Tradisi Lokal

a. Tradisi Lokal

Diantara sekian banyak negara di dunia yang memiliki tradisi berdemokrasi adalah Indonesia. Tradisi tersebut ditandai dengan budaya musyawarah yang terus tumbuh dan berkembang di desa-desa Nusantara. Sifat sebagai masyarakat yang demokratis seperti egaliter, terbuka, dan kritis (saling mengingatkan) telah menjadi bagian dari kelembagaan hidup masyarakat desa. Mari sejenak berkunjung ke beberapa daerah seperti Aceh, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT).

Masyarakat Aceh dalam kehidupannya terbiasa membicarakan persoalan-persoalan hidup secara terbuka baik secara formal maupun informal. Tradisi berembug tersebut berakar pada dua lembaga lokal yang memiliki fungsi sosial sebagai forum diskusi formal maupun informal. Dua lembaga tersebut yaitu meunasah dan beng. Dalam bahasa orang Jawa, meunasah setara dengan mushola, langgar, atau masjid. Sebagaimana sudah lazim diketahui, masjid telah menjadi tempat bertemunya warga-warga desa yang beragama Islam, tidak hanya untuk menjalankan ibadah sholat, tapi juga menjadi tempat pertemuan warga untuk membahas permasalahan sosial. Karena itu, dari segi arsitektur, meunasah terdiri dari dua bagian. Bagian pertama ruangan khusus untuk sholat, dan bagian kedua yang disebut serambi berfungsi sebagai bale di mana rapat ataupun temu warga diselenggarakan. Sedangkan beng, bagi orang Aceh dimaknai sebagai jambo, ada pula yang menyebutnya gudang, yaitu warung atau kedai kopi yang di dalamnya menyediakan tempat khusus untuk singgah bagi warga yang hendak menikmati kopi sambil ngobrol (dalam istilah warga Banyumas disebut dopokan).

Bahkan tradisi bermusyawarah, dalam arti penyampaian kritik sosial warga atas hubungan penguasa dengan rakyat ataupun pemujaan rakyat atas kebijaksanaan para penguasa tercermin pada tradisi tari dan pembacaan hikayat. Tari tersebut dikenal dengan sebutan seudati. Selain melambangkan heroisme perjuangan masyarakat Aceh, tari seudati juga melambangkan kehidupan rakyat Aceh yang suka bermusyawarah. Dalam tarian seudati disajikan untaian syair yang sesungguhnya mengungkapkan suara rakyat terhadap penguasa agar kehidupan rakyatnya diperhatikan. Uniknya, sekalipun syair-syair tari seudati mengandung kritik sosial bahkan protes masyarakat, tidak menimbulkan disparita dan resistensi antara pemimpin dengan rakyatnya. Apalagi menimbulkan pertentangan politik antara teungku meunasah (imam meunasah) dengan keuchik (kepala desa).

Bagi masyarakat Aceh, persandingan lembaga meunasah dengan pemerintahan Gampong adalah ibarat “bapak kampung” dengan “ibu kampung”. Pemeritah Gampong dalam hal ini diwakili keuchik adalah bapaknya, sedangkan teungku meunasah ibunya (Syamsudin, 1996). Ibarat suatu rumah tangga, maka bapak dan ibu harus bekerjasama membangun rumah tangga, melalui system pembagian tugas yang sudah disepakati bersama. Imam meunasah membangun social order melalui kegiatan-kegiatan adat dan keagamaan, sedangkan keuchik menyelenggarakan pemerintahan dan layanan publik. Namun dalam pelaksanaan fungsi masing-masing lembaga bukan berarti keduanya berjalan sendiri-sendiri, tapi saling berkomplementer. Jadi, kerjasama antara keuchik dengan teungku meunasah pada hakikatnya merepresentasikan tradisi permusyawaratan di level desa yang tidak membedakan secara tajam antara peran lembaga pemerintahan dengan lembaga sosial kemasyarakatan, sehingga terbangun check and balancies antara rakyat dengan penguasa.

Berpindah ke NTB. Masyarakat Desa Sawe di Kabupaten Dompu mempunyai tradisi musyawarah desa setiap tahun. Hasil musyawarah desa kemudian ditetapkan menjadi Surat Keputusan Kepala Desa. Salah satu pokok bahasan musyawarah terkait dengan pengelolaan sumber daya pertanian desa. Kegiatan ini selalu melibatkan multielemen sosial di desa, mulai dari pemerintah desa, BPD, tokoh agama, tokoh adat, kelompok pemuda, organisasi sektoral (kelompok tani, peternak, organisasi pengguna air), organisasi perempuan dll. Waktu dan tempat kegiatannya pun dilaksanakan secara fleksibel, dalam arti tidak selalu dilaksanakan di kantor desa dengan pilihan waktu yang tidak mengganggu kegiatan utama warga, yaitu hari Jumat setelah sholat Jumat.

Sebagaimana diketahui, menurut kalender musimnya, ada tiga kali musim tanam di Dompu. Musim tanam pagi jatuh pada bulan Desember-Januari, musim tanam jagung jatuh pada bulan April-Juli dan musim tanam kacang-kacangan dan kedelai (palawija) jatuh di bulan Agustus-Oktober. Nah, dapat dipastikan setiap kali musim tanam tiba itulah musyawarah desa diselenggarakan, utamanya terkait dengan pengambilan keputusan kebijakan kegiatan musim tanam dan penertiban kegiatan sosial yang mendukung pada pencapaian kualitas hasil pertanian.

Tradisi tersebut dilatarbelakangi oleh berbagai persoalan pertanian yang selalu muncul setiap musim bercocok tanam tiba. Misalnya, perilaku para peternak kambing atau sapi yang tidak mengandangkan hewan piaraannya, sehingga banyak merusak tanaman di banyak lahan pertanian. Ada pula perilaku para tengkulak dan distributor pupuk yang nakal sehingga para petani kesulitan mendapatkan pupuk tepat waktu dengan harga yang layak. Tidak hanya itu, ada pula pencurian air yang kerap kali memicu konflik sosial dan sistem pengupahan terhadap buruh tani yang tidak layak. Berangkat dari pertimbangan- pertimbangan tersebut, dengan mengambil tempat di masjid desa, pemerintah desa bersama seluruh kelembagaan desa yang lain menyelenggarakan musyawarah desa sebagai dasar bagi pemerintah desa mengambil kesepakatan bersama dan mengeluarkan surat keputusan tentang kegiatan musim tanam dan penetapan mengenai pola tanam, hasil panen, hewan ternak berikut sanksi-sanksinya.

Beberapa poin kesepekatan yang dicapai dalam musyawarah desa tersebut misalnya berkaitan dengan:

(1) Kewenangan bagi pemerintah desa untuk membentuk tim yang selanjutnya diberi (1) Kewenangan bagi pemerintah desa untuk membentuk tim yang selanjutnya diberi

(2) Kewajiban bagi peternak hewan untuk tidak menggembalakan hewan ternaknya serta pemberian sanksi bagi peternak yang melanggar kewajiban tersebut, apalagi sampai merusak tanaman pertanian.

(3) Pemberlakukan standar upah buruh tani dan standar biaya sarana produksi pertanian. (4) Pemberian sanksi kepada pihak yang diketahui melakukan pencurian air serta

melakukan pengursakan terhadap infrastruktur pertanian sehingga menyebabkan hilangnya air.

(5) Larangan mempekerjakan perempuan dan anak dalam proses produksi pertanian, khususnya pada jenis kegiatan yang berisiko berat dan membahayakan keselamatan.

Pelembagaan musyawarah desa juga telah bersenyawa lama dalam kehidupan masyarakat desa di NTT. Sebagai contoh di Pulau Sabu yang saat ini telah berstatus kabupaten. Desa-desa di Sabu memiliki lembaga yang memiliki fungsi pengaturan dan bertanggung jawab atas hubungan-hubungan sosial ekonomi politik masyarakat desa di mana salah satu model pengaturannya melalui musyawarah. Lembaga tersebut dikenal dengan sebutan Bengu Udu. Lembaga ini memiliki mandat untuk memediasi berbagai sengketa tanah, membuat dan menegakkan aturan komunal tentang perlindungan hak kepemilikan warga dan masyarakat atas tanah hingga perlindungan lingkungan hidup dari kerusakan. Pelembagaan fungsi kepada Bengu Udu ini didasari atas penghormatan masyarakat sabu atas hak warganya untuk memiliki tanah sebagai penopang hidup.

Dalam perkembangan mutakhir, musyawarah desa yang sebelumnya memiliki akar tradisi partisipatif yang kuat mengalami reduksi sedemikian rupa. Penyebabnya, penerapan kebijakan nasional tentang desa yang intervensionis. Apalagi pada zaman Orde Baru dengan kebijakannya yang sentralistis. Model pembangunan desa yang sentralistik dan lebih mengutamakan pemerintah desa sebagai satu-satunya elemen yang diberdayakan dan diperdayai untuk membangun desa telah mereduksi peran kelembagaan musyawarah desa. Muatan modal sosial vertikal yang tercipta dalam tradisi musyawarah desa yang semula syarat dengan kepercayaan, akuntabilitas, kemitraan dan partisipasi antara pemerintah desa dengan masyarakatnya terreduksi sedemikian rupa sehingga pengambilan keputusan musyawarah berada di tangan pemerintah desa yang tentu berada dibawah kendali pemerintah supra desa. Demikian pula dengan muatan modal sosial horizontal musyawarah desa yang sebelumnya syarat dengan nilai solidaritas, kebersamaan, kepercayaan dan kerjasama antar elemen kemasyarakatan terdistorsi karena praktik formalisasi dan pelibatan semu kelembagaan masyarakat. Sederhananya, pengambilan keputusan strategis desa di era sentralisasi, bahkan hingga di era desentralisasi dipengaruhi oleh kebijakan supradesa. Desa tidak mendapatkan ruang untuk merumuskan, memusyawarahkan dan memutuskan kebijakan strategisnya sendiri, sesuai dengan aspirasi dan kehendak rakyatnya.