Materi Ketentuan peralihan Ketentuan Peralihan Undang-Undang

100 dari atau meniadakan kekosongan hukum atau kekosongan peraturan; c. sebagai instrumen yang mengatur keadaan hukum dari peraturan lama akibat kehadiran aturan baru; d. menjamin kepastian dan perlindungan hukum; dan e. menjamin ketertiban akibat perubahan peraturan per-UU-an.

2. Materi Ketentuan peralihan

Berdasarkan pengertian di atas tampak bahwa ketentuan peralihan diadakan guna memulus- kan berjalannya peraturan per-UU-an baru tanpa menimbulkan masalah hukum. Oleh karena itu, kejelasan rumusan materi ketetuan peralihan merupakan keharusan. Bagir Manan 7 menyatakan bahwa isi atau materi ketentuan peralihan ada tiga, yaitu: 1. Mengatur hubungan antara aturan hukum yang baru dan yang lama. Ketentuan ini lazimnya menyatakan aturan-aturan lama yang tetap berlaku dengan syarat atau tanpa syarat tertentu sampai tidak diperlukan lagi. Suatu peraturan lama tidak diperlukan lagi baik karena telah tercipta aturan baru atau keadaan hukum atau hubungan hukum yang telah ada atau yang sedang timbul tidak memerlukan lagi aturan lama. 7 Bagir Manan, Ibid., hal. 172-173. 101 2. Mengatur keadaan atau hubungan hukum yang telah timbul atau sedang timbul berdasarkan aturan lama. Ketentuan ini menentukan aturan hukum yang berlaku terhadap keadaan atau hubungan hukum yang telah ada atau yang sedang timbul pada saat aturan baru dilahirkan. Pernyataan penundukan ini dapat berlaku terhadap peraturan lama atau peraturan baru. 3. Mengatur hubungan waktu bagi aturan lama, keadaan atau hubungan hukum yang telah ada serta penyesuaiannya dengan aturan baru. Ketentuan peralihan dapat menentukan suatu keadaan atau hubungan hukum tetap dikuasai aturan lama sampai waktu tertentu atau sampai terjadi suatu peristiwa hukum tertentu. Bertitik tolak hal-hal di atas tampak bahwa ketentuan peralihan merupakan aturan yang mengatur elastisitas hukum. Norma yang ada di dalamnya lebih mengarah pada upaya mencegah penerapan hukum secara kaku yang didasarkan pada prinsip positivisme serta upaya penciptaan kondisi agar apa yang diatur dalam per-UU-an yang baru dapat diterima. Di satu sisi, ketentuan peralihan memosisikan peraturan per-UU-an sebagai keharusan, tetapi di sisi yang lain ia menempatkan keharusan terse- but dalam konteks adresat hukum. Keadaan ini menunjukkan bahwa ketentuan peralihan tidak menempatkan aspek kepastian hukum sebagai 102 satu-satunya tujuan hukum, tetapi juga aspek kemanfaatan yang dapat membawa kebaikan bagi manusia, adresat hukum. Berdasarkan prinsip tersebut dapat dikatakan bahwa ketentuan peralihan memosisikan adresat hukum penyelenggara yayasan sebagai hal uta- ma. Penyelenggara yayasan diposisikan sebagai subyek yang memiliki kebebasan dan kemampu- an mengatur dirinya sendiri menuju ke keadaan yang lebih baik. Dalam persepektif ini, fungsi ketentuan hukum dan UU bukanlah tujuan, tetapi hanyalah alat bagi manusia untuk menca- pai keadaan yang lebih baik tersebut. Dengan pencandraan yang demikian menjadi jelas bahwa ketentuan peralihan dalam UU begi- tu penting. Kendati hanya mengatur proses pera- lihan keberlakuan ketentuan baru dari ketentuan lama, namun kehadirannya turut menentukan lancar-tidaknya bekerjanya UU baru. Pada hemat penulis, keadaan seperti itulah yang lebih memungkinkan penyelenggara yaya- san menerima dan menaati ketentuan UUY. Mereka menaatinya bukan dengan paksaan, tetapi karena yakin bahwa ketaatan tersebut membawa kebaikan bagi kehidupan mereka dan yayasan yang mereka selenggarakan. Dengan sikap yang demikian besar kemungkinan bahwa peraturan yang baru dapat berjalan secara 103 efektif. 8 Itulah sebabnya mengapa ketentuan peralihan perlu dirumuskan secara tegas, jelas, tidak sama-samar atau ambigu. Dengan begitu apa yang dikehendaki pembuat UU dipahami sama oleh adresat dan para penegak hukum. Ketegasan dan kejelasan rumusan dimaksud dapat berupa: a. Batasan waktu berakhirnya keberlakuan ke- tentuan lama dan dinyatakan tidak diperlukan lagi; b. Pengaturan tindakan-tindakan hukum yang harus dilakukan adresat hukum selama penu- ndaan pemberlakuan peraturan yang baru; c. Penegasan tentang acuan hukum atas tindak- an hukum atau hubungan hukum selama ma- sa penundaan pemberlakuan peraturan yang baru; dan d. Akibat-akibat hukum atau sanksi apabila adresat hukum tidak menaati ketentuan pada nomor 1, 2, dan 3 tersebut. 8 Efektif artinya, masyarakat menaati ketentuan hukum bukan karena takut akan hukuman atau karena merasa takut rusaknya hubungan dengan orang lain, melainkan didorong oleh penilaian bahwa aturan hukum sesuai dengan nilai-nilai intrinsik yang dianutnya. Menurut Achmad Ali, nilai-nilai dimaksud berkaitan dengan kepentingan adresat. Manakala peraturan dinilai mendatangkan banyak keuntungan melebihi biaya-biaya atau pengorbanan yang harus dikeluarkannya, maka masyarakat cenderung menaati ketentuan hukum. Achmad Ali, Op. Cit.,, hal 348. 104 Menurut Jimly Asshiddiqie 9 hal-hal tersebut perlu dinyatakan secara tegas karena ketentuan peralihan dapat terkait dengan subyek hukum menyangkut hak dan kewajiban atau tugas dan keweanangan, norma hukum yang mengalihkan berlakunya suatu peraturan dari mengikat menjadi tidak mengikat atau sebaliknya, dan obyek hubungan hukum tertentu atau tindakan hukum tertentu yang diatur.

B. Ketentuan Peralihan Undang-Undang