BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Pengelolaan Hutan Rakyat
Pengelolaan hutan rakyat terbagi menjadi tiga sub sistem yang saling terkait. Ketiga sub sistem tersebut yaitu sub sistem produksi, sub sistem pengolahan hasil,
dan sub sistem pemasaran hasil.
5.1.1 Sub sistem produksi
Sub sistem produksi meliputi kegiatan persiapan lahan, persiapan bibit, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan. Dari kedua KTH yang diteliti,
kegiatan sub sistem produksi hanya dilakukan mulai dari kegiatan persiapan lahan hingga kegiatan pemeliharaan, sedangkan untuk kegiatan pemanenan dilakukan
oleh para tengkulak dengan sistem penjualan oleh tengkulak ke petani yaitu sistem borongan per luasan lahan. Kegiatan pengelolaan hutan rakyat di lokasi
penelitian dilakukan secara individual pada tingkat kepala keluarga. Oleh karena itu, areal hutan rakyat tidak mengelompok pada suatu lokasi tertentu tetapi
cenderung membentuk suatu pola penyebaran yang tidak teratur sesuai dengan kepemilikan lahan dari petani dengan luas lahan yang berbeda satu sama lainnya.
Dalam kegiatan persiapan lahan, mayoritas petani hanya melakukan pembakaran lahan bekas tebangan untuk menghilangkan semak belukar dan sisa
aktivitas pemanenan, pembuatan lubang tanam dan pemupukan. Sebagian besar, petani mempersiapkan bibit dengan mengandalkan trubusan tunas yang tumbuh
dari tunggak bekas kayu tebangan sehingga bibit yang telah cukup umur ditanam untuk keperluan sendiri. Namun, ada sebagian dari petani mempersiapkan
bibitnya dengan cara membeli ke petani lain dengan harga satu bibit seharga Rp. 1.000,- per bibit. Selain dari hasil trubusan dan membeli ke petani lain, kebutuhan
bibit biasanya diperoleh dari bantuanproyek yang datang dari pemerintah atau dinas lainnya. Contohnya, pada tahun 2009 bantuan bibit dari kegiatan
Penanaman One Man One Tree OMOT yang dilakukan oleh Balai Pengelolaan Das Citarum Ciliwung, dengan jumlah bibit sengon sebanyak 2.500 bibit Anonim
2009.
Tabel 6 Kegiatan OMOT di KTH Mandiri II
Jenis Jumlah Bibit
Albizia Duren
Manggis Suren
2.500 15
15 500
Jumlah 3.030
Sumber: Data OMOT BPDas Citarum Ciliwung 2009
Dari kedua KTH yang diteliti, pola tanam yang dilakukan ada dua jenis, yaitu pola tanam satu jenis tanaman atau monokultur sengon atau karet saja dan
pola tanam campuran sengon dan karet atau jenis lain. Sebagian besar pohon sengon yang ditanam secara campuran dengan pohon lain memiliki pertumbuhan
yang lebih baik dibandingkan dengan pohon sengon yang ditanam secara monokultur. Hal ini dikarenakan kebutuhan unsur hara tanaman sengon dengan
jenis lain berbeda sehingga tidak terjadi perebutan unsur hara. Berbeda dengan yang ditanam secara monokultur, selain terjadi perebutan unsur hara juga rentan
terhadap serangan hama penyakit. Dalam pengaturan jarak tanam, petani masih
kurang memperhatikan hal tersebut. Alasannya, karena disesuaikan dengan kondisi luas lahan. Sebagian besar, petani tidak memperhatikan berapa volume
kayu yang nanti akan dipanen, tetapi mereka lebih memfokuskan untuk memaksimalkan jumlah batang yang mereka miliki dari lahan tersebut. Dalam hal
penentuan daur sengon pun, petani masih sangat tergantung dengan kebutuhan ekonominya sehingga meskipun belum masak tebang mereka akan menjual atau
menebangnya. Sebagian besar petani yang diteliti, menjual pohon sengonnya dibawah umur 6 tahun. Hal ini tidak menutup kemungkinan diakibatkan oleh
semakin tingginya biaya hidup atau tingkat kekonsumtifan masyarakat yang semakin meningkat seiring dengan semakin tingginya tuntutan hidup.
Gambar 2 Tegakan sengon monokultur dan campuran di Desa Jugalajaya. Dalam kegiatan pemeliharaan, mayoritas petani melakukan kegiatan
penyiangan, pendangiran, pemupukan, pemangkasan cabang, dan pemberantasan hama dan penyakit. Hanya sebagian dari petani yang melakukan kegiatan
penyulaman dan penjarangan. Kegiatan pemeliharaan diatas yang dilakukan oleh petani tergolong masih sangat dipengaruhi oleh keadaan ekonomi petani yang
bersangkutan. Khususnya pada kegiatan pemupukan dan pemberantasan hama dan penyakit. Kedua kegiatan tersebut dapat terlaksana apabila tersedia atau tidaknya
dana yang dimiliki oleh petani untuk membeli pupuk dan obat pemberantas hama sengon. Sebagian besar masyarakat menggunakan pupuk kandang yang dicampur
dengan pupuk kimia. Pemupukan dilakukan pada tiga bulan sekali pada tahun pertama dan dilakukan selama tiga tahun. Dalam hal pemberantasan hama dan
penyakit, masalah yang dihadapi yaitu ulat pemakan daun Eurema sp. dan ulat pengganggu akar yaitu uretkuuk Leucopholis rorida. Dalam pengendaliannya,
untuk pengendalian Eurema sp., biasanya petani menggunakan pestisda, sedangkan untuk pengendalian Leucopholis rorida, biasanya petani menggunakan
obat yaitu furadan 3G. Menurut Atmosuseno 1994 dan Siregar et al. 2008, untuk pengendalian Eurema sp. dapat digunakan pestisida untuk memberantas
hama tersebut. Namun ada sebagian petani yang membiarkannya karena terpaut dengan dana.
Dalam kegiatan pemeliharaan pada sub kegiatan penyiangan, pendangiran dan pemangkasan cabang, biasanya disesuaikan dengan kebutuhan dari gulma
rumput dan ranting percabangan untuk pakan ternak serta pemenuhan kebutuhan kayu bakar untuk memasak. Pada kegiatan penyulaman, dilakukan apabila salah
satu atau beberapa dari pohon tersebut mati. Kegiatan ini dilakukan pada saat umur pohon masih dibawah satu tahun. Untuk kegiatan penjarangan, sebagian
besar petani tidak melakukan kegiatan ini. Alasannya karena petani tidak ingin mengurangi jumlah pohon yang ada di lahannya. Selain itu, perlu tambahan biaya
untuk menebang pohon tersebut. Namun ada juga petani yang melakukan penjarangan disebabkan kebutuhan ekonomi yaitu pada saat memerlukan
tambahan biaya untuk kebutuhan yang mendesak seperti untuk keperluan masuk biaya sekolah, acara resepsi pernikahan dan pembangunan rumah.
Dalam kegiatan pemanenan, petani menjual kayu ke tengkulak dengan sistem borongan, sehingga kegiatan pemanenan mulai dari penebangan hingga
pengangkutan ditanggung oleh tengkulak. Biaya pemanenannya pun ditanggung oleh tengkulak. Pada umumnya, pemanenan dilakukan dengan menggunakan
chainsaw yang dilakukan oleh para tengkulak. Dari hasil wawancara dengan tengkulak, biaya yang digunakan untuk pemanenan diperoleh dari pemilik industri
penggergajian. Sistem kerjasama antara tengkulak dengan industri penggergajian yaitu sebagai mitra, dimana pemilik industri penggergajian memberikan dana
kepada tengkulak, kemudian tengkulak yang mencari informasi ke petani yang akan menjual kayunya. Jadi, petani dan pemilik industri penggergajian
menanggungkan resikonya kepada tengkulak. Hal ini menunjukkan, petani berada di posisi yang pasif karena tidak memiliki kisaran harga yang pasti Rp per m
3
untuk tegakan sengon di lahan miliknya. Tengkulak melakukan transaksi jual beli dengan petani dengan sistem
borongan per hamparan. Transaksi yang dilakukan tengkulak berdasarkan taksiran diameter dan tinggi pohon. Khusus tinggi pohon, dipakai tinggi pohon batang
komersial yang merupakan ukuran tinggi batang yang laku dijual di pasar perdagangan sekaligus syarat kayu masuk ke industri penggergajian yaitu berkisar
antara 2,8 meter sampai 4 meter. Untuk kegiatan penebangan, diperlukan 2 orang pekerja dengan upah penebang yang harus dikeluarkan sebesar Rp. 200.000,- per
hari untuk dua orang pekerja. Sedangkan untuk kegiatan pengangkutan diperlukan 6-7 orang dengan asumsi lokasi penebangan dekat dengan jalan, dengan upah
harian sebesar Rp. 35.000,- per hari per orang serta diperlukan 12 orang dengan asumsi lokasi penebangan jauh dengan jalan, dengan upah harian sebesar Rp.
40.000,- per hari per orang. Dalam sekali panen, biasanya jumlah kayu yang dapat diangkut dalam bentuk log atau jika terjadi gergajian dalam bentuk sortimen,
mencapai 4-5 truk dengan kapasitas 4-5 m
3
per truk untuk ukuran kayu berdiameter lebih dari 18 cm dan 3 m
3
per truk untuk ukuran kayu berdiameter kurang dari 18 cm.
5.1.2 Sub sistem pengolahan hasil