Perumusan Masalah Hipotesis Tujuan Penelitian Bacillus thuringiensis Bt

3 anti serangga dan anti kanker, kemudian mengidentifikasi tipe protein yang didapatkan berdasarkan bobot molekulnya. Identifikasi dilakukan dengan SDS- PAGE Sodium Dodecyl Sulfate Polyacrilamid Gel Electroforesis, di mana dari keseluruhan isolat yang diperoleh diharapkan mampu menghasilkan protein toksin sesuai dengan karakteristik bobot molekulnya.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian, maka rumusan masalah yang diajukan adalah sebagai berikut : 1 Apakah isolasi bakteri dari tanah di Kabupaten Tangerang mampu menghasilkan B.thuringiensis ? 2 Bagaimana profil protein toksin hasil isolasi dari isolat lokal B.thuringiensis berdasarkan karakteristik bobot molekulnya ?

1.3. Hipotesis

Isolat lokal B.thuringiensis mampu menghasilkan protein toksin Cry atau Cyt dengan karakteristik bobot molekul yang sama atau berbeda dengan isolat yang telah ditemukan sebelumnya. 4

1.4. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk : 1 Mendapatkan isolat B.thuringiensis dari tanah di Kabupaten Tangerang. 2 Mengetahui tipe dan karakteristik protein toksin yang didapat, dengan berdasarkan bobot molekulnya dan dibandingkan dengan data base dari hasil penelitian sebelumnya.

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian adalah sebagai berikut : 1. Melengkapi informasi mengenai sebaran isolat lokal B.thuringiensis yang ada di wilayah JABODETABEK. 2. Memberikan kontribusi bagi pencarian sumber-sumber baru penghasil bioinsektisida alami yang ramah lingkungan. 3. Studi awal pemanfaatan protein toksin sebagai alternatif pengobatan penyakit kanker. 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bacillus thuringiensis Bt

2.1.1. Klasifikasi

Divisio : Schizophyta Kelas : Schizomycetes Ordo : Eubacteriales Familia : Bacillaceae Genus : Bacillus Spesies : thuringiensis Perbesaran 100 x 10. Gambar 2.1. Bacillus thuringiensis. Herlambang, 2007

2.1.2. Morfologi dan Fisiologi

Bacillus thuringiensis Bt merupakan bakteri gram positif dengan bentuk batang, membentuk spora dengan panjang 3 – 5 m dan lebar 1 – 1,2 m, bergerak aktif motil dengan flagella peritrich di seluruh dinding sel , bersifat fakultatif aerob dan bisa didapatkan di seluruh benua dan kepulauan dari ketinggian 0 sampai 2000 meter di atas permukaan laut dan zona tropis hingga artik. Bakteri ini bisa didapatkan di habitat alam seperti pada tanah, pepohonan, debu penyimpanan biji-bijian serealia, pakan ternak, dan serangga yang mati. Termasuk bakteri mesofil dengan kisaran suhu pertumbuhan 15 – 45 o C, dengan suhu optimum antara 26-37 o C , dan kisaran pH pertumbuhan antara 5,5 sampai 8,5 dengan pH optimum antara 6,5 sampai 7,5. Spora berbentuk oval berwarna 6 hijau kebiruan, berukuran 1,0 – 1,3 m dengan posisi terminal, sedangkan protein kristal berukuran 0,6 sampai 2,0 m bergantung dari tipe-nya masing-masing Zeigler, 1999. Gambar 2.2 . B. thuringiensis isolat 84-HS-1-11, Ket : S = Spora, P = Protein Cry Parasporal Inclusion Mizuki et. al., 2000 . Secara alami B. thuringiensis adalah bakteri entemopatogen dan sampai saat ini telah diidentifikasi sebanyak 70 subspesies atau varietas yang berbeda, yang dibedakan oleh perbedaan serulogi dari antigen flagella-nya, dan menghasilkan lebih dari 300 protein Cry dari 1000 galur dan hanya beberapa galur yang telah dimanfaatkan. Protein Cry merupakan bentuk protoksin yang disintesis oleh B. thuringiensis bersamaan dengan pembentukan spora yang berada di dalam sel sampai sel mengalami lisis sesudah sporulasi sempurna. Spora pada bakteri tersebut merupakan suatu usaha perlindungan diri dari pengaruh lingkungan luar yang buruk, hal ini terjadi karena dinding bakteri yang bersifat impermeabel. Protein Cry yang dihasilkan merupakan bagian dari 25 berat kering bakteri yang terdiri dari suatu molekul glikoprotein dengan massa molekular 30 sampai 240 kDa, mengandung 3,9 glukosa dan 1,8 manosa. Protein Cry 7 tidak larut dalam air ataupun pelarut organik, tetapi larut dalam larutan alkali dan terdenaturasi oleh panas, asam lambung dan enzim protease lambung sehingga terlarut dalam air dan membentuk toksin aktif yang akan tetap aktif meskipun dipanaskan hingga suhu 80˚C selama 20 menit Dini, 2005.

2.1.3. Identifikasi dan Screening

B. thuringiensis dapat diisolasi dari berbagai sumber, antara lain mudah ditemukan di tanah dengan populasi yang cukup tinggi, bagian tumbuhan, kotoran hewan,dan dari serangga yang terinfeksi di lapangan. Ohba dan Aizawa 1979 telah berhasil memperoleh 105 spora bakteri B. thuringiensis untuk 1 gram tanah dan selanjutnya Ohba dan Aizawa 1985 telah berhasil mengisolasi 189 kultur bakteri B. thuringiensis dari 139 sampel tanah di Jepang. Identifikasi B.thuringiensis dapat dilakukan dengan berbagai cara, beberapa diantaranya antara lain metode Aizawa et al. 1975, Metode Johson dan Bishop 1996, dan metode Travera et al, 1987. Pada peneitian ini metode yang digunakan adalah metode Travera. Metode Travera et al. 1987 menggunakan medium T-3 sebagai medium untuk pertumbuhan dan sporulasi B. thuringiensis. Dimana sampel tanah yang akan diidentifikasi terlebih dahulu dihomogenkan dengan buffer fosfat dan dipanaskan dengan suhu 70° C selama 30 menit. Pemanasan dilakukan untuk membunuh sel-sel bakteri atau mikroorganisme yang sedang tumbuh termasuk spora bakteri lain yang sedang tumbuh. Kemudian diratakan di medium T-3 dan diinkubasi dua hari hingga tumbuh koloni dengan morfologi dan warna yang sama 8 dengan B. thuringiensis. Protein Cry terbentuk setelah proses sporulasi pada