BAB 5 PEMBAHASAN
Berkaitan dengan data demografi pasien kanker dengan radioterapi daerah kepala dan leher di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan, sebagian besar subjek
penelitian laki-laki 38 orang 82,6, sedangkan perempuan sebanyak 8 orang 17,4. Secara umum kanker daerah kepala dan leher berkaitan erat dengan faktor
pola kehidupan, faktor pekerjaan dan paparan lingkungan. Laki-laki pada umumnya memiliki kebiasaan merokok, minum alkohol dan memiliki pekerjaan yang sering
terpapar zat yang berbahaya. Zat yang terdapat didalam rokok memiliki sifat kimiawi, racun dan karsiogenik yang dapat memicu terjadinya kanker seperti tar, nitrosamin
dan lain-lain.
30
Pekerjaan di pabrik industri dan bahan kimia juga dapat memicu kanker akibat dari asap, serbuk kayu maupun berkontak langsung dengan zat
karsiogenik hasil produksi. Hal tersebutlah yang dapat memicu terjadinya kanker daerah kepala dan leher selain dari faktor infeksi Epstein-Barr Virus dan faktor
genetik.
15
Namun dalam penelitian ini faktor pemicu kanker daerah kepala dan leher yang terjadi tidak dimasukkan dalam pemeriksaan, sehingga mengapa jumlah laki-
laki yang lebih banyak dalam penelitian ini hanya dapat dijelaskan secara umum saja. Berdasarkan kelompok usia subjek penelitian, kelompok usia 41- 50 tahun
sebanyak 13 orang 28,27 dan kelompok usia 51- 60 tahun sebanyak 15 orang 32,60 mengalami kanker daerah kepala dan leher. Hal ini dikarenakan pada usia
yang lebih muda kelompok usia tersebut memiliki aktifitas yang cukup banyak untuk memenuhi kebutuhan kehidupan dengan bekerja, sehingga pola kehidupan yang tidak
sehat dan paparan lingkungan dapat memacu terjadinya penyakit kanker daerah kepala dan leher seiring dengan bertambahnya usia serta keadaan fisiologis yang
semakin menurun.
3
Setiap hari tubuh manusia bertumbuh kurang lebih 300 sel kanker dan sistem imun berperan dalam membunuh atau bergerak menghancurkan sel-sel
kanker. Ketika sistem imun melemah dan tidak mampu untuk membunuh sel-sel kanker yang muncul, sel-sel kanker akan mengganas dan berkembang dalam tubuh
Universitas Sumatera Utara
serta selanjutnya akan merusak organ-organ tubuh. Bagi orang yang sudah berusia lebih lanjut, mengalami stress dan keletihan kronis, kurang istirahat serta pola makan
yang kurang baik dapat mengganggu keseimbangan sistem imun menjadi lebih melemah dan sel kanker akan berkembang dengan mudah.
31
Berdasarkan jenis kanker daerah kepala dan leher pada penelitian ini, paling banyak pasien yang mengalami penyakit kanker nasofaring yaitu 33 orang 71,73.
Hal ini dikarenakan kanker nasofaring merupakan kanker daerah kepala dan leher yang paling banyak ditemukan di Indonesia akibat kurangnya pengetahuan dan
kesadaran masyarakat akan faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kanker seperti dari infeksi Epstein-Barr Virus, pola kehidupan dengan makanan yang mengandung
bahan pengawet seperti ikan asin, kebiasaan merokok dan minum alkohol. Kurangnya program deteksi dini yang dilakukan secara massal terhadap kanker nasofaring
dengan mendiagnosa kanker pada stadium awal dan mengenali tanda serta gejala awal yang sering terjadi seperti gangguan pada telinga berupa rasa penuh ditelinga,
nyeri, dan kesulitan pendengaran, gangguan pada hidung berupa mimisan yang berulang dan kesulitan dalam mencium bau serta gangguan pusing kepala. Kesadaran
yang kurang untuk melakukan pemeriksaan ke dokter dan menganggap hal tersebut hanya penyakit biasa membuat banyak pasien datang pada stadium yang lebih
lanjut.
3,15,32
Prevalensi kanker nasofaring cukup tinggi di Indonesia yaitu 4,7 per 100.000 penduduk.
3
Pada penelitian ini dari 46 orang subjek penelitian ditemukan 35 orang 76,10 mengalami xerostomia. Hasil penelitian ini lebih tinggi dibandingkan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Braam, dkk hanya 56 pasien yang mengalami xerostomia.
33
Hal ini disebabkan perbedaan alat radioterapi yang digunakan pada perawatan kanker. Perawatan kanker daerah kepala dan leher dengan
radioterapi di RSUP Haji Adam Malik menggunakan alat radioterapi konvensional sedangkan penelitian Braam, dkk menggunakan IMRT Intensity Modulated
Radiation Therapy . Penggunaan IMRT dapat lebih mengurangi efek samping
xerostomia dibandingkan radioterapi konvensional. Sistem kerja yang lebih baik dan canggih pada IMRT membuat titik penargetan radiasi lebih terfokus pada kanker dan
Universitas Sumatera Utara
menghindari jaringan normal disekitarnya dari efek samping.
32
Perlindungan selama pemberian radioterapi dengan menggunakan masker atau topeng khusus yang tidak
adekuat menyebabkan efek samping terjadi pada jaringan disekitar area radiasi seperti xerostomia tidak bisa diminimalkan. Tindakan perawatan yang dilakukan sebelum,
sesudah dan selama radioterapi dapat mengurangi efek samping dari radioterapi. Lebih tingginya angka xerostomia disebabkan kurangnya kesadaran akan pentingnya
menjaga kesehatan rongga mulut dengan rutin melakukan hidrasi yang baik, tindakan oral higiene yang optimal dan melakukan perawatan lain dengan menggunakan saliva
buatan, pemberian agen pembasahan mulut serta obat-obatan seperti pilocarpin dan amifostin
.
2
Penelitian ini memiliki jumlah laki-laki yang mengalami xerostomia lebih banyak yaitu 63,05 dibandingkan perempuan 13,05. Hasil ini tidak bisa
menjelaskan hubungan antara jenis kelamin dengan xerostomia karena jumlah sampel antara laki-laki dan perempuan tidak seimbang, penelitian ini lebih didominasi oleh
laki-laki. Namun pada umumnya xerostomia akibat radioterapi akan lebih banyak terjadi pada perempuan, oleh karena perempuan memiliki kelenjar saliva yang lebih
kecil daripada laki-laki dan perempuan memiliki level estrogen lebih tinggi dibandingkan laki-laki yang dapat mempengaruhi sekresi saliva perempuan lebih
sedikit dibandingkan laki-laki.
1,3
Prevalensi terjadinya xerostomia pada 46 orang pasien kanker dengan radioterapi daerah kepala dan leher berdasarkan kelompok usia paling banyak terjadi
pada usia 41-50 tahun dan 51-60 tahun yaitu 10 orang 21,74. Hasil ini merupakan data demografi saja tidak bisa menjelaskan hubungan antara usia dengan terjadinya
xerostomia karena jumlah sampel pada penelitian ini lebih banyak pada usia 41-50 tahun dan 51-60 tahun. Namun pada pasien radioterapi dengan usia lebih tua akan
lebih banyak yang mengalami xerostomia dibandingkan dengan usia yang lebih muda. Hal ini dapat terjadi akibat seiring dengan meningkatnya usia, terjadi
proses aging. Terjadi perubahan dan kemunduran fungsi kelenjar saliva, dimana kelenjar parenkim hilang yang digantikan oleh jaringan lemak dan penyambung,
lining sel duktus intermediate mengalami atropi. Keadaan ini diperparah dengan
Universitas Sumatera Utara
pemberian radioterapi.
21
Pengaruh radioterapi lebih banyak mengenai sel asini dari kelenjar serous. Diawali dengan radang kelenjar saliva kemudian kerusakan
parenkim, perubahan vaskuler dan edema yang mengakibatkan kerusakan struktur kelenjar yang mengakibatkan saliva berkurang.
7,21
Hasil penelitian yang diperoleh dari pasien kanker di RSUP Haji Adam Malik Medan yang mendapatkan radioterapi daerah kepala dan leher mengalami xerostomia
sebesar 35 orang 76,10 dan menunjukkan pengaruh yang signifikan antara dosis radiasi dengan terjadinya xerostomia. Hal ini sehubungan dengan literatur yang
mengatakan bahwa xerostomia yang diakibatkan oleh radioterapi, jumlah dan keparahan kerusakan jaringan kelenjar salivanya tergantung pada dosis dan lamanya
penyinaran.
21
Pengaruh radiasi yang lebih banyak mengenai sel asini dari kelenjar serous menghasilkan dua jenis tingkat kerusakan sel yaitu apoptosis pada dosis
rendah dan nekrosis pada dosis yang tinggi.
7
Pada dosis radiasi 10 Gray terjadi
radang kelenjar saliva yang menyebabkan reduksi tidak tetap sekresi saliva dimana pengaruh radioterapi lebih banyak mengenai sel asinar dari kelenjar saliva serous
dibandingkan dengan kelenjar saliva mukus. Dosis radiasi 10 - 15 Gy menyebabkan penyusutan parenkim sehingga terjadi pengecilan kelenjar saliva dan penyumbatan
sehingga xerostomia mulai nyata terlihat dan menyebabkan keluhan mulut kering. Dosis 15 - 40 Gy penyumbatan pada kelenjar saliva makin terjadi sehingga terjadi
fibrosis yang mengakibatkan reduksi secara reversibel. Dosis lebih besar dari 40 Gy terjadi kerusakan pada glandula secara ireversibel akibat banyaknya kehilangan sel
asinar yang menyebabkan terjadi xerostomia semipermanen maupun permanen.
21
Universitas Sumatera Utara
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN