12
BAB II KAJIAN TEORI
A. Deskripsi Teoritik
1. Teater Rakyat Lenong Betawi
Kebudayaan Betawi dapat dikatakan sebagai potret miniatur kebudayaan Indonesia. Percampuran antar suku, proses akulturasi
kebudayaan, penduduk asli Batavia dan daerah-daerah sekitarnya merupakan prototipe bangsa Indonesia dewasa ini. Percampuran antar
suku tersebut, terbentuklah suatu tipe masyrakat baru yang kemudian dikenal sebagai kaum Betawi. Kesenian dari masa ke masa masyarakat
Betawi terus berkembang dengan ciri-ciri budayanya yang makin lama semakin mantap sehingga mudah dibedakan dengan kelompok etnis lain.
Meskipun bila dikaji pada permukaan wajahnya sering tampak unsur- unsur kebudayaan yang menjadi sumber asalnya. Jadi tidaklah mustahil
jika kesenian Betawi itu sering menunjukan persamaan dengan kesenian daerah atau kesenian bangsa lain. Bagi masyarakat Betawi sendiri segala
yang tumbuh dan berkembang di tengah kehidupan seni budayanya dirasakan sebagai miliknya sendiri seutuhnya, tanpa mempermasalahkan
dari mana asal unsur-unsur yang telah membentuk kebudayaannya itu. Demikian pulalah sikap terhadap keseniannya sebagai salah satu
unsur kebudayaan yang paling kuat mengungkapkan ciri-ciri adat istiadat Betawi, terutama pada seni pertunjukannya. Berbeda dengan kesenian
kraton yang merupakan hasil karya para seniman di lingkungan istana dengan penuh pengabdian terhadap seni, kesenian Betawi justru tumbuh
dan berkembang di kalangan rakyat secara spontan dengan segala kesederhanaannya. Oleh karena itu kesenian Betawi dapat digolongkan
sebagai kesenian rakyat. Sebelum mengenal terlalu jauh mengenai teater lenong, penulis akan membahas apa yang dimaksud dengan kesenian
teater.
a. Teater
Teater berasal dari kata Yunani, theatron, yang artinya tempat atau gedung pertunjukan. Dalam perkembangannya, kata
teater memiliki arti yang lebih luas dan diartikan sebagai segala hal yang dipertunjukan di depan orang banyak. Karena luasnya cakupan
arti teater, orang ingin kembali memberi batasan. Dalam batasan yang lebih sempit, teater diartikan sebagai drama, yaitu lakon atau
kisah hidup manusia yang dipertunjukan di atas pentas dan disaksikan orang banyak. Kata drama sendiri sesungguhnya berasal
dari kata Yunanai, dran, yang artinya berbuat, berlaku, atau beraksi. Karena itulah, tindak-tanduk para pemain drama di atas pentas
biasanya disebut akting. Adapun para pemainnya disebut aktor dan khusus pemain wanita dikenal sebagai aktris. Media ungkap yang
utama dalam seni teater memang gerak laku para pemain yang disebut akting. Di samping itu, didukung oleh unsur percakapan
atau dialog. Unsur pendukung lainnya yang bisa ada bisa pula tidak ada adalah dekor, kostum, rias, musik pengiring, nyanyian, dan
tarian.
1
Dengan mempelajari teater, kita bisa bereksplorasi dengan ruang gerak kita secara bebas dan bisa memahami karakter orang
lain dengan cara memerankan karakter yang berbeda dengan diri kita sendiri. Teater merupakan bagian kehidupan masyarakat
Indonesia, dan hampir seluruh kegiatan masyarakat diikuti dengan pertunjukan teater. Teater memiliki banyak fungsi, seperti
pengungkapan sejarah, keindahan, kesenangan, pendidikan, dan hiburan. Untungnya, sampai sekarang masih bisa dijumpai contoh
dari teater daerah di Indonesia yang berkembang dari zaman yang berbeda-beda. Ada kemungkinan bentuk asli teater Indonsia berasal
1
I Made Banden Sal Murgiyanto, Teater Daerah Indonesia, Denpasar, Bali: Kanisius, 1996, h 9
dari zaman pra-Hindu, ketika kebudayaan bangsa Indonesia masih dipelihara dari mulut ke mulut dan disebarkan secara lisan.
Mangidung atau menyanyi adalah salah satu cara untuk menyebarluaskan kebudayaan Indonesia saat itu.
2
Teater rakyat bukan semata-mata merupakan hiburan masyarakat. Dengan mudah masih bisa ditemukan bagaimana teater
memiliki fungsi yang amat penting dalam upacara, seperti Topeng Pajegan di Bali misalnya, dipentaskan siang maupun malam hari,
dikaitkan dengan upacara keagamaan, dan berlangsung antara satu sampai dua jam. Selama itu, penonton tidak menyaksikan
pertunjukan secara
menyeluruh dan
terkonsentrasi, tetapi
melihatnya sepotong-sepotong, serta hanya memusatkan perhatian pada bagian-bagian yang disukai saja. Mereka menonton sambil
mengobrol ataupun menikmati kue. Masyarakat memandang Indonesia Bali dalam contoh ini sudah menyadari bahwa Topeng
Pajegan adalah persembahan ritual. Teater ini dipersembahkan untuk leluhur, dan sepanjang ada minat, orang diperbolehkan
menontonnya. Media peraga seni teater pada umumnya manusia namun
dapat juga benda-benda yang dibentuk dalam wujud tertentu sehingga dapat diragakan dengan cara tertentu. Unsur utama seni
teater adalah manusia itu sendiri, manusia mempunyai kesanggupan untuk berekspresi. Dalam kegiatan berperan di samping harus cakap
di dalam perannya, pemeran juga harus mampu menguasai medan ruang panggung sebagai permainan dan tidak boleh canggung
memanfaatkan setiap
pelososk ruang
dalam membentuk
karakteristik.
2
Ibid., h. 19
Dalam masyarakat Betawi ditemukan tiga golongan teater. Pertama, teater tanpa tutur, seperti pertunjukan ondel-ondel
dan gemblokan. Kedua, teater tutur yang ceritanya dibawakan dengan tutur kata sebagai media utamanya, seperti
sahibulhikayat, buleng, dan rancak. Sedang yang ketiga, teater peran yang ceritanya dilakonkan oleh para pemegang
peran. Dan pemeran yang menggambarkan tokoh-tokoh cerita, bisa manusia, seperti teater topeng atau lenong.
3
Teater lenong sendiri dalam berbagai segi tata pentasnya mengikuti pola opera Barat, dilengkapi dekor dan properti lainnya,
sebagai pengaruh komedi stambul. Lenong adalah teater tradisional rakyat Betawi. Kesenian tradisional ini diiringi musik gambang
kromong. Lakon dan skenario lenong umumnya mengandung pesan moral.
b. Lenong Betawi
Teater lenong merupakan salah satu bentuk teater peran di Betawi yang mulai berkembang di akhir abad ke-19. Sebelumnya
masyarakat Betawi mengenal komedi stambul dan tetaer bangsawan. Komedi stambul dan teater bangsawan dimainkan oleh
bermacam suku bangsa dengan menggunakan bahasa melayu. Orang Betawi meniru perunjukan itu dan hasil pertunjukan mereka
kemudian disebut lenong.
4
Lenong lahir dan berkembang di Betawi Tengah. Menurut Shahab dalam Ragam Seni Budaya Betawi :
Lenong baru muncul sekitar tahun 1930-an. Pada dasarnya dari sudut pandang seni pertunjukan, lenong sangat mirip dengan
wayang dermuluk, wayang senggol, dan wayang sumedar. Perbedaan terbesar terlihat pada tema yang diangkat dalam
3
Muhadjir, dkk., Peta Seni Budaya Betawi, Jakarta: Dinas Kebudayaan DKI Jakarta h.161
4
Yahya Andi Saputra,Profil Seni Budaya Betawi,Jakarta: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta,,hlm.71
pertunjukan. Lenong bukan hanya bercerita tentang bangsawan, namun juga bercerita tentang kisah-kisah rakyat jelata.
5
Lenong merupakan teater rakyat yang mencampurkan berbagai cabang seni lain, yakni musik dan lawakan.
“Pertunjukan biasanya dimulai dengan permainan musik gambang kromong yang
membawakan lagu-lagu khas gambang kromong. Setelah itu, dilanjutkan dengan semacam upacara pembukaan yang disebut spik.
Spik adalah penjelasan lakon yang akan dimainkan dalam pertunjukan
”.
6
Asal mula kehadiran lenong memiliki dua versi. Pertama, Soemantri yang menyebutkan bahwa lenong berasal dari
teater rakyat yang lebih tua, yakni wayang dermuluk, wayang senggol, dan wayang sumedar. Pendapat ini didasarkan pada
sejumlah argument bahwa pementasan lenong sama dan sebangun dengan pementasan ketiga teater tersebut, baik
dalam hal kostum, cerita, dekorasi, maupun musik. Kedua, Halim Nasir dalam seminar penggalian kesenian dan
kebudayaan Betawi menyebutkan bahwa asal-mula teater lenong hanyalah kebetulan dan tidak ada persiapan khusus.
Lenong berasal dari kumpulan para pedagang yang melewatkan malam yang sepi dan membosankan dengan
saling bercerita mengenai pengalaman sehari-hari ataupun kejadian yang sedang booming saat itu. Pesertanya terdiri atas
orang-orang multietnis. Lama-kelamaan cerita tersebut dibawa ke atas pentas agar para pedagang tersebut terhibur
7
. Pada awal tahun 1960-an, keberadaan lenong sebagai sebuah
seni pertunjukan tradisional Betawi nyaris punah. Akan tetapi, tahun 1968 Soemantri menghadirkan modifikasi lenong. Pada tahun 1970-
an. Lenong dibangkitkan kembali oleh tokoh-tokoh lenong, antara lain Djaduk Djajakusuma, Sumantri Sostrosuwondo, dan SM.
Ardan. Grup-grup lenong mulai bangkit kembali dengan binaan
5
Dina Nawangningrum ed., Ragam Seni Budaya Betawi, Jakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya,2012, hlm. 91
6
Muhadjir, dkk., Peta Seni Budaya Betawi, Jakarta: Dinas Kebudayaan DKI Jakarta h.168
7
Ibid., h.90
tokoh-tokoh lenong tersebut. Selain itu, ada pula dukungan dari pemerintah melalui kesempatan yang diberikan Taman Ismail
Marzuki TIM seluas-luasnya untuk mengadakan pementasan lenong. Cerita yang dipilih adalah cerita Nyai Dasima. Hal itu
dimaksudkan agar lenong dapat diterima di ranah Nasional. Di luar TIM sendiri, lenong pada tahun 1960-an dan 1970-an itu
berkembang semakin baik. Selain di TIM, lenong ditanggap juga di TVRI dan radio siaran swasta. Setelah itu banyak pemain atau
seniman lenong menjadi terkenal. Ada yang menjadi bintang film, misalnya, Bu Siti, H. Tile, H. Nasir T, H. Bokir, Nirin, Naserin,
Markum, Anen, dan M. Toha.
8
Pada akhir 1973, hasil evaluasi menunjukan bahwa banyak unsur lenong seperti tari, nyanyian, dan pantun hampir hilang dari
pementasan lenong, terutama di TIM. Hal ini sangat disayangkan mengingat unsur tersebut justru pengikat yang kuat dan merupakan
satu kesatuan. Akhirnya, pada 3-4 Mei 1974 dipersiapkan sebuah pementasan yang berpijak pada bentuk dan cara pementasan lenong
pada periode transisi dari wayang sumedar ke lenong denes. Pada 27 April 1975 dipentaskan modifikasi baru lagi sebagai hasil
evaluasi tersebut. Pementasan yang mengangkat kisah Mat Pelor mendapat sambutan yang luar biasa dari publik. Untuk melengkapi
tuntutan evaluasi tahun 1973, kendala tari, nyanyi, dan pantun disiasati dengan menggandeng kelompok dari Radio Republik
Indonesia Jakarta dan kelompok tari Institut Kesenian Jakarta untuk pementasan lenong. Yulianti Parani yang masuk dalam kelompok
tari bahkan melakukan riset mengenai tari Betawi untuk pementasan lenong. Pakar lain yang dilibatkan adalah Azhar, penyusun lagu.
Hasilnya, pementasan ulang lakon Mat Pelor pada 26 juni 1975
8
Ibid., h. 91
tidak hanya sukses besar, tetapi juga memanggil kembali penonton kalangan menengah ke atas untuk menonton lenong.
9
Jenis lenong terdapat dua jenis yaitu lenong denes dan lenong preman. Untuk lebih jelasnya penulis menunjukan lewat bagan di
bawah ini.
Bagan 2.1 Jenis Lenong Betawi
Sumber: penelusuran penulis berdasarkan hasil penelitian di lapangan dan kajian pustaka
1 Lenong Denes
Lenong denes merupakan kesenian yang berkembang dari kalangan bangsawan. Oleh karena itu, pesebarannya terpusat di
tengah kota. Jenis lenong ini dapat ditemukan di wilayah Cakung, Pekayon, Ceger, dan Babelan. Namun lenong denes kini dianggap
sebagai perkembangan dari beberapa bentuk teater rakyat Betawi yang dewasa ini sudah punah, seperti Wayang Sumedar, Wayang
9
Ibid,. h.92
Teater Lenong Lenong Denes
Berkembang di Ciater
Lenong Preman
Senggol, Wayang Dermuluk. Lenong denes mementaskan cerita- cerita kerajaan seperti Indra Bangsawan, Danur Wulan, dan
sebagainya, yang diambil dari khazanah cerita klasik Seribu Satu Malam. Karena memainkan cerita kerajaan, maka busana yang
dipakai oleh tokoh-tokohnya sangat gemerlapan, seperti halnya raja, bangsawan, pangeran, dan putrid. Maka kata denes dinas melekat
pada cerita dan busana yang dipakai. Maksudnya untuk menyebut orang-orang yang berkedudukan tinggi, orang berpangkat-pangkat
atau orang yang dinas. Bahasa yang digunakan dalam pementasan lenong denes
adalah bahasa melayu tinggi. Contohnya kata-kata yang sering digunakan antara lain: tuanku, baginda, kakanda, adinda, beliau,
daulat tuanku,hamba. Dialog dalam lenong denes sebagian dinyanyikan. Dengan cerita kerajaan dan berbahasa melayu tinggi,
para pemain lenong denes tidak leluasa melakukan humor. Agar pertunjukan bisa lucu, maka ditampilkan tokoh dayang atau khadam
pembantu yang menggunakan bahasa Betawi. Adegan-adegan perkelahian dalam lenong denes tidak menampilkan silat, tetapi
tinju, gulat, dan main anggar pedang. Lenong denes biasa bermain di atas panggung berukuran 5 X
7 meter. Tempat itu dibagi dua: di belakang untuk pemain berhias, ganti pakaian, atau menunggu giliran main. Bagian depan untuk
pentas. Alat musik diletakan di kanan dan kiri pentas, sebagaimana dalam lenong preman. Dekor digunakan untuk menyatakan susunan
adegan, meski kadang-kadang tidak pas sama sekali alias bertabrakan dengan jalan cerita yang sedang berlangsung.
Perkelahian dalam pentas diusahakan dengan gerak yang sungguh- sungguh, ditambah dengan pedang, dan gerakan akrobatik yang
mengesankan. Sebelum pertunjukan berlangsung diadakan acara
ngungkup dengan menyediakan sesajen lengkap dan membakar kemenyan.
10
Tokoh utama yang dikenal mengembangkan lenong adalah Jali Jalut alias Rojali. Di samping itu tokoh yang pernah
mengembangkan lenong denes adalah Rais pimpinan lenong denes di Cakung, Samad Modo di Pekayon, Tohir di Ceger, dan Mis Bulet
di Babelan. Adapun LKB 2012 mendata bahwa yang masih mengembangkan lenong denes adalah Minin pimpinan Grup Baru
di Jakarta Utara, Agus Aseni pimpinan Grup Bang Pitung di Jakarta Barat, Abd. Rachman pimpinan Grup Jayakarta di Jakarta
Barat, Jamaludin pimpinan Grup Naga Putih di Jakarta Selatan, Mamit pimpinan Harapan Jaya di Jakarta Timur, Hj. Tonah
pimpinan Sinar Jaya, Yamin pimpinan Theater Pangkeng, Hj. Norry pimpinan Sinar Norray, dan Burhanudin pimpinan Grup
Jali Putra.
11
2 Lenong Preman
Berbeda dari lenong denes, lenong preman berkembang di kalangan rakyat miskin. Pesebarannya terpusat di pinggiran kota
Jakarta, Kabupaten Bogor, Kabupaten Bekasi, dan Kabupaten Tangerang. Cerita yang dibawakan oleh lenong preman yaitu cerita-
cerita dari kehidupan sehari-hari, yaitu dunia jagoan, tuan tanah, drama rumah tangga, dan sebagainya. lenong preman biasa juga
disebut sebagai lenong jago. Disebut demikian karena cerita yang dibawakan umumnya kisah para jagoan, seperti Si Pitung, Jampang
Jago Betawi, Mirah Dari Marunda, Si Gobang, Pendekar Sambuk Wasiat, dan Sabeni Jago Tenabang. Karena cerita yang dibawakan
10
Yahya Andi Saputra,Profil Seni Budaya Betawi,Jakarta: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta,2009, hlm.73-74
11
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Ragam Seni Budaya Betawi,Jakarta:2012,hlm. 92-93
adalah cerita sehari-hari maka kostum atau pakaian yang digunakan adalah pakaian sehari-hari.
Lenong preman menggunakan bahasa Betawi dalam pementasannya. Dengan menggunankan bahasa Betawi, terjadi
keakraban antara pemain dan penonton. Banyak penonton yang member respon spontan dan pemain menanggapi. Terjadilah
komuniksi yang akrab antara pemain dan penonton. Dialog dalam lakon lenong umumnya bersifat polos dan spontan. Sehingga
menimbulkan kesan kasar, terlalu spontan dan bahkan porno. Beberapa rombongan lenong yang pernah ada dan masih ada
sekarang ini adalah rombongan Gaya Baru yang dipimpn oleh Liem Kim Song alias Bapak Sarkim dari Gunung
Sindur, Bogor, Setia Kawan dipimpin oleh Nio Hok San dari Teluk Gong,Tiga Saudara dipimpin oleh Pak Ayon dari
Mauk, Tangerang, dan Sinar Subur yang dipimpin oleh Bapak Asmin dari Bojongsari. Sanggar-sanggar lenong yang
didata oleh LKB 2012 antara lain adalah Grup Baru Jaya pimpinan Minin di Jakarta Pusat, Grup Bang Pitung pimpinan
Agus Aseni di Jakarta Barat, Grup Jayakarta pimpinan Abd. Rachman di Jakarta Barta, Grup Naga Putih pimpinan
Jamaludin di Jakarta Selatan, di Jakarta Timur ada Harapan Jaya pimpinan Mamit.
12
2. Identitas Budaya Masyarakat Betawi
a. Identitas Budaya
Konsepsi lenong mencerminkan bahwa lenong menjadi sebuah kesenian teater yang berasal dari rakyat dan dekat dengan
kehidupan rakyat pada umumnya. Sebuah kesenian teater yang bukan hanya sekedar tradisi, melainkan untuk mempersentasikan
identitas budaya Betawi. Dalam praktik komunikasi, identitas acapkali tidak hanya memberikan makna tentang pribadi seseorang,
12
Ibid. ,h.75
tetapi lebih jauh dari itu, menjadi ciri khas sebuah kebudayaan yang melatarbelakanginya.
13
Mengacu kepada
pengertian identitas
sendiri yang
mengandung pengertian sebagai kondisi yang subjektif dan objektif. Menurut Liliweri
“konsep identitas terbagi kedalam tiga bentuk, yakni: identitas sosial, identitas kultural dan identitas personal
”.
14
Identitas sosial terbentuk sebagai akibat dari keanggotaan kita dalam suatu kelompok kebudayaan umur, gender, kerja, agama, kelas
sosial, tempat, dan sebagainya maupun berbentuk pengakuan yang berasal dari ego misalnya saya seorang muslim, saya orang Betawi.
Dalam konteks ini proses identifikasi dibentuk melalui konsepsi mengenai diri yang berhubungan dengan keanggotaan individu
terhadap kelompok atau kategori sosialnya tersebut. Di dalam skripsi ini akan dilihat bagaimana identitas budaya direpresentasikan di
dalam konteks seni pertunjukan kesenian, sekaligus keanggotaan individu ke dalam sebuah kelompok etnis tertentu yang meliputi
tradisi, bahasa, dan sifat bawaan dari suatu kebudayaan. Identitas pribadi atau personal seperti yang dikatakan Ritzer
didasarkan pada keunikan karakteristik pribadi seorang individu. Hal ini disebabkan oleh faktor biografi dan pengalaman hidup masing-
masing orang yang berbeda-beda. Individu dapat menolak identitas sosialnya, ketika ia merasa bahwa peran atau kategori sosial yang
diberikan kepadanya tidak sesuai dengan konsepsi diri individu.
15
Komitmen tertinggi
individu terhadap
suatu identitas
menggambarkan bahwa identitas itulah yang menempati posisi paling penting bagi dirinya.
13
Alo Liliweri M.S, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya Yogyakarta: Lkis, 2007, h. 68
14
Ibid., h.96
15
George Ritzer Ed, Encyclopedia Of Sosial Theory, Vol 1 London: SAGE Publication, 2002, h. 385-387
Menurut Ensiklopedia Sosiologi yang ditulis oleh Ritzer: Identitas terpenting selain identitas personal dan identitas sosial,
adalah identitas kolektif. Identitas kolektif disini dimaksudkan adalah identitas kultural. Identitas kultural ini timbul dari
perasaan ke-kami-an ataupun menjadi satu kelompok, yang berasal dari hubungan sosial, kepemilikan status dan atribut
yang sama. Misalnya kesamaan menjadi etnis minoritas, memiliki kelompok tandingan, atau terdapat keadaan yang
mengancam, sehingga timbul solidaritas kolektif pada akhirnya membentuk identitas kultural.
16
Dalam hal ini faktor kebudayaan megambil peran penting karena kebudayaan dipandang sebagai suatu faktor yang paling
penting untuk menujukan identitas masyarakat. Sehingga suatu masyarakat agar dapat mempertahankan identitasnya harus dapat
pula mempertahankan
kebudayaannya, yaitu
dengan cara
mewariskan dari generasi ke generasi berikutnya melalui suatu proses yang disebut dengan proses sosialisasi. Tanpa melalui proses
sosialisasi maka kebudayaan suatu masyarakat akan hilang sehingga identitasnya sebagai masyarakat yang memiliki kebudayaan tertentu
akan hilang pula. Kenneth Burke menjelaskan bahwa untuk menentukan identitas budaya itu sangat tergantung pada bahasa
bahasa sebagai unsur kebudayaan nonmaterial, bagaimana representasi bahasa menjelaskan sebuah kenyataan atas semua
identitas yang dirinci kemudian dibandingkan.
17
Identitas dapat diperoleh melalui proses sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder. Identitas yang diperoleh dari sosialisasi
primer disebut identitas primer, sedangkan identitas yang diperoleh dari sosialisasi sekunder disebut identitas sekunder.
18
Identitas primer bersifat sejak lahir, misalnya gender, etnisitas, nama keluarga.
16
Ibid,. hlm. 390
17
Alo Liliwei M.S, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya Yogyakarta: Lkis, 2007, h. 72
18
George Ritzer Ed, Encyclopedia Of Sosial Theory, Vol 1 London: SAGE Publication, 2002, hlm. 392
Identitas keluarga diperoleh seorang anak sejak kecil ketika dibesarkan oleh keluarga dan lingkungan tempat tinggalnya.
Identitas etnis dibentuk melalui proses pembelajaran seorang anak terhadap kebiasaan, sistem kepercayaan dan nilai-nilai kelompok
sosialnya. Identitas sekunder diperoleh ketika individu mengalami
proses sosialisasi sekunder. Misalnya, status pekerjaan, kelompok penggemar dan lain sebagainya. Identitas primer dan sekunder
individu selalu mengalami proses perubahan sepanjang hayat guna menghasilkan keseimbangan berdasarkan hidup yang dimilikinya.
Dari konsep-konsep yang telah diuraikan mengenai arti identitas penulis dapat mengatakan bahwa identitas sebagai suatu
fenomena sosial dapat diartikan sebagai sesuatu yang mengarah pada realitas subyektif yang mempunyai hubungan yang bersifat dialektik
antara individu dengan masyarakat. Hubungan yang dialektik antara individu dan masyarakat dapat merupakan hubungan yang tidak ada
ujung pangkalnya, suatu hubungan yang terus berlanjut dan tidak ada habisnya selama masyarakat itu tetap ada. Artinya identitas dibentuk
oleh suatu proses sosial yang dipertahankan dan identitas juga merupakan sesuatu yang dihasilkan oleh kesadaran individu yang
merupakan reaksi terhadap struktur sosial yang ada. Pada dasarnya identitas dapat dipahami suatu pemahaman
yang keluar dari dalam diri individu tentang dirinya yang berkaitan dengan penempatan dirinya dalam suatu lingkungan sebagai suatu
hasil dari interaksi dengan lingkungan diluar kelompoknya. Identitas merupakan bagaimana individu melihat dirinya sendiri sebagai
konteks relasi sosial ataupun interaksi sosial, peran-peran yang kita jalankan merupakan representasi identitas sosial.
b. Budaya
“Budaya adalah bentuk jamak dari kata budi dan daya yang berarti cinta, karsa, dan rasa. Kata budaya sebenarnya berasal dari
bahasa Sanskerta budhayah yaitu bentuk jamak kata buddhi yang berarti budi atau akal.
”
19
Kebudayaan merupakan posisi penting dalam kehidupan manusia. Dengan begitu, tidak ada masyarakat
yang tidak memiliki kebudayaan dan begitupun sebaliknya, tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat, dimana masyarakat sebagai wadah
dan pendukungnya, sehingga fungsi kebudayaan itu sendiri dapat dijadikan sebagai faktor pendorong dalam perubahan sosial yang
terjadi di masyarakat atau masyarakat dapat menentukan sikapnya sendiri terhadap dunia berdasarkan pada pengetahuan yang ada pada
kebudayaan. Budaya atau kebudayaan menurut para tokoh antara lain:
1 E. B. Tylor, budaya adalah suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keilmuan,
hukum, adat istiadat, dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
2 Koentjaraningrat, mengartikan bahwa kebudayaan adalah
keseluruhan sistem gagasan, milik diri manusia dengan belajar. 3
Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, mengatakan bahwa kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa, dan cipta
masyarakat
20
Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan dibagi atau digolongkan dalam tiga wujud, yaitu:
1 Wujud sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-
nilai, norma-norma, dan peraturan.
19
Elly M. Setiadi, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar,Jakarta: Kencana, 2008 h. 27
20
Ibid,. h. 27
Wujud tersebut menunjukan wujud ide dari kebudayaan, sifatnya abstrak, tak dapat diraba, dipegang, ataupun difoto, dan tempatnya
ada di alam pikiran warga masyarakat di mana kebudayaan yang bersangkutan itu hidup.
2 Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta
tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. Wujud tersebut dinamakan sistem sosial, karena menyangkut
tindakan dan kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. 3
Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Wujud ini disebut wujud fisik. Di mana wujud budaya ini hampir seluruhnya merupakan hasil fisik aktivitas perbuatan, dan karya
semua manusia dalam masyarakat
21
Koentjaraningrat berpendapat bahwa ada tujuh unsur kebudayaan yang dapat ditemukan pada semua bangsa di dunia.
Ketujuh unsur yang dapat kita sebut sebagai isi pokok dari tiap kebudayaan di dunia itu adalah:
1 Bahasa
2 Sistem pengetahuan
3 Organisasi sosial
4 Sistem peralatan hidup dan teknologi
5 Sistem mata pencaharian hidup
6 Sistem religi
7 Kesenian
22
Masing-masing unsur kebudayaan sudah tentu juga menjelma dalam ketiga wujud kebudayan terurai di atas, yaitu wujudnya yang
berupa sistem budaya, yang berupa sistem sosial, dan yang berupa
21
Elly M. Setiadi, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar,Jakarta: Kencana, 2008, H. 28-30
22
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta : Fa. Aksara baru, 1983 cet . 4, h. 206
unsur-unsur kebudayaan fisik. Dalam penelitian ini penulis akan mencoba meneliti salah satu unsur kebudayaan Betawi yaitu
kesenian lenong Betawi yang merupakan teater peran yang cukup menjadi primadona masyarakat Betawi.
c. Masyarakat Betawi
“Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat
kontinyu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama. ”
23
Definisi itu menyerupai suatu definisi yang diajukan oleh J.L. Gillin dan J.P. Gillin dalam buku mereka Cultural Sociology yang
merumuskan bahwa masyarakat atau society adalah the largest grouping in which common customs, traditions, attitudes and
feelings of unity are operative.
24
Ketika kota Jakarta secara resmi dinyatakan sebagai ibukota negara, konon mulai muncul dan mengemukakan berbagai
komunitas yang menamakan diri sebagai komunitas yang menamakan diri sebagai masyarakat Betawi. Diduga masyarakat
Betawi sudah cukup lama bermukim di Jakarta, dan mereka diperkirakan sudah tinggal di Jakarta semenjak zaman prasejarah,
yaitu zaman batu bara atau neolitikum. Diperkirakan mereka mulai tinggal di Jakarta tahun 2500 SM.
25
“Suku Betawi adalah salah satu etnis di Indonesia yag dikenal sebagai penduduk asli kota Jakarta. Secara geografis suku Betawi
tinggal di pulau Jawa, namun secara sosiokultural, mereka kelihatannya lebih dekat dengan budaya Melayu Islam
”.
26
Terdapat beberapa pendapat seputar suku Betawi ini. Pertama yaitu Dr.
23
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta : Fa. Aksara baru, 1983 cet . 4, h. 149
24
Ibid,. h. 150
25
Eni Setiati dkk, Ensiklopedia Jakarta 6, Jakarta: PT. Lentera Abadi, 2009, h. 4.
26
Ibid., h. 7
Yasmine Zaki Shahab, M.A., seorang antropolog Universitas Indonesia, beliau memperkirakan bahwa etnis Betawi baru terbentuk
sekitar tahun 1815-1893. Kedua yaitu Prof. Dr. Parsudi Suparlan mengemukakan
bahwa kesadaran mereka itu sebagai orang Betawi pada awal pembentukan etnis ini tampaknya belum mengakar. Ketiga yaitu
Ridwan Saidi seorang sejarawan, budayawan, dan sekaligus seorang politikus asal Betawi beliau membantah pendapat kedua antropolog
tersebut. Ia mengatakan bahwa orang-orang Betawi sudah ada jauh sebelum J.P Coen membakar Jayakarta tahun 1619 dan menjadikan
Jayakarta menjadi Batavia. Pernyataan tersebut dibuktikan dengan menunjukan keberadaan orang-orang Betawi secara geografis,
arkeologis serta sejarah perkembangan bahasa dan budayanya. Ada berbagai anggapan mengenai seseorang layak disebut
orang Betawi atau masyarakat Betawi. Pertama seseorang layak disebut orang Betawi atau masyarakat Betawi kalau orang tersebut
merupakan keturunan generasi ke-3, yang semuanya hidup di Jakarta. Kedua, yang dapat disebut sebaga orang Betawi atau
masyarakat Betawi adalah orang yang lahir di Jakarta dan hidup persis seperti orang Betawi asli, entah bahasa maupun budayanya.
Ada juga yang mengatakan bahwa seseorang itu lahir di Jakarta, tinggal di Jakarta, makan dan minum di bumi Jakarta.
Bagi orang Betawi, polemik semacam itu tidak penting. Yang penting bagi mereka ialah memikirkan bagaimana mengisi
kehidupan sebelum mereka meninggal. Ini dapat terjadi karena mereka memiliki keyakinan yang kuat terhadap agama Islam sebagai
nafas hidup dan budaya mereka. Itulah sebabnya mengapa mereka toleran terhadap para imigran dari etniss lain yang masuk ke Jakarta.
Bagi mereka, kualitas manusia tidak ditentukan oleh keturunan siapa, tetapi oleh isi hati, da perilakunya. Itulah sebabnya
walaupun secara geografis mayoritas wilayahnya telah diambil orang lain sehingga mereka semakin tergsur, namun orang Betawi masih
tetap eksis. Mereka tidak pernah merasa diri tergusur dari Jakarta sebagai kampong halaman mereka. Mereka beranggapan bahwa
selama Jakarta masih ada, maka selama itu pula akan muncul orang- orang Betawi.
27
Masyarakat Betawi dapat dikelompokan menjadi tiga kelompok besar, yaitu: Betawi Tengah, Betawi Pinggir, dan Betawi
Udik. Kelompok Betawi Tengah adalah penduduk Betawi yang bermukim daerah kota. Kebanyakan dari mereka tinggal secara
berkelompok berdasarkan keturunan. Ada dua kelompok besar orang yang tinggal di kota, yaitu Betawi gedong dan Betawi Kampung.
Betawi gedong adalah mereka yang secara ekonomi tergolong mampu atau orang kaya dan tinggal di rumah-rumah mewah yang
disebut gedong. Sedangkan Betawi kampung adalah mereka yang hidup sederhana dan tidak memiliki kekayaan yang dapat
dibanggkan. Betawi Pinggir memiliki nilai Islami yang sangat tinggi
dibandingkan dengan kedua kelompok Betawi lainnya, cara pandang mereka adalah cara pandang Islam. Orang Betawi Pinggir menolak
bila mereka dianggap tertinggal dalam bidang pendidikan, sebab mereka mempunyai prioritas pendidikan tersendiri, yaitu pesantren.
Terakhir yaitu Betawi Udik, kelompok Betawi Udik terbagi dalam dua kelompok, yaitu orang Betawi yang tinggal di Jakarta
bagian utara, bagian barat Jakarta, dan Tangerang. Budaya mereka sangat dipengaruhi oleh budaya tionghoa. Kelompok kedua yaitu
27
Ibid,. h. 8
mereka yang tinggal di sebelah timur dan selatan Jakarta yang terpengaruhi oleh budaya Jawa Barat.
B. Hasil Penelitian yang Relevan
Peneliti melakukan penelitian pada suatu kajian ilmiah yang memiliki fokus pembahasan penelitian serupa atau juga memiliki sebuah
kesamaan dalam konsep penelitiannya. Studi lain sejenis telah banyak dilakukan di Indonesia, salah satunya adalah penelitian skripsi dari
Purwosanti yang berjudul Eksistensi Lenong Betawi di Era Globalisasi. Skripsi ini menjelaskan mengenai keberadaan lenong Betawi di era
globalisasi saat ini masih sangat diperlukan oleh sebagian masyarakat Betawi di pinggir kota Jakarta seperti Condet, Jagakarsa, Bekasi dan Setu
Babakan, namun keberadaanya tidak lagi sebagai bagian integral dari kehidupan masyrakat Betawi seperti tahun 1980-an. Latar belakang
penelitian ini karena adanya fakta bahwa lenong Betawi saat ini kurang diminati oleh masyarakat dan hanya dimanfaatkan sebagai sarana hiburan
dalam acara perkawinan dan sunatan oleh sebagian kecil kelompok. Keberadaan lenong Betawi bagi masyarakat Betawi adalah untuk
memeriahkan acara hajatan. Sedangkan bagi sebagian seniman, lenong Betawi sebagai mata pencaharian walaupun hanya mata pencaharian
sampingan.
28
Menurut Purwosanti, dari 2 jenis lenong Betawi, masyarakat cenderung memilih lenong preman sebagai hiburan karena dari
segi kostum lenong ini lebih sederhana, bahasa yang digunakan adalah bahasa Betawi sehari-hari dan ceritanya pun tentang
kehidupan masyrakat sehari-hari. Sedangkan untuk lenong dines diperlukan biaya yang cukup mahal hanya untuk memenuhi
kostum pemainnya karena pemainnya harus seragam sesuai dengan tuntutan cerita.
29
Selanjutnya yaitu penelitian dari Ninuk Klenden yang berjudul Teater Lenong Betawi Studi Perbandingan Diakronik. Skripsi yang
28
Purwosanti, “Eksistensi Lenong Betawi di era globalisasi”, skripsi pada Universitas
Negeri Jakarta,Jakarta 2010, tidak dipublikasikan
29
Ibid,.
dibukukan ini membandingkan 5 perkumpulan tetaer lenong dalam hal hubungan antara lenong dengan komunitasnya dalam hal ini adalah orang
Betawi. Penelitian ini menunjukan adanya perbedaan di 5 perkumpulan teater lenong perkumpulan tater lenong Setia Kawan, Sinar Subur, Subur
Jaya, Bolot, dan perkumpulan teater lenong Bintang Berlian dalam hal hubungan antara seniman teater lenong dengan orang Betawi pada
umumnya. Selain itu penelitian ini juga menghasilkan suatu bentuk deskripsi utuh dari teater lenong yang memperhatikan baik teater lenong
itu sendiri, organisasi dalam teater lenong, dan komunitas teater lenong termasuk seniman, penonton, dan penanggapnya.
30
Yudho Winiarto yang berjudul Tambeng : Proses Penafsiran Kembali Tanda budaya Betawi. Skiripsi ini mendeskripsikan penafsiran
terhadap tari kreasi yaitu tari tambeng sebagai sebuah identitas budaya, yang dalam proses pembentukannya tidak dapat dilepaskan dari konteks
pertunjukannya. Tari tambeng muncul sebagai hasil kreasi tari Betawi dengan wajah dan fungsi yang baru, melalui penafsiran terhadap tanda
budaya Betawi yang melekat dan membentuk tari tersebut. Tari tambeng pada konteks perlombaan diterima sebagai suatu identitas Betawi. Namun,
penafsiran terhadap tanda budaya Betawi dalam tari Tambeng akan berbeda pada konteks yang lainnya. Setiap konteks pertunjukan terdapat
sistem tandanya sendiri yang digunakan sebagai acuan menandai sebuah identitas. Oleh karena itu, hal ini yang kemudian melatarbelakangi tari
tambeng untuk dikembalikan pada konteks masyarakat pendukungnya. Penelitian ini mendeskripsikan pemahaman kreator koreografer terhadap
sistem tanda budaya Betawi yang diwujudkan dalam karya tarinya dan pemahaman ini terlihat melalui proses dan bentuk karya tari tersebut
tambeng. Selain itu, pada skripsi ini juga mendeskripsikan mengenai
30
Ninuk Klenden, Teater Lenong Betawi Studi Perbandingan Diakronik, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1996
apresiasi dan pandangan orang Betawi terhadap tari tambeng sebagai hasil kreasi tari Betawi.
31
Penelitian lainnya yang menjadi bahan bagi peneliti yaitu penelitian dari Nina Farlina
yang berjudul Representasi Identitas Betawi dalam Forum Betawi Rempug FBR. Konteks penelitiannya berupa
organisasi FBR sebagai pergerakan masyarakat Betawi. Alasan utama ketertarikan anggotanya adalah ingin mempertahankan wilayahnya yang
selama ini mereka tinggal agar tidak tergusur oleh para pendatang. Identitas Betawi yang dipersentasikan dalam organisasi ini merupakan
identitas Betawi yang shaleh atau beragama Islam. Di dalam penelitian ini ditemukan mengenani identitas Betawi yang shaleh yang terpengruh oleh
ideologi Islam yang mengedepankan ketaatan. Representasi identitas jawara dan jagoan yang pernah dipopulerkan oleh si pitung, juga
ditemukan dalam penelitian ini. Representasi jawara adalah ketika mereka mnegenakan pakaian khas Betawi untuk mengungkapkan identitas
Betawi.
32
Dari rujukan penelitian sejenis di atas tentang identitas budaya yang telah dipaparkan maka dapat ditarik benang merah yang dapat
mengikat kesemuanya sebagai pendukung dari penelitian peneliti mengenai Teater Lenong Sebagai Penanda Identitas Kebetawian. Di mana
rujukan skripsi di atas merujuk pada eksistensi seni Betawi yang masing- masing mereka teliti mengacu terhadap tema yang peneliti angkat. Adapun
tulisan mereka mengenai seni budaya Betawi menjadi bahan acuan dan pembelajaran dalam penelitian ini.
Selain itu terdapat poin-poin penting dari temuan mereka menjadi bahan perbandingan dengan skripsi yang peneliti kerjakan. Sedangkan
untuk rujukan dari beberapa buku untuk mendukung tulisan ini sebagai wawasan tambahan untuk menunjang dan memperkaya penelitian sebagai
31
Yudho Winiarto, Tambeng : Proses Penafsiran Kembali Tanda budaya Betawi, Skripsi pada Universitas Indonesia, Depok, 2008. tidak dipublikasikan
32
Nina Farlina, “Representasi Identitas Betawi dalam Forum Betawi Rempug FBR”,
tesis pada Universitas Indonesia, Depok, tidak dipublikasikan
bahan tambahan penelitian. Adapun buku tersebut erat kaitanya dengan penelitian ini. Oleh karena itu, kesemuanya terkait satu sama lain untuk
menjadi bahan pendukung dalam penelitian ini. Di bawah ini adalah tabel penelitian sejenis yang sesuai dengan peneliti.
Tabel 2.1 Penelitian Sejenis
No. Penelitian Sejenis
Tinjauan Pustaka Jenis
persamaan perbedaan
1. Eksistensi Lenong Betawi di
Era Globalisasi
Oleh : Purwosanti, Universitas Negeri Jakarta,
2010. Skripsi
Penelitian ini
mengkaji adanya
fakta bahwa lenong Betawi
saat ini
kurang diminati oleh masyarakat
dan hanya dimanfaatkan
sebagai sarana
hiburan dalam acara perkawinan
dan Sunatan.
Penelitian ini lebih mengarah kepada
keuntungan komersil
dalam setiap
pertunjukkannya
2. Teater Lenong Betawi Studi
Perbandingan Diakronik
Oleh : Ninuk Klenden, Yayasan Obor Indonesia,
1996. Skripsi
Penelitian ini
mengkaji deskripsi utuh
dari teater
lenong yang
memperhatikan baik teater
lenong itu
sendiri, organisasi
dalam teater lenong, dan komunitas teater
lenong termasuk
Penelitian ini lebih mengarah kepada
membandingkan beberapa
perkumpulan teater lenong