BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Agama  Islam  menempatkan  akhlak  dalam  posisi  yang  sangat  penting, karena  akhlak  merupakan  salah  satu  ajaran  pokok  dalam  Islam  selain  aqidah
dan  syariah.  Akhlak  juga  merupakan  ajaran  yang  membina  mental  dan  jiwa manusia  untuk  mencapai  hakekat  kemanusiaan  yang  tinggi.  Untuk
menunjukan  pentingnya  akhlak  bagi  kehidupan  manusia,  Allah  mengutus Nabi Muhammad SAW dan menjadikannya suri tauladan yang baik bagi umat
manusia, sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Qu`an surat al-Ahzab33: 21, berbunyi:
 +,-
. 0 1 2
3 45
6 1789
1 : 6
;1, =?
”Sesungguhnya  telah  ada  pada  diri  Rasulullah  itu  suri  tauladan  yang baik  bagimu  yaitu  bagi  orang  yang  mengharap  rahmat  Allah  dan
kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
1
Berdasarkan  hal  tersebut,  seorang  muslim  mempunyai  kewajiban  untuk membangun  akhlak  yang  baik.  Sebagaimana  akhlak  yang  telah  diwujudkan
oleh para Rasul dan Nabi, serta para Sahabat yang mulia dan para tokoh imam terdahulu.
Dan  dalam  hal  ini  kita  harus  bertumpu pada  sumber-sumber  yang  juga menjadi  tumpuan  para  pendahulu  dan  pemimpin  kita  dalam  membentuk
1
Departemen  Agama  RI,  Al-Qur`an  dan  Terjemahannya,  Bandung:  CV.  Diponegoro, 2006, h. 420.
akhlak. Sumber-sumber itu adalah al-Qur`an dan al-Sunah, dan cukup dengan keduanya.  Hanya  saja  hal  yang  membantu  dalam  pembentukan  akhlak
berdasarkan  al-Qur`an  dan  al-Sunah  adalah  pandangan  Islam  yang  terwujud dalam  akhlak  seorang  yang  telah  mewujudkan  Islam  secara  Amaliyah  yaitu
Rasulullah SAW.
2
Orangtua mempunyai kewajiban dan tanggungjawab untuk mengarahkan dan  membentuk  akhlak  yang  baik  terhadap  anak-anak  mereka.  Sebab  anak
merupakan amanat Allah sebagai generasi penerus keluarga, sehingga mereka harus  dipersiapkan  menjadi  muslim  yang  mampu  menunaikan  tugasnya
sebagai hamba Allah dan khalifah di muka bumi ini. Hati  anak-anak  itu masih suci, bersih, dan belum tergores oleh apapun.
Pada prinsipnya anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, oleh karena itu akhlak seorang anak tergantung pendidikan yang diajarkan orangtuanya. Ia menerima
setiap  goresan,  dan  cenderung  kemana  ia  diarahkan.  Jika  ia  dibiasakan  dan diajari  kebajikan,  maka  ia  akan  berperilaku  dengan  penuh  kebajikan  dan
berbahagia di dunia dan akhirat. Begitupun  sebaliknya, jika ia dibiasakan dan diajari  keburukan,  maka  ia  akan  berperangai  buruk.  Rosulullah  bersabda
dalam  sebuah  haditsnya  yang  diriwayatkan  oleh  Bukhari  dan  Muslim  dari hadits Abu Hurairah, berbunyi:
ﻝ ﻝ
ﻝ ﻝ
ﻥ ﻥ
ﻥ +
2
Umar Sulaiman al-Asyqar, I am a Moslem, Jakarta: Mirqat, 2007, h. 16.
“Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orangtuanyalah yang membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”
3
Oleh  karena  itu,  Ajaran  agama  perlu  ditanamkan  sejak  kecil  kepada anak-anak sehingga mereka selalu menerapkan nilai-nilai agama dalam setiap
langkah hidupnya. Nilai-nilai agama tersebut akan menjadi pengendali dalam menghadapi  segala  keinginan  dan  dorongan-dorongan  yang  timbul  dalam
dirinya sehingga membentuk akhlak. Berdasarkan  hal  tersebut,  jelaslah  bahwa  orangtua  mempunyai  peranan
yang  besar  dalam  tanggung  jawabnya  membina  akhlak  anak-anaknya.  Akan tetapi apabila salah satu dari orang tua mereka atau keduanya meninggal dunia
yang  menjadikannya  yatim  atau  piatu,  hal  itu  dapat  berpengaruh  pada pembentukan  akhlak  anak  tersebut  yang  dampaknya  adalah  kurangnya  kasih
sayang,  motivasi,  bimbingan,  arahan  dan  perhatian  serta  materi  atau  nafkah dari orang tua yang layaknya mereka atau seorang dapatkan.
Menjadi  yatim  adalah  suatu  nasib,  atau  suatu  fakta  yang  tak  mungkin dapat  dihindari,  namun  bersikap  positif  terhadap  anak-anak  yatim  dengan
menyantuni  serta  memperhatikan  nasib  anak  yatim  merupakan  suatu  hal bijaksana yang dapat dilakukan oleh orang-orang disekelilingnya. Anak yatim
mendapat  porsi  perhatian  yang  sangat  besar  dari  Islam.  Islam  sangat menganjurkan  untuk  berbuat  baik  kepada  anak  yatim  dan  melarang  keras
untuk berbuat zhalim kepada mereka.
4
3
Sayyid Ahmad al-Hasyimi, Sejarah Mukhtarul Ahaadits, Hadits-Hadits Pilihan Berikut Penjelasannya,
Bandung: Sinar Baru, 1993, h. 670.
4
M.  Jamaluddin  Mahfuzh,  Psikologi  Anak  dan  Remaja  Muslim
,
Jakarta:  Pustaka  Al- Kautsar, 2001, h.  148.
Pada  umumnya  kematian  salah  seorang  atau  kedua  orangtua  akan memberikan  dampak  tertentu  terhadap  hidup  kejiwaan  seorang  anak,  lebih-
lebih bila anak  itu berusia balita atau menjelang remaja, suatu tahapan usia yang dianggap rawan dalam perkembangan kepribadian. Hal ini sesuai dengan
pernyataan yang dikemukakan oleh Hanna Djumhana Bastaman bahwa: “…kematian  ayah,  ibu  atau  keduanya  dengan  sendirinya  akan
memberi  pengaruh  terhadap  keluarga  secara  keseluruhan  dan  juga terhadap
anak-anak yang
ditinggalkan. Kematian
senantiasa menimbulkan  suasana  murung  depresi  pada  keluarga  dan  anggota-
anggotanya…”
5
Suasana  perasaan  itu  bisa  berlangsung  dalam  jangka  waktu  yang  wajar dan juga bisa bertahan dalam waktu  yang  lama. Makin berlarut-larut suasana
murung dan berkabung itu makin besar pula kemungkinan timbulnya dampak negatif pada keluarga tersebut. Kematian ayah sebagai pelindung dan pencari
nafkah  keluarga,  demikian  pula  kematian  ibu  sebagai  sumber  kasih  sayang, apalagi  kematian  keduanya,  jelas  akan  menimbulkan  guncangan  pada  anak-
anak  yang  ditinggalkan.  Anak-anak  akan  merasa  kehilangan  tokoh  panutan atau  cerminan  nilai-nilai  hidup  yang  menjadi  tauladan,  pengarah,  dan
pembentuk akhlak mereka. Mereka pun akan mengalami frustasi atas beberapa kebutuhan,  menghayati  rasa  tak  aman,  hampa  dan  kehilangan  kasih  sayang
dan  bahkan  pula  akan  merasa  terpencil  dan  terkucil  dari  sanak  saudara  dan masyarakat yang bersikap acuh tak acuh atau bahkan mengejeknya.
5
Hanna  Djumhana  Bastaman,  Integrasi  Psikologi  dengan  Islam,  Yogyakarta:  Pustaka Pelajar, 1997, h. 172.
Dalam kondisi tersebut, perlu dilakukan upaya pembinaan akhlak kepada anak  yatim  melalui  kegiatan  metode  pembinaan  keagamaan  yang  intensif.
Pembinaan  akhlak  itu  sendiri  merupakan  upaya  yang  dilakukan  untuk membangun dan meyempurnakan perangai dari yang tidak baik menjadi baik,
dan  dari  yang  baik  menjadi  lebih  baik.  Salah  satu  upaya  pembinaan  akhlak terhadap  anak  yatim  dapat  dilakukan  melalui  bimbingan  Islam  yang
operasionalnya  dilakukan  melalui  pendidikan  agama.  Karena  pada  dasarnya setiap  manusia  mempunyai  fitrah  yang  sama  sejak  lahir  yaitu  mempunyai
potensi  untuk  menjadi  lebih  baik  ataupun  sebaliknya.  Hanya  saja  untuk mencapainya diperlukan pengarahan  yang lebih intensif, tidak terkecuali bagi
nak  yatim  yang  notabenya  mereka  kehilangan  sosok  pembimbing  yaitu orangtuanya.
Islam  sebagai  suatu  agama  mengajarkan  pemeluknya  agar  peduli terhadap  fenomena  lingkungannya.  Manusia  sendiri  dalam  perspektif  Islam
merupakan makhluk sosial  yang antara  yang satu dengan  yang  lainnya  harus saling tolong-menolong termasuk terhadap anak yatim.
Dalam  menyantuni  anak-anak  yatim  tidak  saja  memenuhi  kebutuhan jasmaniahnya saja, seperti sandang, pangan, perumahan, kesehatan, tetapi juga
memenuhi  kebutuhan-kebutuhan  jiwa  rasa  aman,  harga  diri,  pengembangan bakat,  sosial  dikasihi,  mengasihi,  pergaulan,  dan  keruhanian  agama,
ibadah,  dan  sebagainya,  serta  menyelenggarakan  pendidikan  dan ketrampilan bagi mereka.
6
6
Ibid., h. 173.
Dalam  melakukan  usaha-usaha  ini,  agama  Islam  tidak  hanya menganjurkan kepada perorangan saja, tetapi juga kepada suatu kelembagaan
atau  organisasi.  Pada  saat  ini  organisasi  sosial  kemasyarakatan  yang  dilatar belakangi keagamaan tumbuh menjamur dalam berbagai bentuk, seperti panti
asuhan Yayasan Kesejahteraan Umat Islam YAKIIN Tangerang. Panti asuhan mempunyai banyak aktivitas dan kegiatan dalam membina
yatim  piatu  yang  diasuhnya  dengan  berbagai  bentuknya  berupa  bimbingan. Bimbingan  tersebut  sangat  berhubungan  dengan  prilaku  keagamaan  seperti
sikap  dan  tingkah  laku,  dimana  semua  itu  sangat  berpengaruh  dalam membentuk akhlak anak yatim.
Bertitik  tolak  dari  uraian  tersebut  penulis  merasa  tertarik  untuk
melaksanakan  penelitian  dalam  bentuk  skripsi  dengan  judul:  ”METODE BIMBINGAN ISLAM DALAM PEMBINAAN AKHLAK ANAK YATIM
DI PANTI ASUHAN YAKIIN LARANGAN TANGERANG.”
B.  Pembatasan dan Perumusan Masalah 1.   Pembatasan Masalah