Hubungan Dinamika KTH dengan Pengelolaan Hutan Rakyat Arah Pengembangan dan Pembinaan Kelompok Tani

bersifat sebatas menerima bantuanproyek dari pemerintah atau dinas terkait. Kemudian hubungan diantara tekanan kelompok dengan pembinaan dan pemeliharaan kelompok serta kekompakan kelompok. Hubungan ini bisa dilihat dari belum adanya usaha-usaha yang spesifik yang berasal dari kelompok untuk menjaga kehidupannya. Hal-hal yang berkaitan dengan pembinaan dan pemeliharaan kelompok, biasanya terkait dengan adanya bantuan yang datang atau kunjungan dari pemerintah ataupun dinas terkait sedangkan yang berkaitan dengan kekompakan kelompok selama ini tidak ada bentuk-bentuk kerjasama yang spesifik yang berasal dari kelompok, yang dapat dilaksanakan oleh semua anggota di kelompok. Kerjasama yang muncul sifatnya insidental atau hanya sewaktu-waktu saja. Selanjutnya hubungan diantara tekanan kelompok dengan efektivitas kelompok. Hubungan ini terlihat dari belum adanya kemauan atau keinginan anggota untuk berusaha lebiih baik lagi, sehingga anggota kelompok cenderung statis dalam usaha taninya. Hasil uji korelasi unsur dinamika kelompok tani disajikan pada Lampiran 2.

5.3 Hubungan Dinamika KTH dengan Pengelolaan Hutan Rakyat

Hubungan antara unsur dinamika KTH dengan pengelolaan hutan rakyat khususnya sub sistem produksi dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Tingkat hubungan dinamika KTH dengan pengelolaan hutan rakyat A1 A2 A3 A4 Spearmans rho A1 Correlation Coefficient 1,000 -0,155 0,195 -0,515 Sig. 2-tailed . 0,283 0,175 0,000 N 50 50 50 50 Keterangan: A1 = Dinamika Kelompok Tani Hutan A2 = Penanaman A3 = Pemeliharaan A4 = Pemanenan Hasil analisis SPSS sebagaimana terlihat pada Tabel 9, menunjukkan bahwa dinamika KTH memiliki pengaruh yang tidak nyata terhadap pengelolaan hutan rakyat pada sub sistem produksi. Hal ini ditunjukan oleh nilai sig. 2-tailed pada kegiatan penanaman dan pemeliharaan lebih dari 5, yaitu tolak H . Hubungan yang tidak nyata ini tergambar pada kedua KTH yang melakukan kegiatan usaha taninya secara individual. Sedangkan pada kegiatan pemanenan, terima H 1 dengan nilai sig. 2-tailed kurang dari 5, artinya memiliki pengaruh yang nyata terhadap pengelolaan hutan rakyat pada sub sistem produksi. Namun kegiatan pemanenan ini berkorelasi negatif yang artinya bila salah satu peubah dinaikkan, maka peubah yang lainnya akan turun. Hubungan ini mengindikasikan bahwa apabila kelompok memiliki aturan mengenai harga jual kayu sengon, maka pemanenan yang dilakukan oleh tengkulak dapat diminimalkan, sebaliknya apabila kelompok tidak memiliki peran atas kesepakatan penjualan kayu sengon petani, maka akan terus diatur harga jual kayu sengon tersebut oleh tengkulak.

5.4 Arah Pengembangan dan Pembinaan Kelompok Tani

Kelompok tani hutan merupakan kelompok sosial yang bersifat dinamis, karena adanya interaksi sosial antar anggota kelompoknya. Menurut Soekanto 1990 interaksi sosial dapat terjadi apabila memenuhi dua syarat yaitu adanya kontak sosial dan komunikasi. Namun interaksi yang terjadi dapat bersifat positif yang mengarah pada kerjasama dan dapat juga bersifat negatif yang mengarah pada pertentangan atau bahkan tidak menghasilkan interaksi sosial. Maka dari itu perlu analisis target pengembangan model dinamika kelompok, yang tidak terlepas dari faktor-faktor pendukungnya. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 10 berikut ini. Tabel 10 Unsur-unsur dinamika kelompok yang masih perlu pengembangan dan pembinaan No. Unsur Dinamika Kelompok Skor Rata-rata Total

1. Tujuan kelompok

38,20 2. Struktur kelompok 25,76 3. Fungsi dan tugas kelompok 42,63 4. Pembinaan dan pemeliharaan kelompok 48,88

5. Kekompakan kelompok

56,85 6. Suasana kelompok 36,80

7. Tekanan kelompok

44,13 8. Efektivitas kelompok 47,83 Dinamika Kelompok 42,63 Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui bahwa target pertama yang menjadi prioritas pengembangan adalah struktur kelompok yang memiliki nilai skor rata-rata total paling kecil yaitu 25,76. Arah pengembangan dan pembinaan yang perlu dilakukan yaitu pembagian tugas yang harus lebih jelas yakni memaksimalkan status dan peran di kelompok agar peran dari masing-masing anggota lebih bisa difungsikan dan struktur tugas kelompok tidak lagi terfokus pada ketua kelompoknya saja. Selain itu, perlu dikaji kembali baik mengurangi ataupun menambahkan struktur kepengurusan kelompok, agar struktur tersebut lebih efisien. Selanjutnya target prioritas pengembangan kedua, yaitu untuk suasana kelompok sebesar 36,80, tujuan kelompok sebesar 38,20, fungsi tugas kelompok sebesar 42,63 dan tekanan kelompok sebesar 44,13. Target pembinaan tujuan kelompok yaitu adanya kejelasan tujuan serta informasi yang akan disampaikan kepada para anggota, dapat dilakukan dengan cara melakukan sosialisasi yang lebih intensif, sehingga seluruh anggota dapat mengerti dan memahaminya dan akhirnya dapat melaksanakan apa yang diinginkan kelompok. Sedangkan arah pengembangan dan pembinaan tekanan kelompok khususnya untuk tekanan dari dalam yaitu tidak ada penghargaan bagi yang berprestasi dan tidak diberi hukuman bagi yang melanggar ketentuan atau norma yang berlaku. Dengan demikian anggota tidak merasakan adanya penghargaan dan hukuman terhadap hasil yang dicapai, maka prioritas yang diperlukan adalah dengan penegakan norma aturan-aturan yang terlebih dahulu disepakati dan ditaati oleh seluruh anggota kelompok. Target terakhir yang menjadi prioritas pembinaan adalah efektivitas kelompok sebesar 47,83, pembinaan dan pemeliharaan kelompok sebesar 48,88 dan kekompakan kelompok sebesar 56,85. Target efektivitas kelompok yang perlu diperhatikan adalah keanggotaan ini harus benar-benar atas keinginan sendiri dan bukan karena ikut-ikutan orang lain, karena dasar keanggotaan ini akan berdampak terhadap respon anggota terhadap keberadaan kelompoknya, dan akan berpengaruh terhadap keberhasilan kelompok. Target pembinaan lebih diarahkan pada pembangunan fasilitas yang dimiliki kelompok, sehingga apabila fasilitas yang dimiliki cukup memadai maka aktifitas anggota dapat lebih diperbanyak sehingga mendorong untuk menarik anggota baru. Sedangkan target pembinaan kekompakan kelompok yaitu jadwal pertemuan yang harus disepakati dan ditaati bersama. Namun demikian keberhasilan KTH tidak terlepas dari kelembagaan-kelembagaan yang mendukungnya, seperti diilustrasikan pada Gambar 5. Gambar 5 Model sinergisitas kelembagaan yang diadopsi dari model kelembagaan sebagai target pengembangan Djoni dan Abidin 2000. Keberhasilan KTH tidak terlepas dari dukungan kelembagaan perekonomian desa, seperti bank rakyat dan koperasi yang dapat menyediakan bantuan dana, pasar tempat terjadinya transaksi hasil dari hutan rakyat, serta kios-kios yang dapat menyediakan sarana produksi bagi kegiatan hutan rakyat. Demikian juga dukungan dari lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti adanya pendampingan tenaga ahli dari lembaga pendidikan, hasil penelitian yang mendukung peningkatan pengembangan hutan rakyat. Demikian juga hubungan antara lembaga masyarakat dengan lembaga perekonomian desa, hasilnya dapat meningkatkan perkembangan kelompok tani dengan cara meningkatkan perkembangan hutan rakyatnya. Dengan demikian kelembagaan-kelembagaan tersebut tidak dapat berdiri sendiri melainkan saling mempengaruhi, sehingga tercipta sinergisitas untuk mencapai tujuan bersama yaitu meningkatkan perkembangan hutan rakyat melalui pengembangan kelompok tani yang mandiri dan profesional. Lembaga Pemerintah, seperti instansi terkait dengan kegiatan kelompok tani yaitu Dinas Kehutanan, Dinas Pertanian dll Kelompok tani sebagai salah satu bentuk kelembagaan sosial Lembaga Perekonomian Desa, seperti koperasi, pasar, kios, bank rakyat, toko Lembaga-lembaga masyarakat seperti adat, swadaya, pendidikan, penelitian

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Kegiatan pengelolaan hutan rakyat di Desa Jugalajaya dilakukan secara individual pada tingkat kepala keluarga. Kegiatan yang dilakukan hanya pada sub sistem produksi saja, sedangkan sub sistem pengolahan hasil dan pemasaran hasil dilakukan oleh industri penggergajian. Sub sistem produksi yang dilakukan petani meliputi persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, sedangkan kegiatan pemanenan dilakukan oleh tengkulak dengan sistem penjualan borongan per hamparan lahan. 2. Tingkat kedinamisan kelompok dari kedua KTH yang diteliti tergolong masih rendah. Dinamika KTH yang rata-rata masih tergolong rendah, terlihat dari masih rendahnya faktor-faktor atau kekuatan yang mampu menggerakkan perilaku kelompok dan anggota-anggota untuk mencapai tujuannya secara efektif. Lemahnya unsur-unsur dari dinamika KTH ini tercermin dari: 1 masih rendahnya tingkat kepemimpinan ketua kelompok; 2 tidak adanya tujuan yang spesifik yang muncul dari kelompok; 3 terbatasnya struktur kekuasaan atau kewenangan, umumnya kelompok hanya dikendalikan oleh seorang ketuanya saja, karenanya dalam pengaturan tugas dan komunikasi pun semuanya terfokus pada ketua kelompok; 4 pelaksanaan fungsi tugas kelompok, yang bersumber langsung dari inisiatif kelompok tergolong jarang, lebih banyak dipengaruhi oleh ada tidaknya bantuanproyek dari pemerintah; 5 belum adanya usaha-usaha yang spesifik yang berasal dari kelompok untuk menjaga kehidupannya; 6 rasa keterikatan anggota terhadap kelompok umumnya hanya sebatas sebagai bagian dari keanggotaan kelompok; dan 7 interaksi antar anggota belum merupakan bagian dari interaksi yang bersifat substantif, umumnya hanya berkisar sebagai bagian dari rutinitas sehari-hari, belum didasarkan atas adanya kesadaran kepemilikan identitas sosial yang kuat. 3. Keberadaan kelompok yang telah diukur dari aspek dinamika kelompok ternyata tidak memberikan pengaruh terhadap kegiatan sub sistem produksi