BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Dalam masyarakat selama ini hanya dua kategori gender, yakni laki-laki dan perempuan. Maka, munculnya jenis seksual yang seperti waria yang tidak
mempunyai ketidakjelasan posisi. Latar belakang ini jelas menjadi masalah karena dianggap berada diluar pola pengaturan sosial yang sudah baku. Dalam disiplin ilmu
psikologi, dikenal beberapa gejala kewariaan yaitu pertama, transeksualitas yaitu seseorang dengan jenis kelamin secara jasmani sempurna, namun secara psikis
cenderung menampilkan diri sebagai lawan jenis. Kedua, tranvetis yaitu nafsu yang patologis untuk memakai pakaian dari lawan jenis kelaminya dan mendapat
kepuasan seks dengan memakai pakaiaan dari jenis kelamin lainnya. Sedangkan yang ketiga, hermafrodit yaitu orang yang mempunyai dua jenis kelamin atau tidak
kedua-duanya Nadia, 2005 : 3. Dalam konteks ini, kaum waria akan dilihat sesama anggota masyarakat yang
keberadaannya tidak selalu ditentukan oleh kondisi tubuhnya saja, melainkan juga dimensi psikisnya. Mereka juga mempunyai hak, baik dalam pendidikan, politik,
serta hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Pada masyarakat yang mempunyai keteraturan sosial sering memandang hal-
hal yang di luar kewajaran sebagai sesuatu yang menyimpang dan melanggar norma. Penyimpangan adalah setiap perilaku yang dinyatakan sebagai suatu pelanggaran
terhadap norma-norma kelompok atau masyarakat Horton, 1999.
Universitas Sumatera Utara
Norma diciptakan dan menjadi pedoman bagi masyarakat melalui proses kesepakatan sosial yang merujuk pada tuntunan agama atau kepercayaan yang dianut
oleh masyarakat yang bersangkutan meskipun sesungguhnya norma-norma tersebut mengalami pergeseran dan pada perkembangan selanjutnya bentuk-bentuk
penyimpangan perilaku sosial dianggap sebagai suatu kewajaran. Munculnya waria sebagai fenomena sosial transsexual dianggap sebagai
perilaku yang menyimpang oleh masyarakat pada umumnya, Pelaku transsexual di Indonesia disebut dengan istilah waria wanita-pria, wadam wanita-adam, banci
atau bencong. Norma kebudayaan hanya mengakui dua jenis kelamin secara obyektif yaitu pria dan wanita. Jenis kelamin itu sendiri mengacu kepada keadaan fisik alat
reproduksi manusia. Kelly berpendapat bahwa mengenai jenis kelamin dapat mengakibatkan masyarakat menilai tentang perilaku manusia dimana pria harus
berperilaku sebagai pria berperilaku maskulin dan wanita harus berperilaku sebagai wanita Kelly dalam Koeswinarno, 2005 : 15.
Pandangan psikologi mengatakan bahwa transeksual merupakan salah satu bentuk penyimpangan seksual baik dalam hasrat untuk mendapatkan kepuasan
seksual maupun dalam kemampuan untuk mencapai kepuasaan seksual Supratiknya, 1995 : 91. Dilain pihak, pandangan sosial beranggapan bahwa akibat dari
penyimpangan perilaku yang ditunjukkan oleh waria dalam kehidupan sehari-hari akan dihadapkan pada konflik sosial dalam berbagai bentuk pelecehan seperti
mengucilkan, mencemooh, memprotes dan menekan keberadaan waria di lingkungannya Koeswinarno, 2005 : 151.
Universitas Sumatera Utara
Kehadiran seorang waria menjadi bagian dari kehidupan sosial rasanya tidak mungkin untuk dihindari. Mereka akan terus bertambah selama belum ditemukan cara
yang tepat untuk mencegahnya. Satu hal yang harus diperhatikan dalam hal ini, yaitu pengertian waria transsexual berbeda dengan homoseksual perilaku seksual yang
ditujukan pada pasangan sejenis atau transvestisme suka menggunakan pakaian wanita dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan seksualnya. Walaupun hal tersebut
juga merupakan bagian dari suatu kelainan seksual. Seorang transsexual khususnya seorang waria hanya akan bahagia apabila diperlakukan sebagai seorang wanita.
Mereka akan mencari teman atau populasi yang keadaannya serupa dengan diri mereka agar mereka dapat diterima dan dihargai sebagai individu yang utuh,
sebagaimana layaknya individu yang normal Nadia, 2005: 46. Selanjutnya timbul masalah lain, yaitu pemenuhan kehidupan sehari-hari,
sementara tidak semua waria memiliki bakat dan keterampilan yang memadai untuk bertahan hidup, sehingga cara yang mereka lakukan adalah menjajakan diri dalam
dunia “cebongan” atau pelacuran Nadia, 2005: 48. Hal ini menjadi dilema tersendiri bagi waria. Disatu sisi, masyarakat tidak membuka kesempatan pendidikan,
kehidupan yang layak dan pekerjaan bagi waria Namun, di sisi lain seiring dengan menjamurnya prostitusi waria, pandangan masyarakat yang sering ditujukan pada
waria adalah bahwa waria identik dengan prostitusi. Ironisnya, pada saat yang lain diam-diam, masyarakat juga tidak memiliki kestabilan diri dan tidak dapat menerima
kritikan dari orang lain mengenai dirinya Calhoun dan Acocella, 1995 : 72.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Departemen Kesehatan jumlah waria di Indonesia pada tahun 2006 ada sekitar antara 20.960 hingga 35.300 orang. Tidak adanya kepedulian dan solusi
dari pemerintah dalam menyelesaikan masalah penyimpangan transeksualitas di Indonesia, jelas terlihat bahwa tidak adanya program pemberdayaan bagi mereka.
Program-program pemberdayaan yang ada saat ini masih dipegang oleh berbagai organisasi dan LSM dalam dan luar negeri. Bukti nyata dari tidak adanya kepedulian
pemerintah, bisa kita lihat dari fakta di lapangan. Salah seorang waria yang biasa mencari penghidupan di daerah Taman Lawang, mengaku kalau dirinya selalu saja
’diuber-uber’ Trantib. Tindak kekerasan dan pemerasan, baginya sudah menjadi hal yang biasa. Seandainya pun berhasil ditangkap, hal itu tidak membawa pengaruh baik
sama sekali untuk diri dan kaumnya Nurdiyansah, 2007. Kurangnya kepedulian pemerintah dalam menangani permasalahan waria
tersebut, membuat beberapa lembaga yang dikelola oleh pihak swasta seperti Lembaga Kasih Rakyat yang berada di Kota Medan turut serta dalam memberikan
program pembinaan terhadap waria-waria yang ada di Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang. Melihat uraian diatas maka peneliti tertarik untuk membuat suatu penelitian
dalam rangka penulisan karya ilmiah untuk mengetahui bagaimana Implementasi Program Pembinaan Waria di pancur batu kabupaten deli serdang oloeh lembaga
kasih rakyat.
1.2. Perumusan Masalah