan Islam perlu untuk membuka cakrawala pemikiran terhadap ide dan gagasan baru dalam upaya untuk mengkaji kembali ajaran-ajaran Islam, sehingga terdapat compabilitas antara Islam dan realitas kehidupan kekinian.

2. Penelitian ini masih tahap awal, sehinga diperlukan usaha lanjutan untuk lebih memperkuat bangunan pemikiran Islam yang baru. Masih banyak aspek penelitian yang diperlukan dalam mengkaji pemikiran tentang wanita Islam. Seperti kajian gender dengan berbagai pendekatan yang mungkin untuk dilakukan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Bukhori, Abi Abdillah Muhammad Bin Ismail. Matan Masykul Al-Bukhori. Asia T.t: Syirkatun-Nur.

Ali, Mukti, dkk. 1988. Ensiklopedi Islam Di Indonesia. Jakarta: Depag RI. Al-Mahalli, Abu Iqbal. 2003. Muslimah Modern. Yogyakarta: Mitra Pustaka. Al-Qosim, Abdul Malik. 2010. Istri Solehah Anugrah Terindah. Solo:

At-Tibyan.

An-Nawawi, Muhammad Bin Umar. Syarh ‟Uqudullijain Fii Bayani Huquqiz

Zaujain, Maktbah Muhammad Bin Ahmad Nabhan. PT. Toha Putra.

An-Nawawi, Muhammad Bin Umar.Terjemah Syarah „Uqudullijain Etika

Berumah Tangga, Terj. Drs. Afif Busthomi Dan Masyhuri Ikhwan.

Jakarta: Pustaka Amani.

Arikunto, Suharsini. 1980. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta: BinaAksara.

As‟ad, Aliy. 1979. Terjemah Fathul Mu‟in. Kudus: Menara Kudus.

At-Tirmidhi, Al-Imam Al-Hafidh Abi Isa Muhammadbin Isa Bin Sauroh. 1384 H.

Sunan At-Tirmidhi. Semarang: Thoha Putra

Depag RI. 1992. Al-Qur‟an Dan Terjemahnya. Semarang: CV Asy-Syifa‟.

Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: BalaiPustaka.

Dharara, Talizidulum. 1980. Research Teory, Metodologi Administrasi. Jakarta: Bina Aksara.

Dhofier, Zamakhsyari. 1989. Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES

Hadi, Sutrisno. 1990. Metodologi Pesearch. Yogyakarta: Andi Offset.

http://www.jualdisurabaya.com/angka-penceraian-di-indonesia-naik-70-apa-sebabnya.html: Angka Perceraian di Indonesia.

Istibsyarah. 2004. Hak-Hak Perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir

Al-Sya‟rofi. PT Mizan Publika.


(5)

Leter, M. 1985. Rumah Tangga Muslim Dan Keluarga Berencana. Padang: IKAPI.

Marimba, Ahmad . 1960. PengantarFilsafat Islam. Bandung: Al-Ma‟afit . Musthofa, Misbah. 1417 H. Terjemah Qurotul „Uyun. Rembang: Al-Balagh. Salim, Agus. 2002. Terjemah Risaltun Nikah. Jakarta: Pustaka Amani.

Soemargo, Soegono. 1983. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Nur Cahyo. Soemargono, Soegiono.1983. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: NurCahya. Sufyan, Ummu. 2007. Senerai Konflik Rumah Tangga. Bandung: Remaja


(6)

CURICULUM VITAE

Nama : Sutoyo

Tempat Lahir : Kab. Semarang Tanggal Lahir : 26 November 1987

Alamat : Ds, jembrak ,Kec.Pabelan, Kab. Semarang

Motto : Selalu berfikir positif, agar mendapat hasil yang positif Pendidikan :

1. SDN 1 Jembrak Pabelan 2. SLTPN 2 Pabelan

3. MAN I Salatiga

4. Jurusan Tarbiyah Program Studi Pendidikan Agama Islam Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Salatiga