BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Bekerja merupakan salah satu kegiatan yang wajib dilakukan oleh individu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan untuk menciptakan kondisi yang lebih
baik bagi kehidupannya. Bekerja juga merupakan suatu aktivitas yang dilakukan untuk membuktikan kemampuan diri individu. Keberhasilan individu dalam
pekerjaan ditentukan oleh profesionalisme individu dalam melaksanakan pekerjaan,komitmen organisasi, kepuasan kerja dan tingkat kompetensi yang
dimiliki oleh individu Setyawan, 2008. Agar suatu organisasi dapat tetap berlangsung, organisasi membutuhkan individu yang memiliki komitmen terhadap
organisasi. Menurut Cherrington 1994, komitmen organisasi merupakan nilai personal
yang mengacu pada loyalitas karyawan terhadap perusahaan atau komitmen terhadap perusahaan. Rendahnya komitmen terhadap organiasasi dapat
menimbulkan persoalan terhadap organisasi. Allen dan Meyer 1997 mengungkapkan bahwa komitmen organisasi sebagai
kondisi psikologis dari individu yang menampilkan karakteristik hubungan yang dimiliki individu dengan organisasi dan memiliki pengaruh dalam keputusan
individu untuk tetap melanjutkan sebagai anggota dan tetap berada dalam suatu organisasi. Karyawan yang memiliki komitmen yang tinggi terhadap organisasi
tempatnya bekerja akan menunjukkan sikap bahwa ia memiliki harapan yang
Universitas Sumatera Utara
tinggi untuk dapat tetap berada dalam organisasi tempatnya bekerja dan lebih termotivasi dalam melaksanakan pekerjaannya Morrow dalam Setiawati dan
Zulkaida, 2007. Komitmen organisasi juga dapat diartikan sebagai kesediaan individu untuk melakukan hal-hal yang telah diputuskan dalam organisasi. Selain
itu, komitmen organisasi juga merupakan identifikasi dan berhubungan dengan seluruh keefektifan dalam sebuah organisasi Young, 1998.
Menurut Allen dan Meyer 1997 komitmen organisasi memiliki tiga komponen yaitu affective, normative dan continuance. Affective commitment
berkaitan dengan hubungan emosional dan keterlibatan pegawai dalam organisasi. Individu dengan affective commitment yang tinggi akan terus menjadi anggota
organisasi karena memiliki keinginan untuk tetap menjadi anggota. Normative commitment menunjukkan perasaan yang dimiliki individu mengenai kewajiban
yang harus diberikan terhadap organisasi.Individu dengan normative commitment yang tinggi akan terus menjadi anggota organisasi karena merasa bahwa dirinya
harus berada dalam organisasi. Continuance commitment berkaitan dengan persepsi individu mengenai kerugian yang akan diterima jika ia meninggalkan
organisasi. Menurut Jaros 1993 continuance commitment merupakan keadaan dimana
individu mengalami perasaan terkunci dalam organisasi karena adanya biaya yang tinggi jika meninggalkan organisasi. Menurut Reichers 1985 continuance
commitment adalah keinginan untuk tetap berada dan menjadi anggota organisasi karena usaha serta waktu yang telah diinvestasikan oleh karyawan akan
Universitas Sumatera Utara
digantikan dengan investasi lain seperti adanya biaya pensiun, hubungan dengan karyawan lain atau hal-hal khusus lain yang dapat diperoleh dari organisasi.
Menurut Meyer dan Allen 1997 continuance commitment berkaitan dengan persepsi seseorang terhadap biaya dan resiko yang akan diterima jika harus
meninggalkan organisasi. Individu yang memiliki continuance commitment akan tetap menjadi anggota dalam organisasi karena mereka memiliki kebutuhan untuk
menjadi anggota organisasi tersebut. Seseorang yang memiliki continuance commitment akan terikat dengan organisasi karena adanya alasan ekonomi dan
akan terdapat banyak hal yang harus dikorbankan seperti waktu serta usaha yang telah diinvestasikan bila individu meninggalkan organisasi Allen Meyer,
1990. Hal ini berarti bahwa individu bertahan dalam suatu organisasi karena membutuhkan organisasi tersebut. Semakin lama individu berada pada organisasi,
maka individu akan semakin tidak ingin kehilangan apa yang sudah diinvestasikan pada organisasi selama bekerja.
Terdapat dua faktor yang mempengaruhi continuance commitment yaitu faktor investasi dan alternatif. Faktor investasi berkaitan dengan pengorbanan
yang telah diberikan karyawan terhadap organisasi seperti waktu, tenaga dan usaha selama bekerja dan faktor alternatif berkaitan dengan persepsi karyawan
yang merasa bahwa mereka hanya memiliki alternatif pekerjaan yang sedikit. Hal ini dapat dipengaruhi salah satunya berdasarkan faktor usia dari individu Allen
Meyer dalam Dahesihsari, 2002. Usia menjadi hal yang berpengaruh pada saat seseorang melamar pekerjaan. Hal ini yang dapat menyebabkan seseorang merasa
memiliki alternatif pekerjaan yang sedikit terutama bagi orang-orang yang sudah
Universitas Sumatera Utara
memasuki masa dewasa madya karena mereka akan merasa kesulitan jika harus meninggalkan organisasi dan juga akan menyebabkan individu merasa kesulitan
dalam mengatasi masalah ekonomi. Hal ini terutama lebih dirasakan oleh seorang single parent yang secara umum bekerja atas dasar alasan ekonomi Egelman,
2004 yang menjadi salah satu alasan yang kuat yang mempengaruhi continuance commitment seseorang Alllen Meyer, 1990
Menurut Sager dalam Duval Miller, 1985 seorang ibu atau ayah yang mengasuh dan mendidik anak-anaknya seorang diri tanpa kehadiran, dukungan
dan tanggung jawab dari pasangannya disebut sebagai single parent. Menurut Hurlock 2004 orangtua tunggal single parent adalah orangtua baik ayah atau
ibu yang menduda atau menjanda yang dapat diakibatkan oleh kematian pasangan, perceraian atau kelahiran anak diluar nikah dan memiliki tanggung
jawab untuk memelihara anak-anak. Menurut Martin Colbert 1977 seseorang yang menjadi single parent baik karena pilihan ataupun bukan akan
mengakibatkan mereka memiliki tugas yang sulit. Berbagai permasalahan yang akan dihadapi seperti kondisi keuangan yang memburuk, memiliki sedikit
dukungan sosial dan juga role overload. Tantangan lain yang harus dihadapi adalah tidak adanya pasangan yang dapat membantu dan berbagi tanggung jawab
baik dalam hal keuangan ataupun melaksanakan pekerjaan rumah tangga. Menjadi single parent merupakan sebuah keadaan yang tidak dialami oleh
semua wanita dan akan menyebabkan berbagai permasalahan yang harus dihadapi. Secara umum, terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi oleh
wanita yang berperan sebagai seorang single parent yaitu dari segi sosial,
Universitas Sumatera Utara
ekonomi dan psikologis. Permasalahan dari segi sosial yang dialami oleh single parent yaitu kehidupan single parent yang dipandang sebagai hal yang negatif
oleh masyarakat Mahmudah, 1999. Single parent akan mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan oleh masyarakat dan kurang mendapat dukungan sosial
dan emosional. Wanita yang berperan sebagai single parent memiliki teman yang lebih sedikit, kurang terlibat dalam banyak kegiatan organisasi ataupun kegiatan
relaksasional jika dibandingkan dengan wanita masih yang memiliki suami Allesandri, 1992.
Dari segi psikologis, permasalahan yang dihadapi berkaitan dengan bagaimana cara yang dilakukan oleh individu untuk menciptakan figur pengganti
dari pasangannya Mahmudah, 1999. Setelah kehilangan pasangan, single parent akan kehilangan masa-masa yang dilalui bersama pasangan dalam pernikahan dan
juga kehilangan teman yang dapat menjadi tempat berbagi dalam segala hal. Permasalahan yang muncul dari segi ekonomi yaitu single parent harus
bertanggung jawab seorang diri untuk memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga Mahmudah, 1999. Sedangkan menurut Hurlock 2004 terdapat beberapa
permasalahan yang dialami oleh seorang wanita yang menjadi single parent yaitu masalah ekonomi, masalah sosial, masalah keluarga, masalah praktis, masalah
seksual, dan masalah tempat tinggal. Masalah ekonomi menjadi masalah utama yang banyak dialami oleh wanita yang berperan sebagai single parent Egelman,
2004. Bekerja mungkin dapat memberikan dampak positif dengan membantu single
parent untuk menanggulangi permasalahan ekonomi yang harus dihadapi tetapi
Universitas Sumatera Utara
disisi lain dapat menimbulkan permasalahan lainnya yaitu work-family conflict karena selain bekerja, single parent juga harus menjalankan perannya sebagai
orangtua yaitu untuk merawat, membimbing dan melindungi anak-anaknya. Work-Family Conflict dapat terjadi pada pria dan wanita, tetapi berdasarkan hasil
dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa tingkat intensitas terjadinya work- family conflict memiliki kemungkinan lebih besar untuk dialami oleh wanita
dibandingkan dengan pria Apperson, Schimdt, H. Moore, S. eGrunberg, 2002. Albrecht 1967 menyatakan bahwa wanita yang berperan sebagai single parent
dan harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga memiliki beban yang paling berat jika dibandingkan dengan wanita yang hanya berperan sebagai ibu
rumah tangga ataupun ibu yang bekerja dan masih memiliki pasangan sebagai tempat berbagi dan saling membantu. Pernyataan Albercht juga didukukung oleh
hasil penelitian yang dilakukan oleh Burden dalam Martin Colbert, 1997 yang menyatakan bahwa wanita yang berperan sebagai single parent memiliki tingkat
stres yang paling tinggi ketika harus menangani berbagai tanggung jawab atas rumah tangga dan pekerjaan.
Work-family conflict merupakan konflik yang timbul apabila peran di dalam pekerjaan dan keluarga saling menuntut untuk dipenuhi, pemenuhan peran yang
satu akan mempersulit pemenuhan peran yang lain Greenhaus Beutell, 1985. Hal ini terjadi pada saat seseorang berusaha untuk memenuhi tuntutan peran
dalam pekerjaan dan usaha tersebut dipengaruhi oleh kemampuan orang tersebut untuk memenuhi tuntutan keluarga, atau sebaliknya, yaitu pemenuhan tuntutan
Universitas Sumatera Utara
dalam keluarga dipengaruhi oleh kemampuan untuk memenuhi tuntutan pekerjaannya Frone, 1992.
Menurut Greenhause dan Butell 1985 terdapat tiga jenis work-family conflict yaitu time-based conflict, strain-based conflict dan behavior-based conlict. Time-
based conflict yaitu waktu yang dibutuhkan untuk memenuhi salah satu tuntutan keluarga atau pekerjaan dapat mengurangi waktu untuk menjalankan tuntutan
yang lainnya keluarga atau pekerjaan. Strain-based conflict yaitu terjadi pada saat tekanan dari salah satu peran mempengaruhi kemampuan dalam
melaksanakan peran lainnya. Behavior-based conlict yaitu berhubungan dengan ketidaksesuaian antara pola perilaku dengan yang diinginkan oleh kedua peran
keluarga atau pekerjaan. Work-family conflict merupakan situasi yang tidak diinginkan dan akan
berpengaruh terhadap individu dan organisasi. Work-family conflict dapat menyebabkan rendahnya kinerja karyawan, kehadiran yang tidak teratur,
tingginya tingkat turnover dan ketidakpuasan pada pekerjaan dan juga mempengaruhi komitmen karyawan terhadap organisasi Kossek Ozzeki dalam
Bull, 2009. Salah satu komponen komitmen organisasi yang dapat dipengaruhi oleh individu yang mengalami work-family conflict yaitu continuance
commitment. Dalam hal ini karyawan yang bekerja berdasarkan continuance commitmen bertahan dalam organisasi karena mereka butuh melakukan hal
tersebut akibat tidak adanya pilihan lain Allen Meyer, 1997. Terdapat dua aspek pada continuance commitment yaitu melibatkan pengorbanan pribadi
investasi jika meninggalkan organiasi dan tidak ada alternatif lain yang tersedia
Universitas Sumatera Utara
bagi individu. Hal ini merupakan suatu hal yang dialami oleh wanita yang berperan sebagai single parent dan bekerja karena mereka harus tetap bekerja
untuk memenuhi kebutuhan hidup karena mereka tidak memiliki pilihan lain bagaimanapun kondisi yang individu rasakan dalam organisasi tempatnya bekerja,
individu tetap harus bekerja karena individu akan mengalami kerugian jika meninggalkan organisasi seperti kehilangan sumber mata pencaharian.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka peneliti ingin melihat hubungan antara work-family conflict dengan continuance commitmentyang dalam hal ini dilihat
pada wanita yang berperan sebagai seorang single parent.
B. RUMUSAN MASALAH