Perjanjian Kerja Bersama (PKB)

c. Perjanjian Kerja Bersama (PKB)

Materi PKB diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dalam Bab XI mengenai hubungan industrial yaitu dalam Bagian Ketiga. Kemudian dalam Pasal 133 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa mengenai persyaratan serta tata cara pembuatan, perpanjangan, perubahan, dan pendaftaran PKB diatur dengan keputusan menteri. Adapun keputusan menteri yang dimaksud adalah Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP-48/MEN/IV/2004 Tentang Tata Cara Pembuatan Dan Pengesahan Peraturan Perusahaan Serta Pembuatan Dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama.

Pasal 103 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 menyebut Perjanjian Kerja Bersama (PKB) merupakan salah satu sarana dilaksanakannya hubungan industrial. Sangat diharapkan akan terbentuk PKB yang berkualitas dengan mengkomodasikan tiga kepentingan yaitu

commit to user

inkonsistensi aturan hukum atau terdapat konflik norma di dalam norma pembentukan PKB. Perjanjian kerja bersama adalah hak yang mendasar yang telah disyahkan oleh anggota-anggota ILO dimana mereka mempunyai kewajiban untuk menghormati, mempromosikan dan mewujudkan dengan itikad yang baik. Perjanjian kerja bersama adalah hak pengusaha atau organisasi pengusaha disatu pihak dan dipihak lain serikat pekerja atau organisasi yang mewakili pekerja. Hak ini ditetapkan untuk

mencapai “kondisi-kondisi pekerja yang manusiawi dan penghargaan akan martabat manusia (humane conditions of labour and respect for human

dignity )“, seperti yang tercantum dalam Konstitusi ILO.

Pengertian Perjanjian Kerja Bersama (PKB) berdasarkan Berdasarkan Pasal 1 angka 21 Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan jo Pasal 1 angka 2 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-48/MEN/IV/2004 tentang Tata cara pembuatan dan pengesahan peraturan perusahaan serta pembuatan dan pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama, PKB yaitu perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat- syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak (Happy Budyana Sari. 2006: 33).

Bertolak dari pengertian tersebut, tersirat bahwa di dalam perjanjian kerja bersama terkandung hal-hal yang sifatnya obligator (memuat hak-hak dan kewajiban-kewajiban pihak-pihak yg mengadakan perjanjian), hal-hal yg bersifat normatif (mengenai peraturan perundang- undangan). Dengan demikian, dalam suatu perjanjian kerja bersama dimungkinkan untuk memuat kaedah yang bersifat horizontal (pengaturan dari pihak-pihaknya sendiri), kaedah yang bersifat vertikal (pengaturan yg berasal dari pihak yg lebih tinggi tingkatannya), dan kaedah yg bersifat

commit to user

dalam hubungan kerja). Untuk menjaga agar isi perjanjian kerja bersama sesuai dengan harapan pekerja maka isi perjanjian kerja bersama haruslah memuat hal-hal yang lebih dari sekedar aturan yang berlaku (normatif), dengan membatasi masa berlakunya suatu perjanjian kerja bersama, guna untuk selalu dapat disesuaikan dengan kondisi riel dalam kehidupan bermasyarakat( http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/29514/3/C hapter%20II.pdf ).

Perjanjian Kerja Bersama merupakan hasil perundingan para pihak terkait yaitu serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha atau beberapa pengusaha yang mengatur syarat-syarat kerja, serta hak dan kewajiban masing-masing pihak. Perjanjian Kerja Bersama tidak hanya mengikat para pihak yang membuatnya yaitu serikat pekerja/serikat buruh dan pengusaha saja, tetapi juga mengikat pihak ketiga yang tidak ikut di dalam perundingan yaitu pekerja/buruh, terlepas dari apakah pekerja/buruh tersebut menerima atau menolak isi perjanjian kerja bersama atau apakah pekerja/buruh tersebut menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh yang berunding atau tidak.

Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dalam hal disatu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat buruh, maka serikat pekerja / serikat buruh tersebut berhak mewakili pekerja/buruh dalam perundingan pembuatan PKB dengan pengusaha apabila memiliki jumlah anggota lebih dari 50% (limapuluh persen) dari jumlah seluruh pekerja/buruh diperusahaan yang bersangkutan (Pasal 19 ayat (1)). Dalam hal disatu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetapi tidak memiliki anggota lebih dari 50% (limapuluh persen) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan, maka serikat pekerja/serikat buruh dapat mewakili pekerja/buruh dalam melakukan perundingan dengan pengusaha apabila serikat pekerja /serikat buruh yang bersangkutan telah mendapat dukungan lebih 50% (limapuluh persen) dari jumlah seluruh

commit to user

Dalam hal dukungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak tercapai maka serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan dapat mengajukan kembali permintaan untuk merundingkan PKB dengan pengusaha setelah melampaui jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak dilakukannya pemungutan suara dengan mengikuti prosedur semula (Lalu Husni. 2003 : 68).

Pembentukan PKB berdasarkan Pasal 119 dan Pasal 120 Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dibagi 2 yaitu untuk perusahaan yang memiliki satu serikat buruh dan perusahaan yang memiliki lebih dari satu serikat buruh. Ketentuan Pasal 119 Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 berlaku bagi perusahaan yang memiliki satu serikat buruh, yaitu batasan serikat buruh yang berhak mewakili buruh dalam perundingan pembuatan PKB apabila :

1) memiliki jumlah anggota lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari

jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan atau; Apabila musyawarah tidak mencapai kesepakatan tentang suatu hal, maka penyelesaiannya dilakukan melalui mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

2) mendapat dukungan lebih 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah

seluruh pekerja/buruh di perusahaan melalui pemungutan suara. Apabila tidak terpenuhi ;

3) dapat mengajukan kembali permintaan untuk merundingkan perjanjian kerja bersama dengan pengusaha setelah melampaui jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak dilakukannya pemungutan suara.

Ketentuan Pasal 120 berlaku bagi perusahaan yang memiliki lebih dari satu serikat buruh, yaitu batasan serikat buruh yang berhak mewakili buruh dalam perundingan pembuatan PKB apabila :

commit to user

seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut. Apabila tidak terpenuhi ;

2) serikat pekerja/serikat buruh dapat melakukan koalisi sehingga tercapai jumlah lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut untuk mewakili dalam perundingan dengan pengusaha.

3) tidak terpenuhi, maka para serikat pekerja/serikat buruh membentuk

tim perunding yang keanggotaannya ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah anggota masing-masing serikat pekerja/serikat buruh.

Dari ketentuan di atas dapat tafsirkan terdapat kemungkinan agar Serikat Buruh dapat menjadi pihak dalam perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama yaitu apabila jumlah anggotanya 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan atau mendapat dukungan lebih dari 50% lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah buruh di perusahaan tersebut maka berhak untuk mewakili buruh dalam perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama. Apabila tidak terpenuhi maka dibentuk tim perunding yang keanggotaannya ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah anggota masing-masing serikat buruh.

Perjanjian Kerja Bersama harus dibuat dalam bentuk tertulis dengan huruf latin dan menggunakan bahasa Indonesia. Dalam hal perjanjian kerja bersama dibuat tidak menggunakan bahasa Indonesia, maka perjanjian kerja bersama tersebut harus diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah resmi yang telah disumpah dan hasil terjemahan tersebut dianggap sebagai perjanjian kerja bersama yang telah memenuhi syarat perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 116 ayat 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 21 Kep.48/Men/IV/2004 tentang tentang Tata cara Pembuatan dan

commit to user

Perjanjian Kerja Bersama, perjanjian kerja bersama sekurang-kurangnya harus memuat :

1) nama, tempat kedudukan serta alamat serikat pekerja/serikat buruh;

2) nama, tempat kedudukan serta alamat perusahaan;

3) nomor serta tanggal pencatatan serikat pekerja/serikat buruh pada

instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota;

4) hak dan kewajiban pengusaha

5) hak dan kewajiban serikat pekerja/serikat buruh;

6) jangka waktu dan mulai berlakunya perjanjian kerja bersama;dan

7) tanda tangan para pihak pembuat perjanjian kerja bersama.

Menurut ketentuan didalam Pasal 124 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, Perjanjian kerja bersama haruslah paling sedikit memuat:

1) Hak dan kewajiban pengusaha;

2) Hak dan kewajiban serikat pekerja/serikat buruh serta pekerja/buruh;

3) Jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya perjanjian kerja bersama;

dan

4) Tanda tangan para pihak pembuat perjanjian kerja bersama

commit to user

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian

Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI)

Undang-Undang Nomor

21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh

Legalitas Serikat Pekerja/Serikat Buruh