Lingkungan dan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Laut Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Secara Terpadu

20 Dalam Rapat Kerja Nasional Proyek MREP Marine Resorce Evaluation and Planning atau Perencanaan dan Evaluasi Sumber Daya Kelautan di Manado, 1 – 3 Agustus 1994, telah ditetapkan bahwa batas ke arah laut suatu wilayah pesisir adalah sesuai dengan batas laut yang terdapat dalam Peta Lingkungan Pantai Indonesia PLPI dengan skala 1 : 50.000 yang telah diterbitkan oleh Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional BAKOSURTANAL. Sedangkan batas ke arah laut adalah mencakup batas administratif seluruh desa pantai sesua dengan ketentuan Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah, Departemen Dalam Negeri yang termasuk ke dalam wilayah Pesisir MREP. Definisi wilayah pesisir seperti di atas memberikan suatu pengertian bahwa ekosistem pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan habitat yang beragam, di darat maupun di laut, serta saling berinteraksi antara habitat tersebut. Selain mempunyai potensi yang besar, wilayah pesisir juga merupakan ekosistem yang paling mudah terkena dampak kegiatan manusia. Umumnya kegiatan pembangunan, secara langsung maupun tidak langsung berdampak merugikan terhadap ekosistem pesisir.

2.2.2 Lingkungan dan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Laut

Dalam suatu wilayah pesisir terdapat satu atau lebih sistem lingkungan ekosistem dan sumber daya pesisir. Ekosistem pesisir dapat bersifat alami ataupun buatan man – made. Ekosistem alami yang terdapat di wilayah pesisir antara lain adalah : terumbu karang coral reefs, hutan mangroves. Padang lamun sea grass, pantai berpasir sandy beach, formasi pes – caprea, formasi 21 baringtonia, estuaria, laguna dan delta. Sedangkan ekosistem buatan antara lain berupa : tambak, sawah pasang surut, kawasan pariwisata, kawasan industri, kawasan agroindustri dan kawasan pemukiman. Sumber daya di wilayah pesisir terdiri dari sumber daya alam yang dapat pulih dan sumber daya alam yang tak dapat pulih, sumber daya yang dapat pulih antara lain, meliputi : sumber daya perikanan plankton, benthos, ikan, moluska, krustasea, mamalia laut, rumput laut seaweed, padang lamun ; hutan mangrove ; dan terumbu karang. Sedangkan sumber daya tak dapat pulih, antara lain, mencakup : minyak dan gas, biji besi, pasir, timah, bauksit dan mineral serta bahan tambang lainnya.

2.2.3 Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Secara Terpadu

Pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terpadu adalah suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumber daya, dan kegiatan pemanfaatan pembangunan secara terpadu integrated guna mencapai pembangunan wilayah pesisir dan laut secara berkelanjutan Dahuri, 2013 : 12. Dalam konteks ini, keterpaduan integration mengandung tiga dimensi : sektoral, bidang ilmu, dan keterkaitan ekologis. Keterpaduan secara sektoral berarti bahwa perlu ada koordinasi tugas, wewenang dan tanggung jawab antar sektor atau instansi pemerintah pada tingkat pemerintah tertentu horizontal integration ; dan antartingkat pemerintahan mulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten, provinsim sampai tingkat pusat vertical integration. 22 Keterpaduan dari sudut pandang keilmuan mensyaratkan bahwa di dalam pengelolaan wilayah pesisir hendaknya dilaksanakan atas dasar pendekatan interdisiplin ilmu interdisciplinary approaches, yang melibatkan bidang ilmu : ekonomi, ekologi, teknik, sosiologi, hukum, dan lainnya yang relevan. Ini wajar karena wilayah pesisir pada dasarnya terdidir dari sistem sosial yang terjalin secara kompleks dan dinamis. Wilayah pesisir dan laut tersusun dari berbagai macam ekosistem mangroves, terumbu karang, pantai berpasir, dan lainnya yang satu sama lain saling terkait. Perubahan atau kerusakan yang menimpa satu ekosistem akan menimpa pula ekosistem lainnya. Selain itu, wilayah pesisir juga dipengaruhi oleh berbagai macam kegiatan manusia maupun proses – proses alamiah yang terdapat di lahan atas upland areas maupun laut lepas oceans. Kondisi empiris semacam ini mensyaratkan bahwa Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu PWPLT harus memperhatikan segenap keterkaitan ekologis ecological linkages tersebut, yang dapat mempengaruhi suatu wilayah pesisir. Berdasarkan karakteristik dan dinamika the nature dari kawasan pesisir dan laut, potensi dan permasalahan pembangunan, dan kebijakan pemerintah untuk sektor kelautan, maka pencapaian pembangunan kawasan pesisir dan lautan secara optimal dan berkelanjutan tampaknya hanya dapat dilakukan melalui pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu PWPLT Dahuri dkk, 2013 : 149. Hal tersebut paling tidak berdasarkan pada empat alasan pokok, yaitu : 23 1. Secara empiris, terdapat keterkaitan ekologis hubungan fungsional, baik antarekosistem di dalam kawasan pesisir maupun antara kawasan pesisir dengan lahan atas dan laut lepas. Dengan demikian, perubahan yang terjadi pada suatu ekosistem pesisir mangrove, misalnya, cepat atau lambat akan mempengaruhi ekosistem lainnya. Begitu pula halnya jika pengelolaan kegiatan pembangunan industri, pertanian, pemukiman, dan lain – lain di lahan atas suatu DAS tidak dilakukan secara arif berwawasan lingkungan, maka dampak negatifnya akan merusak tatanan dan fungsi ekologis kawasan pesisir dan lautan. Fenomena inilah yang kemungkinan besar merupakan faktor penyebab utama bagi kegagalan panen tambak udang yang khir – akhir ini menimpa kawasan Pantai Utara Jawa. Karena, untuk kehidupan dan pertumbuhan udang secara optimal diperlukan kualitas perairan yang bnaik, tidak tercemar seperti Pantai Utara Jawa. 2. Dalam suatu kawasan pesisir Kalianda – Bandar Lampung, misalnya, biasanya terdapat lebih dari dua macam sumber daya alam dan jasa – jasa lingkungan yang dapat dikembangkan untuk kepentingan pembangunan. 3. Dalam suatu kawasan pesisir, pada umumnya terdapat lebih dari satu kelompok masyarakat orang yang memiliki keterampilankeahlian dan kesenangan preference bekerja yang berbeda, sebagai petani, nelayan, petani tambak, petani rumput laut, pendamping pariwisata, industri dan kerajinan rumah tangga, dan sebagainya. Padahal sangat sukar atau hampir 24 tidak mungkin untuk mengubah kesenangan bekerja profesi sekelompok orang yang sudah secara mentradisi menekuni suatu bidang pekerjaan. 4. Baik secara ekologis maupun ekonomis, pemanfaatan suatu kawsan pesisir secara monokultur single use adalah sangat rentan terhadap perubahan internal maupun eksternal yang menjurus pada kegagalan usaha. Contohnya, lagi – lagi pembangunan tambak udang di Pantai Utara Jawa, yang sejak tahun 1982 mengkonversi hampir semuapesisir termasuk mangrove sebagai kawasan lindung menjadi tambak udang. Sehingga, pada saat akhir 1980 – an sampai sekarang terjadi peledakan wabah virus, sebagian besar tambak udang di kawasan ini terserang penyakit yang merugikan. Kemudian, pada tahun 1988 ketika Jepang memberhentikan impor udang Indonesia selama 3 bulan, mengakibatkan harga udang turun secara drastis dari rata – rata Rp. 14.000,00 per kg menjadi Rp. 7.000,00 per kg, sehingga banyak petani tambak yang merugi.

2.2.4 Maksud dan Tujuan Program Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut