Studi Pembuatan Sosis Berbasis Jamur Merang (Volvariella volvaceae)

(1)

SKRIPSI

STUDI PEMBUATAN SOSIS BERBASIS JAMUR MERANG Volvariella volvaceae

Oleh: USMAN F24103105

2009

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

STUDI PEMBUATAN SOSIS BERBASIS JAMUR MERANG Volvariella volvaceae

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh: USMAN F24103105

2009

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(3)

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

STUDI PEMBUATAN SOSIS BERBASIS JAMUR MERANG Volvariella volvaceae

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh: USMAN F24103105

Dilahirkan pada tanggal 12 Agustus 1985 di Banjarnegara, Jawa Tengah Tanggal Lulus: 7 September 2009

Menyetujui, Bogor, September 2009

Prof. Dr. Ir. Maggy T. Suhartono Pembimbing

Mengetahui, Bogor, September 2009

Dr. Ir. Dahrul Syah


(4)

Usman. F24103105. 2009. Studi Pembuatan Sosis Berbasis Jamur Merang (Volvaria volvaceae). Di bawah Bimbingan Prof. Dr. Ir. Maggy T. Suhartono

Ringkasan

Jamur merang merupakan salah satu sayuran yang memiliki kandungan serat cukup tinggi (4% b/b). Selain itu, jamur merang Volvariella volvaceae memiliki tekstur dan cita rasa yang khas serta nilai gizi yang cukup lengkap. Berdasarkan nilai gizi yang dikandung jamur merang tersebut maka jamur merang sangat potensial untuk dijadikan bahan baku pada produk-produk makanan olahan.

Salah satu produk makanan olahan yang ada di Indonesia adalah sosis. Sosis merupakan makanan olahan dari daging khususnya daging sapi dan daging ayam sehingga dijadikan sebagai salah satu pangan sumber protein. Saat ini belum ada produk sosis yang dijadikan sebagai sumber serat. Oleh karena itu, diversifikasi jamur merang menjadi produk sosis merupakan salah satu solusi untuk menghadirkan produk sosis sebagai salah satu pangan sumber serat.

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengembangkan formulasi sosis berbahan baku jamur merang serta untuk mengetahui sifat-sifat organoleptik dan fisikokimianya. Penelitian ini terdiri dari 2 tahap, yaitu tahap pengembangan formulasi dan metode sosis jamur merang, dan tahap optimasi formula sosis jamur merang. Tahap formulasi sosis jamur merang dilakukan untuk mengetahui komposisi bahan baku serta proses pembuatan sosis jamur merang yang tepat. Tahap optimasi dilakukan untuk menentukan formulasi sosis jamur merang terpilih.

Formulasi terbaik sosis jamur merang adalah sosis jamur merang dengan komposisi tepung maizena 10%, karagenan 6%, isolat protein kedelai 3%, garam 2,5%, minyak nabati 4%, dan putih telur 35%, bawang merah 0,5%, bawang putih 0,25% lada 0,1%, gula pasir 1,5%, pala 0,05%, MSG 0,1% dan jahe 0,5%. Nilai rata-rata kesukaan secara overall sosis jamur merang berkisar 3,87-4,87 (agak tidak sukar sampai agak suka). Produk terpilih yang diperoleh melalui uji pembobotan yaitu sosis jamur merang dengan tepung maizena 15%, pemasakan 15 menit. Sosis jamur merang terpilih memiliki kadar air sebesar 81,22% (bb), kadar abu 2,97% (bb), kadar protein 5,62% (bb), kadar lemak 1,89% (bb), kadar karbohidrat 8,3% (bb), dan kadar serat kasar 26,20% (bb). Berdasarkan uji fisik, sosis jamur merang terpilih memiliki nilai kekenyalan 0,74 Kgf, kehilangan padatan akibat pemasakan (cooking loss) sebesar 4,44 % (bb), dan daya ikat air sebesar 52,59%. Berdasarkan literature yang ada untuk produk sosis olahan daging dimana tingkat kekenyalan berkisar dari 0,5 Kgf sampai 0,8 Kgf, maka tingkat kelayakan sosis jamur merang pada penelitian ini sudah baik.


(5)

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Penulis bernama Usman, dilahirkan di Banjarnegara, Jawa Tengah pada tanggal 12 Agustus 1985. Penulis merupakan anak kedua dari pasangan Miski dan Rohpini. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 1997 di SDN 04 Petang Jakarta Utara, kemudian melanjutkan pendidikan lanjutan tingkat pertama di SLTP Negeri 116 Jakarta hingga tahun 2000. Penulis mengikuti pendidikan tingkat menengah atas di SMU 13 Jakarta dan lulus pada tahun 2003. Pada tahun 2003, penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Taknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB.

Selama menjalani studi di Institut Pertanian Bogor, penulis mengikuti beberapa organisasi antara lain: Unit Kegiatan Mahasiswa Pramuka (2003-2007), Badan Eksekutif Mahasiswa Fateta (2004-2005), Dewan Perwakilan Mahasiswa Fateta (2005-2006), dan Forum Bina Islami Fateta (2006-2007). Selain itu, penulis juga mengikuti beberapa seminar dan pelatihan. Sebagai tugas akhir, penulis melaksanakan penelitian dengan judul “ Pembuatan Sosis Berbasis Jamur Merang (Volvariella volvaceae ” di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Maggy T. Suhartono.


(6)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillaahirobbil ’alamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai tugas akhir untuk mendapatkan gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, FATETA, IPB. Ucapan terima kasih ingin penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yaitu:

1. Ayah (Miski) dan Ibu (Rohpini) atas doa yang tidak pernah terputus dan kasih sayang yang selama ini diberikan. Rohman,Susi Ratna Sari, Rismanto dan Irfan Julianto, adik-adik kebanggaanku yang terus menjadi penyemangat dalam hidup ini.

2. Prof. Dr. Ir. Maggy T. Suhartono, selaku dosen pembimbing yang banyak memberikan arahan dan bimbingannya.

3. Dr. Ir. Sukarno dan Ir. Sutrisno Koswara , MSi atas kesediannya untuk menguji.

4. Teman-teman seperjuangan Senior Residence Putra dan Putri di asrama TPB – IPB.

5. Sahabat karibku Sarwo, Arga, Susanto, Triatma, Ali, dan Sofwan yang selalu memberikan dorongan moral selama ini.

6. Teman-teman ITP angkatan 2003 (angkt’ 40) serta semua pihak yang telah membantu penulis, yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

7. Semua keluarga besar UKM Pramuka IPB yang selalu memberikan semangat dalam penyelesaian tugas akhir ini.

Penulis sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna sehingga kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan. Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan dan bagi pengembangan ilmu dan penerapan pembelajaran khususnya bagi Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2009 Penulis


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ... i

RIWAYAT HIDUP ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ... 1

B. TUJUAN ... 2

II. TINJUAN PUSTAKA A. JAMUR MERANG ... 3

B. KARAGENAN ... 5

C. PUTIH TELUR ... 7

D. SOSIS DAN SISTEM EMULSI SOSIS ... 8

E. PEMBUATAN SOSIS ... 12

1. Bahan-bahan Utama Pembuatan Sosis ... 12

2. Bahan Tambahan Sosis ... 14

3. Selongsong Sosis ... 17

4. Proses Pembuatan Sosis ... 17

F. SOSIS SEHAT NON DAGING... 19

III.METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT ... 20

B. METODE PENELITIAN ... 20

1. Pengembangan Formula dan Metode Sosis Jamur Merang ... 20

2. Optimasi Formula Sosis Jamur Merang ... 22

C. METODE ANALISIS ... 23

1. Analisis Kadar Air ... 23

2. Analisis Abu Total ... 24


(8)

4. Analisis Kadar Lemak ... 25

5. Analisis Kadar Karbohidrat ... 25

6. Analisis Kadar Serat Kasar ... 26

7. Pengukuran Kekenyalan ... 26

8. Penentuan Susut Masak ... 27

9. Penentuan Daya Ikat Air ... 27

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENGEMBANGAN FORMULASI DAN METODE SOSIS JAMUR MERANG ... 28

B. OPTIMASI FORMULA SOSIS JAMUR MERANG ... 36

1. Uji Organoleptik... 36

2. Uji Pembobotan ... 44

C. ANALISIS PRODUK TERPILIH ... 45

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN ... 49

B. SARAN ... 50

DAFTAR PUSTAKA ... 50


(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Komposisi kandungan zat gizi jamur dalam % per 100 g bahan ... 4

Tabel 2. Kandungan asam amino esensial jamur merang ... 5

Tabel 3. Syarat mutu karagenan ... 6

Tabel 4. Komposisi kimia putih telur ... 7

Tabel 5. Faktor-faktor yang mempengaruhi koagulasi telur. ... 8

Tabel 6. Jenis-jenis sosis ... 9

Tabel 7. Syarat mutu sosis daging... 10

Tabel 8. Formulasi dasar pembuatan sosis ... 21

Tabel 9. Formulasi optimasi sosis jamur merang... 23

Tabel 10. Kadar proksimat jamur merang, bahan pengikat, dan bahan pengisi sosis jamur merang. ... 31

Tabel 11. Formulasi ke-1 sosis jamur merang ... 31

Tabel 12. Formulasi ke-2 sosis jamur merang ... 33

Tabel 13. Formulasi ke-3 sosis jamur merang. ... 34

Tabel 14. Formulasi ke-4 sosis jamur merang.. ... 35

Tabel 15. Nilai total pembobotan pada setiap atribut sosis jamur merang ... 44

Tabel 16. Nilai rata-rata tiap sampel pada setiap atribut penilaian. ... 44


(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Proses pembuatan sosis jamur merang ... 20

Gambar 2. Persiapan bahan baku sosis jamur merang ... 28

Gambar 3. Hasil formulasi pertama sosis jamur merang ... 31

Gambar 4. Penampakkan melintang sosis hasil formulasi kedua ... 32

Gambar 5. Penampakkan melintang sosis hasil formulasi ketiga ... 34

Gambar 6. Penampakkan melintang sosis hasil formulasi keempat ... 33

Gambar 7. Hubungan antara sampel dengan skor rata-rata kesukaan panelis berdasarkan atribut warna. ... 36

Gambar 8. Hubungan antara sampel dengan skor rata- rata kesukaan panelis berdasarkan atribut aroma. ... 37

Gambar 9. Hubungan antara sampel dengan skor rata- rata kesukaan panelis berdasarkan atribut kekenyalan ... 38

Gambar 10. Hubungan antara sampel dengan skor rata- rata kesukaan panelis berdasarkan atribut kekompakkan... 39

Gambar 11. Hubungan antara sampel dengan skor rata- rata kesukaan panelis berdasarkan atribut kadar minyak ... 40

Gambar 12. Hubungan antara sampel dengan skor rata- rata kesukaan panelis berdasarkan atribut rasa ... 41

Gambar 13. Hubungan antara sampel dengan skor rata- rata kesukaan panelis berdasarkan atribut over all ... 42


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Form uji organoleptik ... 57

Lampiran 2. Form uji organoleptik (lanjutan)... 58

Lampiran 3. Form uji organoleptik (lanjutan) ... 59

Lampiran 4. Hasil sidik ragam dan uji lanjut atribut warna pada sosis jamur merang ... 60

Lampiran 5. Hasil sidik ragam dan uji lanjut atribut aroma pada sosis jamur merang ... 61

Lampiran 6. Hasil sidik ragam dan uji lanjut atribut kekenyalan pada sosis jamur merang ... 62

Lampiran 7. Hasil sidik ragam dan uji lanjut atribut kekompakkan pada sosis jamur merang ... 63

Lampiran 8. Hasil sidik ragam dan uji lanjut atribut kadar minyak pada sosis jamur merang ... 64

Lampiran 9. Hasil sidik ragam dan uji lanjut atribut rasa pada sosis jamur merang ... 65

Lampiran 10. Hasil sidik ragam dan uji lanjut atribut over all pada sosis jamur merang ... 66

Lampiran 11. Lembar (form) penilaian pada uji pembobotan ... 67

Lampiran 12. Hasil penilaian terhadap uji pembobotan ... 68


(12)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masih banyak orang kurang memahami jika serat makanan mempunyai peranan vital bagi kesehatan. Selain untuk kesehatan pencernaan dan memudahkan buang air besar, beberapa jenis penyakit dapat dicegah kehadirannya, termasuk penyakit berat seperti penyakit jantung koroner, diabetes, kolesterol darah yang tinggi, kanker, dan penyakit lainnya. Serat makanan (diatery fiber) adalah komponen dalam tanaman yang tidak tercerna secara enzimatik menjadi bagian-bagian yang dapat diserap di saluran pencernaan. Serat secara alami terdapat dalam tanaman.

Belum ada patokan baku atas konsumsi serat untuk setiap orang. Anjuran biasanya ditujukan untuk kelompok tertentu. US FDA menganjurkan Total Dietary Fiber (TDF) 25 g/2000 kalori atau 30 g/2500 kalori. The American Cancer Society, The American Heart Association dan The American Diabetic Association menyarankan 25-35 g fiber/hari dari berbagai bahan makanan. Konsensus nasional pengelolaan diabetes di Indonesia menyarankan 25 g/hari bagi orang yang berisiko menderita dibetes melitus. PERKI (Perhimpunan Kardiologi Indonesia) 2001 menyarankan 25-30 g/hari untuk kesehatan jantung dan pembuluh darah. American Academy of Pediatrics menyarankan kebutuhan Total Dietary Fiber sehari untuk anak adalah jumlah umur (tahun) ditambah dengan 5 gram (http://www.edumuslim.com).

Jamur merang merupakan salah satu sayuran yang memiliki kandungan serat cukup tinggi (4% b/b). Selain itu, jamur merang Volvariella volvaceae memiliki tekstur dan cita rasa yang khas serta nilai gizi yang cukup lengkap. Berdasarkan nilai gizi yang dikandung jamur merang tersebut maka jamur merang sangat potensial untuk dijadikan bahan baku pada produk-produk makanan olahan.

Salah satu produk makanan olahan yang ada di Indonesia adalah sosis. Sosis merupakan makanan olahan dari daging khususnya daging sapi dan daging ayam sehingga dijadikan sebagai salah satu pangan sumber protein. Saat ini belum ada produk sosis yang dijadikan sebagai sumber serat. Oleh karena itu, diversifikasi


(13)

jamur merang menjadi produk sosis merupakan salah satu solusi untuk menghadirkan produk sosis sebagai salah satu pangan sumber serat.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mempelajari proses pembuatan sosis kaya serat berbahan baku jamur merang Volvariella volvaceae serta menganalisis sifat-sifat organoleptik dan fisikokimianya.


(14)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Jamur Merang

Jamur merang Volvariella volvaceae merupakan jamur bersifat saprofit yang dapat dimakan dan sudah dibudidayakan secara meluas baik di daerah tropis maupun subtropis di Asia, meliputi Hongkong, Thailang, Taiwan, Indonesia, Malaysia, dan Filiphina (Chang, 1972). Jamur ini merupakan organisme heterotrop yang mengambil zat organik dari tanaman atau bahan lain untuk keperluan hidupnya. Tubuh jamur merang berwarna cokelat gelap sampai hitam dengan bentuk seperti telur. Tubuh jamur ini dilapisi sebuah selaput yang dinamakan selubung atau kulit jamur. Ciri-ciri lainnya adalah tudungnya berwarna abu-abu cokelat berbentuk bulat cembung dengan diameter sekitar 5-10 cm, batang dari tubuh buahnya dapat mencapai 4,5-14 cm, berwarna putih sampai cokelat dan bagian bawahnya sedikit membesar. Di bawah tudung terdapat bilah-bilah (lamella) yang merupakan tempat pembentukan spora-spora untuk berkembang biak (Gunawan, 1992)

Menurut Chang (1982), jamur merang adalah jamur bertudung besar dan berwarna abu-abu tua dengan diameter kurang lebih 8 cm apabila terbuka penuh. Selama pertumbuhannya, jamur dibagi dalam enam tahap pertumbuhan yaitu : jarum pentul (pinhead), kancing kecil (tiny button), kancing (button), telur (egg), pemanjangan (elongation) dan dewasa ( mature).

Jenis-jenis jamur yang dapat dimakan pada umumnya mengandung karbohidrat, protein lemak, dan mineral. Jamur merang selain mempunyai rasa yang lezat, juga memiliki nilai gizi yang tinggi. Kadar protein jamur merang lebih tinggi dibandingkan dengan beberapa jenis sayuran dan buah-buahan lainnya (Tranggono et al., 1983).


(15)

Tabel 1. Komposisi kandungan zat gizi jamur merang per 100 g bahan.

Komposisi Kondisi segar Kondisi kering

Air (%) 87,7 14,9

Energi (kal) 39,0 274,0

Protein (gram) 3,8 16,0

Lemak (gram) 0,6 0,9

Total karbohidrat (gram) 6,0 64,6

Serat (gram) 1,2 4,0

Abu (gram) 1,0 3,6

Kalsium (mg) 3,0 51,0

Besi (mg) 1,7 6,7

Thiamin (mg) 0,11 0,09

Riboflavin (mg) 0,17 1,06

Niacin (mg) 8,3 19,7

Asam askorbat (mg) 8,0 -

Fosfor (mg) 94,0 223,0

Sumber : Karjono (1992)

Asam amino esensial yang terdapat pada jamur ada 10 jenis dari 20 asam amino yang dikenal yaitu lisin, metionin, triptofan, treonin, valin, leusin, isoleusin, histidin, arginin, dan fenilalanin. Kandungan asam amino esensial pada jamur merang disajikan pada Tabel 2. Senyawa-senyawa karbohidrat yang terkandung dalam jamur meliputi gula reduksi, gula amino, gula alkohol, dan gula asam. Senyawa-senyawa ini memyebabkan rasa manis pada jamur. Fraksi protein maupun non protein yang mengandung nitrogen dari jamur sangat mempengaruhi citarasa jamur. Sedangkan fraksi lemak jamur ada hubungannya dengan rasa dan aroma, dengan adanya asam lemak tak jenuh seperti palmitat, oleat, dan linoleat.


(16)

Tabel 2. Kandungan asam amino esensial jamur merang

Asam amino Kandungan (mg/g protein)

Leusin 3,5

Isoleusin 5,5

Valin 6,8

Histidin 2,1

Triptofan 1,1

Lisin 4,3

Fenilalanin 4,9

Threonin 4,2

Arginin 4,1

Metionin 0,9

Sumber : Chang (1982)

2.2. Karagenan

Karagenan merupakan polisakarida berantai lurus dari D-galaktosa dan 3,6-anhidro-D-galaktosa yang mengandung sulfat yang diekstrak dari rumput laut merah (Fardiaz, 1989). Menurut Towle (1973) yang dikutip Nussinovitch (1997), karagenan dihasilkan dari rumput laut yang diekstraksi dengan air atau larutan alkali panas yang diikuti proses dekolorisasi dan pengeringan. Karagenan diekstrak dari spesies tertentu kelas Rhodophyceae (alga merah) umumnya dari marga Eucheuma, yaitu Eucheuma cotonii, Eucheuma spinosum, dan Chondrus crispus.

Karagenan serta garam-garamnya diklasifikasian dalam kategori GRAS ( 21 CFR 182.7255) dan telah disetujui oleh Food and Drug Adinistration (FDA) sebagai bahan tambahan pangan (21 CFR 172.620). Karagenan ini digunakan pada tahap GMP (Good Manufacturing Practice) yaitu suatu jumlah bahan yang ditambahkan ke dalam makanan tidak lebih dari jumlah yang dibutuhkan untuk mendapatkan pengaruh yang dinginkan (Nussinovitch, 1997).


(17)

Tabel 3. Syarat mutu karagenan

Kadungan Batas

Arsenik (as) Tidak lebih dari 3 ppm (0,0003%)

Abu (tidak larut asam) Tidak lebih dari 1,0%

Abu (total) Tidak lebih dari 35%

Logam berat (Pb) Tidak lebih dari 40 ppm (0,004%)

Timah hitam Tidak lebih dari 10 ppm (0,001 %)

Kehilangan pada pengeringan Tidak lebih dari 12%

Sulfat Antara 18 dan 40% (berat kering)

Kekentalan dari larutan 15% Tidak kurang dari 5 cps pada 75oC Sumber : Food Chemical Codex III, 1981 yang dikutip Mukti, 1987).

Karagenan merupakan polisakarida yang diekstrak dari beberapa anggota Rhodophyceae dengan menggunakan air panas (Greer et al, 1984, diacu dalam Harun, 1993). Berdasarkan unit penyusunnya, karagenan dapat dibagi menjadi lima kelompok, yaitu : kappa-, iota-, lamda-, mu-, dan nu-karagenan. Dari lima kelompok tersebut hanya tiga yang memiliki nilai ekonomis yaitu kappa-, iota-, dan lamda-karagenan (Towle, 1973).

Karagenan dapat digunakan sebagai bahan penstabil karena mengandung gugus sulfat yang bermuatan negatif di sepanjang rantai polimernya dan bersifat hidrofilik yang dapat mengikat air atau gugus hidroksil lainnya (Moraino, 1977). Berdasarkan sifatnya yang hidrofilik tersebut, maka penambahan karagenan dalam produk emulsi akan meningkatkan viskositas fase kontinu sehingga emulsi menjadi stabil (Frasier dan Parker, 1985 dikutip Widodo, 2008).

Karagenan akan stabil pada pH 7 atau lebih tinggi, sedangakan pada pH yang lebih rendah dari 7 stabilitas karagenan menurun, khususnya dengan peningkatan suhu. Pada pH yang lebih rendah dari 7, polimer karagenan terhidrolisa sehingga kemampuan membentuk gel menjadi hilang. Namun demikian, dalam praktek penerapanya, suatu gel terbentuk pada pH kurang dari 7 dan hidrolisa terjadi tidak lama sehingga gel dapat stabil (Glicksman, 1983). Tidak adanya 3,6 anhydro-D-galaktosa dalam karagenan hanya akan menyebabkan larutan menjadi kental dan tidak membentuk gel (Gree et at , 1984 diacu dalam Harun, 1993).


(18)

2.3. Putih Telur

Putih telur terdiri dari beberapa lapisan yang berbeda kekentalannya, yaitu lapisan encer luar, lapisan kental luar, lapisan encer dalam, dan lapisan kental dalam (Powrie,1977). Selanjutnya, Powrie (1977) menerangkan bahwa putih telur merupakan sistem protein yng tersusun oleh serabut-serabut ovomusin di dalam larutan aquoeus dari sejumlah protein globular. Komposisi kimia putih telur disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 4. Komposisi kimia putih telur

Komponen Persentase

Protein 9,7 – 10,6

Lipid 0,03

Karbohidrat 0,4 – 0,9

Abu 0,5 – 0,6

Sumber : Powrie (1977)

Baldwin (1977) melaporkan bahwa koagulasi protein disebabkan karena molekul-molekul protein mengalami agregasi dan terbentuknya ikatan-ikatan antar molekul, seperti ikatan hidrofobik, ikatan hidrogen, dan ikatan disulfida. Adanya ikatan-ikatan antar molekul tersebut menyebabkan protein menjadi tidak larut. Koagulasi putih telur oleh panas dipengaruhi oleh beberapa kondisi pemanasan. Koagulasi putih telur dimulai pada suhu 62oC dan putih telur tidak bersifat mengalir lagi pada suhu 65oC. pada suhu 70oC gumpalannya teguh tetapi lunak dan menjadi sangat teguh pada suhu yang lebih tinggi. Pengenceran menaikkan suhu koagulasi telur. Jika cairan yang ditambahkan berlebihan maka konsistensinya akan menyerupai bubur yang mungkin terpisah selama pemasakan. Jika cairan ditambahkan terlalu sedikit dan telur dimasak terlalu lama maka akan menghasilkan konsistensi yang kenyal.


(19)

Tabel 5. Faktor-faktor yang mempengaruhi koagulasi telur.

Faktor Pengaruh

Suhu Putih telur mulai terkoagulasi pada suhu 62oC Pengenceran Menaikkan temperatur koagulasi

Garam Secara alami, garam penting untuk koagulasi. Penambahan garam mempercepat koagulasi

Gula Menaikkan temperatur koagulasi Asam Menurunkan temperatur awal koagulasi Basa Membentuk gel jernih pada pH di atas 11,9 Sumber : Baldwin (1977)

2.4. Sosis dan Sistem Emulsi Sosis

Sosis berasal dari bahasa latin yaitu salsus yang secara harfiah berarti daging yang disiapkan melalui penggaraman, karena pada awal pembuatannya sosis dibuat melalui penggaraman dan pengeringan daging (Rust, 1987). Proses pembuatan sosis saat ini tidak lagi sebatas memberikan garam dan melakukan pengeringan pada daging, namun sekarang ini sosis dibuat dari daging yang digiling dan diberikan bumbu dan biasanya dibentuk menjadi bentuk yang simetris (Tauber, 1985)

Sosis segar dibuat dari daging segar, dicacah, dilumatkan atau digiling, diberi garam dan bumbu-bumbu, dimasukkan, dan dipadatkan di dalam selongsong serta harus dimasak sebelum dimakan. Sosis masak dibuat dari daging segar, bisa ditambahkan bahan-bahan lain atau tidak, dimasukkan, dan dipadatkan di dalam selongsong, tidak diasap dan setelah dibuat harus segera dimasak. Sosis kering dan agak kering dibuat dari daging yang ditambahkan bahan-bahan lain dan dikeringkan udara, dapat diasap sebelum pengeringan serta dapat dikonsumsi dalam keadaan dingin atau setengah masak (Soeparno, 1994)

Berdasarkan metode pembuatannya, sosis dikelompokkan ke dalam enam kelas yaitu : sosis segar, sosis tidak dimasak tapi diasap, sosis dimasak dan diasap, sosis masak, sosis kering dan semi kering serta difermentasi dan sosis spesialis daging masak (Kramlich, 1971).


(20)

Tabel 6. Jenis-jenis sosis

Jenis Karakteristik Contoh

Sosis segar Dari daging segar, tidak dikuring, digiling, berbumbu, dibungkus, dimasak sebelum dihidangkan.

Sosis babi segar, Bratwurst, Bockwurst

Sosis kering, semi kering

Daging kuring, mengalami proses pengeringan, dapat diasap sebelum pengeringan atau dapat pula dihidangkan langsung.

Genoa salami, Pepperoni, Lebanon bologna

Sosis masak Dikuring atau tidak, digiling, berbumbu, dibungkus, dimasak dan kadang-kadang diasap, dapat langsung

dihidangkan.

Sosis hati, Braunchweiger

Sosis masak, dan diasap Daging kuring, digiling, berbumbu, dibungkus, dimasak, dapat langsung dihidangkan

Frankfurters,

Bologna, Cotto salami

Sosis tidak masak, tetapi diasap

Daging segar,

dikuring/tidak, dibungkus, diasap, harus dimasak sebelum dihidangkan.

Mettwurst, Kielbasa

Bola daging (cooked meat specialities)

Daging mutu tinggi, dikuring/tidak, dimasak, jarang diasap, dapat langsung dihidangkan

Loaves, Scrapple, Meat balls.


(21)

Tabel 7. Syarat mutu sosis daging

No Kriteria Uji Satuan Persyaratan

1 Keadaan

1.1 Bau - Normal

1.2 Rasa - Normal

1.3 Warna - Normal

1.4 Tekstur -

2 Air % bb Maks 67,0

3 Abu % bb Maks 3,0

4 Protein % bb Min 13,0

5 Lemak % bb Maks 25,0

6 Karbohidrat % bb Maks 8

7 Bahan tambahan makanan

Sesuai dengan SIN 01-0222-1995

7.1 Pewarna

7.2 Pengawet

8 Cemaran logam

8.1 Timbal (Pb) mg/kg Maks 2,0

8.2 Tembaga (cu) mg/kg Maks 20,0

8.3 Seng (Zn) mg/kg Maks 40,0

8.4 Timah (Sn) mg/kg Maks 40,0 (250,0*)

8.5 Raksa (Hg) mg/kg Maks 0,03

9 Cemaran arsen (As) mg/kg Maks 0,1

10 Cemaran mikroba

10.1 Angka total lempeng Koloni/g Maks 105

10.2 Bakteri bentuk koi APM/g Maks 10

10.3 Eccherichia coli APM/g <3

10.4 Enterococci Koloni/g 102

10.5 Clostridium perfringens - Negatif

10.6 Salmonella - Negatif

10.7 Staphilococcus aureus Koloni/g Maks 102


(22)

Emulsi adalah suatu dispersi atau suspensi suatu cairan dalam cairan yang lain, yang molekul-molekul kedua cairan tersebut tidak saling berbaur tetapi saling antagonik. Air dan minyak merupakan cairan yang tidak saling berbaur tetapi saling ingin terpisah karena memiliki berat jenis yang berbeda. Suatu emulsi biasanya terdapat tiga bagian utama yaitu bagian terdispersi yang terdiri dari butir-butir yang biasanya terdiri dari lemak, bagian kedua disebut media pendispersi yang juga dikenal sebagai fase kontinyu, yang biasanya terdiri dari air, dan bagian ketiga adalah emulsifier yang berfungsi menjaga agar butir minyak tetap tersuspensi di dalam air (Winarno, 1997). Jika air sebagai fase pendispersi dan minyak sebagai fase terdispersi, emulsi ini disebut sebagai emulsi minyak dalam air (O/W), sebaliknya jika minyak sebagai fase pendispersi dan air sebagai fase terdirperasi maka emulsi ini disebut emulsi air dalam minyak (W/O) (deMan, 1997)

Stabilitas emulsi menunjukkan kestabilan suatu bahan dalam sistem emulsi atau terdapat keseragaman molekul fase pendispersi dan fase terdispersi dalam kondisi baik. Kestabilan emulsi terjadi apabila suatu partikel terdispersi yang terdapat dalam bahan tidak mempunyai kecenderungan untuk bergabung dengan partikel lain dan membentuk lapisan yang terpisah. Untuk mendapatkan emulsi yang pekat dan stabil dari kedua cairan, baik sistem minyak dalam air (o/w) maupun air dalam minyak (w/o), maka diperlukan komponen ketiga yaitu bahan pengemulsi. Fungsi dari komponen ketiga adalah untuk mempercepat atau mempermudah terjadinya proses emulsi dan memberikan atau meningkatkan kestabilan emulsi. Pengemulsi merupakan senyawa aktif permukaan yang mampu menurunkan tegangan antar permukaan, antara permukaan udara-cairan dan cairan-cairan. Kemampuan ini merupakan akibat dari struktur molekul pengemulsi yang mengandung dua bagian yang jelas, satu bagian mempunyai sifat polar atau sifat hidrofil, bagian yang lain bersifat non polar atau hidrofob. Jumlah pengemulsi yang dibutuhkan tergantung dari besarnya ukuran partikel emulsi. Semakin kecil ukuran partikel emulsi maka jumlah pengemulsi yang dibutuhkan akan meningkat (deMan, 1997).

Stabilitas emulsi dipengaruhi oleh temperatur selama proses emulsifikasi, ukuran partikel lemak, pH, viskositas emulsi, jumlah dan tipe protein yang larut. Penggilingan dan pemanasan yang berlebihan serta terlalu cepat akan mengakibatkan terjadinya perpecahan emulsi. Hal ini disebabkan oleh diameter


(23)

pertikel lemak yang semakin kecil dan luas permukaan lemak semakin besar, sehingga protein tidak cukup untuk menyelubungi semua partikel lemak. Lemak yang tidak terselubungi akan keluar dari emulsi sehingga akan terpisah dan keluar dari sosis (Kramlich, 1971).

2.5. Pembuatan Sosis

2.5.1. Bahan-bahan utama pembuatan sosis

Sosis merupakan salah satu produk daging giling yang diberi bumbu dan dapat mengalami proses kuring, pemanasan, dan pengasapan (Forrest et al., 1975). Sosis umumnya dibuat dari daging, lemak, bahan pengisi dan pengisi, air, garam dapur, dan bahan tambahan lain, seperti bumbu-bumbu dan zat aditif.

Bahan pengikat dan bahan pengisi adalah bahan bukan daging yang ditambahkan ke dalam sosis dengan tujuan untuk meningkatkan kestabilan emulsi, mengurangi penyusutan selama pemasakan, memperbaiki sifat irisan, memperbaiki citarasa serta mengurangi biaya produksi (Kramlich, 1971). Bahan pengikat dan bahan pengisi ditambahkan ke dalam formulasi pembuatan sosis dengan tujuan untuk : (1) Mengurangi harga formulasi, (2) Memperbaiki hasil masakan, (3) Memperbaiki karakteristik irisan, (4) Memperbaiki aroma, (5) menambah kandungan protein, (6) Memperbaiki stabilitas emulsi, (7) Memperbaiki proses pengikatan lemak, dan (8) Meningkatkan pengikatan air (Tauber, 1985).

Bahan pengisi yang ditambahkan ke dalam pembuatan sosis terdiri dari tepung-tepungan yang memiliki kandungan pati yang tinggi, namun kandungan proteinnya rendah. Bahan pengisi mempunyai kemampuan untuk mengikat sejumlah besar air, namun kemampuan emulsifikasinya rendah (Albert, 2001). Bahan pengisi yang umumnya digunakan dalam pembuatan sosis adalah tepung serealia, ekstrak pati, dan sirup jagung atau padatannya. Kandungan pati dalam bahan tersebut tinggi tetapi kadar proteinnya rendah, sehingga mempunyai kemampuan untuk mengikat air, tetapi tidak berperan dalam mengemulsi lemak (Wilson, 1981)

Bahan pengikat merupakan bahan bukan daging yang ditambahkan ke dalam pembuatan sosis yang mempunyai kemampuan untuk mengikat air dan mengemulsi lemak. Bahan pengikat menurut asalnya dibedakan menjadi


(24)

bahan pengikat hewani dan bahan pengikat nabati. Bahan pengikat hewani merupakan produk susu yang meliputi susu bubuk tanpa lemak, susu bubuk tanpa lemak rendah kalsium, dadih susu, dan sodium kaseinat. Bahan pengikat nabati yang sering digunakan dalam pembuatan sosis adalah produk kedelai (Kramlich, 1971).

Untuk menghasilkan sosis masak yang stabil, lemak dipreemulsikan dalam air dengan penambahan protein seperti isolat protein kedelai. Metode ini menghasilkan daya ikat air dan minyak yang lebih tinggi, stabilitas emulsi yang lebih tinggi, dan hilangnya rasa berminyak dalam produk akhir (Cross dan Overby, 1988). Isolat protein kedelai adalah produk dari protein kedelai bebas lemak atau berlemak rendah (bisa dibuat dari kedelai utuh) yang diolah sedemikan rupa sehingga kandungan proteinnya tinggi. Menurut definisinya, kandungan protein pada isolat protein kedelai minimum 95%. Isolat protein kedelai sangat dibutuhkan dalam industri pangan, karena banyak sekali digunakan untuk formulasi berbagai jenis makanan. Yang diinginkan dari isolat protein kedelai adalah sifat fungsional proteinnya. Sifat ini menentukan pemakaian atau fungsi produk tersebut dalam berbagai produk makanan (Koswara, 2005).

Isolat protein kedelai merupakan bentuk protein kedelai yang paling murni karena kadar proteinnya minimum 95% dalam berat kering. Produk ini hampir bebas dari karbohidrat, serat, dan lemak sehingga sifat fungsionalnya lebih baik dibandingkan dengan konsentrat dan tepung kedelai (Koswara, 2005). Isolat protein kedelai biasanya digunakan sebagai bahan campuran dalam makanan olahan daging dan susu. Isolat protein kedelai baik sekali digunakan dalam formulasi berbagai produk makanan, juga sebagai bahan pengikat dan pengemulsi dalam produk-produk daging (Koswara, 2005). 2.5.2. Bahan tambahan

Bahan tambahan atau bahan pembantu adalah bahan yang sengaja ditambahkan ke dalam suatu adonan dengan maksud atau tujuan tertentu, misalnya untuk meningkatkan konsistensi, nilai gizi, citarasa, mengendalikan keasaman dan kebasaan, serta memantapkan bentuk dan rupa (Winarno et al, 1988).


(25)

1). Garam

Garam bisa terdapat secara alami dalam makanan atau ditambahkan dalam pengolahan dan penyajian makanan. Penggunaan garam dianjurkan tidak terlalu banyak karena akan menyebabkan terjadinya penggumpalan atau salting out dan rasa produk menjadi terlalu asin (Buckle et al , 1987). Secara umum pada pembuatan sosis, jumlah garam yang ditambahkan adalam 2-3% (Rust, 1987).

Nilai penting dalam keberhasilan pembuatan sosis adalah kemampuan dari garam untuk melarutkan protein. Kelarutan protein ini menjalankan fungsi sebagai emulsifier di mana akan menyelubungi partikel lemak dan mengikat air serta dalam menjaga kestabilan emulsi sosis. Dalam menjalankan fungsi membantu mengikat air, garam juga membantu mempertahankan produk yang dihasilkan (Kramlich, 1971). 2). Gula

Gula adalah istilah umum yang sering diartikan bagi setiap karbohidrat yang digunakan sebagai pemanis, tetapi dalam industri pangan biasanya digunakan untuk menyatakan sukrosa, gula yang diperoleh dari bit atau tebu (Buckle et al, 1987).

Pemberian gula akan mempengaruhi citarasa yaitu meningkatkan rasa manis, kelezatan, aroma, tekstur daging, dan mampu menetralisir garam yang berlebihan serta menambah energi. Selain itu gula memiliki daya larut yang tinggi, kemampuan mengurangi keseimbangan kelembaban relatif (ERH) dan mengikat air sehingga dapat berfungsi sebagai pengawet. Adanya glukosa, sukrosa, pati, dan lain-lain dapat menigkatkan citarasa pada makanan serta menimbulkan rasa khusus pada makanan (Buckle et al., 1987). Gula jika dipanaskan akan bereaksi dengan asam amino sehingga terbentuk warna coklat yang membuat bahan lebih menarik (Winarno, 1997).

Gula berfungsi untuk memodifikasi rasa dan menurunkan kadar air yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroorganisme. Konsentrasi gula yang tinggi dalam curring berfungsi sebagai bahan pengawet (Soeparno, 1994).


(26)

3). Bawang putih.

Bawang putih berfungsi sebagai penambah aroma dan untuk meningkatkan citarasa produk yang dihasilkan. Bawang putih mengandung senyawa pembentuk aroma dan juga senyawa-senyawa berkhasiat lainnya. Bawang putih merupakan bahan alami yang biasanya ditambahkan ke dalam makanan atau produk sehingga diperoleh aroma yang khas guna meningkatkan selera makan. Bau khas pada bawang putih berasal dari senyawa allisin.

4). Air atau es

Air merupakan salah satu bahan yang umumnya ditambahkan dalam adonan sosis. Jumlah air yang ditambahkan ke dalam adonan sosis adalah 20%-30% dari berat daging dan umumnya air yang ditambahkan dalam bentuk es (Forrest et al. 1975). Penambahan air dalam bentuk es atau air es bertujuan untuk 1) melarutkan garam dan mendistribusikan secara merata ke seluruh bagian massa daging, 2) memudahkan ekstraksi protein serabut otot, 3) membantu pembentukan emulsi, 4) mempertahankan suhu daging agar tetap rendah selama penggilingan dan pembuatan adonan (Kramlich, 1971). Penambahan air yang terlalu banyak akan menyebabkan tekstur sosis menjadi lunak, demikian pula sebaliknya. (Morisson et al., 1971)

5). Lemak

Penambahan lemak pada pembuatan sosis bertujuan untuk memperoleh produk sosis yang kompak, tekstur empuk, serta rasa dan adonan yang lebih baik. Jumlah penambahan lemak dalam penambahan pembuatan sosis berkisar antara 5-25% (Amano, 1965). Menurut Kramlich (1971), jika jumlah lemak tidak tepat maka akan dihasilkan emulsi yang tidak kuat. Lemak berfungsi sebagai fase diskontinyu dari emulsi sosis, oleh karena itu lemak merupakan salah satu komponen yang penting. Keempukan dan kebasahan (juiceness) sosis juga dipengaruhi oleh kandungan lemak.

Jumlah lemak yang ditambahkan harus seimbang dengan jumlah air dan protein. Apabila jumlah yang ditambahkan terlalu sedikit, maka akan menghasilkan sosis keras dan kering, sebaliknya apabila penambahan lemak berlebihan, maka akan menghasilkan sosis yang


(27)

keriput dan lunak, karena selama pemasakan terjadi kehilangan lemak (cooking loss) yang tinggi sehingga sebagian lemak akan terpisah (Wilson et al., 1981). Jumlah penambahan lemak dalam pembuatan sosis dibatasi untuk mempertahankan teksur selama pengolahan dan penanganan. Jumlah yang ditambahkan tidak boleh lebih dari 30% dari bobot daging (Kramlich, 1971).

Jenis lemak juga mempengaruhi kestabilan emulsi. Lemak dengan asam lemak jenuh dan trigliserida berantai pendek lebih mudah membentuk emulsi dibandingkan dengan yang berantai panjang. Sedangkan pada rantai karbon yang sama, asam lemak dengan satu ikatan rangkap lebih mudah teremulsi dibandingkan dengan asam lemak dengan dua ikatan rangkap (Cristian dan Suffle, 1967)

6). Bumbu

Bumbu-bumbu yang ditambahkan dalam pembuatan sosis dimaksudkan untuk menambah citarasa sesuai selera konsumen. Bumbu yang digunakan dalam pembuatan sosis adalah merica, bawang putih, bawang merah, pala, jahe, dan MSG. Menurut Soeparno (1994), penambahan bahan penyedap dan bumbu terutama ditujukan untuk menambah atau meningkatkan rasa, karena bahan penyedap dapat meningkatkan dan memodifikasi flavour yang berbeda. Beberapa bumbu ini bersifat antioksidan sehingga dapat menghambat ketengikan serta memiliki akivitas antimikroba sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroba merugikan.

2.5.3. Selongsong

Selongsong atau casing adalah sarung pembungkus yang digunakan untuk membungkus dan membentuk sosis. Karakteristik casing akan berpengaruh terhadap kualitas sosis yang dihasilkan. Casing yang umumnya digunakan dalam industri adalah casing sintetis dan casing kolagen. Penggunaan casing ini menggantikan casing alami dari usus hewan yang bersifat kurang awet dan keseragaman ukuran yang rendah. Casing kolagen terbuat dari agar-agar atau kulit hewan sehingga dapat dimakan. Sedangkan casing sintetis umumnya terbuat dari plastik polyamide sehingga tidak dapat dimakan. Ada juga casing sintetis yang terbuat dari film vinylidene chloride dan rubber hidrochloride yang bisa tahan pada suhu pemasakan 100oC


(28)

selama 1-2 jam. Film vinylidene kloroda bersifat kurang permeable, transparan, dan tidak bereaksi secara kimia tetapi kurang tahan terhadap kerusakan mekanik. Film rubber hidroklorida lebih elastis dan kuat, tetapi tidak transparan dan kurang permeable terhadap gas (Suzuki, 1981). Penggunaan casing sintetis ini lebih menguntungkan karena karakteristiknya (pori, ketahanan panas, dapat diatur sesuai dengan kebutuhan, dapat diprinting atau diwarnai, dan keseragaman ukurannya yang tinggi.

2.5.4. Proses Pembuatan Sosis

Menurut Tauber (1985), tahap-tahap pengolahan secara lengkap untuk membuat sosis adalah pemilihan bahan-bahan yang akan digunakan dalam pembuatan sosis, penggilingan, pencampuran (termasuk ke dalamnya adalah pencacahan dan pengemulsian), pemasukan dalam selongsong, pengikatan, penggantungan, pemasakan (pengasapan dan/atau perebusan), pendinginan (penyemprotan dengan air dingin atau penyimpanan dingin), pengupasan atau pemotongan, dan pengemasan.

Pembuatan sosis dimulai dengan penggilingan daging sehingga diperoleh daging yang halus dan seragam ukurannya. Menurut Tauber (1985), tujuan penggilingan adalah untuk menghasilkan daging yang mempunyai komposisi daging dan lemak merata. Umumnya daging yang akan digiling telah didinginkan terlebih dahulu sampai temperatur -2oC. Menurut Wilson (1960), kondisi tersebut diupayakan agar temperatur penggilingan dapat dipertahankan tetap di bawah 22oC untuk mencegah terdenaturasinya protein sebagai emulsifier utama. Kemudian dilanjutkan dengan tahap pengadukan atau pencampuran. Pada tahap ini diharapkan butiran lemak yang ditambahkan akan terdistribusi secara merata, biasanya digunakan mesin pencacah dan atau mesin penggiling yang merupakan gabungan dari sistem penggilingan dan pencacah (Tauber, 1985). Pada tahapan ini bahan kuring seperti serpihan es atau air dingin, garam dapur, bahan pengikat, dan bahan-bahan tambahan-bahan lainnya juga ditambahkan sehingga dapat terdistribusi merata dan temperatur adonan yang terbentuk dipertahankan serendah mungkin sekitar 3oC sampai 11oC (Kramlich, 1971) agar diperoleh stabilitas emulsi yang maksimum.


(29)

Tahap berikutnya adalah pemasukan adonan ke dalam mesin pengisi (filler) dan dimasukkan ke dalam selongsong sosis (casing). Pemasukan adonan sosis ke dalam selongsong menggunakan alat khusus (Tauber, 1985) dan bertujuan untuk membentuk dan mempertahankan kestabilan emulsi (Kramlich, 1971) serta mengurangi terbentuknya kantong-kantong udara yang akan mempengaruhi mutu sosis.

Pemasakan bertujuan untuk mengkoagulasikan protein sehingga menghasilkan sosis dengan tekstur yang kompak, pembentukkan flavor, pengawetan, dan pembentukan warna. Pemasakan dapat meningkatkan atau menurunkan keempukan sosis tergantung pada temperatur, lama pemasakan, dan jenis daging (Lawrie, 1974)

Pemasakan dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti perebusan, pengukusan, pengasapan, atau kombinasi dari cara-cara tersebut (Effie, 1980). Pengasapan dapat memberikan flavor spesifik terhadap daging. Menurut Desrosier dan Desrosier (1977), pengasapan atau penggunaan asap pada pemasakan terutama bertujuan untuk memberikan flavor yang khas, mengawetkan, menghasilkan produk khas, memberikan warna khas, dan mencegah oksidasi. Berbagai senyawa berperanan dalam pembentukan flavor tersebut, namun yang paling penting adalah senyawa fenolik. (Mountney, 1976).

Pendinginan sosis setelah pemasakan dengan cara penyemprotan dengan air dingin selain untuk menurunkan temperatur internal sosis secara cepat, juga untuk menghilangkan resin dan residu asap yang menempel pada permukaan selongsong dan mempermudah pengelupasan selongsong pasca produk sosis yang tidak dapat dimakan.

2.6. Sosis Sehat Non Daging (Sosis Tempe dan Sosis Tahu)

Menurut Fardiaz (1986), di Jepang telah beredar produk sosis analog yang berasal dari tempe. Bentuk serta penampakan tempe sudah hilang sama sekali tetapi citarasa tempe masih terasa meskipun sudah ditambahkan citarasa daging. Tempe merupakan makanan yang berasal dari kacang kedelai dimana kedelai merupakan sumber protein berkualitas tinggi. Protein kedelai mempunyai kandungan lisin yang tinggi. Komposisi sosis tempe menurut Tejopranoto (1998) terdiri dari tempe, putih telur, bahan pengisi, minyak, dan bumbu-bumbu.


(30)

Sosis tahu terbuat dari tahu dengan penambahan gellan gum dan bahan pengisi (Harisan, 1996). Menurut Shurtleff dan Aoyagi (1980), tahu memiliki daya cerna yang tinggi (sekitar 95%) sehingga tahu dapat dikonsumsi dengan aman oleh semua golongan umur dari bayi sampai orang tua, termasuk orang yang mengalami gangguan pencernaan. Lu et al., (1980) menemukan kandungan protein tahu sebagnyak 7,5 sampai 7,8%. Tahu mempuyai kadar kalori dan karbohidrat rendah, sehingga tahu sangat baik sebagai menú orang yang menjalani diet karbohidrat. Setiap 200 g tahu mengandung kalori sekitar 144 kal atau sekitar 7,2% dari kebutuhan kalori orang dewasa. (Shurtleff dan Aoyagi, 1980)


(31)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT

Bahan-bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini antara lain jamur merang, karagenan, garam, isolat protein kedelai, tepung tapioka, tepung maizena, putih telur, gula, minyak goreng, lada bubuk, bawang putih, bawang merah, dan monosodium glutamat (MSG). Jamur yang digunakan diperoleh dari Toko. Agro Lestari, Babakan Raya, Bogor. Karagenan dan isolat protein yang digunakan diperoleh dari Toko Kimia Setia Guna, Bogor. Casing yang digunakan adalah casing tipe non edible yang terbuat dari bahan plastik yang dibeli dari Pilot Plant Seafast, IPB.

Bahan yang akan digunakan untuk análisis yaitu heksana, H2SO4, K2SO4, HgO, NaOH, NaOH-Na2SO4, H3BO3, HCl 0,02N, indikator metilen merah dan biru. Alat-alat yang akan digunakan untuk membuat sosis antara lain refrigerator, penggiling daging, pembuat adonan (food processor), pengisi manual (stuffer), dan waterbath. Alat yang akan digunakan untuk análisis yaitu peralatan gelas (labu Kjeldahl, labu Soxhlet, kertas saring, pipet tetes, pipet volumetrik, gelas ukur, tabung reaksi, gelas piala, labu takar), oven, tanur listrik, desikator, timbangan analitik, cawan, penjepit cawan, pemanas listrik (hot plate), Texture Analyzer, pengepres hidraulik, tabung reaksi, pipet mohr, inkubator, bunsen, dan cawan.

B. METODE PENELITIAN

1. Pengembangan Formulasi dan Metode Pembuatan Sosis Jamur Merang Penentuan formula sosis jamur merang dilakukan secara trial and error dengan mengacu pada formula dasar pembuatan sosis daging (Hermanianto et al., 1999). Parameter utama yang dikaji pada tahap ini adalah kekenyalan, kekompakan, dan kadar minyak. Produk sosis yang diharapkan adalah sosis yang kenyal, menyatu dengan kadar minyak sedikit. Formula dasar hasil modifikasi untuk pembuatan sosis jamur merang disajikan pada tabel 4. Proses pembuatan sosis jamur merang pada penelitian ini tetap merujuk pada pembuatan sosis oleh Hermanianto et al. (1999) yang dapat dilihat pada Gambar 1.


(32)

Tabel 8. Formulasi dasar pembuatan sosis

Bahan Komposisi (g)

Jamur merang 300

Tepung tapioka 60

Garam 10

Minyak nabati 60

Sumber : modifikasi formula Hermanianto et al. (1999)

Pembersihan

Penghancuran menggunakan Food Processor Pemasukan ke dalam plastik

Pembekuan (minimal 2 jam) Penghalusan dengan grinder

Pemasakan (75-80oC) Pendinginan

Gambar 1. Proses pembuatan sosis jamur merang garam, telur,

minyak, ISP

karagenan tapioka/tepung tepung

maizena, bumbu Jamur merang

( diameter ± 4 cm)

Cutting

Pencampuran Filling


(33)

2. Optimasi Formula Sosis Jamur Merang

Optimasi formula dan metode sosis jamur merang dilakukan dengan menggunakan uji organoleptik. Setelah didapatkan formula sosis sesuai dengan parameter yang diharapkan pada tahap pengembangan formula dan metode sosis jamur merang, hasil tersebut akan dievaluasi dari aspek organoleptik oleh panelis untuk menentukan formula terbaik sosis jamur merang. Uji coba formula sosis jamur merang dilaksanakan dengan berbagai perlakuan formulasi. Uji yang dilakukan adalah uji hedonik. Uji hedonik dilakukan untuk mengetahui tingkat penerimaan atau kesukaan konsumen terhadap perlakuan produk yang dibuat. Uji hedonik menggunakan skala numerik 7 dengan rentang 1 (sangat tidak suka) sampai 7 (sangat suka) dengan nilai 4 sebagai rasa antara (netral). Skala numerik tersebut adalah 1 = sangat tidak suka, 2 = tidak suka, 3 = agak tidak suka, 4 = netral, 5 = agak suka, 6 = suka, 7 = sangat suka. Parameter uji organoleptik yang digunakan adalah warna, aroma, rasa, kekenyalan, kadar minyak, kekompakkan dan overall.

Rancangan percobaan yang digunakan pada uji organoleptik ini adalah rancangan acak lengkap. Model rancangannya adalah sebagai berikut :

Yijk = µ + i + ßi + εijk Keterangan :

Yijk = nilai pengamatan μ = nilai rata-rata umum

αi = pengaruh taraf ke-i faktor α ßi = pengaruh taraf ke-i faktor ß εijk = galat percobaan

Rancangan percobaan diatas menggunakan 2 faktor peubah yaitu jumlah tepung maizena yang ditambahkan dan lama pemasakan dengan tiga taraf perlakuan. Agar lebih jelas, jumlah tepung maizena yang ditambahkan dan lama pemasakan dapat dilihat pada Tabel 8 berikut.


(34)

Tabel 9. Formulasi optimasi sosis jamur merang

Formula Maizena (%) Lama Pemasakan (menit)

A

1 5 15

2 5 30

3 5 45

B

1 10 15

2 10 30

3 10 45

C

1 15 15

2 15 30

3 15 45

Agar lebih teliti, maka dilakukan uji pembobotan terhadap atribut warna, aroma, rasa, kekenyalan, kadar minyak, kekompakkan dan overall untuk mendapatkan produk terpilih. Uji pembobotan dilakukan oleh 30 panelis. Panelis diminta mengurutkan atribut dari yang sangat penting (no. 1) sampai yang sangat tidak penting (no. 6) yang mempengaruhi penerimaan panelis terhadap mi hotong.

C. METODE ANALISIS

1. Analisis Kadar Air dengan Metode Oven (AOAC, 1995)

Cawan alumunium dikeringkan dalam oven selama 15 menit, didinginkan dalam desikator selama 10 menit, kemudian ditimbang. Sejumlah sampel (kurang lebih 5 gram) dimasukkan ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya. Cawan beserta isinya dimasukkan ke dalam oven bersuhu 105°C selama kurang lebih 6 jam atau sampai beratnya konstan. Selanjutnya cawan beserta isinya didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Perhitungan kadar air dilakukan dengan rumus:

Kadar air (% bb) = W1 – W2 x 100% W1

Keterangan :

W1 = berat sampel sebelum dikeringkan W2 = berat sampel setelah dikeringkan

% 100 121




(35)

2. Kadar Abu Total dengan Metode Pengabuan Total (AOAC, 1995) Cawan porselin dibakar dalam tanur selama 15 menit kemudian didinginkan di dalam desikator. Setelah dingin, berat cawan kosong ditimbang. Sampel ditimbang sebanyak 3-5 gram dan dimasukkan ke dalam cawan porselen. Selanjutnya cawan yang berisi sampel dipijarkan diatas pembakar bunsen sampai tidak berasap lagi. Pengabuan dilakukan di dalam tanur listrik pada suhu 400 oC – 550 oC selama 4 - 6 jam atau sampai terbentuk abu berwarna putih. Cawan yang berisi sampel tersebut didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Perhitungan kadar abu dilakukan sebagai berikut:

Kadar abu (% bb) = x 100 %

3. Kadar Protein dengan Metode Kjeldahl-mikro (AOAC, 1995) Sampel sebanyak ± 0,2 g (kira-kira membutuhkan 3-10 ml HCl 0,01N/0,02N) ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 30 ml. Lalu ditambahkan 2 gram K2SO4, 50 mg HgO, 2 ml H2SO4 pekat, dan batu didih. Sampel kemudian didekstruksi selama 1-1.5 jam hingga jernih dan didinginkan. Setelah itu, ditambahkan 2 ml air yang dimasukkan secara perlahan ke dalam labu dan didinginkan kembali. Cairan hasil dekstruksi (cairan X) dimasukkan ke dalam alat destilasi dan labu dibilas dengan air. Air bilasan juga dimasukkan ke dalam alat destilasi. Erlenmeyer 125 ml berisi 5 ml H3BO3 dan 2 tetes indikator (Methylen red : Methylen blue = 2:1) diletakkan di ujung kondensor alat destilasi dengan ujung selang kondensor terendam dalam larutan H3BO3. Cairan X ditambahkan 10 ml NaOH-Na2S2O3 dan destilasi dilakukan hingga larutan dalam erlenmeyer ± 50 ml. Larutan dalam erlenmeyer kemudian dititrasi dengan HCl 0,02 N. Titik akhir titrasi ditandai dengan perubahan warna larutan dari hijau menjadi abu-abu. Prosedur yang sama dilakukan juga untuk penetapan blanko.

Kadar N (%)

(Wcawan + abu) – (Wcawan) Berat sampel (gram)

% 100 007 . 14      W C Vb Vs


(36)

Kadar protein (% b/b) = % N x faktor konversi (6.25) Keterangan:

Vs = Volume HCl untuk titrasi sampel (ml) Vb = Volume untuk titrasi blanko (ml) C = Konsentrasi HCl (N)

W = Berat sampel (mg)

4. Kadar Lemak dengan Metode Soxhlet (AOAC, 1995)

Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam oven, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Sampel dalam bentuk tepung ditimbang sebanyak 5 gram, dibungkus dengan kertas saring kemudian ditutup kapas bebas lemak, lalu dimasukkan ke dalam alat ekstraksi soxhlet, kemudian dipasang kondensor dan labu pada ujung-ujungnya. Lalu dimasukkan pelarut heksana ke dalam alat dan sampel.

Refluks dilakukan selama 5 jam (minimum) dan pelarut yang ada di dalam labu lemak didistilasi. Selanjutnya labu lemak yang berisi lemak hasil ekstruksi dikeringkan dalam oven bersuhu 105 °C hingga beratnya konstan, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang.

Kadar lemak (% b/b)

Keterangan : a = berat labu dan sampel akhir (g) b = berat labu kosong (g)

c = berat sampel awal (g)

5. Kadar Karbohidrat dengan Metode By Difference (AOAC, 1995)

Kadar karbohidrat (% b/b) = 100 % - (A + B + P + L)

Keterangan : A = kadar air (% b/b)

B = kadar abu (% b/b)

P = kadar protein (% b/b)

L = kadar lemak (% b/b)

% 100   

c b a


(37)

6. Kadar Serat Kasar (Fardiaz et al., 1989)

Dua gram bahan ditimbang (A) dan diekstraksi lemaknya dengan soxhlet. Pindahkan bahan ke dalam erlenmeyer 600 ml. Kedalamnya ditambahkan 50 ml larutan H2SO4 1,25% kemudian didihkan selama 30 menit dengan menggunakan pendingin tegak. Setelah itu tambahkan 50 ml NaOH 3,25% dan didihkan lagi selama 30 menit. Dalam keadaan panas, cairan dalam erlenmeyer disaring menggunakan corong Buchner yang berisi kertas saring tak berabu yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya (B). Endapan yang terdapat pada kertas saring dicuci berturut-turut dengan menggunakan H2SO4 1,25% panas, air panas, dan etanol 95%. Kertas saring beserta isinya diangkat dan dimasukkan ke dalam wadah timbang yang telah diketahui bobotnya. Kemudian dikeringkan pada suhu 105oC, didinginkan dan ditimbang sampai bobotnya konstan (C). Setelah itu kertas saring dan isinya dipijarkan di dalam tanur sampai menjadi putih dan dinginkan kembali serta timbang ( D ) gram. Adapun rumus penentuan kadar serat kasar sebagai berikut:

Kadar serat kasar = {(C-D-B)/A} x 100% 7. Pengukuran Kekenyalan (Faridah et al., 2006)

Pengukuran tekstur dilakukan menggunakan Texture Analizer TA-XT2i. Pengukuran daya iris dilakukan dengan meletakkan sampel di bawah probe pisau dengan kecepatan 2 mm/s dengan jarak 30 mm. Pengukuran kekenyalan dilakukan dengan meletakkan sampel di bawah probe tumpul dan sampel ditekan sebanyak 25% selama 60 detik. Beban maksimum yang digunakan adalah 25 kg. Texture analizer TA-XT2i dinyalakan lalu dipasang probe. Komputer dinyalakan untuk menjalankan program Texture Analizer TA-XT2i kemudian dilakukan setting kondisi pengukuran.


(38)

8. Penentuan Susut Masak (Modifikasi dari Soeparno, 1994)

Sampel ditimbang sebelum dan sesudah dimasak pada suhu 80-83oC selama 20 menit. Kehilangan yang terjadi menunjukkan banyaknya air dan lemak yang hilang selama pemasakan. Cooking Loss dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

Cooking loss =

Keterangan : a = Bobot sampel sebelum dimasak (g) b = Bobot sampel sesudah dimasak (g) 9. Penentuan Daya Ikat Air (Soeparno, 1994)

Sampel sosis sebanyak 0,3 gram diletakkan di antara 2 kertas saring Whatman kemudian dijepit dengan carver press, yaitu diantara dua plat jepitan berkekuatan 35 kg setiap cm2 kg selama 5 menit. Luas area basah adalah luas air yang diserap kertas saring akibat penjepitan, yaitu selisih luas lingkaran luar dan dalam kertas saring. Pengukuran lingkaran dilakukan dengan planimeter. Bobot air bebas dapat dilakukan dengan rumus sebagai berikut :

mg H2O = % air bebas =

Dengan mengetahui kadar air total sosis maka kadar air terikat atau Water Holding Capacity dapat ditentukan dengan rumus :

Daya Ikat Air (%) = kadar air total (%) – kadar air bebas (%) (a-b) x 100%

a

Luas area basah (cm2) 0,0948

- 8,0 mg H2O


(39)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pengembangan Formula dan Metode Sosis Jamur Merang

Proses pembuatan sosis dari jamur merang dilakukan dengan beberapa tahap yaitu persiapan bahan, cutting, pencampuran bahan, stuffing, dan pemasakan sosis. Jamur merang yang digunakan dalam penelitian ini adalah jamur merang yang langsung dibeli di pasar. Persiapan bahan yang dilakukan yaitu hanya membersihkan jamur merang dari kotoran dengan cara mencucinya dengan air mengalir.

Proses cutting pada pembuatan sosis dari jamur merang terbagi atas 2 tahap. Waktu pada setiap tahapan cutting tidak distandarkan, tetapi dilakukan modifikasi yakni tiap proses cutting dilakukan hingga adonan tercampur merata. Menurut hasil pengamatan waktu terlama proses cutting terjadi pada tahap cutting keempat yaitu selama 5 menit. Menurut Kramlich et al.(1973), pada tahap penggilingan bahan kuring ditambahkan sehingga dapat terdistribusi secara merata dan suhu adonan yang terbentuk dipertahankan serendah mungkin sekitar 3-11oC agar diperoleh stabilitas emulsi maksimun. Berdasarkan hasil pengamatan dalam penelitian ini, suhu akhir adonan pada proses cutting secara keseluruhan yaitu 5oC. Sehingga, kondisi agar tercipta sistem emulsi yang maksimum telah terpenuhi pada pembuatan sosis jamur merang ini.

Proses cutting pertama yaitu proses penghancuran jamur merang segar menggunakan food processor. Jamur segar yang telah dibersihkan dihancurkan menggunakan food processor agar terbentuk potongan-potongan jamur merang yang lebih kecil. Penghancuran jamur segar menjadi potongan-potongan kecil ini bertujuan untuk mempersingkat waktu jamur merang ketika akan dibekukan nanti. Jamur merang yang telah dihancurkan menjadi potongan-potongan yang lebih kecil kemudian disimpan dalam freezer lemari es selama kurang lebih 3 jam agar membeku. Hal ini untuk memudahkan pada saat jamur merang akan dihaluskan menggunakan grinder.

Proses cutting kedua yaitu, proses penghalusan jamur beku menggunakan mesin grinder. Jamur merang beku tidak perlu dithawing karena mesin grinder tidak mampu mendorong jamur merang apabila jamur


(40)

merang tidak dalam keadaan beku. Selain itu, kristal es yang ada akan menjaga protein jamur merang agar tidak terdenaturasi oleh panas yang dihasilkan oleh mesin. Manfaat lainnya apabila jamur merang beku tidak dithawing yaitu, air yang terkandung dalam jamur merang tidak banyak terbuang pada saat dihaluskan menggunakan mesin grinder. Ini dikarenakan, air jamur merang yang telah dihaluskan masih dalam bentuk kristal es sehingga dapat mempertahankan suhu dingin jamur merang pada saat proses cutting selanjutnya. Pengukuran menggunakan termometer menunjukkan suhu jamur merang yang telah dihaluskan yaitu ±5oC.

Gambar 2. Persiapan bahan baku sosis jamur merang

Proses selanjutnya yaitu proses pencampuran jamur merang dengan bahan-bahan lain antara lain, garam, minyak nabati, isolat protein kedelai dan putih telur. Putih telur pada penelitian ini mulai ditambahkan ke dalam adonan sosis pada formula kedua dan seterusnya. Bahan-bahan yang ditambahkan pada tahap ini dimaksudkan agar terbentuk emulsi sosis yang baik. Es yang biasanya ditambahkan pada pembuatan sosis daging tidak ditambahkan pada proses ini dikarenakan jamur merang masih dalam keadaan dingin, sekitar ±5oC. Proses ini merupakan proses yang sangat penting, karena kualitas emulsi sosis sangat ditentukan di tahap ini. Selanjtnya yaiut proses pencampuran bahan pengisi dan bumbu ke dalam adonan. Bahan pengisi yang digunakan pada penelitian ini antara lain karagenan, tepung tapioka, dan tepung maizena. Bumbu-bumbu yang digunakan antara lain bawang merah, bawang putih, lada, jahe, gula pasir, pala, dan monosodium


(41)

glutamate (MSG). Proses ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas sosis, kuantitas isian sosis, dan cita rasa sosis jamur merang.

Proses stuffing adalah proses memasukkan adonan sosis ke dalam selongsong sosis. Stuffer yang digunakan dalam penelitian ini yaitu stuffer manual karena kapasitas adonan yang tidak cukup banyak untuk dimasukkan ke dalam stuffer. Kelemahan dari alat ini yaitu mudah terbentuknya kantung udara di dalam selongsong ketika adonan sosis dimasukkan ke dalam selongsong sosis.

Proses terakhir dari pembuatan sosis jamur merang dalam penelitian ini yaitu pemasakan sosis. Pemasakan ini bertujuan menyatukan komponen utama adonan sosis (Lawrie, 1961), mengompakkan sosis karena denaturasi protein dan dehidrasi sebagian, serta mempasteurisasi sosis (Kramlich, 1971). Pemasakan sosis jamur merang dalam penelitian ini dilakukan dengan cara merebus sosis pada air bersuhu 75-80oC selama 30 menit. Kisaran suhu perebusan yang dilakukan agar tercapai kecukupan panas pada titik coldest point sosis yaitu sebesar 72-75oC sehingga produk sosis aman dikonsumsi (Pearson and Tauber 1984). Berdasarkan hasil pengukuran suhu internal sosis, pencapaian suhu internal sosis 72oC pada coldest point tercapai setelah menit kelima. Sehingga apabila diperhitungkan kecukupan pasteurisasi, maka perebusan pada suhu 75-80oC selama 30 menit sudah cukup untuk mempasteurisasi sosis. Menurut Heinrickson (1978), pemasakan sosis paling baik dilakukan pada kisaran suhu optimal 70-80oC dengan waktu yang sesingkat mungkin sehingga sosis matang. Pemasakan sosis sampai suhu 80oC akan meningkatkan kekenyalan sosis dan pemasakan sosis sampai lebih dari 100oC akan menurunkan elastisitas atau sosis menjadi rapuh dan lemak akan keluar (Amano, 1965). Setelah sosis masak, sosis didinginkan dengan air mengalir.


(42)

Tabel 10. Kadar proksimat jamur merang, bahan pengikat, dan bahan pengisi sosis jamur merang.

Jenis Bahan Air (% bb)

Protein (% bk)

Lemak (% bk)

Abu (% bk)

Karbohidrat (% bk)

Jamur Merang1) 88,58 30,67 6,57 9,48 50,71

Isolat Protein

Kedelai2) 5,91 88,30 2,32 0,87 1,60

Tepung Tapioka3) 12,00 0,50 0,30 0,20 86,90

Tepung Maizena3) 5,46 9,89 1,29 0,61 85,75

1) Suwaida (1991) 2) Ockerman (1983)

3) Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1989)

Formula awal yang digunakan pada penelitian ini mengacu pada formula dan proses daging sapi metode Hermanianto et al. (1999), dengan asumsi protein pada jamur merang dapat berfungsi sebagai emulsifier. Formula awal hasil modifikasi metode Hermanianto et al. (1999), dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Formulasi ke-1 sosis jamur merang

Komposisi Jumlah (gram)

Jamur merang 300

Tepung tapioka 60

Garam 10

Minyak 60

Formula Tabel 11 menghasilkan bentuk sosis yang terpisah antara padatan minyak dan air.. Sosis yang dihasilkan lembek dengan kadar minyak sangat tinggi. Hal ini diduga karena perbedaan jenis serta kurangnya protein pada jamur merang yang berfungsi sebagai emulsifier serta komposisi antara minyak air, dan padatan yang belum tepat. Menurut Fennema (1985), jenis protein pada daging yang berfungsi sebagai emulsifier adalah protein aktin dan miosin. Hasil pembuatan sosis jamur merang formula pertama dapat dilihat pada Gambar 3 di bawah ini.


(43)

Gambar 3. Hasil formulasi pertama sosis jamur merang.

Pengembangan formula selanjutnya dilakukan penambahan jumlah protein, pengikatan air, dan pengurangan kadar minyak. Penambahan protein dilakukan dengan menambahkan putih telur dan isolat protein kedelai, sedangkan pengikatan air dilakukan dengan menambahkan tepung karagenan. Penambahan putih telur dan karagenan dilakukan agar diperoleh bentuk sosis yang menyatu, kompak, tidak pecah ketika ditekan, dan kadar minyak yang tidak berlebihan. Penambahan isolat protein kedelai dilakukan dikarenakan isolat protein kedelai berfungsi sebagai bahan pengikat sehingga air tidak terpisah pada sistem emulsi sosis. Formula kedua sosis jamur merang dapat dilihat pada Tabel 12.

Hasil penelitian Rukmana (2001) dalam pembuatan sosis dari tempe kedelai diperlukan penambahan albumin dari empat butir telur ayam untuk 75 gram tempe yang digunakan. Empat butir telur ayam mengandung albumin kurang lebih sebanyak 125 gram, sehingga untuk 300 gram tempe dibutuhkan sebanyak 50 gram albumin atau kurang lebih 2 butir telur. Fadilah (2003), menyatakan bahwa tempe kedelai memiliki kadar air sebesar 68,3% (b/b) dan protein sebesar 14% (b/b). Sedangkan jamur merang memiliki kadar air sebesar 87,7% (b/b) dan protein sebesar 3,8% (b/b). Berdasarkan pertimbangan perbedaan komposisi kadar air dan protein antara jamur merang dan tempe kedelai, maka penambahan albumin pada pembuatan sosis jamur merang lebih banyak daripada jumlah albumin yang ditambahkan pada pembuatan sosis dari tempe.


(44)

Tabel 12. Formulasi ke-2 sosis jamur merang

Komposisi Jumlah

Jamur merang 300

Tepung tapioka 15

Tepung karagenan 15

Isolat protein kedelai 9

Garam 7,5

Minyak 30

Putih telur 75

Gambar 4. Penampakan melintang sosis hasil formulasi kedua. Penambahan putih telur pada formula kedua pembuatan sosis jamur merang ternyata efektif dalam membentuk sosis yang kenyal dan kompak. Ini dikarenakan salah satu sifat fisikokimia putih telur yang penting dalam pembentukan sosis yang kompak yaitu koagulasi. Koagulasi yaitu penurunan daya larut dari molekul-molekul protein atau perubahan bentuk dari cairan (sol) menjadi bentuk padat atau semi padat (gel). Protein yang terkandung dalam putih telur diduga dapat berperan sebagai emulsifier pada sistem emulsi sosis. Ini terlihat dari penampakan melintang sosis yakni sosis tidak mengalami pemisahan antara air dan minyak.

Karagenan digunakan sebagai bahan pengisi karena dapat menyerap air lebih banyak dibandingkan dengan tepung tapioka. Karagenan


(45)

memberikan tekstur yang kenyal pada sosis jamur merang dengan membentuk gel yang kuat pada strutur sosis. Penambahan karagenan juga berpengaruh pada stabilitas emulsi sosis. Karagenan dapat digunakan sebagai bahan pengisi pada sosis karena berasal dari golongan polisakarida, stabil pada pH netral yakni daging umumnya juga memiliki yang pH netral. Produk-produk karagenan umumnya cocok bereaksi dan berfungsi baik dengan pati, gula, gum, dan lain-lain sehingga banyak diaplikasikan untuk produk pangan seperti digunakan sebagai bahan penstabil pada berbagai produk olahan pangan susu dan daging (Imeson, 2000)

Hasil sosis formulasi kedua masih memiliki kelemahan antara lain tingkat kekenyalan yang kurang baik, kadar minyak yang masih tinggi, dan struktur sosis yang belum kompak (rapat). Oleh karena itu, dilakukan perbaikan formula pembuatan sosis dengan melakukan penambahan jumlah tepung tapioka, karagenan dan putih telur serta pengurangan kadar minyak pada formula ketiga. Formula ketiga dapat dilihat pada Tabel 13 di bawah ini. Tabel 13. Formulasi ketiga sosis jamur merang.

Komposisi Jumlah

Jamur merang 300

Tepung tapioka 30

Tepung karagenan 18

Isolat protein kedelai 9

Garam 7,5

Minyak 30

Putih telur 105


(46)

Sosis jamur merang yang dihasilkan dari formulasi ketiga lebih baik dibandingkan sosis hasil formulasi sebelumnya. Kekenyalan dan kekompakan yang dihasilkan cukup baik. Namun permukaan sosis masih berminyak. Selain itu, setelah diuji dengan pemasakan lanjut, kekenyalan dan kekompakan sosis menurun. Oleh karena itu, dibuat formulasi selanjutnya dengan menurunkan kadar minyak dan mengganti tepung tapioka menjadi tepung maizena. Alasan pemilihan tepung maizena karena ukuran granula tepung maizena lebih kecil daripada ukuran granula tepung tapioca. Ini mengakibatkan kemampuan tepung maizena dalam mengikat air lebih tinggi daripada tepung tapioka karena luas permukaan tepung maizena yang lebih basar. Formula keempat sosis jamur merang dapat dilihat pada Tabel 14 di bawah ini.

Tabel 14. Formulasi keempat sosis jamur merang.

Komposisi Jumlah (gram)

Jamur merang 300

Tepung maizena 30

Tepung karagenan 18

Isolat protein kedelai 9

Garam 7,5

Minyak 12

Putih telur 105


(47)

Sosis hasil formula keempat memiliki karakteristik kekenyalan dan kekompakan yang baik serta kadar minyak permukaannya yang sedikit. Setelah diuji dengan pemasakan lanjut, kestabilan sosis tidak berubah. Oleh karena itu, sosis hasil formulasi keempat inilah yang dipilih untuk diuji organoleptik

B. Optimasi Formula Sosis Jamur Merang 1. Uji organoleptik

Hasil pengembangan formulasi sosis jamur merang kemudian diuji secara organoleptik. Agar diperoleh hasil penilaian organoleptik yang efektif, maka diperlukan penambahan bumbu pada formulasi sosis untuk uji organoleptik. Bumbu yang digunakan pada penelitian ini merujuk pada komposisi bumbu sosis daging oleh Sugiyono (1992) yaitu bawang merah 0,5%, bawang putih 0,25%, lada 0,1%, gula pasir 1,5%, pala 0,05%, MSG 0,1%, dan jahe 0,5%.

Analisis organoleptik yang dilakukan adalah uji hedonik. Uji hedonik dilakukan untuk mengetahui tingkat kesukaan panelis terhadap produk sosis jamur merang berdasarkan kriteria warna, aroma, rasa, kekenyalan, kekompakan, kadar minyak, dan keseluruhan (overall), tanpa membandingkan antar sampel. Panelis yang digunakan adalah panelis semi terlatih sebanyak 30 orang. Skor penilaian yang digunakan yaitu pada kisaran 1 sampai 7. Skor 1 = sangat tidak suka, 2 = tidak suka, 3 = agak tidak suka, 4 = netral, 5 = agak suka, 6 = suka, 7 = sangat suka. Lembar (form) penilaian yang digunakan pada uji hedonik dapat dilihat pada Lampiran 3-5. Hasil penilaian hedonik selanjutnya dianalisis secara statistik. Analisis statistik yang dilakukan terdiri dari sidik ragam dan uji lanjut Duncan. Hasil pengujian statistik dari uji hedonik dapat dilihat pada Lampiran 4-10.

a. Warna sosis

Warna merupakan parameter pertama yang terlihat oleh konsumen, sehingga parameter ini dapat menjadi acuan pertama yang digunakan konsumen dalam menilai mutu suatu produk pangan. Menurut Winarno (1997), penilaian mutu bahan pangan sangat bergantung pada beberapa faktor di antaranya cita rasa, warna, tekstur, dan nilai gizinya. Akan tetapi sebelum faktor-faktor ini dipertimbangkan, secara visual faktor warna


(48)

kadang-kadang sangat menentukan. Suatu produk pangan yang dinilai bergizi, enak, dan teksturnya sangat baik tidak akan dimakan apabila memiliki warna yang tidak sedap dipandang atau memberi kesan telah menyimpang dari warna yang seharusnya. Warna dalam suatu makanan umumnya dipengaruhi oleh formula bahan baku. Selain itu, proses pengolahan juga mempengaruhi warna produk yang dihasilkan. Skor rata-rata kesukaan panelis terhadap atribut warna dapat dilihat pada Gambar 7.

Ket: Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05)

Gambar 7. Hubungan antara sampel dengan skor rata-rata kesukaan panelis berdasarkan atribut warna.

Hasil sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan signifikansi dari sampel adalah 0.739 (P<0.05), artinya nilai kesukaan terhadap warna produk tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95 %. Formulasi variasi maizena dan optimasi lama pemasakan tidak mempengaruhi warna yang dihasilkan dari sosis jamur merang. Rataan nilai kesukaan terhadap warna sosis jamur merang ini berkisar 4,60-4,90 (netral hingga agak suka). Nilai kesukaan tertinggi diperoleh oleh formula A3, B2 dan C1.

b. Aroma

Salah satu pengujian kesukaan produk pangan dapat dilakukan dengan pengujian aroma. Aroma suatu makanan dapat dinilai dengan indera pembau/penciuman. Winarno (1997) menjelaskan bahwa aroma


(49)

makanan banyak menentukan kelezatan makanan tersebut dan pembauan dapat mengenal enak tidaknya suatu makanan.

Ket: Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05)

Gambar 8. Hubungan antara sampel dengan skor rata- rata kesukaan panelis berdasarkan atribut aroma.

Hasil sidik ragam (Lampiran 5) menunjukkan signifikansi dari sampel adalah 0,12 (P<0,05), artinya nilai kesukaan terhadap aroma produk tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95%. Formulasi variasi tepung maizena dan optimasi lama pemasakan tidak mempengaruhi aroma yang dihasilkan dari sosis jamur merang. Rataan nilai kesukaan terhadap aroma sosis jamur merang ini berkisar antara 3,57-4,27 (tidak suka hingga agak suka). Nilai kesukaan tertinggi diperoleh oleh formula B3 (tepung maizena 10%, lama pemasakan 45 menit).

c. Kekenyalan

Kekenyalan sosis jamur merang dapat dinilai dengan cara menekan sosis jamur merang. Uji hedonik terhadap kekenyalan merupakan uji kesukaan jamur merang menggunakan indera peraba. Kekenyalan merupakan komponen yang sangat penting dalam penilaian organoleptik produk sosis. Lawrie (1974) mengatakan, tekstur dan keempukan


(50)

mempunyai tingkatan paling penting bagi konsumen dan dicari walaupun mengorbankan cita rasa, flavor, atau warna.

Ket: Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05)

Gambar 9. Hubungan antara sampel dengan skor rata- rata kesukaan panelis berdasarkan atribut kekenyalan.

Hasil sidik ragam (Lampiran 6) menunjukkan signifikansi dari sampel adalah 0.177 (P<0.05), artinya nilai kesukaan terhadap kekenyalan produk tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95 %. Formulasi variasi tepung maizena dan optimasi lama pemasakan tidak mempengaruhi kekenyalan yang dihasilkan dari sosis jamur merang. Rataan nilai kesukaan terhadap kekenyalan sosis jamur merang ini berkisar 4,37-5,10 (netral hingga suka). Nilai kesukaan tertinggi diperoleh oleh formula A1 (tepung maizena 5%, pemasakan 15 menit). Dalam hal ini, kekenyalan sosis lebih banyak dipengaruhi oleh penambahan karagenan dan putih telur.

d. Kekompakan

Kekompakan sosis jamur merang dapat terlihat dari penampakan melintang bagian dalam sosis. Struktur sosis yang padat menunjukkan bahwa sosis tersebut memiliki kekompakan yang baik. Hasil sidik ragam (Lampiran 7) menunjukkan signifikansi dari sampel


(51)

adalah 0.257 (P<0.05), artinya nilai kesukaan terhadap kekompakan produk tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95 %.

Ket: Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05)

Gambar 10. Hubungan antara sampel dengan skor rata- rata kesukaan panelis berdasarkan atribut kekompakan.

Formulasi variasi tepung maizena dan optimasi lama pemasakan tidak mempengaruhi kekompakan yang dihasilkan dari sosis jamur merang. Rataan nilai kesukaan terhadap kekompakan sosis jamur merang ini berkisar 4,30-4,97 (netral hingga suka). Nilai kesukaan tertinggi diperoleh oleh formula A1 (tepung maizena 5%, pemasakan 15 menit).

e. Kadar minyak permukaan

Penilaian kadar minyak pada sosis jamur merang dilakukan dengan mengamati bagain permukaan sosis jamur merang. Hasil sidik ragam (Lampiran 8) menunjukkan signifikansi dari sampel adalah 0.007 (P<0.05), artinya nilai kesukaan terhadap kadar minyak produk tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95 %. Formulasi variasi tepung maizena dan optimasi lama pemasakan tidak mempengaruhi kadar minyak permukaan yang dihasilkan dari sosis jamur merang. Rataan nilai kesukaan terhadap kadar minyak sosis jamur merang ini


(52)

berkisar 4,27-5,10 (netral hingga suka). Nilai kesukaan tertinggi diperoleh oleh formula A1 (tepung maizena 5%, pemasakan 15 menit).

Ket: Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05)

Gambar 11. Hubungan antara sampel dengan skor rata- rata kesukaan panelis berdasarkan atribut kadar minyak.

f. Rasa

Rasa merupakan faktor penting dalam menentukan penerimaan konsumen terhadap produk tertentu setelah faktor warna produk. Pengujian rasa pada makanan banyak melibatkan lidah (Winarno, 1997). Hasil sidik ragam (Lampiran 9) menunjukkan signifikansi dari sampel adalah 0.000 (P<0.05), artinya nilai kesukaan terhadap rasa produk berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95 %. Formulasi variasi tepung maizena dan optimasi lama pemasakan mempengaruhi atribut rasa yang dihasilkan dari sosis jamur merang. Rataan nilai kesukaan terhadap kadar minyak sosis jamur merang ini berkisar 3,43-4,90 (netral hingga suka). Nilai kesukaan tertinggi diperoleh oleh formula B1 (tepung maizena 10%, pemasakan 15 menit).


(53)

Ket: Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05)

Gambar 12. Hubungan antara sampel dengan skor rata- rata kesukaan panelis berdasarkan atribut rasa.

g. Over all

Pengujian hedonik secara keseluruhan (overall) digunakan untuk mengukur seberapa besar tingkat kesukaan panelis terhadap keseluruhan atribut yang ada pada produk yang mencakup atribut warna , aroma, rasa, dan tekstur. Pemilihan produk terpilih sosis jamur merang dapat diketahui dengan pengujian overall. Skor rata-rata kesukaan panelis secara overall dapat dilihat pada Gambar 13.

Ket: Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05)

Gambar 13. Hubungan antara sampel dengan skor rata- rata kesukaan panelis berdasarkan atribut over all.


(1)

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Penulis bernama Usman, dilahirkan di Banjarnegara, Jawa Tengah pada tanggal 12 Agustus 1985. Penulis merupakan anak kedua dari pasangan Miski dan Rohpini. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 1997 di SDN 04 Petang Jakarta Utara, kemudian melanjutkan pendidikan lanjutan tingkat pertama di SLTP Negeri 116 Jakarta hingga tahun 2000. Penulis mengikuti pendidikan tingkat menengah atas di SMU 13 Jakarta dan lulus pada tahun 2003. Pada tahun 2003, penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Taknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB.

Selama menjalani studi di Institut Pertanian Bogor, penulis mengikuti beberapa organisasi antara lain: Unit Kegiatan Mahasiswa Pramuka (2003-2007), Badan Eksekutif Mahasiswa Fateta (2004-2005), Dewan Perwakilan Mahasiswa Fateta (2005-2006), dan Forum Bina Islami Fateta (2006-2007). Selain itu, penulis juga mengikuti beberapa seminar dan pelatihan. Sebagai tugas akhir, penulis melaksanakan penelitian dengan judul “ Pembuatan Sosis Berbasis Jamur Merang (Volvariella volvaceae ” di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Maggy T. Suhartono.


(2)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillaahirobbil ’alamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai tugas akhir untuk mendapatkan gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, FATETA, IPB. Ucapan terima kasih ingin penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yaitu:

1. Ayah (Miski) dan Ibu (Rohpini) atas doa yang tidak pernah terputus dan kasih sayang yang selama ini diberikan. Rohman,Susi Ratna Sari, Rismanto dan Irfan Julianto, adik-adik kebanggaanku yang terus menjadi penyemangat dalam hidup ini.

2. Prof. Dr. Ir. Maggy T. Suhartono, selaku dosen pembimbing yang banyak memberikan arahan dan bimbingannya.

3. Dr. Ir. Sukarno dan Ir. Sutrisno Koswara , MSi atas kesediannya untuk menguji.

4. Teman-teman seperjuangan Senior Residence Putra dan Putri di asrama TPB – IPB.

5. Sahabat karibku Sarwo, Arga, Susanto, Triatma, Ali, dan Sofwan yang selalu memberikan dorongan moral selama ini.

6. Teman-teman ITP angkatan 2003 (angkt’ 40) serta semua pihak yang telah membantu penulis, yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

7. Semua keluarga besar UKM Pramuka IPB yang selalu memberikan semangat dalam penyelesaian tugas akhir ini.

Penulis sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna sehingga kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan. Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan dan bagi pengembangan ilmu dan penerapan pembelajaran khususnya bagi Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2009


(3)

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ... i

RIWAYAT HIDUP ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ... 1

B. TUJUAN ... 2

II. TINJUAN PUSTAKA A. JAMUR MERANG ... 3

B. KARAGENAN ... 5

C. PUTIH TELUR ... 7

D. SOSIS DAN SISTEM EMULSI SOSIS ... 8

E. PEMBUATAN SOSIS ... 12

1. Bahan-bahan Utama Pembuatan Sosis ... 12

2. Bahan Tambahan Sosis ... 14

3. Selongsong Sosis ... 17

4. Proses Pembuatan Sosis ... 17

F. SOSIS SEHAT NON DAGING... 19

III.METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT ... 20

B. METODE PENELITIAN ... 20

1. Pengembangan Formula dan Metode Sosis Jamur Merang ... 20

2. Optimasi Formula Sosis Jamur Merang ... 22

C. METODE ANALISIS ... 23

1. Analisis Kadar Air ... 23

2. Analisis Abu Total ... 24


(4)

4. Analisis Kadar Lemak ... 25

5. Analisis Kadar Karbohidrat ... 25

6. Analisis Kadar Serat Kasar ... 26

7. Pengukuran Kekenyalan ... 26

8. Penentuan Susut Masak ... 27

9. Penentuan Daya Ikat Air ... 27

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENGEMBANGAN FORMULASI DAN METODE SOSIS JAMUR MERANG ... 28

B. OPTIMASI FORMULA SOSIS JAMUR MERANG ... 36

1. Uji Organoleptik... 36

2. Uji Pembobotan ... 44

C. ANALISIS PRODUK TERPILIH ... 45

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN ... 49

B. SARAN ... 50

DAFTAR PUSTAKA ... 50


(5)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Komposisi kandungan zat gizi jamur dalam % per 100 g bahan ... 4

Tabel 2. Kandungan asam amino esensial jamur merang ... 5

Tabel 3. Syarat mutu karagenan ... 6

Tabel 4. Komposisi kimia putih telur ... 7

Tabel 5. Faktor-faktor yang mempengaruhi koagulasi telur. ... 8

Tabel 6. Jenis-jenis sosis ... 9

Tabel 7. Syarat mutu sosis daging... 10

Tabel 8. Formulasi dasar pembuatan sosis ... 21

Tabel 9. Formulasi optimasi sosis jamur merang... 23

Tabel 10. Kadar proksimat jamur merang, bahan pengikat, dan bahan pengisi sosis jamur merang. ... 31

Tabel 11. Formulasi ke-1 sosis jamur merang ... 31

Tabel 12. Formulasi ke-2 sosis jamur merang ... 33

Tabel 13. Formulasi ke-3 sosis jamur merang. ... 34

Tabel 14. Formulasi ke-4 sosis jamur merang.. ... 35

Tabel 15. Nilai total pembobotan pada setiap atribut sosis jamur merang ... 44

Tabel 16. Nilai rata-rata tiap sampel pada setiap atribut penilaian. ... 44


(6)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Proses pembuatan sosis jamur merang ... 20

Gambar 2. Persiapan bahan baku sosis jamur merang ... 28

Gambar 3. Hasil formulasi pertama sosis jamur merang ... 31

Gambar 4. Penampakkan melintang sosis hasil formulasi kedua ... 32

Gambar 5. Penampakkan melintang sosis hasil formulasi ketiga ... 34

Gambar 6. Penampakkan melintang sosis hasil formulasi keempat ... 33

Gambar 7. Hubungan antara sampel dengan skor rata-rata kesukaan panelis berdasarkan atribut warna. ... 36

Gambar 8. Hubungan antara sampel dengan skor rata- rata kesukaan panelis berdasarkan atribut aroma. ... 37

Gambar 9. Hubungan antara sampel dengan skor rata- rata kesukaan panelis berdasarkan atribut kekenyalan ... 38

Gambar 10. Hubungan antara sampel dengan skor rata- rata kesukaan panelis berdasarkan atribut kekompakkan... 39

Gambar 11. Hubungan antara sampel dengan skor rata- rata kesukaan panelis berdasarkan atribut kadar minyak ... 40

Gambar 12. Hubungan antara sampel dengan skor rata- rata kesukaan panelis berdasarkan atribut rasa ... 41

Gambar 13. Hubungan antara sampel dengan skor rata- rata kesukaan panelis berdasarkan atribut over all ... 42


Dokumen yang terkait

Pembuatan Tempe Jamur Merang (Volvariella volvaceae) dengan Inokulum Murni Rhizopus oligosporus

0 4 9

Pengemasan Jamur Merang (Volvariella volvaceae) Menggunakan Retort Pouch

0 8 110

PENGARUH PENAMBAHAN KARDUS DAN AIR LERI TERHADAP PRODUKTIVITAS JAMUR MERANG (Volvariella volvaceae) YANG Pengaruh Penambahan Kardus Dan Air Leri Terhadap Produktivitas Jamur Merang (Volvariella volvaceae) Yang Ditanam Pada BAGLOG.

0 5 15

PENGARUH PENAMBAHAN KARDUS DAN AIR LERI TERHADAP PRODUKTIVITAS JAMUR MERANG (Volvariella volvaceae) YANG Pengaruh Penambahan Kardus Dan Air Leri Terhadap Produktivitas Jamur Merang (Volvariella volvaceae) Yang Ditanam Pada BAGLOG.

0 2 15

PENGARUH KOMPOSISI MEDIA TANAM TERHADAP HASIL JAMUR MERANG (Volvariella volvaceae) Pengaruh Komposisi Media Tanam Terhadap Hasil Jamur Merang (Volvariella volvaceae).

0 0 16

PENDAHULUAN Pengaruh Komposisi Media Tanam Terhadap Hasil Jamur Merang (Volvariella volvaceae).

0 1 4

PENGARUH KOMPOSISI MEDIA TANAM TERHADAP HASIL JAMUR MERANG (Volvariella volvaceae) Pengaruh Komposisi Media Tanam Terhadap Hasil Jamur Merang (Volvariella volvaceae).

0 0 14

PEMANFAATAN JERAMI DAN BLOTONG KERING SEBAGAI MEDIA PERTUMBUHAN JAMUR MERANG (Volvariella volvaceae) PEMANFAATAN JERAMI DAN BLOTONG KERING SEBAGAI MEDIA PERTUMBUHAN JAMUR MERANG (Volvariella volvaceae).

0 0 13

PENGARUH VARIASI KADAR KASCING TERHADAP PERTUMBUHAN JAMUR MERANG (Volvariella volvaceae).

0 0 2

PERTUMBUHAN F1 JAMUR MERANG (Volvariella volvaceae) PADA MEDIA TUMBUH ALTERNATIF SKRIPSI

1 2 16