b. Adanya sumbangan pikiran dan masukan – masukan dari hasil
penelitian terhadap instansi – instansi aparat penegak hukum
yaitu khususnya instansi Kejaksaan Negeri Ambarawa mengenai pemisahan berkas perkara oleh penuntut umum.
1.7 Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini terdiri dari 3 tiga bagian yang mencakup 5 Bab yang disusun berdasarkan sistematika sebagai berikut :
1. Bagian Awal Skripsi
Bagian awal skripsi terdiri atas sampul, lembar kosong berlogo Universitas Negeri Semarang bergaris tengah 3 cm, lembar judul,
lembar pengesahan, lembar pernyataan, lembar motto dan persembahan, kata pengantar, lembar abstrak, daftar isi, daftar
label, daftar tabel, daftar gambar dan daftar lampiran. 2.
Bagian Isi Skripsi Bagian pokok skripsi terdiri atas bab pendahuluan, teori yang
digunakan untuk landasan penelitian, metode penelitian, hasil penelitian dan pembahasan, dan penutup. Adapun bab
– bab dalam bagian pokok skripsi sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN Berisi mengenai latar belakang masalah, identifikasi dan
pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Berisi mengenai teori-teori yang digunakan untuk landasan
penelitian, diantarnya yaitu Tinjauan Umum tentang Sistem Peradilan Pidana, Hukum Pidana, Pembuktian, Tinjauan Umum
tentang Splitsing dan Voeging, Tinjauan Umum tentang Saksi Mahkota.
BAB III METODE PENELITIAN Berisi mengenai metode yang digunakan, yaitu meliputi
jenis penelitian, jenis data penelitian, cara pengumpulan data, dan analisis data.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam BAB ini penulis membahas alasan dari penuntut
umum dalam melakukan pemisahan berkas perkara splitsing suatu perkara pidana dan cara pembuktian suatu perkara pidana
dengan menggunakan metode pemisahan berkas perkara splitsing. Sehingga hasil akhirnya diharapkan dapat dijadikan
sebagai pedoman dalam penelitian selanjutnya.
BAB V PENUTUP Berisi mengenai simpulan dan saran.
3. Bagian Akhir Skripsi
Bagian akhir skripsi yang terdiri dari daftar pustaka dan lampiran-lampiran.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Terdahulu
Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini akan dicantumkan beberapa hasil penelitian terdahulu oleh beberapa peneliti,
diantaranya : Prihardinish Auliaziza Suprapto. 2008, Universitas Sebelas Maret
Surakarta, Skripsi mengenai : Implementasi Kebijakan Pemisahan Berkas Perkara Splitsing Dalam Proses Penuntutan Perkara Pidana Studi Kasus
Di Kejaksaan Negeri Surakarta dengan rumusan masalah : Bagaimanakah implimentasi kebijakan pemisahan berkas perkara splitsing dalam proses
penuntutan perkara pidana di Kejaksaan Negeri Surakarta? dan Hambatan – hambatan apakah yang dihadapi oleh Penuntut Umum dalam
implementasi kebijakan pemisahan berkas perkara splitsing dalam proses penuntutan perkara pidana di Kejaksaan Negeri Surakarta?.
Dilihat dari rumusan masalah penelitian tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa implementasi kebijakan pemisahan berkas perkara
splitsing dalam proses penuntutan perkara pidana di Kejaksaan Negeri Surakarta dilakukan dengan alasan untuk menguatkan upaya pembuktian
maka berkas tersebut dipisah menjadi beberapa berkas perkara dengan ketentuan satu terdakwa dengan satu berkas perkara, dengan pemisahan
tersebut maka masing
– masing terdakwa akan memberikan kesaksian pada terdakwa yang lainnya juga agar para terdakwa mendapatkan
penerapan proses hukum yang benar. Sedangkan hambatan – hambatan
yang dihadapi oleh Penuntut Umum dalam implementasi kebijakan pemisahan berkas perkara splitsing dalam proses penuntutan perkara
13
pidana di Kejaksaan Negeri Surakarta antara lain para terdakwa yang saling menjadi saksi secara tidak langsung akan memeberikan keterangan
yang bertolak belakang dengan kenyataan untuk saling meringakan, dan tidak adanya saksi selain terdakwa yang akan mempersulit upaya
pembuktian.
Dalam penelitian Prihardinish Auliaziza Suprapto membahas mengenai implementasi kebijakan pemisahan berkas splitsing dan
hambatan – hambatan yang dihadapi oleh penuntut umum dalam
implementasi kebijakan pemisahan berkas tersebut. Ditinjau berdasarkan kajiannya penelitian ini memiliki persamaan dengan penelitian penulis
yaitu membahas mengenai pemisahan berkas perkara splitsing sedangkan perbedaan dengan penelitian penulis yaitu penelitian
Prihardinish Auliaziza Suprapto membahas mengenai implikasi dari adanya pemisahan berkas yaitu dengan dibuatkan satu berkas untuk satu
terdakwa yang nantiya terdakwa tersebut akan saling menjadi saksi dan hambatan dari penuntut umum dalam hal pemisahan berkas tersebut
adalah saksi secara langsung akan memberikan keterangan yang bertolak belakang. Sedangkan pada penelitian penulis membahas mengenai alasan
– alasan jaksa penuntut umum dalam pemisahan berkas perkara splitsing hal ini merupakan dasar mengapa berkas suatu perkara tersebut akhirnya
dipisah dan pada penelitian penulis juga membahas mengenai cara pembuktian suatu perkara yang dipisah pada pembuktian di persidangan.
Maria Hadivta, 2013, Universitas Lampung, Skripsi mengenai : Tinjauan Yuridis Mengenai Kedudukan Saksi Mahkota Dihadapan Jaksa
Penuntut Umum Pada Saat Persidangan, dengan rumusan masalah
bagaimanakah kedudukan saksi mahkota dihadapan jaksa penuntut umum pada saat persidangan? dan mengapa diperlukan saksi mahkota dalam
persidangan pidana pada kasus penyertaan? Dilihat dari rumusan masalah penelitian tersebut maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa kedudukan saksi mahkota dihadapan jaksa penuntut umum sering digunakan dalam tindak pidana penyertaan namun hal
tersebut bertujuan untuk melihat beban pertanggung jawaban atas tindak pidana yang dilakukan, oleh sebab itu berkas perkara dilakukan dengan
cara pemisahan splitsing. Saksi mahkota diperlukan dalam persidangan pidana pada kasus peyertaan sebagai alat bukti dalam perkara pidana yang
didasarkan pada kondisi-kondisi tertentu, yaitu dalam hal adanya perbuatan pidana dalam bentuk penyertaan dan terhadap perbuatan pidana
bentuk penyertaan tersebut diperiksa dengan mekanisme pemisahan splitsing, serta apabila dalam perkara pidana bentuk penyertaan tersebut
masih terdapat kekurangan alat bukti, khususnya keterangan saksi. Dalam tindak pidana penyertaan memang tidak dilarang menggunakan saksi
mahkota, namun sebaiknya jaksa penuntutan umum jangan langsung menggunakan saksi mahkota mengingat tindak pidana tersebut bentuk
penyertaan maka sebaiknya penuntut umum lebih teliti lagi dalam membagi kedudukan antara terdakwa satu dan yang lainnya agar tidak
terjadi kerancuan dalam pembuktian.
Berdasarkan penelitian terdahulu di atas, dalam skripsi Maria Hadivta membahas mengenai kedudukan saksi mahkota dihadapan jaksa
penuntut umum dan diperlukannya saksi mahkota dalam persidangan kasus penyertaan. Ditinjau berdasarkan kajiannya penelitian ini memiliki
persamaan dengan penelitian penulis yaitu kasusperkara yang dibahas dalam penelitian Maria Hadivta dan penulis mengenai kasus pidana
penyertaan dan dalam penelitian penulis juga membahas saksi mahkota yang merupakan konsekuensi pemisahan berkas perkara splitsiing,
sedangkan perbedaan antara skripsi Maria Hadivta dengan penelitian penulis yaitu penelitian Maria Hadivta membahas mengenai kedudukan
saksi mahkota dalam persidangan bahwa kedudukannya ada pada tindak
pidana penyertaan yang bertujuan untuk melihat beban pertanggung jawaban atas tindak pidana yang dilakukan dan terkait dengan perlunya
ada saksi mahkota dalam peradilan pidana adalah untuk dijadikan sebagai alat bukti dalam persidangan yang berkasnya diperiksa dengan cara
dipisah splitsing. Sedangkan pada penelitian penulis membahas mengenai saksi mahkota sebagai salah satu alasan dari adanya pemisahan
berkas perkara splitsing karena pada kasus tersebut kekurangan saksi dan saksi mahkota merupakan konsekuensi dari cara pembuktian suatu tindak
pidana yang berkasnya dipisah.
2.2 Landasan Teori