Hubungan Kadar Hemoglobin Ibu Hamil dengan Nilai APGAR Bayi Baru Lahir di RSU Artha Medica Binjai Tahun 2013

(1)

Hubungan Kadar Hemoglobin Ibu Hamil dengan Nilai APGAR

Bayi Baru Lahir di RSU Artha Medica Binjai Tahun 2013

Oleh :

NEILA FAWZA PUTRI SIBARANI

110100002

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2014


(2)

Hubungan Kadar Hemoglobin Ibu Hamil dengan Nilai APGAR

Bayi Baru Lahir di RSU Artha Medica Binjai Tahun 2013

KARYA TULIS ILMIAH

Oleh :

NEILA FAWZA PUTRI SIBARANI

110100002

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2014


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Hubungan Kadar Hemoglobin Ibu Hamil dengan Nilai APGAR Bayi Baru Lahir di RSU Artha Medica Binjai Tahun 2013

Nama : NEILA FAWZA PUTRI SIBARANI

NIM : 110100002

Pembimbing Penguji I

dr. Yahwardiah Siregar, Ph.D dr. Rina Amelia, MARS

NIP :195508071985032001 NIP : 197604202003122002

Penguji II

dr. Yetty Machrina, M.kes NIP : 197903242003122002

Medan, Januari 2015 Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH NIP : 19540220 198011 1 001


(4)

ABSTRAK

Anemia merupakan defisiensi nutrisi yang sering terjadi selama kehamilan. Anemia dalam kehamilan dapat mempengaruhi kondisi ibu, plasenta, dan janin. Segera setelah bayi lahir, salah satu penilaian yang dilakukan adalah nilai APGAR. Nilai APGAR digunakan untuk mengestimasi ketahanan hidup dan mortalitas bayi. Nilai APGAR dapat memberi informasi tentang keadaan bayi di dalam kandungan dan menilai keberhasilan resusitasi pada bayi.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan kadar hemoglobin ibu dengan nilai APGAR bayi yang dilahirkannya. Metode penelitian ini adalah obsevasional analitik dengan menggunakan studi cross sectional. Penelitian ini dilakukan di RSU Artha Medica Binjai. Pengumpulan data dimulai dari bulan Juli sampai dengan bulan September 2014. Sampel penelitian sebanyak 247 data rekam medik ibu dan bayi yang dipilih sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi melalui teknik consecutive sampling. Data diolah menggunakan program SPSS dan dianalisis dengan uji korelasi pearson.

Hasil penelitian ini didapat rata-rata kadar Hb ibu hamil 10,2 g/dL. Ibu dengan kadar Hb normal 28,7%, anemia ringan 36%, anemia sedang 34,8%, dan anemia berat 0,4%. Sebanyak 77,3% bayi lahir dengan nilai APGAR normal dan 22,7% bayi lahir dengan asfiksia sedang. Hasil uji korelasi pearson terhadap hubungan kadar Hb ibu dengan nilai APGAR bayi baru lahir menunjukkan r = +0,102 dan nilai p > 0,05(p = 0,112).

Kesimpulannya, kadar Hb ibu tidak memiliki hubungan secara signifikan dengan nilai APGAR bayi yang dilahirkannya. Saran bagi pihak penyelenggara kesehatan untuk lebih mengaktifkan program kesehatan ibu dan bayi dan bagi ibu hamil untuk mengkonsumsi makanan bergizi.


(5)

ABSTRACT

Anemia is a common nutrition deficiency in pregnancy. Anemia in pregnancy can affect the condition of the mother, placenta, and fetus. Soon after the baby was born, one of the assessment that conducted is APGAR score. APGAR score used to estimate the infant mortality and survival rate. APGAR score can provide information of the fetus inside womb and assess the success of resuscitation in infants.

This study was conducted to determine the relationship between maternal hemoglobin level and newborn APGAR score.

This study is an observational analytic using cross sectional study. It had been held on RSU Artha Medica Binjai in July 2014 until September 2014. Total sampling was 247 subject took from medical record of maternal and newborn which fulfill inclusion and exclusion criteria by consecutive sampling. The data were processed by SPSS and was analyzed by Pearson correlation test.

The result of this study is the average hemoglobin concentration of maternal is 10,2 g/dL. Mothers had normal Hb level was 28,7%, mild anemia was 36%, moderate anemia was 34,8%, and severe anemia is 0,4%. A total of 77,3% infants borned with normal APGAR score and 22,7% of infants had moderate asphyxia. The result of Pearson correlation test between maternal hemoglobin concentration and newborn baby's APGAR score showed r = +0,102 and p > 0,05 (p = 0,112).

In conclusion, the maternal hemoglobin concentration has no significant relation with the newborn 's APGAR score. The suggestion for health provider is to furthermore promote their maternal and newborn health programs and for pregnant women to consume more nutritious foods.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian karya tulis ilmiah ini. Penelitian ini berjudul “Hubungan Kadar Hemoglobin Ibu Hamil dengan Nilai APGAR Bayi Baru lahir di RSU Artha Medica Binjai tahun 2013”.

Dalam penyelesaian proposal karya tulis ilmiah ini penulis banyak menerima bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, dengan rendah hati peneliti mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Yahwardiah Siregar, PhD, selaku Dosen Pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu untuk membimbing dan memberi arahan. 3. Dr. Rina Amelia, MARS dan dr. Yetty Machrina, M.Kes, selaku dosen

penguji yang telah memberikan masukan dan arahan.

4. Dr. Arusta, Sp.OG dan dr. Dedi Alfian, M.kes, selalu pemilik dan direktur RSU Artha Medica Binjai yang telah memberi izin penelitian.

5. Kedua orang tua penulis, dr. Bonardi dan dr. Marlina Jumrakh, Sp.A yang telah mendoakan, memberi dukungan materi dan memberi semangat. 6. Teman-teman seperjuangan yang memberikan masukan dan saran dalam

menyelesaikan karya tulis ilmiah.

Meskipun berbagai upaya dilakukan dalam penulisan laporan penelitian karya tulis ilmiah, penulis menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang berguna untuk menyempurnakan karya tulis ilmiah ini.

Medan, 18 Desember 2014 Peneliti


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PERSETUJUAN ……….... i

ABSTRAK………... ii

ABSTRACT………... iii

KATA PENGANTAR……….. iv

DAFTAR ISI………... v

DAFTAR TABEL……… vii

DAFTAR GAMBAR……… viii

DAFTAR SINGKATAN……… ix

BAB 1 PENDAHULUAN……… 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

1.3.1. Tujuan Umum ... 3

1.3.2. Tujuan Khusus ... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA………... 4

2.1. Definisi Kehamilan ... 4

2.1.1. Perubahan Hemodinamik pada Kehamilan ... 5

2.2. Eritropoesis dan Aspek Umum Anemia ... 6

2.3. Anemia Secara Umum ... 10

2.3.1. Klasifikasi Anemia ... 11

2.3.2. Gejala Klinis Anemia ... 12

2.3.3. Prinsip Terapi Anemia ... 13

2.4. Anemia pada Kehamilan ... 14

2.4.1. Defisiensi Besi ... 16

2.4.2. Defisiensi Asam Folat ... 17

2.5. Kadar Hemoglobin Ibu dan Hubungannya dengan Nilai APGAR Bayi Baru Lahir ... 18

2.6. Nilai APGAR pada Bayi Baru Lahir ... 21

BAB 3KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL... 24

3.1. Kerangka konsep penelitian ... 24

3.2. Definisi Operasional ... 25

3.3. Hipotesis ... 25

BAB 4 METODE PENELITIAN………... 26


(8)

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian ... 26

4.2.1. Waktu Penelitian ... 26

4.2.2. Tempat Penelitian... 26

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 26

4.3.1. Populasi Penelitian ... 26

4.3.2. Sampel Penelitian ... 26

4.4. Teknik Pengumpulan Data ... 27

4.5. Metode Analisis Data ... 28

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……… 29

5.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 29

5.2. Deskripsi Karakteristik Individu ... 29

5.2.1. Deskripsi Karakteristik Ibu ... 29

5.2.2. Deskripsi Karakteristik Bayi Baru Lahir... 30

5.3. Hasil Analisis Data ... 30

5.4. Pembahasan ... 31

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 36

6.1. Kesimpulan ... 36

6.2. Saran ... 36

DAFTAR PUSTAK A………... 38 LAMPIRAN


(9)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1. Derajat Anemia 11

2.2. Nilai Batas Anemia Ibu Hamil 14

2.3. Derajat Anemia Pada Ibu Hamil 15

2.4. Komponen Nilai APGAR 22

2.5. Hasil Penjumlahan Nilai APGAR 23

3.1. Definisi Operasional 25

5.1. Distribusi Frekuensi Kadar Hb Ibu 29

5.2. Distribusi Frekuensi Nilai APGAR Bayi 30

5.3. Hasil Analisa Kadar Hb Ibu Dengan Nilai APGAR Bayi 30 5.4. Hasil Analisa Nilai APGAR Pada Ibu Non Anemia 31


(10)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Eritropoiesis 8


(11)

DAFTAR SINGKATAN

ATP (Adenosin Triphosphate) BBLR (Berat Bayi Lahir Rendah) BFU (Burst-Forming Unit Erythroid) CDC (Centers for Disease Control)

CFU (Colony-Forming Unit Granulocyte) CRH (Corticotropin Releasing Hormone) DNA (Deoxyribonycleic Acid)

Epo (Eritropoetin)

EpoR (Eritropoetin Receptor)

Hb (Hemoglobin)

Ht (Hematokrit)

H1F1α (Hypoxia Inducible Factor 1α) KMK (Kecil Masa Kehamilan)

MCH (Mean Corpuscular Haemoglobin) MCHC (Mean Cell Hemoglobin Concentration) MCV (Mean Corpuscular Volume)

NICU (Neonatal Intensive Care Unit) NCI (National Cancer Institution) PHD (Propyl Hydroxylase Dopamine) RISKESDAS (Riset Kesehatan Dasar)

RNA (Ribonucleic Acid)

SPSS (Statistical Program for Social Science) TIBC (Total Iron Binding Capacity)

VHL (Von Hipple-Lindau)


(12)

ABSTRAK

Anemia merupakan defisiensi nutrisi yang sering terjadi selama kehamilan. Anemia dalam kehamilan dapat mempengaruhi kondisi ibu, plasenta, dan janin. Segera setelah bayi lahir, salah satu penilaian yang dilakukan adalah nilai APGAR. Nilai APGAR digunakan untuk mengestimasi ketahanan hidup dan mortalitas bayi. Nilai APGAR dapat memberi informasi tentang keadaan bayi di dalam kandungan dan menilai keberhasilan resusitasi pada bayi.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan kadar hemoglobin ibu dengan nilai APGAR bayi yang dilahirkannya. Metode penelitian ini adalah obsevasional analitik dengan menggunakan studi cross sectional. Penelitian ini dilakukan di RSU Artha Medica Binjai. Pengumpulan data dimulai dari bulan Juli sampai dengan bulan September 2014. Sampel penelitian sebanyak 247 data rekam medik ibu dan bayi yang dipilih sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi melalui teknik consecutive sampling. Data diolah menggunakan program SPSS dan dianalisis dengan uji korelasi pearson.

Hasil penelitian ini didapat rata-rata kadar Hb ibu hamil 10,2 g/dL. Ibu dengan kadar Hb normal 28,7%, anemia ringan 36%, anemia sedang 34,8%, dan anemia berat 0,4%. Sebanyak 77,3% bayi lahir dengan nilai APGAR normal dan 22,7% bayi lahir dengan asfiksia sedang. Hasil uji korelasi pearson terhadap hubungan kadar Hb ibu dengan nilai APGAR bayi baru lahir menunjukkan r = +0,102 dan nilai p > 0,05(p = 0,112).

Kesimpulannya, kadar Hb ibu tidak memiliki hubungan secara signifikan dengan nilai APGAR bayi yang dilahirkannya. Saran bagi pihak penyelenggara kesehatan untuk lebih mengaktifkan program kesehatan ibu dan bayi dan bagi ibu hamil untuk mengkonsumsi makanan bergizi.


(13)

ABSTRACT

Anemia is a common nutrition deficiency in pregnancy. Anemia in pregnancy can affect the condition of the mother, placenta, and fetus. Soon after the baby was born, one of the assessment that conducted is APGAR score. APGAR score used to estimate the infant mortality and survival rate. APGAR score can provide information of the fetus inside womb and assess the success of resuscitation in infants.

This study was conducted to determine the relationship between maternal hemoglobin level and newborn APGAR score.

This study is an observational analytic using cross sectional study. It had been held on RSU Artha Medica Binjai in July 2014 until September 2014. Total sampling was 247 subject took from medical record of maternal and newborn which fulfill inclusion and exclusion criteria by consecutive sampling. The data were processed by SPSS and was analyzed by Pearson correlation test.

The result of this study is the average hemoglobin concentration of maternal is 10,2 g/dL. Mothers had normal Hb level was 28,7%, mild anemia was 36%, moderate anemia was 34,8%, and severe anemia is 0,4%. A total of 77,3% infants borned with normal APGAR score and 22,7% of infants had moderate asphyxia. The result of Pearson correlation test between maternal hemoglobin concentration and newborn baby's APGAR score showed r = +0,102 and p > 0,05 (p = 0,112).

In conclusion, the maternal hemoglobin concentration has no significant relation with the newborn 's APGAR score. The suggestion for health provider is to furthermore promote their maternal and newborn health programs and for pregnant women to consume more nutritious foods.


(14)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Kehamilan yang sehat adalah ibu dalam keadaan sehat serta bayi yang dilahirkan dalam kondisi yang normal. Kehamilan merupakan pengalaman yang panjang dan sangat spesial bagi seorang perempuan, dan melahirkan merupakan puncak dari kehamilan,dimana terjadi suatu peristiwa dengan makna psikologis dan emosional yang besar untuk ibu dan keluarga (Francis dan Nayak, 2013).

Pada kehamilan terjadi peningkatan kebutuhan oksigen sehingga produksi eritropoietin mengalami peningkatan dan produksi darah meningkat untuk memenuhi kebutuhan ibu dan janin. Jika tubuh kekurangan nutrisi, misalnya zat besi, maka tubuh tidak dapat memproduksi sel darah merah ekstra yang dibutuhkan tubuh. Hemoglobin adalah protein di daam sel darah merah yang mengangkut oksigen ke seluruh jaringan tubuh karena mengandung senyawa porfirin besi, yaitu hem (Proverawati, 2011; Sofro, 2012).

Ibu sering mengalami defisiensi besi pada trimester kedua dan ketiga, disaat tubuh memerlukan banyak zat besi, sehingga meningkatkan risiko anemia (Proverawati, 2011). Anemia selama kehamilan merupakan masalah global yang sangat berhubungan dengan tingkat morbiditas dan mortalitas ibu dan janin dan kelahiran prematur. Rendahnya kadar Hb yang mengikat oksigen di dalam darah dapat menyebabkan kekurangan oksigen pada sirkulasi ibu dan janin sehingga terjadi hipoksia janin yang dapat mempengaruhi petumbuhan janin (Ribot et al.,

2013).

Menurut data Riset Kesehatan Dasar (2013), anemia pada populasi ibu hamil yang sesuai dengan kriteria WHO dan Pedoman Kemenkes 1999, sebesar 37,1%, proporsinya hampir sama antara ibu hamil di perkotaan (36,4%) dan di pedesaan (37,8%). Menurut WHO, kematian ibu hamil yang berkaitan dengan anemia di negara berkembang mancapai 40% (Saifuddin et al., 2009).

Berdasarkan Profil Kesehatan Propinsi Sumatera Utara tahun 2012, survei anemia yang dilakukan pada tahun 2005 di 4 Kab/Kota di Sumatera Utara, yaitu Kota Medan, Binjai, Kab. Deli Serdang dan Langkat, diketahui bahwa


(15)

40,5% pekerja wanita menderita anemia. Apabila kehamilan diawali dengan kondisi anemia, maka akan mempengaruhi pertumbuhan dan pekembangan janin.

Pada saat bayi dilahirkan, akan dilakukan evaluasi bayi, salah satunya adalah penilaian APGAR. Nilai APGAR merupakan ekspresi keadaan bayi baru lahir dengan skala 0-10. Pemeriksaan dilakukan pada menit pertama dan kelima kehidupan bayi. Ada 5 komponen yang akan dinilai pada penilaian ini, yaitu warna kulit, frekuensi jantung, refleks rangsang, tonus otot, dan usaha pernafasan (Gomella et al., 2009).

Nilai APGAR digunakan untuk mengestimasi kemungkinan ketahanan hidup bayi dan mortalitas bayi. Rendahnya nilai APGAR dapat memberi informasi tentang keadaan bayi di dalam kandungan, misalnya hipoksia janin dan

fetal distress.

Selain itu penilaian ini dapat memprediksi palsi serebral, ensefalopati bayi baru lahir, dan menilai keberhasilan resusitasi pada bayi. Apabila bayi dengan nilai APGAR 0-3 dalam waktu 5 menit diikuti dengan penanda asfiksia lainnya akan meningkatkan risiko kejang pada bayi. Nelson dan Ellenberg menemukan risiko kerusakan motorik dan neurologi yang berhubungan dengan nilai APGAR yang rendah dalam waktu lama pada bayi cukup bulan (Rubart, 2012; Li, 2013).

Di Kota Binjai angka kelahiran cukup tinggi, menurut Profil Kesehatan Propinsi Sumatera Utara tahun 2012, Kelahiran bayi hidup mencapai 5.231 kelahiran hidup dan 11 kelahiran mati. Tiap tahun di RSU Artha Medica Binjai mengalami peningkatan kelahiran. Pada tahun 2013, di RSU Artha Medica Binjai angka kelahiran mencapai 483 kelahiran, 108 diantara mendapat perawatan NICU, salah satunya penyebabkan oleh karena rendahnya nilai APGAR. Walaupun terletak di pinggiran kota binjai, RSU Artha Medica Binjai juga banyak menerima rujukan pasien dari bidan-bidan desa.

Lone et al.(2004) menyatakan ada hubungan antara kadar Hb ibu dengan mortalitas saat persalinan, diduga rendahnya kadar Hb ibu menyebabkan hipoksia dan gawat janin tetapi data tentang hubungan ini masih kurang. Diperkirakan 7,3 juta bayi meninggal saat persalinan di dunia, terutama terjadi dinegara berkembang


(16)

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan kadar Hb ibu dengan nilai APGAR bayi baru lahir di RSU Artha Medica mengingat bahwa Kota Binjai memiliki angka kelahiran yang tinggi dan rumah sakit tersebut banyak menerima rujukan pasien persalinan. Berdasarkan pemaparan di atas maka peneliti menganggap penelitian ini penting dilakukan untuk mengetahui hubungan Hb ibu dengan nilai APGAR bayi baru lahir di RSU Artha Medica Binjai.

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimana hubungan kadar Hb ibu hamil trimester III dengan nilai APGAR bayi baru lahir di RSU Artha Medica Binjai tahun 2013?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan kadar Hb ibu hamil terhadap nilai APGAR bayi baru lahir di RSU Artha Medica Binjai tahun 2013.

1.3.2. Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus pada penelitian ini adalah:

1. Mengetahui kadar Hb ibu hamil trimester III di RSU Artha Medica Binjai tahun 2013.

2. Mengetahui nilai APGAR bayi baru lahir dari ibu tersebut. 3. Menilai hubungan kadar Hb ibu dengan nilai APGAR bayi. 1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, yaitu:

1. Sebagai bahan penyuluhan bagi pasangan yang merencanakan kehamilan tentang bahaya anemia pada kehamilan.

2. Sebagai informasi bagi pasangan untuk mencegah anemia terjadi pada kehamilan.

3. Menambah ilmu pengetahuan dan pengamatan tentang hubungan kadar Hb ibu hamil dengan nilai APGAR bayi baru lahir.

4. Sebagai informasi bagi pihak RSU Artha Medica Binjai agar lebih memperhatikan gizi ibu hamil dan kadar Hb ibu selama kunjungan antenatal.


(17)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Kehamilan

Kehamilan merupakan proses menyatunya sel sperma dengan sel telur yang berlangsung di ampula tuba falopi. Korona radiata akan di penetrasi oleh sperma yang telah dikapasitasi dan terikat dengan zona pelusida. Reaksi akrosom dipicu oleh interaksi ini dan keseluruhan sperma dapat lebih terbenam lagi di dalam sel telur. Ketika menyatunya atau berdifusi pronukleus perempuan dan laki-laki, maka zigot mengalami mitosis, dua buah sel yang diploid dibentuk. Saat pembelahan sel dialami, zigot bermigrasi kebawah sepanjang oviduct ke dalam uterus. Zigot akan berimplantasi setelah 5 hari sesudah fertilisasi (Tao dan Kendall, 2013).

Di awali dari konsepsi hingga lahirnya janin disebut masa kehamilan. Normal lamanya kehamilan adalah 280 hari (40 minggu atau 9 bulan 7 hari) di hitung dari hari pertama menstruasi terakhir. Masa kehamilan dibagi atas 3 trimester, yaitu trimester pertama yang dimulai dari awal konsepsi sampai usia 3 bulan (minggu pertama sampai hari terakhir minggu ke 13). Trimester kedua, dimulai dari bulan keempat sampai bulan keenam. Trimester ketiga, dimulai dari bulan ketujuh sampai bulan kesembilan (biasanya berakhir pada usia 38-42 minggu kehamilan) (Saifuddin et al., 2009).

Dari minggu ke-8 kehamilan sampai kelahiran merupakan periode janin, yang terjadi rata-rata pada minggu ke-38. Sebelum permulaan kehidupan janin, hampir seluruh organ sudah dibentuk, namun fungsinya belum sempurna perkembangannya (Wylie, 2011).

Setengah panjang tubuh janin dicapai kepala pada minggu ke 8-12. Di gusi mulai terbentuk gigi dan kuku mulai tampak. Usus kembali masuk ke dalam rongga abdomen dan cairan amnion mulai ditelan bayi dan menghasilkan urin, serta darah pun mulai dibentuk. Genitalia eksterna sudah berdiferensiasi dan dapat diidentifikasi jenis kelaminnya. Detak jantung janin dapat mulai terdengar dengan stetoskop janin pada minggu ke 17-24, dan gerakan janin mulai dirasakan ibu. Verniks merupakan hasil kerja kelenjar sebasea yang sudah mulai terbentuk pada


(18)

usia ini. Paru sudah terbentuk dan alveoli dikelilingi oleh kapiler yang berkembang. Struktur mata telah sempurna, kepala, alis, dan kelopak mata telah ditumbuhi oleh rambut (Saifuddin et al., 2010).

Pada minggu ke-29 janin telah terbentuk sempurna dan sistem organ dapat berfungsi sampai tingkat tertentu (Wylie, 2011). Berat janin mencapai 1500-2500 gram pada minggu ke 33-36. Pada minggu ke-35, paru telah matur dan lanugo (rambut halus dan tipis pada kulit janin) mulai berkurang. Pada bayi prematur biasanya masih memiliki banyak lanugo ini. Kehamilan dapat disebut aterm pada minggu ke-38 kehamilan, dimana seluruh uterus akan diliputi oleh bayi. Produksi air ketuban mulai berkurang, namun jumlahnya masih dalam batas normal (Saifuddin et al., 2010).

2.1.1. Perubahan Hemodinamik pada Kehamilan

Segera setelah terjadinya fertilisasi, banyak perubahan anatomi dan fisiologi pada wanita hamil dan terus akan belanjut selama kehamilan. Kebanyakan dari perubahan ini merupakan respon tubuh terhadap janin. Hampir seluruh perubahan ini akan kembali seperti keadaan sebelum hamil dan setelah mengalami proses persalinan dan masa menyusui selesai merupakan suatu hal yang sangat menakjubkan bagi seorang wanita (Saifuddin etal., 2010).

Peningkatan kebutuhan ibu hamil dan janin yang sedang berkembang dalam kandungannya selama kehamilan harus terpenuhi oleh sistem kardiovaskular. Selama kehamilan, perubahan kadar hormon mempengaruhi sistem tersebut. Hasilnya, anatomi dan fisiologi ibu hamil mengalami perubahan. Peningkatan denyut jantung sekitar 15% meningkat dari sebelum hamil (McPhee dan Hammer, 2010). Hipertropi ringan ventrikel kiri dan bising sistolik dengan intensitas rendah merupakan perubahan fisiologis yang normal terlihat dalam kehamilan (Tao dan Kendall, 2013). Setiap menitnya sekitar 625 ml darah melalui sirkulasi ibu dari plasenta selama kehamilan bulan terakhir (Guyton dan Hall, 2008).

Pada jantung terjadi peningkatan curah jantung sampai 40%. Namun selanjutnya, oleh karena sebab yang tidak dapat dijelaskan, pada delapan minggu terakhir kehamilan curah jantung turun sampai hanya sedikit diatas normal,


(19)

walaupun aliran darah uterus tinggi (Guyton dan Hall, 2008). Sekitar 50% volume plasma meningkat dalam darah dan sel darah merah meningkat sekitar 18%. Pada trimester pertama volume darah meningkat secara bertahap dan pada trimester kedua merupakan terjadinya peningkatan terbesar. Peningkatan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus tampak meningkat sekitar 40% (McPhee dan Hammer, 2010).

Pada trimester kedua dan ketiga terjadi peningkatan jumlah sel darah merah (Wylie, 2011). Dibandingkan dengan peningkatan sel darah merah, peningkatan volume plasma lebih besar, puncaknya pada usia kehamilan 32 minggu. Oleh karena itu, hal ini menyebabkan hemodilusi, yang tampak sebagai anemia (anemia fisiologis). Dapat pula terjadi penurunan jumlah trombosit secara progresif (trombositopenia gestasional). Walaupun demikian, akibat dari peningkatan kadar fibrinogen, stasis darah vena di dalam tungkai dan penurunan protein S, maka sebenarnya ibu hamil berada dalam keadaan hiperkoagulabel (Tao dan Kendall, 2013).

2.2. Eritropoesis dan Aspek Umum Anemia

Proses produksi eritrosit digambarkan dengan istilah eritropoesis. Diferensiasi dari sel induk hematopoetik menjadi eritrosit matang merupakan proses eritropoesis. Untuk mengefektifkan kapasitas fungsionalnya, prekursor eritrosit harus memiliki organel yang memproduksi banyak Hb, hingga sekitar 95% protein sel total tercapai (Kiswari, 2014).

Kemampuan dari sel darah merah (eritrosit) mengangkut oksigen dan kebutuhan jaringan atas oksigen akan mempengaruhi dan mengatur produksi sel darah merah tersebut. Kekurangan oksigen atau hipoksia jaringan akan menstimulasi untuk memproduksi eritrosit, hal ini akan memicu terbentuknya dan terlepasnya hormon eritropoetin (Kowalak et al., 2012).

Fungsi khusus dari eritrosit mengangkut oksigen ke jaringan-jaringan tubuh dan membantu proses pembuangan karbon dioksida dan proton-proton yang merupakan hasil dari metabolisme jaringan tubuh. Sel darah merah merupakan sel terbanyak dalam tubuh dengan struktur sederhana dibandingkan dengan trombosit, leukosit dan struktur sel tubuh lainnya. Metabolisme aktif dilakukan


(20)

oleh eritrosit tetapi proses ini tidak bergantung pada hormon insulin untuk memasukkan glukosa ke dalam sel, berbeda dengan sel adiposa dan sel otot yang sangat bergantung pada hormon insulin (Sofro, 2012).

Proses eritropoesis yang kompleks dan diatur dengan baik setiap harinya akan menghasilkan sekitar 1012 eritrosit. Melalui sel progenitor ������� (Colony-forming unit granulocyte, erithroid, monocyte, and megakaryocyte / unit pembentuk koloni granulosit, eritroid, monosit, dan megakaryosit), ��� ( Burst-forming unit erythroid / unit pembentukan letusan eritroid) dan ��� (CFU Eritroid), eritropoesis berjalan dari sel induk menjadi prekursor eritroid yang dikenali pertama kali di sumsum tulang belakang, yang disebut pronomoblas.

Pronomoblas merupakan sel yang besar yang memiliki inti ditengah dan nukleoli, sitoplasma berwarna biru tua, dan kromatin yang sedikit menggumpal. Setelah pronomoblas terjadi serangkaian normoblas yang semakin kecil dan melalui beberapa pembelahan sel normoblas ini mengandung sel Hb yang semakin banyak (berwarna merah muda) dalam sitoplasma, hilangnya RNA dan aparatus yang mensintesis protein, menyebabkan warna sitoplasma menjadi semakin berwarna biru pucat dan kromatin menjadi lebih padat.

Normoblas mengeluarkan inti akhirnya berlanjut di dalam sumsum tulang dan stadium retikulosit dihasilkan yang masih mengandung sedikit RNA ribosom dan Hb masih mampu disintesis. Sel ini berukuran lebih besar daripada eritrosit matur, selama 1-2 hari berada dalam sumsum tulang dan beredar selama 1-2 hari di darah tepi sebelum menjadi matur, terutama berada di limpa ketika RNA telah hilang seluruhnya. Warna merah muda dan cakram bikonkaf tak berinti menunjukkan sel eritrosi telah matur. Sekitar 16 eritrosit matur biasanya dihasilkan oleh satu pronomoblas (Hoffbrand et al., 2005). Proses eritropoesis dapat terjadi diluar sumsum tulang apabila sumsum tulang mengalami kelainan, misalnya fibrosis. Pada keadaan ini eritropoesis terjadi di lien dan hati, maka proses ini disebut eritropoesis ekstrameduler (Bakta, 2012). Proses eritropoesis secara singkat tertera pada gambar 2.1. dibawah ini.


(21)

Gambar 2.1. Eritropoiesis

Sumber

Sel darah merah yang berbentuk bikonkaf menjadikannya cukup fleksibel untuk melewati pembuluh darah kapiler yang kecil dan sirkulasi limfa, serta memudahkan penghantarkan oksigen ke jaringan tubuh. Setelah sumsum tulang mengeluarkan eritrosit, seiring dengan pekembangan usia, enzim yang terdapat di sitoplasma dikatabolisme, peningkatan kekakuan membran, dan terjadilah kehancuran sel eritrosit. Sel eritrosit dapat bertahan sekitar 120 hari sebelum dikeluarkan dari sirkulasi melalui limfa.

Hemoglobin yang terkandung dalam sel darah merah dapat membawa oksigen dan karbon dioksida. Empat rantai globin polipeptida dengan molekul hem yang mengandung besi merupakan bagian dari Hb. Pada masa fetal ini terdapat Hb embrionik, hingga masa fetal akhir, Hb fetal (Hb F) dominan. Pada bulan ketiga sampai keenam terjadi pergantian dalam periode neonatal menjadi Hb dewasa normal (HbA). Afinitas oksigen yang dimiliki HbF lebih tinggi daripada HbA (Mehta dan Hoffbrand, 2006).

Struktur tetramer terdiri atas sepasang globin α dan sepasang globin non-α terdapat pada orang dewasa. Sebagian besar Hb dewasa (HbA) terdiri dari

sepasang rantai globin α dan sepasang rantai globin β (α2β2). Selain itu juga terdapat sebagian kecil Hb fetus (HbF) dengan sepasang rantai globin α dan

rantai globin γ (α2γ2), serta Hb minor (HbA2) yang terdiri dari sepasang rantai globin α dan sepasang rantai globin δ (α2δ2). Secara kuantitatif, pada bayi baru


(22)

lahir di dominasi oleh jumlah HbF diikuti oleh HbA dan HbA2. Sebaliknya pada orang dewasa, jumlah Hb di dominasi oleh HbA diikuti oleh HbF dan HbA2 (Sofro, 2012).

Banyak zat penting yang dibutuhkan untuk memproduksi Hb dalam eritrosit normal. Asam amino (protein), vitamin B12, vitamin B6, asam folat (vitamin kompleks B2), besi, mineral cobalt (Co), dan nikel (Ni) merupakan zat penting yang dibutuhkan tubuh untuk memproduksi Hb yang baik. Pada orang dewasa, produksi ertrosit sehari mencapai lebih dari 200 milyar yang membutuhkan 20 mg asupan besi. Sebagian pasokan besi didapat dari hasil daur ulang yang merupakan hasil dari eritrosit tua yang di fagosit oleh makrofag sel mononuklear. Sekitar 1-2 mg besi yang berasal dari penyerapan usus, yang pada saat kondisi stabil menggantikan besi yang telah dieksresikan oleh tubuh (Kiswari, 2014).

Besi yang diserap di dalam duodenum dan yeyenum apabila berlebihan akan di simpan sementara di dalam sel-sel retikuloendotel yang terdapat di hati. Zat yang tersimpan di dalam sel retikoloendotel sebagai feritin dan hemosiderin dibebaskan untuk digunakan oleh sumsum tulang bagi pembentukan sel darah baru (Kowalak et al., 2012). Defisiensi salah satu zat yang dibutuhkan akan menyebabkan eritropoesis menjadi abnormal. Anemia disebabkan oleh eritropoesis yang tidak normal, jenis dari anemianya tergantung dari unsur zat mana yang mengalami defisiensi (anemia defisiensi besi, defisiensi B12, atau defisiensi asam folat) (Kiswari, 2014).

Eritropoetin adalah hormon yang dibutuhkan dalam proses pembentukan sel darah merah (Longo et al., 2012). Produksi retikulosit dan pelepasan retikulosit dari sumsum tulang di tingkatkan oleh eritropoetin. Eritropoetin (Epo) matur adalah protein yang terglikosilasi tinggi yang mengandung 165 asam amino. Protein akan berinteraksi dengan reseptor eritropoetin (EpoR) yang homolog dengan reseptor pertumbuhan yang lainnya. Ikatan antara eritropoerin dengan reseptornya akan menghasilkan internalisasi reseptor dan menimbukan kejadian berikutnya seperti masuknya kalsium dan fosforilasi tirosin. Reseptor akan diekspresikan pada sel progenitor eritroid awal dan jumlah ekspresinya


(23)

meningkat pada perkembangan sel darah merah. Kematian sel apoptotik disebabkan oleh pelepasan eritropoetin dari prekursornya.

Ginjal adalah lokasi utama pembentukan hormon eritropoetin pada orang dewasa. Sel hepatosit dan sel fibroblastoid di hati juga menghasilkan sebagian kecil eritropoetin. Pada fetus dan neonatus hari merupakan tempat memproduksi hormon eritropoetin utama. Pada ginjal, sel fibroblastoid tipe 1 pada interstisium peritubular pada korteks dan medula bagian luar menghasilkan hormon eritropoetin. Ginjal akan memproduksi hormon eritroportin dalam jumlah yang sedikit, namun jumlah produksi akan meningkat pada anemia atau penurunan ��2 arteri, keadaan dimana yang dapat menyebabkan hipoksia jaringan.

Awalanya, hipoksia merangsang sintesis mRNA eritropoetin pada sel di korteks bagian dalam, apabila hipoksia berlanjut, sel yang terletak di superfisial juga akan memproduksi hormon eritropoetin. Kadar oksigen rendah menyebabkan

protein faktor transkripsi H1F1α (hypoxia inducible factor 1α) berikatan dengan

gen eritropoetin dan terjadi peningkatan ekspresinya. Pada saar kadar oksigen normal, enzim propyl hydroxylase dopamine (PHD) yang bersifat oxygen-dependent menambah gugus hidroksil ke residu prolin pada protein H1F1α

kemudian hidroksi prolin akan dikenali oleh protein VHL (Von Hipple-Lindau)

yang berbentuk kompleks dengan protein lain, dan dapat melekatkan H1F1α

dengan gugus ubiquitin, serta memicu hancurnya oleh proteasom. Jadi, ketika kadar oksigen rendah di dalam darah, hidroksilasi prolin tidak terjadi, H1F1α menjadi stabil dan gen eritropoetin dapat teraktivasi (O’callaghan, 2009).

2.3. Anemia Secara Umum

Anemia berasal dari bahasa Yunani yang artinya “tanpa darah”. Anemia adalah defisiensi sel darah merah dan defisiensi Hb. Tidak terpenuhinya kebutuhan fisiologis tubuh oleh karena kondisi kadar sel darah merah (dan kapasitas pembawa oksigennya) tidak mencukupi adalah suatu kondisi anemia. Kebutuhan fisiologis tubuh sangat bervariasi, tergantung dari jenis kelamin, umur, ketinggian diatas permukaan laut, merokok, perilaku dan kebiasaan, serta dalam berbagai tahap dalam kehamilan. Penyebab paling umum yang menyebabkan anemia global adalah kekurangan atau defisiensi zat besi. Penyebab lain seperti


(24)

defisiensi asam folat, defisiensi vitamin B12, defisiensi vitamin A yang akut dan kronis, infeksi dari parasit, kelainan kongenital atau diperoleh yang dapat mempengaruhi sintesis Hb, produksi sel darah merah atau sel darah merah yang masih hidup, dapat menyebabkan anemia.

Menurut WHO, kadar Hb <13,0 gr/dl pada laki-laki, kadar Hb <12,0 gr/dl pada wanita dewasa yang tidak hamil, kadar Hb <11,0 gr/dl, kadar Hb <12,0 gr/dl pada anak umur 6-14 tahun, dan kadar Hb <11,0 gr/dl dinyatakan sebagai anemia. Di Indonesia pada umumnya memakai kriteria sendiri untuk memudahkan klinisi untuk melakukan work up anemia. Kadar Hb <10,0 gr/dl, hematrokrit <30% dan kadar Eritrosit <2,8 juta/��3 adalah kriteria umum di klinik atau rumah sakit di Indonesia (Bakta, 2012).

2.3.1 Klasifikasi Anemia

Berdasarkan derajat anemia, WHO dan NCI (National Cancer Institution) mengklasifikasikan anemia menjadi empat kelompok, seperti yang tertera pada tabel 2.1. dibawah ini.

Tabel 2.1. Derajat Anemia

Derajat WHO NCI

Derajat 0 (nilai normal) ≥11.0 g/dl Perempuan : 12.0 – 16.0 g/dl

Laki-laki : 14.0 – 18.0 g/dl

Derajar 1 (ringan) 9.5 – 10.9 g/dl 10.0 g/dl – nilai normal

Derajat 2 (sedang) 8.0 – 9.4 g/dl 8.0 – 10.0 g/dl

Derajat 3 (berat) 6.5 – 7.9 g/dl 6.5 – 7.9 g/dl

Derajat 4 (mengancam jiwa)

< 6.5 g/dl < 6.5 g/dl

Menurut Longo dkk dalam buku Harrison’s edisi 18, klasifikasi fungsional dari anemia dibagi menjadi tiga kategori besar, yaitu :

1. Gangguan produksi sumsum tulang (hypoproliferation)

2. Gangguan pematangan sel darah merah (ineffective erythropoesis) 3. Penurunan usia sel darah merah (blood loss/ hemolysis)


(25)

2.3.2. Gejala Klinis Anemia

Variasi gejala klinis dari anemia sangat bervariasi, tetapi secara umum dapat dibagi menjadi tiga bagian besar. Pertama gejala umum anemia atau sindrom anemia (anemic syndrome). Sindrom anemia adalah gejala-gejala yang timbul pada seluruh jenis anemia pada kadar Hb sudah menurun sampai pada suatu titik tertentu. Gejala-gejala ini timbul akibat hipoksia sampai anoksia suaru organ dan telah terjadi mekanisme kompensasi tubuh terhadapat penurunan kadar Hb. Gejala tersebut dikelompokkan menurut masing-masing organ tubuh, antara lain :

1. Sistem kardiovaskular: lesu, cepat lelah, palpitasi, sesak diwaktu bekerja, takikardi, angina pektoris, dan gagal jantung.

2. Sistem saraf: pusing, sakit kepala, telinga berdenging, kelemahan otot, gelisah, lesu, perasaan dingin pada ekstemitas.

3. Sistem urogenital: libido menurun dan gangguan menstruasi

4. Epitel: elastisitas kulit menurun, rambut tipis dan halus, warna yang pucat pada kulit dan mukosa.

Kedua, gejala dari masing – masing anemia, yaitu :

1. Anemia defisiensi besi: kuku berbentuk seperti sendok makan (koilonikia), rapuh, dan tipis dengan garis menonjol pada permukaannya yang terasa kasar (disebabkan oleh karena sirkulasi kapiler menurun), lidah terasa perih dan berwarna merah, seperti terbakar akibat atrofi, kulit suduk mulut terasa perih dan kering akibat perubahan epitel (Kowalak et al., 2012).

2. Anemia defisiensi asam folat: lidah memerah (buffy tongue), glotitis, anoreksia, keluhan mudah lupa, mual, dan ikterus ringan. Anemia defisiensi asam folat tidak menyebabkan defisit neurologi atau gangguan neurologi kecuali jika keadaan ini disertai dengan defisiensi vitamin B12 seperti pada anemia pernisiosa (Kowalak et al., 2012). 3. Anemia hemolitik: ikterus dan hepatosplenomegali

4. Anemia aplastik: ekimosis, petekie, dan perdarahan, khususnya dari membran mukosa, seperti mukosa hidung, mukosa gusi, mukosa


(26)

rektum, mukosa vagina, atau ke dalam retina atau sistem saraf pusat yang disebabkan oleh trombositopenia, infeksi, nyeri tenggorokan tanpa adanya inflamasi yang khas, yang dikarenakan neutropenia (defisiensi neutrofil) (Kowalak et al., 2012).

Ketiga, penyakit dasar yang menyebabkan timbulnya anemia. Misalnya, infeksi cacing tambang yang berat yang memiliki gejala pembesaan kelenjar parotis dan telapak tangan berwarna kuning yang dapat menyebabkan anemia defisiensi besi. Kanker kolon yang dapat menimbulkan perubahan sifat defekasi (change of bowel habit), feses dapat bercampur dengan darah atau lendir (Bakta, 2012).

2.3.3. Prinsip Terapi Anemia

Prinsip terapi spesifik pada setiap kasus anemia harus diperhatikan setelah terdiagnosis dan diberikan terapi yang jelas sesuai indikasinya, rasional dan efisien. Terapi yang pertama diberikan adalah terapi gawat darurat. Pada pasien anemia dengan payah jantung atau terjadi ancaman payah jantung, harus segera diberikan terapi gawat darurat dengan mentransfusi sel darah merah untuk mencegah perburukan keadaan payah jantung tersebut. Sebelum dilakukan transfusi, spesimen apusan darah tepi, bahan untuk pemeriksaan serum besi dan lainnya harus di ambil dahulu (Bakta, 2012).

Kedua, terapi khusus dari masing- masing tipe anemia, tergantung dari hasil pemeriksaan yang dilakukan. Misalnya preparat besi untuk terapi anemia defisiensi besi, asam folat untuk terapi anemia defisiensi asam folat, dan lain-lain. Ketiga, prinsipnya adalah mengobati penyakit dasar penyebab anemia. Penyakit dasar harus ditangani dan di terapi dengan tuntas. Apabila terapi tidak dilakukan dengan tuntas, maka anemia dapat kembali kambuh. Misalnya anemia defisiensi besi disebabkan oleh thalasemia beta, anemia defisiensi besi akibat infeksi kecacingan. Akan tetapi, sayangnya tidak semua anemia yang memiliki penyakit yang mendasari dapat dikoreksi, seperti anemia yang bersifat familier/herediter (Bakta, 2012).

Terapi ex juvantivus adalah prinsip terapi yang keempat. Terapi ini diberikan sebelum anemia terdiagnosis atau diagnosa belum dapat dipastikan. Jika


(27)

terapi yang diberikan pertama berhasil, maka diagnosa anemia dapat dipastikan. Prinsip terapi ini dilakukan hanya jika fasilitas yang tersedia tidak mencukupi saat diberi terapi, pasien harus diawasi dengan ketat. Apabila terapi yang dibeli direspon dengan baik, maka terapi diteruskan, namun apabila tidak terjadi perbaikan, maka harus dievaluasi ulang (Bakta, 2012).

2.4. Anemia pada Kehamilan

Praktisnya, anemia didefinisikan sebagai kadar Ht, konsentrasi Hb, atau hitung jumlah eritrosit dibawah batas nilai normal. Nilai normal kadar Hb pada kehamilan >11–14g/dL. Pada kehamilan, anemia penyakit paling sering yang dapat ditemui. Menurut The World Health Organization (WHO), anemia pada kehamilan dapat ditegakkan bila konsentrasi Hb <11 g/dl (7,45 mmol/L) dan kadar Ht <0,33 (Hollingworth, 2014). Menurut CDC, penilaian anemia pada kehamilan di tentukan berdasarkan trimester kehamilan. Nilai batas anemia pada diuraikan pada tabel 2.2. dibawah ini.

Tabel 2.2. Nilai Batas Anemia Ibu Hamil

Status Kehamilan Hb (g/dl) Ht (%)

Trimester pertama 11,0 33

Trimester kedua 10,5 32

Trimester ketiga 11,0 33

Konsentrasi Hb terus mengalami penurunan pada trimester pertama dan mencapai titik terendah pada trimester kedua, lalu meningkat lagi pada trimester ketiga. WHO (2011) tidak merekomendasikan penilaian anemia pada ibu hamil berdasarkan trimester, tetapi pada trimester kedua kehamilan, kadar Hb dikurangi sekitar 0,50 g/dL. Derajat anemia pada ibu hamil dapat dilihat pada tabel 2.3. dibawah ini.


(28)

Tabel 2.3. Derajat Anemia Pada Ibu Hamil

Derajat Anemia Nilai

Non Anemia ≥ 11,0 g/dL

Anemia Ringan 10,0 – 10,9 g/dL

Anemia Sedang 7,0 – 9,9 g/dL

Anemia Berat < 7,0 g/dL

Menurut kriteria WHO dan pedoman Kemenkes 1999 anemia pada ibu hamil mencapai 37,1% dan proporsi pada ibu hamil di perkotaan 36,4% dan di pedesaan 37,8% (RISKESDAS, 2013). Anemia jelas telah menjadi masalah yang serius karena dapat menyebabkan mortalitas dan mordibitas maternal dan perinatal di seluruh dunia, khususnya di negara berkembang (Hollingworth, 2014).

Penyebab tersering anemia pada ibu hamil adalah anemia defisiensi zat nutrisi (besi, asam folat, dll). Defisiensi yang diderita seringnya bersifat multiple dengan manifestasi klinis yang disertai status gizi yang buruk, kejadian infeksi, atau kelainan herediter seperti hemoglobinopati. Penyebab yang menjadi dasar anemia nutrisional mencakup asupan yang tidak mencukupi, absorbsi yang tidak baik, kebutuhan yang meningkat, dan utilisasi nutrisi hemopoetik yang kurang. Hemoglobinopati, proses inflamasi, toksisitas zat kimia, dan keganasan jarang dijumpai menjadi penyebab anemia pada kehamilan (Saifuddin et al., 2010).

Anemia pada kehamilan harus diobservasi. Peningkatan volume darah selama kehamilan merupakan anemia yang ringan. Pada anemia yang lebih berat, dapat meningkatkan risiko anemia pada bayi. Apabila terjadi anemia pada trimester pertama dan kedua, berisiko melahirkan bayi prematur. Apabila anemia dialami oleh ibu pada trimester ketiga saja, maka berisiko melahirkan bayi dengan berat bayi lahir rendah. Selain itu, anemia pada kehamilan meningkatkan risiko infeksi pada ibu yang dapat mengganggu perkembangan janin dan meningkatkan risiko kehilangan banyak darah saat proses persalinan (Proverawati, 2011; Kumar


(29)

2.4.1. Defisiensi Besi

Defisiensi nutrisi yang paling banyak dijumpai baik di negara maju maupun negara berkembang adalah defisiensi besi. Hal ini berkaitan dengan asupan besi yang tidak adekuat, proses kehamilan, dan kebutuhan perkembangan janin yang cepat. Anemia yang paling umum saat kehamilan adalah anemia defisiensi besi, sekitar 95% anemia pada kehamilan tergolong pada anemia defisiensi besi (Morgan dan Hamilton, 2009). Secara klasik anemia defisiensi besi disebut anemia hipokromik mikrositik (Hollingworth, 2014).

Menurut Ani (2013), anemia defisiensi besi memiliki dampak yang negatif terhadap kesehatan ibu dan janin yang dikandungnya, antara lain kelahiran prematur, hipoksia janin, fetal distress, dan peningkatan morbiditas dan mortalitas fetomaternal. Besi memiliki peran mensintesis neurotransmitter di otak yang dapat berpengaruh terhadap tingkah laku manusia. Defisiensi zat besi juga dapat menyebabkan turunnya platelet monoamine oxidase dan aktifitas fungsional reseptor dopamin D2. Meningkatnya konsentrasi noreprineprin yang dapat menyebabkan hipoksia juga merupakan efek samping dari defisiensi zat besi.

Anemia umumnya ditentukan oleh pengukuran konsentrasi Hb dan Ht, sedangkan untuk mendiagnosa anemia defisiensi besi dipakai kriteria kadar besi serum <50µg/dL, TIBC >350µg/dL, dan saturasi transferin <15% atau kadar feritin serum <20µg/L. Pada pemeriksaan indeks eritrosit dan apusan darah tepi ditemukan adanya anemia hipokromik mikrositer.

Anemia defisiensi besi dimana telah terjadi defisiensi besi yang paling parah, yang ditandai dengan penurunan cadangan feritin. Konsentrasi besi serum dan saturasi feritin yang rendah serta konsentrasi Hb dan Ht yang menurun. Apabila seorang perempuan mengawali kehamilan dengan cadangan besi yang rendah, maka kebutuhan besi selama hamil lebih meningkat dan berakibat pada anemia defisiensi besi (Saifuddin et al., 2010).

Peningkatan kebutuhan zat besi bejalan linier sesuai dengan usia kehamilan. Walapun pada 5-10 minggu terakhir kehamilan penambahan masa eritrosit berhenti, akan tetapi pada trimester ketiga terjadi peningkatan eritropoesis janin dan akumulasi besi plasenta terjadi. Jumlah kebutuhan besi rata-rata pada


(30)

setiap kehamilan sekitar 450 mg. Besi yang di transfer ke janin dan plasenta sebesar 350 mg, 250 mg hilang selama pengiriman di dalam darah, dan 250 mg hilang melalui sel basal. Dibutuhkan tambahan sekitar 450 mg zat besi yang digunakan untuk ekspansi masa eritrosit maternal dan memenuhi cadangan besi yang turun dari penyimpanan zat besi selama gestasi. Sekitar 5,6 mg besi di absorbsi perhari (3,3-8,8 mg/hari) dibutuhkan pada trimster kedua dan ketiga atau sekitar 4,2 mg/hari lebih banyak daripada kebutuhan perempuan yang tidak hamil (Ani, 2013).

Untuk mencegah anemia defisiensi besi dapat dilakukan suplementasi besi dan asam folat. Pemberian 60 mg besi selama 6 bulan menurut anjuran WHO untuk memenuhi kebutuhan fisiologi selama kehamilan. Namun, ada banyak literatur yang menganjurkan pemberian 100 mg besi selama 16 minggu lebih baik pada kehamilan. Pada daerah dengan prevalensi anemia yang tinggi, dianjurkan untuk memberi suplementasi sampai tiga bulan setelah melahirkan (Saifuddin et al., 2010).

2.4.2. Defisiensi Asam Folat

Kebutuhan asam folat dibutuhkan dalam dosis yang besar pada saat kehamilan, sekitar lima sampai sepuluh kali lipat kebutuhan normal karena terjadi peningkatan replikasi sel pada janin, uterus, dan sumsum tulang. Dianjurkan sekitar 800 µg perhari selama kehamilan.

Di negara berkembang, defisiensi asam folat sering terjadi. Penyebabnya karena tidak cukupnya asupan dari makanan atau disebabkan oleh sindrom malabsorbsi dan penyakit saluran cerna lainnya. Anemia defisiensi asam folat banyak dijumpai pada kehamilan ganda, penderita infeksi cacing tambang, keluarnya darah haemorhoid, penyakit hemolitik (malaria kronik), dan infeksi lainnya. Obat-obatan antifolat, seperti obat antiepilepsi (phyenitoin, primidone), pyrimethamine, dan trimethoprim dapat menyebabkan defisiensi asam folat (Hollingworth, 2014). Kadar estrogen dan progesteron yang tinggi selama kehamilan juga memberi efek terhadap penghambatan absorbsi asam folat.

Anemia kedua terbanyak setelah anemia defisiensi besi adalah anemia tipe megaloblastik karena defisiensi asam folat. Folat dan turunannya formil FH4


(31)

penting untuk sintesis DNA yang mencukupi dan menghasilkan asam amino. Manifestasi klinis anemia megaloblastik dapat disebabkan oleh karena defisiensi asam folat.

Gejala klinis dari defisiensi asam folat sama dengan gejala klinis anemia secara umum, hanya saja ditambahkan kulit kasar dan glotitis. MCH dan MCHC biasanya dalam batas normal, sedangkan MCH yang besar berguna untuk membedakan anemia ini dari anemia defisiensi besi maupun anemia fisiologis kehamilan. Penanda awal defisiensi asam folat adalah kadar folat serum yang dibawah normal (< 3 ng/ml). Indikator status asam folat yang baik adalah asam folat dalam eritrosit. Kadar folat dalam eritrosit biasanya rendah pada anemia megaloblastik yang disebabkan defisiensi asam folat (Saifuddin et al., 2010).

Anomali kongenital janin juga sering dikaitan dengan defisiensi asam folat ringan, terutama terjadi defek pada penutupan tabung neural (neural tube defect). Selain itu, kelainan pada jantung, saluran kemih, alat gerak, retardasi pertumbuhan, bayi KMK, kelahiran prematur dan solusio plasenta juga dapat disebabkan oleh defisiensi asam folat (Hollingworth, 2014).

2.5. Kadar Hemoglobin Ibu dan Hubungannya dengan Nilai APGAR Bayi Baru Lahir

Seperti yang sudah di bahas sebelumnya, WHO mendefinisikan anemia berdasarkan kadar Hb dalam darah. Pada kehamilan sampai dengan minggu ke-20 terjadi penurunan kadar Hb darah karena terjadi peningkatan jumlah volume plasma (50%) dan sel darah merah (25%). Kemudian nilai itu menetap sampai minggu ke-30 usia kehamilan, lalu naik sedikit sebelum masa kelahiran.

Di negara berkembang, banyak terdapat ibu hamil yang mengalami defisiensi mikronutrisi seperti zat besi dan asam folat, yang menyebabkan terjadi insiden berat bayi lahir rendah sekilat 6 – 30% dan yang tersering disebabkan oleh bayi kecil masa kehamilan. Bayi kecil masa kehamilan yang matur mungkin tidak berhubungan dengan ketidakmatangan organ seperti pada bayi prematur, tetapi berhubungan dengan kematian sebelum atau saat kelahiran, penyebabnya seperti asfiksia, aspirasi mekonium dan hipoglikemia (Heider et al., 2011).


(32)

Defisiensi zat besi sangat mempengaruhi kesehatan ibu dan janin, kadar zat besi yang baik selama kehamilan dapat meningkatkan massa eritrosit (terutama pada trimester kedua) dan membantu pertumbuhan plasenta dan janin (Ribot et al., 2012). Pertumbuhan janin penting untuk memprediksi kesehatan bayi yang dilahirkan. Fetus yang tidak mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan pada masa pertumbuhan janin meningkatkan risiko kematian dan kecacatan bayi, termasuk terganggunya fungsi kognitif dan perkembangan sel saraf dan memiliki risiko yang tinggi menderita penyakit pada saat dewasa (Rodriguez-Bernal et al.,

2012).

Defisiensi vitamin B kompleks dan asam folat dapat menyebabkan homosisteinemia. Peningkatakan kadar homosistein dapat menyebabkan disfungsi sel endotel dan berefek pada fungsi plasenta. Vitamin dan mineral juga memiliki peranan yang penting pada regulasi gen maupun dalam metabolisme selular dan pertumbuhan janin (Kawai et al., 2011).

Jumlah produksi volume plasma pada trimester pertama dan kedua menjadi penanda keberhasilan kehamilan, hal ini berhubungan dengan perfusi janin dan ibu berjalan dengan baik. Kegagalan produksi ini dapat menyebabkan insufisiensi perfusi ke janin, yang dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan janin. Kadar Hb yang rendah juga berhubungan dengan meningkatkan resiko kelahiran prematur akibat rupturnya membran.

Mekanisme lain yang mungkin, terjadi gangguan fungsional pada tingkat jaringan yang disebabkan oleh konsentrasi Hb yang rendah atau peningkatan stres oksidatif karena defisiensi besi. Gangguan jaringan fungsional dan/atau kerusakan oksidatif yang berlangsung di dalam janin dan plasenta dapat memberikan hasil yang buruk pada bayi baru lahir karena selama di dalam kandungan aliran darah ibu ke janin hanya melalui plasenta, sehingga jika terjadi masalah pada plasenta akan mempengaruhi kondisi janin (Savajols et al., 2014; Wylie, 2010). Selain itu, kerusakan oksidatif pada eritrosit dalam janin dan plasenta yang dapat menstimulasi produksi cortico-trophin-releasing hormone

(CRH). Regulasi CRH yang abnormal dan produksi sitokin-sitokin inflamasi dapat menghambat aktivitas dari Natural Killer Cell (NK cell) yang merupakan


(33)

komponen sistem imun tubuh sehingga meningkatkan risiko infeksi yang dapat mempengaruhi janin (Lone et al., 2004).

Mekanisme efek anemia pada ibu terhadap bayi yang dilahirkannya masih belum jelas. Rendahnya kadar Hb ibu dapat menyebabkan hipoksia janin karena pernafasan janin hanya melalui plasenta, sehingga darah yang mengalir di plasenta harus adekuat, apabila kadar Hb ibu hamil rendah, maka kandungan oksigen dalam darah pun rendah, sehingga perkembangan janin dapat terganggu dan dapat menyebabkan gawat janin. Hipoksia janin dapat menstimulus peningkatan kadar noreprineprin yang merangsang peningkatan sintesis cortico-trophin-releasing hormone (CRH), yang dapat menyebabkan kelahiran prematur dan dapat mengancam kesehatan janin. Selain itu, anemia pada ibu hamil juga dapat meningkatkan produksi kortisol janin, yang telah diketahui menginhibisi produksi

insulin-like growth factor 2 pada janin, hal ini dapat mempengaruhi pertumbuhan janin (Chumak et al., 2010; Wylie, 2010; Rodriguez-Bernal et al., 2012).

Kadar Hb yang rendah pada ibu yang anemia menyebabkan kadar oksigen yang diikat oleh sel darah merah di paru dan di bawa ke jaringan-jaringan tubuh menjadi berkurang. Kadar Hb dan kadar besi pada darah tali pusat dan jaringan plasenta memiliki hubungan yang linear dengan kadar Hb ibu. Berat plasenta dan jumlah kotiledon plasenta secara signifikan berkurang pada ibu anemia berat dan secara langsung berhubungan dengan kadar Hb ibu. Hal ini akan meyebabkan penurunan kadar oksigen di jaringan tubuh, kemudian metabolisme anaerobik akan terjadi. Hal ini dapat menyebabkan fetus mengalami hipoksia dan asidosis yang dapat memperngaruhi nilai APGAR bayi (Al- Hilli, 2010).

Anemia pada kehamilan berhubungan dengan pertumbuhan janin terhambat, kelahiran prematur, berat bayi lahir rendah, peningkatan waktu kelahiran, peningkatan risiko infeksi, peningkatan kematian pada ibu dan janin, dan disfungsi otot. Dilaporkan terdapat hubungan antara kadar Hb ibu yang rendah dengan nilai APGAR <5 menit pertama dan menit kelima serta usia gestasi, yang merupakan indeks status kesehatan bayi baru lahir (Lee et al., 2006).


(34)

2.6. Nilai APGAR pada Bayi Baru Lahir

Pada tahun 1952, dr.Virginia Apgar merancang serangkaian penilaian cepat untuk menilai keadaan klinis pada bayi baru lahir pada usia 1 dan 5 menit, maka dari itu penilaian ini disebut Nilai APGAR (skor APGAR) yang berasal dari nama penemunya. Penilaian ini memiliki 5 komponen, yaitu frekuensi jantung, usaha pernafasan, tonus otot, refleks terhadap rangsangan, dan warna kulit. Menurut APGAR, frekuensi jantung dan usaha pernafasan adalah komponen terpenting pada sistem penilaian ini lalu diikuti dengan refleks terhadap rangsangan, tonus otot dan warna kulit.

Nilai APGAR digunakan untuk menilai dan mengevaluasi bayi baru lahir, selain itu nilai APGAR digunakan untuk mengestimasi kemungkinan ketahanan hidup bayi. Nilai APGAR tidak digunakan untuk memprediksi gangguan sistem saraf atau asfiksia bayi baru lahir tetapi dapat memprediksi palsi serebral dan menilai keberhasilan resusitasi. Nelson dan Ellenberg menemukan risiko kerusakan motorik yang berhubungan dengan nilai APGAR yang rendah dalam waktu lama pada bayi cukup bulan (Rubarth, 2012; Li, 2013).

Pada tahun 1962, Butterfield dan Covey membuat akronim dari nilai APGAR. Hal ini dilakukan untuk mempermudah klinisi mengingat komponen dari nilai APGAR. A adalah appaerance (warna kulit), P adalah pulse (frekuansi jantung), G adalah Grimace (refleks rangsangan), A adalah Activity (tonus otot), R adalah respiration (usaha pernafasan).

Frekuensi jantung bayi baru lahir dapat dirasakan pada umbilikal bayi. Posisi jari pada bagian bawah potongan umbilikal bayi dekat dengan kulit. Penilaian dapat dilakukan selama 6 detik untuk mendapatkan hasil yang lebih cepat. Bayi baru lahir yang tidak ada frekuensi jantung diberi nilai 0, frekuensi jantung < 100 diberi nilai 1 dan frekuensi jantung >100 diberi nilai 2.

Usaha pernafasan bayi dilihat apakah bayi memerlukan bantuan pernafasan atau tidak. Bayi baru lahir yang apnea diberi nilai 0 , bayi baru lahir yang hipoventilasi diberi nilai 1, dan bayi baru lahir yang dapat bernafas normal tanpa peningkatan usaha pernafasan diberi nilai 2. Pada refleks rangsangan apabila bayi baru lahir tidak memberi respon diberi nilai 0, bayi merespon dengan


(35)

merintih atau sedikit gerakan diberi nilai 1, dan bayi yang langsung nangis diberi nilai 2.

Kemudian yang di nilai adalah tonus otot, penilaiaan ini mudah dilihat. Hipotonia dapat disebabkan oleh iskemia pada organ non vital. Hipoksia dan iskemia menyebabkan kekurangan ATP untuk aktifitas otot. Pada bayi baru lahir yang tidak ada tonus otot diberi nilai 0, ekstermitas bayi sedikit fleksi di beri nilai 1, dan apabila gerakan bayi aktif maka diberi nilai 2. Berdasarkan nilai APGAR, nilai 2 diberi apabila seluruh bayi berwana merah jambu, tetapi kebanyakan bayi sedikit sianosis pada menit pertama. Saturasi oksigen meningkat dari 60% menjadi 90% dalam waktu 5 menit. Nilai 1 diberi pada bayi yang akrosianosis, yaitu sianosis pada ekstremitasnya. Akrosianosis biasanya terjadi pada 24 jam pertama, setelah dihangatkan dan perfusi ke jaringan baik, makan akrosianosis mulai tidak tampak (Rubarth, 2012). Untuk komponen-komponen penilaian APGAR pada bayi baru lahir dapat di lihat pada tabel 2.4.

Tabel 2.4. Komponen Nilai APGAR Nilai

0 1 2

Frekuensi jantung Tidak ada <100x/ menit >100x / menit

Usaha pernafasan Tidak ada Lambat Menangis kuat

Tonus otot Tidak ada Ekstremitas sedikit

fleksi

Gerakan Aktif

Refleks rangsangan

Tidak bereaksi Gerakan sedikit Reaksi melawan

Warna kulit Seluruh tubuh

biru/pucat

Tubuh kemerahan, ekstremitas biru

Seluruh tubuh kemerahan

Tiap komponen tersebut dijumlahkan, apabila nilainya >7 , menunjukkan keadaan bayi baik. Jika nilai APGAR masih <7 atau bayi memerlukan resusitasi, maka penilaian ini diteruskan setiap 5 menit sampai normal atau sampai 20 menit. Pengelompokan hasil perhitungan nilai APGAR dapat dilihat pada tabel 2.5. dibawah ini.


(36)

Tabel 2.5. Hasil Penjumlahan Nilai APGAR

Hasil Status Intervensi

8 – 10 Normal Tidak membutuhkan intervensi

4 – 7 Sedang Membutuhkan tindakan resusitasi

0 – 3 Berat Membutuhkan resusitasi segera

Banyak faktor yang berhubungan dengan nilai APGAR yaitu, trauma lahir, kelainan bawaan, infeksi, hipoksia, kelahiran prematur, dan penggunaan obat-obatan. Nilai APGAR pada menit pertama umumnya berhubungan dengan pH pada darah tali pusat dan gawat janin selama persalinan. Bayi dengan nilai APGAR 0-4 menunjukkan bahwa pH darah rendah oleh karena tekanan parsial karbon dioksida yang tinggi. Pada payi prematur dengan nilai APGAR yang rendah belum tentu indikasi gawat janin yang berat (Cloherty et al., 2008).

Nilai APGAR yang digunakan sebagai respon resusitasi berbeda dengan nilai APGAR pada bayi baru lahir yang bernafas secara spontan. Bayi dengan nilai APGAR yang rendah pada menit pertama namum merespon baik dengan resusitasi memiliki prognosis yang baik. Bayi dengan nilai APGAR rendah dan tidak merespon baik dengan resusitasi selama 10 menit memiliki prognosis yang buruk, bayi tersebut memiliki risiko palsi serebral yang meningkat seiring dengan semakin lamanya nilai APGAR yang rendah (Suradi, 2012).


(37)

BAB 3

KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam penelitian ini tertera pada gambar 3.1. dibawah ini:

Keterangan:

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Kehamilan normal Volume darah meningkat

*Kadar Hb ibu

Non Anemia Anemia

1. Derajat ringan 2. Derajat

sedang 3. Derajat

berat *Nilai APGAR Bayi

Baru Lahir 1. Diet

2. Penyakit hematologi bawaan

Usia kehamilan Kelahiran gameli Riwayat Penyakit ibu Hipertensi diinduksi kehamilan

Kelainan plasenta

*yang diteliti

Variabel Independen


(38)

3.2. Definisi Operasional

Variabel-variabel yang diteliti sesuai dengan tabel 3.1. dibawah ini. Tabel 3.1. Definisi Operasional

Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur

Hasil Ukur Skala Ukur 1. Kadar Hb Ibu Hamil

adalah kadar Hbyang diambil pada trimester III, tepatnya sesaat sebelum persalinan. Cara pengukuran dengan menuliskan hasil yang terdapat pada rekam medik (data sekunder). Rekam medik ibu hamil.

Hb ibu hamil:

≥ 11g/dL:

Normal 10,0 – 10,9 g/dL: Anemia ringan

7,0 – 9,9 g/dL: Anemia Sedang <7,0 g/dL: Anemia berat

Numerik

2. Nilai APGAR Bayi Baru Lahir adalah penilaian yang dilakukan pada bayi sesaat setelah kelahirannya. Cara pengukuran dengan menuliskan hasil yang terdapat pada rekam medik (data sekunder). Rekam medik bayi baru lahir. Jumlah nilai APGAR bayi baru lahir : 8 – 10: Normal. 4 – 7: Sedang. 0 – 3: Berat.

Numerik

3.3. Hipotesis

Hipotesis untuk penelitian ini adalah:

Ada hubungan antara kadar Hb ibu dengan nilai APGAR bayi baru lahir di RSU Artha Medica Binjai tahun 2013.


(39)

BAB 4

METODE PENELITIAN 4.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik, yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kadar Hb ibu hamil dengan nilai APGAR bayi baru lahir. Pendekatan yang digunakan pada desain penelitian ini adalah cross sectional. Pengumpulan data yang digunakan adalah rekam medik ibu yang melahirkan di RSU Artha Medica Binjai tahun 2013.

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian 4.2.1. Waktu Penelitian

Penggumpulan dan pengolahan data dilakukan pada bulan Juli sampai Oktober 2014.

4.2.2. Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di RSU Artha Medica Binjai. Rumah sakit ini merupakan rumah sakit rumah sakit swasta tipe D (September 2012). Data tentang hubungan kadar Hb ibu dengan nilai APGAR bayi baru lahir di RSU Artha Medica Binjai belum ada. Selain itu, RSU Artha Medica Binjai terletak dipinggiran kota dan banyak menerima pasien rujukan.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1. Populasi Penelitian

Populasi target dari penelitian ini adalah ibu hamil. Sementara populasi terjangkau dari penelitian ini adalah ibu hamil yang melakukan persalinan di RSU Artha Medica Binjai.

4.3.2. Sampel Penelitian

Sampel pada penelitian ini adalah Consecutive sampling sampai jumlah sampel terpenuhi. Sampel penelitian ini adalah ibu hamil yang melakukan persalinan di RSU Artha Medica Binjai dari tanggal 1 Januari 2013 sampai tanggal 31 Desember 2013 yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Besar sampel diambil dengan menggunakan rumus (Mukhtar et al., 2011):


(40)

n =

{

1,64+1,28

0,5 �� [ 1+0,2

(1−0,2] ]

}² + 3

n = 210,45 = 211 Keterangan:

n = Besar sampel.

Zα = 1,64

Zβ = 1,28

r = 0.2 (Lee et al., 2006)

Adapun kriteria inklusi dan eksklusi adalah sebagai berikut: 1. Kriteria inklusi:

a. Rekam medik lengkap.

b. Usia kehamilan 38-42 minggu. c. Usia ibu 20-40 tahun.

2. Kriteria eksklusi: a. Bayi meninggal.

b. Bayi dengan malformasi kongenital.

c. Kelahiran prematur. d. Infeksi maternal.

e. Ibu dengan riwayat DM dan hipertensi kronik.

f. Hipertensi yang diinduksi oleh kehamilan.

g. Kelainan plasenta. h. Kelahiran gameli. i. Fetal distress

j. Pasien rujukan

4.4. Teknik Pengumpulan Data

Pada penelitian ini, data kadar Hb ibu hamil dan data nilai APGAR bayi baru lahir adalah data sekunder, yaitu data diambil dari arsip rekam medik. Data rekam medik diperoleh melalui pencarian nama dan kode rekam medik di buku rawatan ibu dan bayi baru lahir di RSU Artha Medica Binjai, kemudian memasukkan kode rekam medik ke komputer untuk melihat letak penyimpanan

n =

{

��+��

0,5 �� [ 1+�

(1−�] ]


(41)

arsip rekam medik, selanjutnya dilakukan pencarian arsip rekam medik tersebut diruang arsip dan data yang dibutuhkan diambil dari arsip tersebut.

4.5. Metode Analisis Data 1. Editing dan Coding

Pertama dilakukan Editing untuk memeriksa ketepatan dan kelengkapan data sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Kemudian data tersebut diberi kode secara manual sebelum diolah dengan komputer.

2. Entry, Cleaning Data dan Saving

Data dimasukkan ke program komputer. Setelah data dimasukkan ke dalam program, dilakukan pemeriksaan data yang telah dimasukkan agar terhindar dari terjadinya kesalahan dalam memasukan data. Kemudian data disimpan untuk siap dianalisa.

3. Analisis Data

Hasil pengolahan data kemudian dilakukan analisis menggunakan program komputer SPSS (Statistical Program for Social Science) 21.0 dan dianalisa secara statistik.


(42)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

RSU Artha Medica Binjai berada di Jl. Samanhudi No.22 Binjai. Rumah sakit ini merupakan salah satu rumah sakit swasta yang terletak 300m dari pusat kota Binjai. RSU Artha medica mulai beroperasi pada tanggal 12 Juni 2008 dan memiliki tipe rumah sakit D sejak bulan September 2012.

Rumah sakit ini banyak menerima pasien rujukan dari berbagai bidan desa di sekitar kota Binjai sehingga angka kelahirannya cukup tinggi . Menurut data administasi RSU Artha Medica terjadi peningkatan jumlah kelahiran setiap tahun. Pada tahun 2010 angka kelahiran di RSU Artha Medica mencapai 506 kelahiran.

5.2. Deskripsi Karakteristik Individu 5.2.1. Deskripsi Karakteristik Ibu

Sampel penelitian adalah 247 data rekam medik ibu yang melahirkan di RSU Artha Medica Binjai pada tahun 2013. Menurut data rekam medik ibu yang telah dipilih berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi, kadar Hb ibu tertinggi (12,6 g/dL) sebanyak 4 orang (1,6%) dan kadar Hb ibu terendah (6,8 g/dL) sebanyak 1 orang (0,4%), sedangkan rata-rata kadar Hb ibu 10,2 g/dL.

Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Kadar Hb Ibu

Kategori Kadar Hb Ibu Frekuensi (n) Persentase (%)

Non Anemia ≥ 11 g/dL 71 28,7%

Anemia Ringan 10,0 – 10,9 g/dL 89 36%

Anemia Sedang 7,0 – 9,9 g/dL 86 34,8%

Anemia Berat < 7,0 g/dL 1 0,4%

Total 247 100%

Pada tabel 5.1. dapat dilihat jumlah ibu tertinggi adalah kategori ibu yang anemia ringan (36%) dan jumlah yang paling rendah adalah ibu yang anemia berat (0,4%).


(43)

5.2.2. Deskripsi Karakteristik Bayi Baru Lahir

Menurut data rekam medik bayi baru lahir yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi nilai APGAR bayi baru lahir terendah adalah 5 dengan jumlah 3 bayi (1,2%) dan nilai APGAR bayi baru lahir tertinggi adalah 9 dengan jumlah 116 bayi (47%).

Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Nilai APGAR Bayi

Kategori Nilai Frekuensi (n) Persentase (%)

Normal 8 – 10 191 77,3%

Asfiksia Sedang 4 – 7 56 22,7%

Asfiksia Berat 0 – 3 0 0%

Total 247 100%

Pada tabel 5.2. diatas dapat dilihat, dari 247 bayi baru lahir, 77,3% memiliki nilai APGAR normal (8-10) dan 22,7% memiliki nilai APGAR asfiksia sedang (4-7).

5.3. Hasil Analisis Data

Kadar Hb ibu selama masa kehamilan dibagi menjadi 4 kategori yang dapat mempengaruhi nilai APGAR bayi yang dilahirkannya. Hasil tersebut dapat dilihat pada tabel 5.3 dibawah ini.

Tabel 5.3. Hasil Analisa Kadar Hb Ibu Dengan Nilai APGAR Bayi

Kadar Hb Nilai APGAR

Normal Asfiksia Sedang Total

Non Anemia ( ≥ 11 g/dL) 54 17 71

Anemia ringan ( 10 – 10,9 g/dL) 76 13 89

Anemia sedang ( 7 – 9,9 g/dL) 61 25 86

Anemia berat ( ≤ 6,9 g/dL) 0 1 1

Total 191 56 247


(44)

Pada tabel 5.3. diatas tampak bahwa, meskipun ibu yang non anemia tetapi melahirkan sebagian (17) bayi dengan asfiksia sedang. Demikian juga ibu yang anemia ringan dan anemia sedang melahirkan bayi nomal dan juga bayi dengan asfiksia sedang, namum ibu yang anemia berat hanya melahirkan bayi yang asfiksia sedang.

Tabel 5.4. Hasil Analisa Nilai APGAR Pada Ibu Non Anemia dan Anemia

Nilai APGAR Odd Rasio 95% CI p

Normal Asfiksia

0,904 0,472 – 1,734 0,762

Non Anemia 54 17

Anemia 137 39

Pada tabel 5.4. menunjukkan bahwa ibu dengan anemia 0,9 kali lebih berisiko melahirkan bayi dengan asfiksia dibandingkan dengan ibu non anemia. Taraf signifikasi p > 0,05 (p = 0,762), sehingga secara statistik hal ini tidak signifikan.

Pada uji normalitas untuk analisa terhadap kadar Hb ibu dengan nilai APGAR bayi yang dilahirkannya adalah berdistribusi normal sehingga digunakan uji korelasi pearson. Uji korelasi pearson diperoleh nilai r sebesar +0,102, dengan taraf signifikansi p > 0,05 (p = 0,112). Nilai ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kadar Hb ibu dengan nilai APGAR bayi yang dilahirkannya.

5.4. Pembahasan

Anemia selama kehamilan masih merupakan masalah bagi ibu hamil terutama di negara berkembang. Tingginya persentase anemia selama kehamilan dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan janin didalam kandungan. Penelitian yang dilakukan oleh Olubukola et al (2011) di kota Ibadan menunjukkan 20,2% ibu hamil mengalami anemia pada trimester pertama, 30,0% mengalamin anemia pada trimester kedua, dan 31,1% mengalami anemia pada trimester ketiga kehamilannya.


(45)

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (2013), anemia pada ibu hamil yang sesuai dengan kriteria anemia WHO dan Pedoman Kemenkes 1999, sebesar 37,1%. Pada penelitian yang dilakukan oleh Gebremedhin, Enquselassie, dan Umeta (2014) secara cross sectional pada 629 ibu hamil, persentase anemia ringan sebesar 20,4%, anemia sedang, 10,4% dan anemia berat 0,7%.

Pada penelitian ini di dapat persentase ibu hamil dengan anemia ringan sebesar 36%, anemia sedang 34,8%, dan anemia berat 0,4%. Penelitian lain juga dilakukan oleh Alizadeh et al (2014) secara crossectional didapat yang ibu dengan kadar Hb <10,5 g/dL sebesar 23,3%, 10,5-12,0 g/dL sebesar 57,9% dan

≥12,0 g/dL sebesar 18,8%.

Beberapa penelitian mengatakan bahwa tingginya persentase anemia pada ibu hamil disebabkan oleh status gizi yang kurang, jarang mengontrol kandungan selama kehamilan, tingkat pendidikan yang rendah, tinggal di daerah pedesaan, dan 50 – 70% ibu hamil dengan anemia termasuk ke dalam golongan sosio-ekonomi yang rendah. Selama kehamilan sebaiknya melakukan pemeriksaan kandungan minimal 4 kali, sekali pada trimester satu, sekali pada trimester dua, dan dua kali pada trimester ketiga (Ali et al., 2011).

Pada penelitian yang dilakukan Yi et al (2013), 63,4% ibu yang menderita anemia memiliki IMT dibawah 21. Pada penelitian yang dilakukan secara cohort

oleh AL-Farsi et al (2011), ibu yang memiliki jumlah paritas ≥ 5 memiliki risiko 4,37 kali mengalami anemia selama kehamilan. Menstruasi ibu sebelum hamil juga dapat mempengaruhi kadar Hb ibu selama kehamilan. Penelitian yang dilakukan oleh Kefiyalew et al (2014) menyatakan ibu yang mengalami menstruasi lebih dari 5 hari berisiko1,6 kali menderita anemia selama kehamilan. Selain itu, 34,6% ibu yang mengalami anemia memiliki waktu menstruasi diatas 5 hari.

Di Indonesia masalah anemia pada kehamilan masih tinggi. Selain karena tingkat pendidikan yang rendah, kesadaran ibu hamil untuk memeriksakan kandungan selama kehamilan masih kurang. Pada penelitian yang dilakukan oleh Agus et al (2012) di Jawa Barat, sebagian ibu hamil menganggap kehamilan itu adalah proses yang normal dalam kehidupan sehingga tidak perlu berkonsultasi


(46)

kepada dokter. Sebagian besar lebih memilih untuk berkonsultasi dengan paraji (ahli medis tradisional yang menangani persalinan) padahal terdapat Polindes (Pondok bersalin desa) atau posyandu yang dapat melayani konsultasi kesehatan ibu dan bayi di desa tersebut.

Sebagian menyatakan kondisi keuangan yang menyebabkan mereka tidak berkonsultasi ke balai pengobatan desa. Walaupun ada yang menggunakan kartu jamkesmas, mereka menganggap tidak semua pelayanan yang ditanggung oleh kartu tersebut sehingga terjadi salah paham tentang penggunaan kartu tersebut.

Selain itu, kurangnya sosialisasi tentang promosi kesehatan juga masih kurang. Misalnya promosi tentang program SIAGA yang merupakan salah satu program untuk kesehatan ibu dan janin yang sudah terbukti manfaatnya yang telah dilaporkan dari beberapa tempat di Indonesia (Titaley et al., 2010).

Alizadeh et al (2014) melakukan penelitian tentang hubungan kadar Hb ibu dengan nilai APGAR bayi. Hasilnya, terdapat hubungan yang signifikan antara Kadar Hb ibu dan nilai APGAR bayi yang dilahirkannya. Nilai APGAR dibawah 8 meningkat pada ibu dengan anemia. Pada kehamilan, anemia paling sering disebabkan oleh defisiensi besi oleh karena asupan yang kurang.

Mekanisme kekurangan zat besi dapat mempengaruhi kehamilan sepenuhnya belum diketahui. Salah satu hipotesis mengatakan bahwa selama kehamilan kebutuhan oksigen meningkat karena peningkatan metabolisme ibu dan janin, apabila kekurangan zat besi akan mempengaruhi produksi Hb yang mengangkut oksigen ke seluruh jaringan ibu dan janin, dan oksigenasi terganggu menyebabkan hipoksia yang meningkatkan konsentrasi noreprineprin yang akan merangsang produksi corticoropin-releasing hormone yang akan merangsang produksi

cortisol janinyang dapat mempengaruhi proses kelahiran (Ribot et al., 2012.

Produksi hormon Cortisol janin ini akan mempengaruhi hormon progesteron, estrogen, dan reseptor hormon oksitosin di miometrium. Kondisi ini dapat menyebabkan dilatasi serviks dan kontraksi pada miometrium (Lelic et al.,

2014). Selain itu, cortisol juga dapat menghambat produksi insulin-like growth factor 2 janin yang dapat mempengaruhi pertumbuhan janin didalam kandungan (Rodriguez-Bernal et al., 2012).


(47)

Hipotesis lain mengatakan bahwa ibu hamil dengan defisiensi zat besi dapat meningkatkan jumlah stress oxidative disirkulasi darah ibu sehingga dapat mengganggu perkembangan plasenta dan janin dan menyebabkan gangguan pada bayi yang dilahirkan oleh ibu tersebut. Namum penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk membuktikan hipotesis tersebut (Savajols et al., 2014).

Menurut Lissauer dan Fanaroff (2009), nilai APGAR dipengaruhi oleh banyak faktor, kadar Hb ibu hanya salah satu dari beberapa faktor yang dapat mempengaruhi nilai APGAR bayi baru lahir.

Kadar Hb ibu pada trimester ketiga hanya menjadi salah satu faktor risiko yang mempengaruhi keadaan bayi yang lahir. Kadar Hb ibu yang rendah pada trimester ketiga disebabkan oleh peningkatan jumlah produksi plasma yang berlebihan. Beberapa penelitian yang dilakukan pada ibu hamil di Eropa dan Amerika menunjukkan bahwa kadar Hb pada trimester pertama yang berhubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan janin (Stephansson et al.,

2000).

Nilai APGAR dapat dipengaruhi oleh faktor dari ibu, faktor janin dan faktor plasenta. penyakit hipertesi, diabetes melitus, infeksi pada kehamilan, terapi obat-obatan, polihidramnion, oligohidramnion, cara kelahiran dan anastesi yang digunakan merupakan faktor ibu yang dapat mempengaruhi nilai APGAR bayi. Faktor janin diantaranya adalah kelahiran prematur, kelahiran ganda, pertumbuhan janin terhambat, malformasi kongenital, dan lainnya. Untuk faktor plasenta adalah koriomnionitis, plasenta previa, abrubsio plasenta, dan prolaps tali pusat (Lissauer dan Fanaroff, 2009).

Pada penelitian cohort yang dilakukan oleh Lone et al (2004), risiko untuk bayi lahir dengan nilai APGAR rendah 1,8 kali lebih besar pada ibu hamil yang anemia daripada ibu hamil non anemia. Pada penelitian ini didapat, ibu dengan anemia 0,9 kali lebih berisiko melahirkan bayi asfiksia daripada ibu yang memiliki kadar Hb normal.

Pada penelitian ini, hasil analisa dengan uji korelasi pearson didapati korelasi antara Hb ibu dengan nilai APGAR bayi yang dilahirkannya (r) +0,102, yang menunjukkan korelasi kedua variabel tersebut sangat lemah. Penelitian lain


(48)

juga dilakukan oleh Lee et al (2006), hubungan antara kadar Hb ibu dengan nilai APGAR bayi baru lahir memiliki korelasi (r) 0,231, yang menunjukkan derajat korelasi sangat lemah juga.

Penelitian yang dilakukan Francis dan Nayak (2013), didapat p nilai APGAR pada menit pertama dan pada menit kelima p > 0,05, sehingga kadar Hb ibu tidak memiliki hubungan yang signifikan pada nilai APGAR menit pertama dan kelima. Namum pada penelitian yang dilakukan oleh Laflamme (2010), terdapat anemia pada ibu hamil sebanyak 17,5% dan berhubungan dengan rendahnya nilai APGAR pada menit pertama dengan nilai p < 0,05 yang menunjukkan ada hubungan yang signifikan.

Untuk Taraf signifikansi p > 0,05 yang berarti, hipotesis yang menyatakan “ Ada hubungan antara kadar Hb ibu dengan nilai APGAR bayi baru lahir di RSU Artha Medica Binjai tahun 2013”, ditolak karena tidak memiliki hubungan secara signifikan.


(49)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan

1. Rata-rata kadar Hb ibu 10,2 g/dL. Ibu dengan kadar Hb normal sebesar 28,7%, ibu dengan anemia ringan sebesar 36%, ibu dengan anemia sedang sebsar 34,8%, dan ibu dengan anemia berat sebesar 0,4%.

2. Bayi baru lahir dengan nilai APGAR normal 77,3% dan bayi lahir dengan asfiksia sedang 22,7%, sedangkan asfiksia berat tidak ada.

3. Ibu non anemia 0,9 kali lebih besar melahirkan bayi dengan nilai APGAR normal daripada ibu dengan anemia ringan walaupun secara statistik tidak signifikan

4. Korelasi antara kadar Hb ibu dengan nilai APGAR Bayi yang dilahirkannya memiliki nilai p > 0,05, sehingga hipotesis ditolak karena tidak ada hubungan antara kadar Hb ibu dengan nilai APGAR bayi yang dilahirkannya.

6.2. Saran

1. Pada penelitian selanjutnya diharapkan peneliti dapat menghitung kadar Hb ibu pada tiap trimester kehamilan ibu hamil untuk melihat hubungan kadar Hb ibu dengan nilai APGAR bayi yang mungkin berpengaruh. 2.Pada penelitian selanjutnya diharapkan peneliti dapat meneliti parameter lain, selain kadar Hb ibu yang mungkin dapat mempengaruhi nilai APGAR bayi.

3. Bagi pihak rumah sakit untuk mengadakan penyuluhan kepada ibu hamil tentang masalah anemia pada kehamilan dan pentingnya mengontrol kandungan minimal 4 kali selama masa kehamilan untuk mengurangi pensentase anemia yang masih tinggi.

4. Bagi ibu hamil disarankan mengkonsumsi makanan yang bergizi dan bervariasi, terutama makanan yang mengandung zat besi selama kehamilan untuk menghindari masalah anemia pada kehamilan.


(50)

5. Bagi pihak dinas kesehatan kota Binjai untuk lebih mengaktifkan program kesehatan ibu dan bayi pada tiap balai pengobatan di tiap desa.


(51)

DAFTAR PUSTAKA

Agus, Y., Horiuchi, S. & Porter, S. E., 2012. Rural Indonesia women's traditional beliefs about antenatal care. BMC Research Note, 5(509). Available from: 2014].

Al-Farsi, Y. M. et al., 2011. Effect of high parity on accurrence of anemia in pregnancy: a cohort study. BMC Pregnancy and Children, 11(7). Available from Accessed 14th December 2014].

Al-Hilli, Nadia Mudher. Dr., 2010, The Effect of Maternal Anemia on Cord Blood Haemoglobin and Newborn Birth Weight, Karbala Journal of Medicine. Available from:www.uobabylon.edu.iq. [Accesed 9th April 2014]. Ali, A. A., Rayis, D. A., Abdallah, T. M. & Elbashir, M. I. A. I., 2011. Severe

Anemia is Associated with Higher Risk for Preeclamsia and Poor Perinatal Outcome in Kassala Hospital, Eastern Sudan. BMC Research Note, Volume 4, p. 311.Available from:http://www.biomedcentral.com/1756-0500/4/311. [ Accesed 20th November 2014].

Alizadeh, L., Raoofi, A., Salehi, L. & Mani, R., 2014. Impact of Maternal Hemoglobin Concentration on Fetal Outcome in Adelescent Pregnant Women. Iran Red Crescent Med J, 16(8). Available from:

November 2014].

Ani, L.S., 2013. Buku Saku Anemia Defisiensi Besi. Jakarta : ECG. Bakta, I Made., 2012. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta : ECG. British Journal of Pharmacology, 2008. 154, pp. 529–541

Chumak, Elena L. dan Grijbovski, Andrej M., 2010, Anemia in Pregnancy and Its Association With Pregnancy Outcomes in the Arctic Russian Town of Monchegorsk, 1973-2002. International Journal of Circumpolar Health. Available from:

[Accessed 3rd March 2014].

Cloherty, John P., Eric C, Eichenwald., Ann R, Stark, 2008. Manual of Neonatal Care Sixth Edition. Philadelphia : Lippincott Williams dan Wilkins.


(52)

Francis, Soumyamol dan Nayak, Sabitha, 2013, Maternal Haemoglobin Level and Its Association With Pregnancy Outcome Among Mothers. Nitte University Journal of Health Science. Available from:

http://www.nitte.edu.in/journal/September%202013/MHLAIAWP.pdf

Gebremedhin, S., Enqueselassie, F. & Umeta, M., 2014. Prevalence and

Correlates of Matrenal Anemia in Rural Sidama, Southern Ethiopia. African Journal of Reproductive Health March 2014, I(18), pp. 44-53. Availbale from

. [Accessed 23rd March 2014].

November 2014].

Gomella, Tricia Lacy, M. Douglas, Cunningham., Fabien G Eyal, 2009.

Neonatology Sixth Edition. US : McGrawHill.

Guyton, Arthur C., Hall, John E., 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : ECG.

Haider, Batool Azra, et al., 2011. Effect of Multiple Micronutrient

Supplementation During Pregnancy on Maternal and Birth Outcomes,

BioMed Central. Available from:

Hoffbrand, Victor dan Mehta A., 2006. At a Glance Hematologi Edisi Kedua.

Jakarta : Penerbit Erlangga.

Hoffbrand, A.V., J.E, Pettit., P.A.H, Moss, 2005. Kapita Selekta Hematologi., Jakarta : ECG.

Hollingworth, T., 2014. Diagnosis Banding Obstetri dan Ginekologi A-Z . Jakarta : ECG.

Kawai, Kosuke, et al., 2011. Maternal Multiple Micronutrient Supplementation and Pregnancy Outcomes in Developing Countries: Meta-analysis and Meta-regression. WHO. Available from:

March 2014].

Kefiyalew, A., Zemene, E., Asres, Y. & Gedefaw, L., 2014. Anemia among pregnant womwn in Southeast Ethiopia: Prevalence, Severity and


(53)

assosiated risk factor. BMC Research Note, 7(771). Available from: December 2014].

Kiswari, Rukman, 2014. Hematologi dan Transfusi. Jakarta : Penerbit Erlangga. Kowalak, Jennifer P., William, W., Brenna,M., 2012. Buku ajar Patofisiologi.

Jakarta : ECG.

Kumar, K. Jagadish. Dr, et al., 2012. Maternal Anemia in Various Trimesters and its Effect on Newborn Weight and Maturity: An Observational Study.

International Journal of Preventive Medicine. Available from:

2014].

Laflamme, E. M., 2010. Maternal Hemoglobin Concentration and Pregnancy Outcome : A Study of the Effect of Elevation in El Alto, Bolivia. MJM,

13(1), pp. 47-55.Availbale from:

2014].

Lee, HS, et al., 2006. Iron Status and Its Association With pregnancy Outcome in Korean Pregnant Women. European Journal of Clinical Nutrition. Available from [Accessed 17th March 2014].

Lelic, M., Bogdanovic, G., Ramic, S. & brkicevic, E., 2014. Influence of Maternal Anemia During Pregnancy on Placenta and Newborns. Med Arh, 68(3), pp. 184-187. Available from: http://www.scopemed.org/?mno=161087. [Accesed 20th November 2014].

Li, Fei, et al., 2013. The APGAR Score and Infant Mortality. Plos One. Available from:

Lissauer, T. & Fanaroff, A., 2009. At a Glance Neonatology. Jakarta: Erlangga. Lone, F.W., R.N. Qureshi., F. Emmanuel., 2004. Maternal Anaemia and Its


(54)

Eastern Mediterranean Health Journal. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16335767

Longo, Dan L., et al., 2011. Principles of Internal Medicine : Harrison’s 18th Edition., US : McGrawhill.

. [Accessed 9th May 2014].

McPhee, Stephen J dan Hammer, G.D., 2010. Pathophysiology of Disease : An Introduction to Clinical Medicine 6th Edition. US : McGrawHill.

Morgan, Geri dan Hamilton, C., 2009. Panduan Praktis Obstetri dan Ginekologi Edisi 2. Jakarta : ECG.

Mukhtar, Zulfikri et al., 2011. Desain Penelitian Klinis dan Statistika Kedokteran.

Medan : USU Press.

O’Callaghan, C., 2009. At a Glance Sistem Ginjal Edisi Kedua. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Olubukola, A., Odunayo, A. & Adesina, O., 2011. Anemia in pregnancy at two levels of health care in Ibadan, South West Nigeria. Annals of African Medicine, 10(4), pp. 272-277. Available from:

2014]

Profil Kesehatan Propinsi Sumatera Utara, 2012.

Proverawati, Atikah, 2011. Anemia dan Anemia Kehamilan. Yogyakarta : Nuha Medika.

Ribot, Blanca, et al., 2014. Effect of Different Doses of Iron Supplementation During Pregnancy on Maternal and Infant Health. Springer. Available

from: [Accessed 25th March 2014].

RISKESDAS, 2013.

Rodriguez, Bernal, et al., 2012. Maternal Nutrition and Fetal Growth: the Role of Iron Status and Intake During Pregnancy. Dovepress. Available from: 2014].


(55)

Rubarth, Lori, 2012. The APGAR Score : Simple Yet Complex. Springer.

Available from: 17th March 2014].

Saifuddin, A. B., Rachimhadhi, T. dan Wiknjosastro, G. H., 2010. Ilmu kebidanan Sarwono Prawirohardjo. jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Saifuddin, A. B., Adriaansz, G., Wiknjosastro, G. H. dan Waspodo, D., 2009.

Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.

Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawihardjo.

Savajols, Elodie, et al., 2014. Maternal Haemoglobin and Short-Term Neonatal Outcome in Preterm Neonates. Plos One. Available from:

http://www.plosone.org/article/info%3Adoi%2F10.1371%2Fjournal.pone.0 089530

Sofro, Abdul Salam M., 2012. Darah. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. . [Accessed 29th April 2014].

Stephansson O, Dickman PW, Johansson A, Cnattingius S. 2000. Maternal hemoglobin concentration during pregnancy and risk of stillbirth. JAMA 2000; 284: 2611–2617.

Suradi, R., 2012. Pemeriksaan Fisis Pada Bayi Baru Lahir. In: M. S. Kosim, et al. eds. Buku Ajar Neonatologi. s.l.Jakarta:Badan Penerbit IDAI, pp. 71-73. Tao, L dan Kendall, K.., 2013. Sinopsis Organ Sistem : Sistem Reproduksi.

Pamulang – Tangerang Selatan : Karisma Publishing Group.

Titaley, C. R., Dibley, M. J. & Robert, C. I., 2011. Utilization of Village Midwives and Other Trained Delivery Attendants for Home Delivery In

IndonesiaIndonesia: Results of IndonesiaDemographic and Health Survey 2002/2003 and 2007. Maternal Child Health, pp. 1400-1415. Available from [Accessed 14th December 2014]

Yi, S.-W., Han, Y.-J. & H, O., 2013. Anemia Before Pregnancy and Risk Of Preterm birth, low birth weight and small for gestational age birth in Korean Women. European Journalof Clinical Nutrition,Volume 67, pp. 337-342. Available from Accessed 14th December 2014].

WHO., 2011. Haemoglobin concentrations for the diagnosis of anaemia, Geneva: WHO


(56)

Wylie, L., 2011. Esensial Anatomi dan Fisiologi dalam Asuhan Maternitas. Jakarta:ECG.


(57)

LAMPIRAN ODD RASIO

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Kel.HbIbuOR * KelAPGARbayi

247 100,0% 0 0,0% 247 100,0%

Kel.HbIbuOR * KelAPGARbayi Crosstabulation

Count

KelAPGARbayi Total normal asfiksia

Kel.HbIbuOR non anemia 54 17 71

anemia 137 39 176

Total 191 56 247

Risk Estimate

Value 95% Confidence Interval Lower Upper Odds Ratio for Kel.HbIbuOR

(non anemia / anemia)

,904 ,472 1,734

For cohort KelAPGARbayi = normal

,977 ,839 1,138

For cohort KelAPGARbayi = asfiksia

1,081 ,656 1,779


(1)

54

245 Sa(29) 9.1 7 48 2900 30

246 So(26) 10 8 49 3000 31

247 Wy(34) 10.5 8 50 3000 33


(2)

55


(3)

56


(4)

57


(5)

58


(6)

59


Dokumen yang terkait

Hubungan Kadar Hemoglobin Ibu Hamil dengan Lingkar Kepala Bayi Baru Lahir di RSUP H. Adam Malik Medan

6 107 70

Hubungan Kadar Hemoglobin Ibu Hamil dengan Berat Badan Bayi Baru Lahir di RSUP Haji Adam Malik Medan

12 105 54

Hubungan Kadar Hb Ibu Hamil Dengan Apgar Skor Bayi Baru Lahir Di RSUD Ngudi Waluyo Wlingi-Blitar

7 41 26

Hubungan antara Kadar Hemoglobin Ibu Hamil pada Trimester Ketiga dengan Antropometri Bayi Baru Lahir di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad

1 38 60

HUBUNGAN KADAR HEMOGLOBIN IBU HAMIL DENGAN KEJADIAN BERAT BAYI LAHIR RENDAH (BBLR) DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA

0 3 7

HUBUNGAN KADAR YODIUM URIN DAN KADAR HEMOGLOBIN IBU HAMIL DENGAN BERAT BADAN LAHIR BAYI DI WILAYAH KERJA Hubungan Kadar Yodium Urin Dan Kadar Hemoglobin Ibu Hamil Dengan Berat Badan Lahir Bayi Di Wilayah Kerja Puskesmas Musuk I Kabupaten Boyolali.

1 3 11

HUBUNGAN KADAR YODIUM URIN DAN KADAR HEMOGLOBIN IBU HAMIL DENGAN BERAT BADAN LAHIR BAYI DI WILAYAH KERJA Hubungan Kadar Yodium Urin Dan Kadar Hemoglobin Ibu Hamil Dengan Berat Badan Lahir Bayi Di Wilayah Kerja Puskesmas Musuk I Kabupaten Boyolali.

0 2 17

HUBUNGAN KADAR HEMOGLOBIN IBU HAMIL DENGAN KEJADIAN BERAT BAYI LAHIR RENDAH (BBLR) Hubungan Kadar Hemoglobin Ibu Hamil Dengan Kejadian Berat Bayi Lahir Rendah (Bblr) Di RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

0 1 16

HUBUNGAN KADAR HEMOGLOBIN DAN PERTAMBAHAN BERAT BADAN IBU HAMIL DENGAN BERAT BADAN BAYI BARU LAHIR

0 3 5

Hubungan Kadar Hemoglobin Ibu Hamil dengan Nilai APGAR Bayi Baru Lahir di RSU Artha Medica Binjai Tahun 2013

0 0 11