Sanksi Terhadap Pelanggaran Ketentuan

140 rus yayasan secara pribadi. Jika hal ini yang ditempuh, maka kasusnya menjadi lebih kompleks karena kasus yang semula bersifat perdata berubah menjadi kasus tindak pidana penipuan oleh pengurus yayasan atau pimpinan perguruan tinggi atau kepala sekolah. Kasus semacam itu biasanya dihindari oleh anggota masyarakat, sebab ada gejala bahwa gugatan yang dilakukan anggota masyarakat tidak memulihkan kerugian yang dialami. Biaya dan tenaga yang dikeluarkan untuk mengajukan gugatan sering lebih besar dari kebenaran proses peradilan dan putusan pengadilan. Berdasarkan dua contoh di atas, tampak bahwa eksekusi sanksi ketentuan peralihan UUY seharusnya dilaksanakan bagi yayasan yang tidak melakukan penyesuaian AD tepat waktu. Namun, karena hal itu tidak dilaksanakan sebagaimana ditetapkan UUY, maka ketentuan peralihan tidak memiliki urgensi apa pun dalam upaya mewujudkan tujuan hukum.

2. Sanksi Terhadap Pelanggaran Ketentuan

peralihan Pada Pasal 71 ayat 3 dan ayat 4 UUY, ya- yasan yang tidak melakukan penyesuaian AD danatau tidak memberitahukan penyesuaian AD 141 kepada menteri dikenakan sanksi. Hal itu diatur dalam dua level, yaitu level UU dan level PP. Pada level UU, sanksi diatur pada Pasal 71 ayat 4 UUY yaitu sanksi bagi yang tidak mela- kukan penyesuaian AD sampai batas akhir yang ditetapkan, tanggal 6 Oktober 2008. Pada level PP sanksi diatur pada Pasal 39 PP No. 63 jo PP No. 2, yaitu sanksi bagi yang sudah melakukan penyesuaian AD, tetapi tidak memberitahukan kepada menteri paling lambat 1 satu tahun setelah penyesuaian. Sanksi yang diatur UU ada dua, yaitu “dilarang menggunakan kata ‘Yayasan’ di depan namanya” dan “dapat dibubarkan berda-sarkan putusan Pengadilan atas permohonan Kejaksaan atau pihak lain yang berkepentingan.” Sepintas, sanksi tersebut tampak logis dan mudah dieksekusi. Akan tetapi, jika aspek gra- matikal dan logika hukumnya dicermati, keada- annya tampak rumit. Penggunaan kata sambung “dan” di antara antara frase “di depan namanya” dan frase “dapat dibubarkan” menunjukkan dua tindakaan hukum yang bersifat simultan dan kumulatif 35 , bukan pilihan salah satu dari dua. 35 Lampiran II UU No. 12 Tahun 2001 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Teknik Penyusunan Perundang- Undangan, angka 262 142 Karena bersifat kumulatif, maka eksekusinya harus dilaksanakan bersama dan sekaligus. Sanksi “tidak dapat menggunakan kata yaya- san di depan namanya”, memang logis dan dapat dieksekusi. Di sisi lain, adanya kata “dapat” 36 pada sanksi “dapat dibubarkan” mengandung makna fakultatif, bukan keharusan, tidak harus, atau tidak wajib. Sanksi semacam ini menun- jukkan ketidak-tegasan hukum atas pelanggaran yang dilakukan yayasan. Hal ini pasti memenga- ruhi sikap penegak hukum dan adresat hukum atas ketentuan hukum. Sekalipun yayasan tidak menyesuaikan AD- nya dengan UUY tidak berarti ia dibubarkan. Ada kemungkinan dibubarkan atau sebaliknya. Hal ini, sangat tergantung pada banyak faktor terkait dengan kejaksaan seperti penafsiran patut- tidaknya, atau ada-tidaknya waktu kejaksaan, ada-tidaknya kuasa khusus untuk memohonkan pembubarannya kepada pengadilan negeri, atau ada tidaknya pengaduan dari pihak yang berke- pentingan. Apabila kedua sanksi tersebut dieksekusi, ka- takan misalnya dibubarkan berdasarkan putusan pengadilan, maka san ksi “tidak dapat mengguna- kan kata ‘yayasan’ di depan namanya” menjadi 36 Lampiran II UU No. 12 Tahun 2011, Ibid, angka 267 143 tidak memiliki makna hukum. Yayasan yang sudah dibubarkan sama dengan tidak ada. Karena tidak ada, maka kata “yayasan” di depan namanya jelas tidak diperlukan. Sebaliknya, jika sanksi ‘tidak menggunakan kata “yayasan” di depan namanya’ dieksekusi, maka yang menjadi persoalan ialah bagaimana prosedur formalnya. UUY dan PP 63 maupun PP No. 2 tidak mengatur tatacara eksekusi sebagai acuan kerja penegak hukum. Mengharapkan ya- yasan agar mengeksekusinya sendiri, tampaknya mustahil terjadi. Persoalan ialah mengapa penggunaan kata “yayasan” begitu penting sehingga dijadikan ancaman bagi yayasan yang tidak melakukan penyesuaian AD? Menurut penulis, ada beberapa kemungkinan jawaban. Yang utama adalah identitas kelembagaan. Tanpa pencatuman kata “yayasan” di depan nama sebuah lembaga, maka identitasnya sebagai badan hukum menjadi kabur, bahkan hilang. Keadaan ini dapat menimbulkan konsekuensi lain bagi lembaga. Ia kehilangan status hukum sebagai badan hukum serta tidak berwenang melaksanakan kegiatan yang menurut ketentuan hukum hanya boleh dilaksanakan oleh badan hukum yayasan atau badan hukum lain seperti PT. 144 Selain itu, yayasan yang semula memakai kata “yayasan” di depan namanya kemudian hilang karena dilarang oleh UUY dapat menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga. Ma- syarakat yang semula percaya pada yayasan dan kegiatannya sebagai lembaga yang bergerak di bidang sosial, keagamaan, atau kemanusiaan da- pat berubah dan mencurigainya dengan berbagai pandangan negatif. Keadaan ini cenderung meng- ganggu kelancaran kegiatan dan ketercapaian tu- juan yayasan. Ancaman sanksi yang diatur dalam Pasal 39 PP 63 Tahun 2008 jo PP No. 2 Tahun 2013, adalah keharusan melikuidasi kekayaan yayasan bila setelah penyesuaian AD tidak disertai pem- beritahuan kepada menteri paling lambat 1 satu setelah penyesuaian serta tidak melakukan kegi- atannya sesuai AD selama 3 tiga tahun bertu- rut-turut. Ketentuan tersebut, berbunyi: “Yayasan yang belum memberitahukan kepa- da Menteri sesuai dengan ketentuan sebagai- mana dimaksud dalam Pasal 71 ayat 3 Undang-Undang tidak dapat menggunakan kata “Yayasan” di depan namanya seba- gaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat 4 Undang-Undang dan tidak lagi melakukan kegiatannya sesuai dengan AD selama 3 tiga tahun berturut-turut, harus melikuidasi kekayaannya serta menyerahkan sisa hasil likuidasi sesuai dengan ketentuan sebagai- 145 mana dimaksud dalam Pasal 68 Undang- Undang.” Sama seperti sanksi pada Pasal 71 UUY, peng- gunaa n kata sambung “dan” antara dua syarat untuk melikuidasi kekayaan yayasan, menunjuk- kan bahwa syarat pelanggaran agar bisa dilikui- dasi bersifat kumulatif. Jika salah satu tidak terpenuhi, maka eksekusi likuidasi tidak meme- nuhi ketentuan hukum. Dengan syarat yang demikian, ada empat kemungkinan yang dapat terjadi seperti bagan di bawah: Bagan-2: Prasyarat Pelanggaran untuk Melikuidasi Kekayaan Yayasan Tidak Memberitahukan 1 Tidak Melakukan Kegiatan 3 Tahun Berturut-turut 2 A A B A A B B B A = tidak memberitahukantidak melakukan kegiatan. B = memberitahuanmelakukan kegiatan. Dari empat kemungkinan itu, tampak bahwa yang dapat dilikuidasi adalah yayasan yang mela- kukan pelanggaran pada 1A dan 2A sekaligus atau secara akumulatif: ‘tidak memberitahukan penyesuaian AD kepada menteri paling lambat 1 satu tahun setelah penyesuaian dan tidak mela- 146 kukan kegiatan sesuai AD selama tiga tahun berturut- turut’. Jika yayasan hanya melanggar salah satu dan memenuhi yang lain, misalnya 1B dan 2A atau 1A dan 2B, maka pelanggaran tersebut tidak memenuhi syarat eksekusi dili- kuidasi. Rumusan batasan waktu paling lambat satu tahun sebenarnya sudah jelas dan tegas. Batasan ini bisa berarti berada dalam rentang waktu penyesuaian AD dan dapat pula di luar itu. Jika penyesuaian dilaksanakan tanggal 7 Juni 2006 misalnya, maka pemberitahuan kepada menteri paling lambat tanggal 7 Juni 2007. Ini masih dalam rentang waktu penyesuaian AD. Jika penyesuaian AD dilakukan pada tanggal 6 Oktober 2008, maka waktu satu tahun itu berarti paling lambat 6 Oktober 2009 atau di luar rentang waktu penyesuaian AD. Dengan ketentu- an ini, tampak bahwa pemberitahuan penyesuai- an AD yang melewati batas waktu 7 Juni 2007 dan 6 Oktober 2009 merupakan pelanggaran. Persoalannya adalah batasan waktu tiga tahun berturut-turut yang diatur dalam PP tidak jelas terhitung sejak kapan. UUY juga tidak menyebutkan apakah terhitung sejak UU atau PP dinyatakan berlaku atau saat memberitahukan penyesuaian AD kepada menteri. 147 Persoalan berikutnya ialah pemberian sanksi yang sama bagi yayasan yang tidak melakukan penyesuaian sama sekali dan yayasan sebagai- mana disebutkan pada 1A dan 2A. Penyamaan sanksi bagi dua yayasan yang kondisinya berbe- da mengusik rasa keadilan hukum. Hal yang lebih sulit dimengerti secara logika adalah sanksi “...harus melikuidasi kekayaannya serta menyerahkan sisa hasil likuidasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 Undang-Undang. ” Sanksi ini sama dengan mengadili diri sendiri, menghukum diri sendiri, berdasarkan kesadaran dan kemauan sendiri. Apakah hal itu mungkin? Jika mungkin, lalu kapan hal itu harus dilakukan, bagaimana tatacara penyerahan sisa hasil likudasi kekayaan yayasan kepada yayasan yang memunyai maksud dan tujuan yang sama? Hal ini tidak diatur dalam Pasal 68 UUY atau Pasal 39 PP. Dikaitkan dengan ketentuan Pasal 62 tentang pembubaran yayasan, sanksi “dapat dibubarkan” sebagaimana ditegaskan pada Pasal 71 ayat 4 tampak tidak memiliki kekuatan hukum. Menu- rut ketentuan Pasal 62, yayasan bubar karena dua alasan pokok, yaitu karena kehendak sendiri dan karena paksaan. Bubar karena kehendak sindiri dapat disebabkan oleh dua hal yaitu: 148 a. Jangka waktu yang ditetapkan dalam AD te- lah berakhir; b. Tujuan yang ditetapkan dalam AD telah ter- capai. Bubar karena paksaan didasarkan pada pu- tusan pengalisan yang telah memeroleh kekatan hukum yang tetap. Putusan pengadilan ini harus didasarkan pada tiga alasan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 62 huruf c, yaitu: 1 yayasan melanggar ketertiban umum dan kesusilaan; 2 tidak mampu membayar utang- nya setelah dinyatakan pailit; atau 3 harta kekayaan yayasan tidak cukup untuk melu- nasi utangnya setelah pernyataan pailit dica- but. Dari ketentuan di atas tampak bahwa pelang- garan atas Pasal 71 ayat 1 dan ayat 2 tidak merupakan dasar hukum pembubaran yayasan, baik dengan kehendak sendiri oleh penyelenggara yayasan maupun karena paksaan oleh pengadil- an. Keadaan ini menunjukkan bahwa ketentuan Pasal 71 ayat 4 bertentangan dengan ketentuan Pasal 62 tersebut. Jika Pasal 71 ayat 4 itu dipakai sebagai dasar hukum eksekusi sanksi bagi yang tidak melakukan penyesuaian AD dan atau tidak memberitahukan penyesuaian kepada menteri, maka proses eksekusinya tidak saja menyulitkan kejaksaan dan pengadilan, tetapi 149 tindakan eksekusi dengan alasan dasar hukum Pasal 71 ayat 4 sekaligus merupakan pelang- garan atas ketentuan dalam Pasal 62 UU yang sama, yaitu UUY. Berdasarkan jalan pikiran tersebut, tampak bahwa pengaturan sanksi dan posisi kejaksaan dalam ketentuan peralihan mirip patung polisi di persimpangan jalan. Ia hadir mengingatkan, teta- pi ketika pengendara menerobos rambu jalan, patung polisi tidak dapat berbuat apa-apa. San- ksi yang demikian tidak memiliki kekuatan, baik pada tataran ide hukum maupun tataran empiris guna memerlancar bekerjanya ketentuan hukum. Penelitian Bisdan 37 menyatakan beberapa alasan mengapa Kemenkumham tidak mengam- bil tindakan tegas kepada yayasan tersebut. Yang utama adalah pertimbangan nilai kemafaatan atas tindakan hukum. Disadari sepenuhnya bah- wa kontribusi yayasan dalam membantu melak- sanakan program Pemerintah Indonesia memba- ngun bangsa relatif besar. Upaya yayasan sudah berlangsung jauh-jauh hari sebelum UUY bahkan sebelum Indonesia merdeka. Jika yayasan seperti itu dibubarkan, maka yang muncul bukanlah ketertiban dan keteraturan, melainkan kericuhan 37 http:bisdan-sigaling-ging.blogspot.com 150 dan kekacauan; bukan keadilan melainkan kepincangan; bukan kebahagiaan tetapi kesusah- an bagi, bukan hanya yayasan, tetapi juga masyarakat secara umum. Jika yayasan penyelenggara pendidikan dibu- barkan misalnya, maka penyelenggaraan pendi- dikan pada yayasan itu akan terbengkalai. Ini menimbulkan banyak masalah. Misalnya pendi- dikan siswa terbengkalai atau hilangnya pekerja- an guru dan pegawai, yang berakibat pada ter- ganggunya ekonomi keluarga. Jika hal ini terjadi, dapat dipastikan bahwa berbagai masalah besar lainnya dalam kehidupan berbangsa dan berne- gara segera menyusul, seperti masalah politik, sosial, ekonomi, dan hak asasi manusia. Tampaknya jalan pikiran tersebut sama de- ngan kebanyakan penyelenggara yayasan. Mere- ka menilai bahwa kehadiran yayasan dalam masyarakat jauh lebih penting daripada kehadir- an UUY. Apa yang diatur dalam UUY dan keha- rusan penyesuaian AD dengan UUY tidak mem- beri manfaat signifikan bagi kemajuan yayasan. Sebaliknya, UUY malahan dianggap tidak adil karena kekayaan pendiri yang digunakan untuk memerlancar kegiatan yayasan seolah-olah dirampas dari mereka untuk dijadikan milik yayasan. 151 Dalam perbincangan penulis dengan Tri Budi- ono 38 , salah seorang pengurus yayasan Salib Putih, Salatiga dan Kustadi 39 , salah seorang pengurus Yayasan Sion Salatiga, terung-kap bahwa yayasan melakukan penyesuaian AD ter- hadap ketentuan UUY lebih didorong oleh kepen- tingan praktis. Dalam hal ini sekedar memenuhi syarat yang ditetapkan Dinas Sosial atau dinas lain untuk mendapatkan bantuan 40 atau hal-hal tertentu yang diperlukan lembaga 41 . Dengan kata lain motivasi penyesuaian AD dilakukan bukan karena diyakini bahwa hal itu dapat me-macu perkembangan yayasan. Yayasan terpaksa 38 Wawancara tanggal 16 Juni 2014 di ruang Seminar Fakultas Hukum UKSW, Salatiga. 39 Wawancara tanggal 16 Juni 2014 di ruang Seminar Fakultas Hukum UKSW, Salatiga. 40 Contohnya adalah Yayasan Salib Putih yang melakukan penyesuaian AD dalam tahun 20082009. Hal ini dilakukan karena disyaratakan oleh pemerintah bahwa untuk mendapatkan bantuan seperti kompensasi BBM, dana operasional Panti Asuhan, sumbangan pendidikan dan bantuan biaya makan anak-anak panti, pakaian, dan bayaran biaya sekolah, yayasan harus memiliki bukti pengesahan penyesuaian AD dari Kemenkumham. Contoh lainnya adalah Yayasan Sion. Yayasan yang mengelola sekolah SD, SMP, dan SMK, panti asuhan Salatiga dan Getasan, dan panti jompo di Jalan Ahmad Yani Salatiga ini melakukan penyesuaian AD pada tahun yang sama dengan Yayasan Salib Putih. 41 Banyak ketentuan di Dikti secara eksplisit menyebutkan syarat mendirikan perguruan tinggi atau program studi baru bahwa yayasan penyelenggara harus berbadan hukum sesuai dengan UU No 16 Tahun 2001 jo UU No 28 Tahun 2004 tentang Yayasan. 152 melakukan penyesuaian AD sekedar memenuhi persyaratan administrasi untuk mendapatkan bantuan dana atau ijin mendirikan perguruan tinggi atau program studi baru. Dari sisi pengadilan, penegakan hukum yaya- san juga tidak mudah. Selain adanya pertentang- an Pasal 71 ayat 4 terhadap Pasal 62, huruf c tersebut di depan, ada persoalan teknis hukum yang menghambat tindakan Pengadilan. Posisi Pengadilan dalam ketentuan Pasal 71 ayat 4 bersifat pasif. Pengadilan hanya boleh mene- tapkan putusan apabila ada pengaduan dari pi- hak Kejaksaan atau pihak lain yang berkepen- tingan. Hal serupa dialami oleh pihak kejaksaan. Selain adanya pembatasan kewenangan yang diatur secara ketat dalam ketentuan hukum, hambatan teknis kejaksaan adalah keterbatasan waktu dan tenaga kejaksaan untuk mengiden- tifikasi yayasan yang melanggar ketentuan peralihan UUY. Kasus-kasus yang ada di Kejak- saan sendiri sering tertunda pelimpahannya ke Pengadilan karena keterbatasan tersebut. Pelanggaran atas ketentuan peralihan itu sendiri termasuk perkara perdata yang penanga- nannya memerlukan proses panjang dibanding- kan dengan penanganan kasus pidana. Dalam kasus perdata, posisi kejaksaan bersifat pasif 153 seperti halnya pengadilan. Pasal 30 ayat 2 UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia menegaskan: Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat ber- tindak baik di dalam maupun di luar pengadil- an untuk dan atas nama negara atau peme- rintah. Dari ketentuan tersebut diketahui bahwa kejaksaan hanya dapat bertindak apabila peme- rintah 42 memberinya kuasa khusus untuk me- nangani pelanggaran yayasan. Adanya surat kua- sa khusus pun, tidak berarti pihak kejaksaan dapat langsung bertindak. Surat kuasa perlu disertai ketentuan hukum yang mengatur tata cara pelaksanaan dan instrumen pengidentifika- sian berbagai hal tentang pelanggaran yayasan. Hal ini diperlukan untuk menentukan permohon- an putusan pengadilan macam apa yang tepat dimohonkan. Ketentuan dan instrumen tersebut tidak diatur dalam UUY. Jika mengharapkan adanya permohon dari pihak yang berkepentingan, persoalan yang mengganjal tetap saja berkutat pada persoalan hukum. Ketentuan tentang tatacara, prosedur, dan kriteria masalah yang dapat diajukan oleh 42 Dalam hal ini, Gubernur atau BupatiWalikota tempat kedudukan yayasan. 154 pihak yang berkepentingan kepada Pengadilan sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya gugatan yang tak berdasar. Hal ini juga tidak diatur dalam UUY dan PP. Berdasarkan kenyataan-kenyataan di atas dapat dikatakan bahwa sanksi bagi yayasan yang tidak melakukan penyesuaian AD tidak dapat dieksekusi. Kalau pun dileksekusi secara paksa, maka eksekusi itu, selain melanggar ketentuan lain dalam UUY, eksekusi itu sendiri tidak memiliki urgensi dalam upaya pencapaian tujuan hukum yang adil. Berdasarkan jalan pikiran di atas, penulis berpendapat bahwa ketentuan peralihan UUY tidak patut diterapkan secara sama pada seluruh yayasan. Selama masa penyesuaian AD, paling lambat tanggal 6 Oktober 2008, ketentuan tersebut tampak Lebih cocok dikenakan kepada: 1 perusahaan berkedok yayasan dan yayasan dalam lingkungan lembaga-lembaga negara atau perusahaan; 2 yayasan baru, yaitu yang didi- rikan setelah diberlakukannya UUY; 3 yayasan yang didirikan oleh lembaga atau perorangan bernuansa bisnis seperti penyelenggara pendidik- an dan rumah sakit. Pengaturan yayasan yang didirikan oleh perseorangan yang bertujuan sosial dan tujuan 155 lain seperti disebutkan sebelumnya perlu diatur tersendiri, baik dengan merevisi beberapa pasal yang disebutkan sebelumnya, maupun dengan menerbitkan ketentuan baru, yang isinya antara lain: a. Jika yayasan tersebut tetap memertahankan bentuk yayasan, maka penghasilan yayasan, terutama sisa hasil setelah mencukupkan kebutuhan rutin yayasan, dipersentasekan jumlah yang harus dimanfaatkan untuk pengembangan kegiatan yayasan dan yang dapat dipakai untuk kepentingan ekonomi mereka. Posisi kekayaan yayasan dalam hal ini tetap merupakan milik pendiri atau keluarganya di bawah kontrol hukum. Untuk menyusun ketentuan ini pembuat UU perlu melibatkan yayasan. Alternatif ini mewadahi jasa historis dari yayasan. b. Jika yayasan tersebut merasa keberatan, maka dalam kurun waktu yang diatur dalam ketentuan baru wajib mengalihkan bentuk usahanya ke bentuk yang dapat menampung aspirasi pendiri atau anak cucunya, misalnya ke bentuk perkumpulan seperti ditempuh oleh beberapa yayasan atau menjadi PT seperti ditempuh oleh banyak pengusaha. Untuk mengatasi timbulnya masalah baru, maka pemerintah perlu mengambil alih kegiatan 156 yayasan tersebut dengan menyiapkan lembaga serupa yang memberikan pelayanan yang sama terhadap anggota masyarakat. c. Ketentuan sanksi bagi pelanggar, termasuk penegak hukum dan pejabat pada instansi pemerintah yang terkait dengan yayasan perlu dirumuskan secara jelas dan terukur.

3. Tindak Lanjut Ketentuan peralihan