17
perencana untuk menentukan peraturan mana yang harus ia pakai. Peraturan- peraturan tersebut diantaranya AASHTO, PPPJJR 1987, BMS 1992, dan RSNI
2005. Pada tugas akhir ini saya menggunakan peraturan RSNI 2005 sebagai acuan dalam menganalisa beban-beban rencana.
Beban-beban rencana dapat dikategorikan sebagai berikut: 1. Beban mati
2. Beban hidup 3. Beban kejut
II.5.1 Beban mati
Menurut RSNI 2005, beban mati adalah semua beban tetap yang berasal dari berat sendiri jembatan atau bagian jembatan yang ditinjau, termasuk segala
unsur tambahan yang dianggap merupakan satu kesatuan tetap dengannya. Tabel 2.1 Berat Isi Untuk Beban Mati kNm
3
No. Bahan Berat Satuan Isi
kNm
3
Kerapatan Massa kgm
3
1 Campuran aluminium
26,7 2720
2 Lapisan permukaan
beraspal 22,0
2240 3
Besi tuang 71,0
7200 4
Timbunan tanah dipadatkan
17,2 1760
5 Kerikil dipadatkan
18,8-22,7 1920-2320
6 Aspal beton
22,0 2240
7 Beton ringan
12,25-19,6 1250-2000
8 Beton
22,0-25,0 2240-2560
9 Beton prategang
25,0-26,0 2560-2640
10 Beton bertulang
23,5-25,5 2400-2600
Universitas Sumatera Utara
18
11 Timbal
111 11400
12 Lempung lepas
12,5 1280
13 Batu pasangan
23,5 2400
14 Neoprin
11,3 1150
15 Pasir kering
15,7-17,2 1600-1760
16 Pasir basah
18,0-18,8 1840-1920
17 Lumpur lunak
17,2 1760
18 Baja
77,0 7850
19 Kayu ringan
7,8 800
20 Kayu keras
11,0 1120
21 Air murni
9,8 1000
22 Air garam
10,0 1025
23 Besi tempa
75,5 7680
Sumber: RSNI Standar Pembebanan untuk Jembatan 2005 Beban mati dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu beban mati primer dan
beban mati sekunder. Beban mati primer adalah beban yang berupa berat sendiri dari pelat dan sistem lainnya yang dipikul langsung oleh masing- masing gelagar
jembatan. Sedangkan beban mati sekunder adalah beban-beban yang berupa berat kerb, trotoar, tiang sandaran, dan lain-lain yang dipasang setelah pelat dicor.
II.5.2 Beban hidup
Beban hidup yang harus ditinjau dalam perencanaan beban jembatan terdiri atas dua yaitu beban truk “T” dan beban lajur “D”.
Secara umum, yang menjadi penentu dalam perhitungan jembatan dengan bentang sedang sampai panjang adalah beban “D”, sedangkan beban “T” digunakan
untuk bentang pendek.
Universitas Sumatera Utara
19
II.5.2.1 Lajur lalu lintas rencana
Lajur lalu lintas rencana harus memiliki lebar 2,75 m. Jumlah maksimum lajur lalu lintas untuk berbagai lebar jembatan dapat dilihat pada tabel berikut
Tabel 2.2 Jumlah Lajur Lalu Lintas Rencana Tipe Jembatan 1
Lebar Jalur Kendaraan m 2
Jumlah Lajur Lalu Lintas Rencana n
1
Satu lajur 4,0 - 5,0
1 Dua arah, tanpa median
5,5 – 8,25 11,3 – 15,0
2 3 4
Banyak arah 8,25 – 11,25
11,3 – 15,0 15,1 – 18,75
18,8 – 22,5 3
4 5
6 CATATAN 1 Untuk jembatan tipe lain, jumlah lajur lalu lintas rencana harus
ditentukan oleh instansi yang berwenang. CATATAN 2 Lebar jalur kendaraan adalah jarak minimum antara kerb atau
rintangan untuk
satu arah
atau jarak
antara kerbrintanganmedian untuk banyak arah.
CATATAN 3 Lebar minimum yang aman untuk dua-lajur adalah 6,0 m. Lebar jembatan antara 5,0 m sampai 6,0 m harus dihindari oleh
karena hal ini akan memberikan kesan kepada pengemud i seolah-olah memungkinkan untuk menyiap.
Sumber: RSNI Standar Pembebanan untuk Jembatan 2005
II.5.2.2 Beban truk “T”
Beban truk “T” adalah satu kendaraan berat dengan 3 as yang ditempatkan pada beberapa posisi dalam lajur lalu lintas rencana RSNI 2005. Dalam
perencanaan hanya diterapkan satu truk tiap lajur rencana. Jarak antara dua as truk tersebut dapat diubah-ubah 4 sampai 9 meter agar diperoleh pembebanan
Universitas Sumatera Utara
20
maksimum pada arah memanjang jembatan. Besar pembebanan dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 2.10 Pembebanan truk “T” 500 kN [RSNI T-02-2005] Faktor penyebaran beban truk “T” pada arah melintang gelagar jembatan disajikan
dalam table berikut: Tabel 2.3 Faktor Distribusi Untuk Pembebanan Truk “T”
Jenis bangunan atas
Jembatan jalur tunggal Jembatan jalur majemuk
Pelat lantai beton di atas:
- balok baja I atau balok
beton pratekan - balok
beton bertulang T - balok kayu
S4,2 bila S3,0 m lihat catatan 1
S4,0 bila S1,8 m lihat catatan 1
S4,8 bila S3,7 m lihat catatan 1
S3,4 bila S4,3 m lihat catatan 1
S3,6 bila S3,0 m lihat catatan 1
S4,2 bila S4,9 m lihat catatan 1
Lantai papan kayu S2,4
S2,2 Lantai baja
gelombang tebal 50 mm atau lebih
S3,3 S2,7
Kisi-kisi baja
Universitas Sumatera Utara
21
- kurang dari tebal 100 mm
- tebal 100 mm atau lebih
S2,6 S3,6
bila S3,6 m lihat catatan 1 S2,4
S3,0 bila S3,2 m lihat catatan 1
CATATAN 1 Dalam hal ini, beban pada tiap balok memanjang adalah reaksi beban roda dengan menganggap lantai antara gelagar ssebagai
balok sederhana CATATAN 2 Geser balok dihitung untuk beban roda dengan reaksi 2S
yang disebabkan oleh Sfactor ≥ 0,5 CATATAN 3 S adalah jarak rata-rata antara balok memanjang
Sumber: RSNI Standar Pembebanan untuk Jembatan 2005
Kriteria pengambilan bentang efektif S adalah sebagai berikut: a. Untuk pelat lantai yang bersatu dengan balok atau dinding tanpa
peninggian, S = bentang bersih b. Untuk [elat lantai yang didukung pada gelagar dari bahan berbeda atau tidak
dicor menjadi kesatuan, S = bentang bersih+setengah lebar dudukan tumpuan.
Faktor beban dinamis FBD merupakan hasil pengaruh antara beban kendaraan yang bergerak dengan jembatan. Untuk pembebanan truk ditetapkan sebesar
30. Harga ini dikhususkan untuk bangunan yang berada di atas permukaan tanah.
II.5.2.3 Beban lajur “D”
Beban lajur D merupakan beban yang bekerja pada seluruh lebar jalur kendaraan dan menimbulkan pengaruh pada jembatan yang ekivalen dengan suatu
iring- iringan kendaraan yang sebenarnya. Besarnya beban lajur bergantung pada besarnya lebar jalur kendaraan rencana.
Beban lajur D terdiri atas 2 jenis yaitu beban terbagi rata, dan beban garis.
a. Beban terbagi rata
Beban ini dilambangkan q kPa dengan intensitas beban bergantung pada panjang bentang total yang dibebani. Besarnya beban yaitu sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
22
L ≤ 30 m ; q = 9,0 kPa L 30 m ; q dapat dilihat pada grafik dibawah
Dengan: q adalah intensitas beban terbagi rata dalam arah memanjang jembatan kPa
L adalah panjang total jembatan yang dibebani meter
Gambar 2.11 Beban “D”: beban terbagi rata vs panjang bentang yang dibebani [RSNI T-02-2005]
b. Beban garis
Beban ini dilambangkan p kNm dengan arah yang tegak lurus terhadap arus lalu lintas pada jembatan. Besar beban garis yaitu 49 kNm.
Faktor beban dinamik FBD untuk beban lajur garis “D” dapat dilihat dalam gambar berikut
Universitas Sumatera Utara
23
Gambar 2.12 Faktor beban dinamis untuk beban garis terbagi rata “D” [RSNI T-02-2005]
Sistem pembebanan beban terbagi rata dan beban garis dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 2.13 Beban lajur “D” [RSNI T-02-2005] Penyebaran beban “D” harus diperhatikan dan memenuhi persyaratan
sebagaimana yang tertera pada RSNI T-02-2005 yaitu sebagai berikut: 1. Bila lebar jalur kendaraan jembatan kurang atau sama dengan 5,5 m, maka
beban “D” harus ditempatkan pada seluruh jalur dengan intensitas 100.
Universitas Sumatera Utara
24
2. Apabila lebar jalur lebih besar dari 5,5 m, beban”D” harus ditempatkan pada jumlah lajur lalu lintas rencana n1 yang berdekatan table 2.2 dengan
intensitas 100. Hasilnya adalah beban garis ekuivalen sebesar n
1
x 2,75 q kNm dan beban terpusat ekuivalen sebesar n
1
x 2,75 p kN, kedua-duanya bekerja berupa strip pada jalur selebar n
1
x 2,75 m. 3. Lajur lalu lintas rencana yang membentuk strip ini bisa ditempatkan dimana
saja pada jalur jembatan. Beban “D” tambahan harus ditempatkan pada seluruh lebar sisa dari jalur dengan intensitas sebesar 50.
Susunan pembebanan dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 2.14 Penyebaran pembebanan arah melintang
Universitas Sumatera Utara
25
II.6 Kombinasi Pembebanan
Kombinasi beban rencan dikelompokkan ke dalam kelompok-kelompok- kelompok yaitu:
a. Kombinasi dalam batas daya layan b. Kombinasi dalam batas ultimit
c. Kombinasi dalam perencanaan berdasarkan tegangan kerja Faktor beban yang digunakan untuk menghitung aksi rencana disajikan dalam
table berikut Tabel 2.4 Faktor Pembebanan
Pasal No
Aksi Lamanya
waktu 3 Faktor Beban pada Keadaan
Batass Nama
Simbol 1
Daya Layan
K
S;xx;
Ultimit K
U;;XX;
Normal Terkurangi
5.2 Berat Sendiri
P
MS
Tetap 1,0
3 3
5.3 Beban Mati
Tambahan P
MA
Tetap 1,01,3
3 2,01,4
3 0,70,8
3 5.4
Penyusutan dan Rangkak
P
SR
Tetap 1,0
1,0 NA
5.5 Prategang
P
PR
Tetap 1,0
1,0 NA
5.6 Tekanan Tanah
P
TA
Tetap 1,0
3 3
5.7 Beban
Pelaksanaan Tetap
P
PL
Tetap 1,0
1,25 NA
6.3 Beban Lajur
“D” T
TD
Trans 1,0
1,8 NA
6.4 Beban Truk
“T” T
TT
Trans 1,0
1,8 NA
6.7 Gaya Rem
T
TB
Trans 1,0
1,8 NA
6.8 Gaya
Sentrifugal T
TR
Trans 1,0
1,8 NA
6.9 Beban Trotoar
T
TP
Trans 1,0
1,8 NA
6.10 Beban-Beban
Tumbukan T
TC
Trans 3
3 NA
7.2 Penurunan
P
ES
Tetap 1,0
NA NA
Universitas Sumatera Utara
26
7.3 Temperatur
T
ET
Trans 1,0
1,2 0,8
7.4 AliranBenda
Hanyutan T
EF
Trans 1,0
3 NA
7.5 HidroDaya
Apung T
EU
Trans 1,0
1,0 1,0
7.6 Angin
T
EW
Trans 1,0
1,2 NA
7.7 Gempa
T
EQ
Trans NA
1,0 NA
8.1 Gesekan
T
BF
Trans 1,0
1,3 0,8
8.2 Getaran
T
VI
Trans 1,0
NA NA
8.3 Pelaksanaan
T
CL
Trans 3
3 3
CATATAN 1 Simbol yang terlihat hanya untuk beban nominal, simbol unntuk beban rencana menggunakan tanda bintang, untuk P
MS
= berat sendiri nominal, P
MS
= Berat sendiri rencana CATATAN 2 Trans = transien
CATATAN 3 Untuk penjelasan lihat pasal yang sesuai CATATAN 4 “NA” menandakan tidak dapat dipakai. Dalam hal dimana
pengaruh beban transien adalah meningkatkan keamanan, faktor beban yang cocok adalah nol
Sumber: RSNI Standar Pembebanan untuk Jembatan 2005 Tabel 2.5 Faktor Beban Untuk Berat Sendiri
Jangka Waktu
Faktor Beban K
S;;MS;
K
U;;MS;
Biasa Terkurangi
Tetap Baja, aluminium 1,0
Beton pracetak 1,0 Beton dicor di tempat 1,0
Kayu 1,0 1,1
1,2 1,3
1,4 0,9
0,85 0,75
0,7 Sumber: RSNI Standar Pembebanan untuk Jembatan 2005
Tabel 2.6 Faktor Beban Untuk Beban Mati Tambahan Jangka
Waktu Faktor Beban
K
S;;MA;
K
U;;MA;
Biasa Terkurangi
Tetap Keadaan umum 1,0 1
Keadaan khusus 1,0 2,0
1,4 0,7
0,8 CATATAN 1 Faktor beban daya layan 1,3 digunakan untuk berat utilitas
Sumber: RSNI Standar Pembebanan untuk Jembatan 2005
Universitas Sumatera Utara
27
II.7 Kabel prategang II.7.1 Daerah aman kabel
Daerah aman kabel yaitu daerah sepanjang balok dimana bila kabel ditempatkan pada daerah tersebut tidak akan menyebabkan terjadinya tegangan
yang melebihi tegangan izinnya. Untuk mendapatkan daerah aman kabel lakukan langkah-langkah perhitungan
berikut: - Cari nilai modulus penampang serat atas dan bawah Wa dan Wb
Wa = dan
Wb =
Dimana : ya = jarak pusat berat ke serat atas yb = jarak pusat berat ke serat bawah
- Cari jarak pusat ke serat atas dan bawah kern ka dan kb Ka =
− dan Kb =
Dimana : Ac = Luas penampang - Cari limit kern atas dan bawah k’a dan k’b
Menurut binamarga 2011, limit kern yaitu daerah sepanjang balok dimana gaya aksial tekan tidak akan menyebabkan tegangan yang melebihi tegangan
izinnya baik tarik maupun tekan K’a = max dari nilai
k a = kb + 1 atau k′a = ka
+ 1
Universitas Sumatera Utara
28
Dimana σg = tegangan akibat prategang saat kondisi layan =
K’b = min dari nilai k b = kb
+ 1 atau k′b = ka + 1
Dimana σgi = tegangan akibat prategang saat penarikan kabel =
- Diperoleh daerah aman kabel dengan rumus berikut E
oa
= k’a + M
max
P E
ob
= k’b + M
DL
P
i
Hubungan limit kern dengan daerah aman kabel dapat dilihat dalam gambar berikut
Gambar 2.15 Hubungan limit kern dan daerah aman kabel [Binamarga 2011]
Universitas Sumatera Utara
29
a Desain normal; b desain optimum hanya ada satu solusi P dan eo; c Penampang tidak kuat preliminary
Gambar 2.16 Bentuk tipikal daerah aman kabel [Binamarga 2011]
II.7.2 Kehilangan gaya prategang
Kehilangan gaya prategang ada yang bersifat segera short term dan kehilangan yang bergantung waktu long term.
II.7.2.1 Short term a. Kehilangan akibat gesekan
Bila kabel lurus atau agak melengkung ditarik, maka gesekan terhadap dinding saluran atau kisi-kisi penyekat akan mengakibatkan kehilangan tegangan
yang semakin bertambah menurut jaraknya dari dongkrak Raju, N Krishna 1988. Kehilangan tegangan akibat gesekan dapat dihitung menggunakan rumus
berikut: F
0 =
f
x
e
µα+KL
Dimana : f = tegangan baja prategang pada saat jacking sebelum seating
F
x
= tegangan baja prategang di titik x sepanjang tendon E= nilai dasar logaritmik natural naverian
Universitas Sumatera Utara
30
µ= koefisien friksi, bila tidak disebutkan dalam spesifikasi material nilainya dapat dilihat pada tabel 2-1 koefisien friksi
α= perubahan sudut total dari profil layout kabel dalam radian dari titik jacking
K= koefisien wobble, bila tidak disebutkan dalam spesifikasi material nilainya dapat dilihat pada tabel 2-1 koefisien friksi
L= panjang baja prategang diukur dari titik jacking Nilai-nilai koefisien µ
0,55 untuk baja yang bergerak pada beton yang licin 0,35 untuk baja yang bergerak pada baja yang dijepit di saluran
0,25 untuk baja yang bergerak pada baja yang dijepit di beton 0,25 untuk baja yang bergerak pada timah
0,18-0,30 untuk kabel tali kawat berlapis banyak di dalam selongsong baja persegi panjang yang tegar
0,15-0,25 untuk kabel tali kawat berlapis banyak dengan pelat-pelat pengatur jarak ke arah lateral
Saran ini disarankan atas pekerjaan eksperimental yang dilakukan oleh Guyon dan
Cooley Nilai-nilai koefisien K
0,15 per 100 m untuk kondisi normal 1,5 per 100 m untuk saluran berdinding tipis dan di mana dijumpai getaran-getaran
hebat dan dalam kondisi-kondisi yang merugikan lainnya Raju, N Krishna 1988
Universitas Sumatera Utara
31
b. Kehilangan akibat slip pengangkuran
Apabila kabel pada sistem pratarik ditarik dan jack dilepas, maka angkur yang dipasang untuk menahan kawat-kawat akan mengalami slip pada jarak yang
pendek sebelum kawat-kawat tersebut berada pada posisi yang kokoh. Akibat adanya slip angkur ini akan mengakibatkan kehilangan gaya prategang pada kabel.
Menurut Bina Marga 2011, besarnya slip angkur tergantung pada sistem prategang yang digunakan, nilainya bervariasi antara 3-10 mm.
Kehilangan prategang akibat slip angkur ditentukan dengan rumus berikut:
∆fa = 2. d. x
x = E. ∆L.L
d
Dimana ∆fa= Kehilangan prategang akibat slip angkur
d= kehilangan akibat friksi padda jarak L dari titik penarikan x= panjang yang terpengaruh akibat slip angkur
L= Jarak antara titik penarikan dengan titik dimana kehilanga n diketahui
∆L= slip angkur, normalnya 6 mm sd. 9 mm
Universitas Sumatera Utara
32
Gambar 2.17 Slip angkur [Binamarga 2011]
c. Kehilangan akibat pemendekan elastis
Ketika gaya prategang diaplikasikan ke tendon, maka tendon akan mentransfer gaya tersebut ke beton yang menyelimutinya. Pentransferan gaya ini
akan mengakibatkan pemendekan beton. Dengan adanya pemendekan beton tersebut maka akan terjadi kehilangan sebahagian gaya yang diaplikasikan ke
balok tersebut. Kehilangan pemendekan beton pasca-tarik akibat pemendekan elastis tidak
ada jika kabel ditarik secara bersamaan. Namun jika penarikan dilakukan secara tidak bersamaan, kehilangan gaya pratekan sebesar ½ kali nilai pra-tarik.
Tegangan di level prategang:
Fcsj = 1 +
+
, −
-..
Dimana: Pi: Gaya pratekan saat initial Acj: Luas beton saat jacking
exj: eksentrisitas kabel pada jarak x saat jacking
Universitas Sumatera Utara
33
rj: jari-jari girasi saat jacking Mdj :Momen akibat beban mati saat jacking
Icj :Inersia beton saat jacking Kehilangan tegangan pada beton pra tarik
n=EpsEci Dimana: Eps: modulus elastisitas kabel
Eci: modulus elastisitas beton saat transfer ∆f
ES_
pre = n. fcs Kehilangan tegangan pada beton pasca tarik dengan penarikan secara tidak
bersamaan per 1 tendon diperoleh: jumlah penarikan
0 =
123 124
∆f
ES
=
∑
678 9:78
9: 6;8
14
. ∆fES_pre
II.7.2.2 Long term a. Kehilangan akibat penyusutan
Beton yang tidak terendam air secara terus menerus kelembaban 100 akan mengalami pengurangan volume. Proses ini disebut penyusutan beton.
Menurut bina marga 021BM2011 besarnya susut yang terjadi pada beton dipengaruhi oleh beberapa factor diantaranya:
- Proporsi campuran - Jenis agregat
- Rasio wc - Jenis semen
Universitas Sumatera Utara
34
- Jenis dan waktu curing - Ukuran dan bentuk, atau rasio volume terhadap permukaan VS
- Kondisi lingkungan, kelembaban rata-rata di lokasi jembatan Rumus umum kehilangan tegangan berdasarkan PCI Prestressed
Concrete Institute yaitu: ∆fsh = 8.2 x 10
EF
x Ksh x Eps x H1 − 0.006 J
KLM 100 − Nℎ
Dimana: K
sh
= konstanta yang bernilai 1 untuk pretension. Adapun untuk post- tension nilainya diberikan pada tabel di bawah
Eps = Modulus elastisitas baja prategang MPa R
h
= Kelembaban relative VS = volumeluas permukaan inci
Tabel 2.7 Tabel K
sh
untuk pasca-tarik t hari
1 3
5 7
10 20
30 60
Ksh 0.92 0.85 0.8 0.77 0.73 0.64 0.58 0.45
Catt: jumlah hari yang dimaksud adalah jumlah rentang hari antara akhir curing dan pengerjaan stressing
b. Kehilangan akibat rangkak
Jika beton dibebani secara konstan sehingga regangan beton meningkat, peristiwa ini disebut rangkak.
Menurut bina marga 021BM2011 regangan pada beton umumnya disebabkan oleh 3 hal yaitu susut, rangkak, dan beban itu sendiri. Regangan akibat
rangkak dan susut bergantung pada fungsi waktu time-dependent, sedangkan regangan akibat beban disebut regangan seketika.
Universitas Sumatera Utara
35
Perkiraan kehilangan tegangan akibat rangkak dapat dihitung dengan rumus AASHTO CL.5.9.5.4.3 AASHTO-2004 berikut:
∆f
cr
= 12 f
cs
– 7 ∆f
cdp
≥ 0 Catt: f
cs
= tegangan beton di level pusat prategang ∆f
cdp
= perbedaan tegangan beton di level pusat pratekan akibat beban permanen dengan pengecualian beban yang bekerja saat gaya
pratekan diaplikasikan
c. Kehilangan akibat relaksasi baja
Relaksasi diartikan sebagai penurunan tegangan secara perlahan terhadap regangan yang konstan. Besarnya kehilangan tegangan akibat relaksasi tidak
hanya bergantung lamanya waktu diaplikasikan gaya prategang, tetapi juga bergantung terhadap rasio fpifpy yakni tegangan awal initial dan tegangan leleh
baja. Perhitungan kehilangan tegangan akibat relaksasi baja dapat dihitung
menggunakan rumus
∆f
r
= PQR
ST 2UEST 2V VW
.
XYZ XY[
− 0.55 untuk baja stress-relieved
∆f
r
= PQR
ST 2UEST 2V ]W
.
XYZ XY[
− 0.55 untuk baja low-relaxation
Dimana: t2,t1= waktu akhir dan waktu awal interval jam f
pi
= tegangan awal baja prategang MPa ∆f
r
= Kehilangan akibat relaksasi MPa
Universitas Sumatera Utara
36
II.8 Tegangan dan lendutan
Perhitungan tegangan didasarkan atas dua kondisi yaitu: 1. Tegangan pada saat kondisi awal
Yaitu tegangan yang terjadi pada kondisi awal, biasanya akibat berat sendiri balok pada saat transfer
2. Tegangan pada saat kondisi layan Yaitu tegangan yang timbul saat semua beban rencana bekerja pada balok.
Diagram tegangan pada kedua kondisi di atas dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 2.18 Diagram Tegangan pada Balok Beton Prategang
Universitas Sumatera Utara
37
Rumus umum perhitungan tegangan Manual Bina Marga 021BM2011 adalah sebagai berikut:
Kondisi awal: _ = −
`Z ab
+
`Z.cW.[2 d
−
efZ1.[2 d
≤ hR ……….1.7.3.1
i = −
`Z ab
+
`Z.cW.[j d
−
efZ1.[2 d
≤ kR ……….1.7.3.2
Kondisi Layan: _ = −
`Z ab
+
`Z.cW.[2 d
−
eflm.[2 d
≤ kn……….1.7.3.3 i = −
`Z ab
+
`Z.cW.[2 d
−
eflm.[2 d
≤ hn ……….1.7.3.4
Dimana: hn = 0.5oPk pQ_
tegangan izin tarik kondisi awal kn = −0.45. Pk
tegangan izin tekan kondisi awal hn = 0.25oPk pQ_
tegangan izin tarik kondisi layan kn = −0.6. Pk
tegangan izin tekan kondisi layan Mmin= Momen maksimum yang bekerja pada kondisi awal, biasanya momen
akibat berat sendiri balok pada saat transfer Mmax= Momen total maksimum yang bekerja pada kondisi akhir atau layan
Universitas Sumatera Utara
38
Lendutan yang terjadi akibat bekerjanya beban – beban harus dikontrol. Lendutan yang terjadi tidak boleh melebihi lendutan izin yang disyaratkan pada
021BM2011 sebagai berikut Tabel 2.8 Tabel batasan defleksi berdasarkan BMS l=panjang bentang
Jenis Elemen Defleksi yang
ditinjau Defleksi maksimum yang diizinkan
Beban kendaraan Beban kendaraan
+ pejalan kaki Bentang
sederhana atau menerus
Defleksi akibat beban hidup layan
dan beban impak l800
l1000
Kantilever l400
l375 Sumber: Bridge Management System
II.9 Desain Dapped End
Menurut PCI design handbook, model-model keruntuhan pada perletakan yang non prismatic dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Lentur dan aksial tarik pada ujung yang diperpanjang. Diperlukan perkuatan lentur, A
f
, dan perkuatan tarik aksial, A
n
. 2. Geser pada pertemuan balok dengan tinggi yang berbeda. Diperluka n
perkuatan gesekan geser yang terdiri dari A
vf
dan A
h
, ditambah perkuatan aksial tarik, A
n
. 3. Tarik diagonal yang berasal dari sudut antar balok. Diperlukan perkuatan
geser, A
sh
. 4. Tarik diagonal pada ujung yang diperpanjang. Diperlukan perkuatan geser
yang terdiri dari A
h
dan A
v
. 5. Tarik diagonal pada balok yang penuh. Ditahan dengan menyediakan A
s
melewati daerah kemungkinan retak Masing-masing model kerutuhan dapat dilihat pada gambar berikut.
Universitas Sumatera Utara
39
Gambar 2.19 Model keruntuhan pada dapped end [ PCI handbook design]
II.9.1 Lentur dan aksial tarik pada ujung yang diperpanjang
Perkuatan horizontal ditentukan mirip dengan cara perencanaan korbel kolom As = Af + An
=
V ∅X[
Js
l 3
+ ts
u 3
, Dimana: Φ = 0.75 sampai 0.9 lentur
a= panjang geser, diukur dari pusat perletakan ke tengah Ash h= ketinggian balok yang diperpanjang
d= jarak dari atas ke pusat As fy= tegangan leleh baja
Nu= 0.2 x Vu jika tidak diberikan nilai yang pasti.
Universitas Sumatera Utara
40
II.9.2 Geser langsung