Relokasi Pasar Tradisional (Studi Kasus di Pasar Tradisonal Yuka Kelurahan Tangkahan Kecamatan Medan Labuhan)

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

RELOKASI PASAR TRADISIONAL

(Studi Kasus di Pasar Yuka Martubung Kelurahan Tangkahan Kecamatan Medan Labuhan Kotamadya Medan)

Skripsi DIAJUKAN OLEH :

FATMA MUTIA ( 070901017 ) Departemen Sosiologi

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana

Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Medan 2011


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN SOSIOLOGI

LEMBAR PERSETUJUAN Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh:

NAMA : FATMA MUTIA

NIM : 070901017

DEPARTEMEN : SOSIOLOGI

JUDUL : RELOKASI PASAR TRADISIONAL (Studi Kasus di Pasar Tradisonal Yuka Kelurahan Tangkahan Kecamatan Medan Labuhan)

Dosen Pembimbing Ketua Departemen

Prof.Dr.Badaruddin, M.Si Dra.Lina Sudarwati, M.Si NIP : 196805251992031002 NIP : 196603181989032001

Dekan

Prof.Dr.Badaruddin, M.Si NIP : 196805251992031002


(3)

UNIVERSITA SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN SOSIOLOGI

LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan di depan

Panitia Penguji Skripsi Departemen Sosiologi FISIP USU pada: Hari : Senin

Tanggal : 6 Juni 2011 Pukul : 10.00 WIB Tempat : Ruang Sidang

Tim Penguji:

Ketua Penguji : Dra. Lina Sudarwati, M.Si ( )

Penguji I (Pembimbing) : Prof. Dr. Badaruddin, M.Si ( )


(4)

ABSTRAK

Pasar tradisional sudah dikenal sejak puluhan abad lalu, diperkirakan sudah muncul sejak jaman kerajaan Kutai Kartanegara pada abad ke -5 Masehi. Dimulai dari barter barang kebutuhan sehari-hari dengan para pelaut dari negeri tirai bambu, masyarakat mulai menggelar dagangannya dan terjadilah transaksi jual beli tanpa mata uang hingga digunakan mata uang yang berasal dari negri Cina. Dalam kegiatan pasar tradisional keberadaan PKL sebagai pelaku kegiatan ekonomi marginal, biasanya memberikan kesan yang kurang baik terhadap kondisi fisik kota. Mereka berjualan di trotoar jalan, di taman-taman kota, di jembatan penyebrangan, bahkan di badan jalan. Pemerintah kota berulangkali menertibkan mereka yang ditengarai menjadi penyebab kemacetan lalu lintas ataupun merusak keindahan kota. Upaya penertiban ini kadangkala melalui bentrokan dan perlawanan fisik dari para pedagang. Bersama dengan komponen masyarakat lainnya, tidak jarang para pedagang pun melakukan unjuk rasa. Pemerintah pun dihujatnya dan masalah PKL ini disebutkan sebagai bentuk kegagalan pemerintah dalam menyediakan lapangan kerja untuk kaum miskin.

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskripif dengan pendekatan kualitatif. pendekatan kualitatif dimaksudkan untuk mendeskripsikan masalah yang terjadi pada proses relokasi pasar tradisional yang terjadi di Pasar Yuka Martubung. Dalam pengambilan data peneliti menggunakan teknik berupa observasi dimana peneliti mengamati secara langsung kegiatan di Pasar Tradisional Yuka Martubung. Data yang diperoleh melalui teknik wawancara mendalam dengan menggunakan panduan wawancara (interview guide). Cara ini digunakan guna mendapatkan data yang sesuai dengan tujuan penelitian, kemudian dianalisis untuk diinterpretasikan. Informan dalam penelitian ini adalah para pedagang yang berdagang di Pasar Yuka namun pernah ikut pindah ke lokasi pasar yang baru, dan juga para aparat pemerintah yang melakukan proses relokasi seperti pihak PD Pasar dan juga pihak kelurahan.

Dari data yang diperoleh maka hasilnya dapat diketahui bahwa penyebab utama kegagalan proses relokasi Pasar Yuka adalah karena kurang efektifnya sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah terhadap para pedagang sehingga menyebabkan kesalahpahaman pedagang itu sendiri. faktor lokasi juga menjadi salah satu penyebab kegagalan proses relokasi. Lokasi pasar yang baru jauh dan tidak strategis sehingga menjadi sepi pembeli dan menyebabkan penurunan pendapatan pedagang. Akhirnya pedagang dari Pasar Yuka yang telah pindah ke lokasi pasar yang baru kembali lagi ke pasar yang lama. Ketegasan pemerintah yang kurang juga dituding menjadi penyebab lainnya. Pemerintah tidak tegas dalam membuat kebijakan. Terlihat dari masih dibukanya Pasar Yuka yang lama sementara pasar yang baru juga baru saja mulai dibuka sehingga mengakibatkan pasar yang baru menjadi sepi karena pembeli lebih memilih untuk berbelanja di lokasi lama yang letaknya lebih strategis.


(5)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidyahnya sehingga saya dapat menyelesaikan perkuliahan dan juga dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “RELOKASI PASAR TRADISIONAL (Studi Kasus di Pasar Yuka Martubung Kelurahan Tangkahan Kecamatan Medan Labuhan)”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi syarat gunamemperoleh gelar sarjana dari Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Shalawat dan salam juga disampaikan ke pangkuan Nabi Besar Muhammad SAW yang telah mengantarkan umat manusia dari alam kebodohan kea lam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.

Dalam penulisan skripsi ini penulis banyak mengalami hambatan. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan, pengalaman, dan materi penulisan. Namun, berkat pertolongan dan kehendak Allah SWT yang selalu member kekuatan, ketabahan dan keyakinan kepada penulis dan juga seluruh teman dan saudara yang selalu memberikan dukungan pada saat penulis mengalami kesulitan, hingga akhirnya skripsi ini dapat selesai. Selama penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan, kritikan, saran, motivasi serta dukungan dan doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dan juga merupakan dosen pembimbing skripsi, serta dosen wali saya, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan dalam


(6)

Departemen Sosiologi dan juga telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, arahan, saran dan ide-ide yang mengarah ke materi ilmiah penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini, dimana dengan begitu banyak kesibukan beliau masih bersedia meluangkan waktu kepada penulis.

2. Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si selaku Ketua Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara yang selalu memberikan motivasi dan nasehat kepada penulis semenjak awal perkuliahan sampai pada penyelesaian skripsi ini serta terima kasih karena telah menjadi ketua penguji pada ujian meja hijau 3. Bapak Drs. T. Ilham Saladin, M.Sp selaku sekretaris Departemen Sosiologi Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara sekaligus sebagai anggota penguji (reader) dalam ujian komprehensif.

4. Bapak dan Ibu Dosen Departemen Sosiologi FISIP USU yang telah mendidik dan membimbing penulis selaku mahasiswa sosiologi FISIP USU sampai penulis menyelesaikan perkuliahannya.

5. Seluruh staf administrasi FISIP USU khususnya Departemen Sosiologi, buat Kak Feny dan Kak Bety saya ucapkan terima kasih atas segala bantuannya.

6. Secara khusus dan teristimewa saya ucapkan sangat banyak terima kasih kepada kedua orang tua saya ayahanda Alm. Ambia dan ibunda Maryani yang dengan penuh cinta dan kasih sayang selalu ada untuk penulis dan selalu memberikan semangat, doa, dan dukungan yang tiada henti.

7. Kepada abangku tersayang Serka Indra Yani, Marhalek dan juga Husaini yang telah memberikan doa dan dukungan baik moril maupun materil kepada penulis sehingga penulis bisa menyelesaikan perkuliahan ini.


(7)

8. Kepada saudara-saudaraku, Kak Bulat, Bang Agam, Almh. Kak Rani, Uwak Aman, Pakwak, Kak Yani, Kak Iin, Kak Darti, Kak Ayu, Dela, Oli, Reza, Daffa, dan saudara-saudaraku yang lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terima kasih atas dukungan dan doanya.

9. Kepada bang Iwan, bang Rendi, kak Winda yang juga selalu membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini serta dukungan yang lain dalam bentuk doa dan semangat kepada penulis.

10. Kepada sahabat-sahabat tersayang khususnya Satria Permana Pane yang telah bersedia meluangkan waktu dan juga tenaganya untuk membantu penulis dalam mencari informan, mengurus izin penelitian dan dengan setia memberikan semangat dan dukungan kepada penulis disaat penulis down sehingga bisa kembali semangat. Dan juga kepada sahabat-sahabatku, Poppy, Ijut, Dini yang selalu memberikan semangat dan dukungan kepada penulis.

11. Kepada teman-teman seperjuangan stambuk 2007, Aini, Mimi, Yaya, Rini, Niska, Tina, Ayu, Ester, Evi, Harisan, Leo, Aspipin, Jefri, Andry, Adrian, Bonny, Dino, Emby, Hadi, Martinus, Neko, Royan, Indra, Helen, Irna, Lona, Lena, Lia, Tari, Maya, Marlina, Mutiara, Nanda, Novi, Nynda, Santi, Ridwan, Roma, Rozi, Yani, Desti dan teman-teman lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu terima kasih atas semuanya.

12. Kepada senior-senior, Kak Vivi, Kak Eka, Bang Fadly, Bang Afwan, Bang Darma, dan senior-senior yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terima kasih atas bantuan, dukungan dan informasinya selama ini.


(8)

13. Kepada seluruh informan penelitian yang telah meluangkan waktunya serta memberikan informasi yang sesuai dengan permasalahan penelitian sehingga penulis bisa memperoleh data yang menjadi sumber informasi dan bahan penelitian.

Penulis menyadari tidak akan mampu untuk membalas segala kebaikan yang telah diberikan, karena tanpa peran kalian semua penulis tidak akan mampu menyelesaikan skripsi ini. Semoga segala kebaikan dan ketulusan ini diberi Rahmat dan Hidayah dari Allah SWT.

Penelitian ini juga jauh dari kata sempurna, namun penulis berharap penelitian ini bermanfaat bagi seluruh pembaca. Semoga penelitian ini dapat menjadi pedoman untuk penelitian-penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan Pasar Tradisional.

Medan, Mei 2011


(9)

DAFTAR ISI

Halaman Lembar Persetujuan

Lembar Pengesahan ABSTRAK

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL DAN MATRIX BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ……….. 1

1.2. Rumusan Masalah ……… 5

1.3. Tujuan Penelitian ……….. 5

1.4. Manfaat Penelitian ……… 5

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Teori Modernisasi Dove Budaya Tradisional dan Pembangunan di Indonesia … 6 2.2. Dampak Relokasi Pasar Tradisional bagi Pembangunan ……….. 9

2.3. Pedagang Kaki Lima sebagai Salah Satu Bentuk Sektor Informal ………. 13

2.4. Pasar Tradisional sebagai Pendongkrak Ekonomi Negara ………. 16

2.5. Kebijakan Pemerintah Kota Medan dalam Penanganan PKL ……… 17

2.6. Definisi Konsep ……….. 19

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian ………... 21

3.2. Lokasi Penelitian ……… 21

3.3. Unit Analisis dan Informan ……… 22

3.3.1. Unit Analisis ……… 22

3.3.2. Informan ……….. 22

3.4. Teknik Pengumpulan Data ………. 23

3.4.1. Teknik Pengumpulan Data Primer ………... 23


(10)

3.5. Interpretasi Data ……….. 24

3.6. Keterbatasan Penelitian ………... 25

BAB IV DESKRIPSI WILAYAH DAN INTERPRETASI DATA 4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ……… 27

4.1.1. Sejarah Singkat Lokasi Penelitian ……… 27

4.1.2. Keadaan Geografis ………... 28

4.1.3. Struktur Organisasi Pemerintahan Kelurahan Tangkahan ………... 29

4.1.4. Sarana Umum ………... 29

4.1.5. Demografi Penduduk ……… 31

4.1.6. Gambaran Pasar Tradisional Yuka ………... 33

4.1.7. Profil Informan ………. 36

4.2. Interpretasi Data ……….. 49

4.2.1. Alasan Pedagang Berjualan di Lokasi Pasar Yuka ……….. 49

4.2.2. Kendala yang Dihadapi Pedagang Selama Berjualan di Pasar Yuka …... 51

4.2.3. Tanggapan Pedagang Terkait dengan Kebijakan Pemerintah tentang Relokasi Pasar Yuka ……… 56

4.2.4. Alasan Pemerintah Merelokasi Pasar Yuka ke Pasar Martubung ……… 59

4.2.5. Sosialisasi Pemerintah Mengenai Proses Relokasi ……….. 63

4.2.6. Keuntungan dan Kerugian yang Dialami Pedagang dari Proses Relokasi 65 4.2.7. Faktor-Faktor Penyebab Kegagalan Proses Relokasi Pasar Yuka ……... 67

4.2.8. Harapan Pedagang terhadap Proses Relokasi Pasar Yuka ………... 73

BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan ………. 78

5.2. Saran ………... 81

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(11)

DAFTAR TABEL DAN MATRIX

Halaman

Tabel 4.1. Sarana Pendidikan ……….. 29

Tabel 4.2. Sarana Umum Lainnya ………... 31

Tabel 4.3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ………... 31

Tabel 4.4. Jumlah Penduduk Berdasarkan Pendidikan ……… 32

Tabel 4.5. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian ………. 33


(12)

ABSTRAK

Pasar tradisional sudah dikenal sejak puluhan abad lalu, diperkirakan sudah muncul sejak jaman kerajaan Kutai Kartanegara pada abad ke -5 Masehi. Dimulai dari barter barang kebutuhan sehari-hari dengan para pelaut dari negeri tirai bambu, masyarakat mulai menggelar dagangannya dan terjadilah transaksi jual beli tanpa mata uang hingga digunakan mata uang yang berasal dari negri Cina. Dalam kegiatan pasar tradisional keberadaan PKL sebagai pelaku kegiatan ekonomi marginal, biasanya memberikan kesan yang kurang baik terhadap kondisi fisik kota. Mereka berjualan di trotoar jalan, di taman-taman kota, di jembatan penyebrangan, bahkan di badan jalan. Pemerintah kota berulangkali menertibkan mereka yang ditengarai menjadi penyebab kemacetan lalu lintas ataupun merusak keindahan kota. Upaya penertiban ini kadangkala melalui bentrokan dan perlawanan fisik dari para pedagang. Bersama dengan komponen masyarakat lainnya, tidak jarang para pedagang pun melakukan unjuk rasa. Pemerintah pun dihujatnya dan masalah PKL ini disebutkan sebagai bentuk kegagalan pemerintah dalam menyediakan lapangan kerja untuk kaum miskin.

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskripif dengan pendekatan kualitatif. pendekatan kualitatif dimaksudkan untuk mendeskripsikan masalah yang terjadi pada proses relokasi pasar tradisional yang terjadi di Pasar Yuka Martubung. Dalam pengambilan data peneliti menggunakan teknik berupa observasi dimana peneliti mengamati secara langsung kegiatan di Pasar Tradisional Yuka Martubung. Data yang diperoleh melalui teknik wawancara mendalam dengan menggunakan panduan wawancara (interview guide). Cara ini digunakan guna mendapatkan data yang sesuai dengan tujuan penelitian, kemudian dianalisis untuk diinterpretasikan. Informan dalam penelitian ini adalah para pedagang yang berdagang di Pasar Yuka namun pernah ikut pindah ke lokasi pasar yang baru, dan juga para aparat pemerintah yang melakukan proses relokasi seperti pihak PD Pasar dan juga pihak kelurahan.

Dari data yang diperoleh maka hasilnya dapat diketahui bahwa penyebab utama kegagalan proses relokasi Pasar Yuka adalah karena kurang efektifnya sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah terhadap para pedagang sehingga menyebabkan kesalahpahaman pedagang itu sendiri. faktor lokasi juga menjadi salah satu penyebab kegagalan proses relokasi. Lokasi pasar yang baru jauh dan tidak strategis sehingga menjadi sepi pembeli dan menyebabkan penurunan pendapatan pedagang. Akhirnya pedagang dari Pasar Yuka yang telah pindah ke lokasi pasar yang baru kembali lagi ke pasar yang lama. Ketegasan pemerintah yang kurang juga dituding menjadi penyebab lainnya. Pemerintah tidak tegas dalam membuat kebijakan. Terlihat dari masih dibukanya Pasar Yuka yang lama sementara pasar yang baru juga baru saja mulai dibuka sehingga mengakibatkan pasar yang baru menjadi sepi karena pembeli lebih memilih untuk berbelanja di lokasi lama yang letaknya lebih strategis.


(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Krisis ekonomi tahun 1998 memberikan dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Krisis ekonomi menyebabkan jumlah pengangguran meningkat dan memicu terjadinya urbanisasi. Rendahnya tingkat pendidikan dan keterbatasan ketrampilan yang dimiliki oleh kaum migran menjadikan satu-satunya pilihan untuk bekerja dan bertahan hidup adalah dengan menjadi PKL. Hingga saat ini, tingginya peningkatan jumlah PKL di Indonesia khususnya di kota Medan menunjukkan masih rendahnya kemampuan daya serap sektor formal terhadap angkatan kerja di Kota Medan serta masih rendahnya kemampuan bersaing masyarakat untuk mendapatkan pekerjaan di sektor formal. Atas dasar itulah maka banyak masyarakat yang berprofesi sebagai pedagang di sektor informal.

Sektor informal memiliki peran yang besar di Negara-negara Sedang Berkembang (NSB) termasuk Indonesia. Sektor informal adalah sektor yang tidak terorganisasi (unorganized), tidak teratur (unregulated), dan kebanyakan legal tetapi tidak terdaftar (unregistered). Di NSB, sekitar 30-70 % populasi tenaga kerja di perkotaan bekerja di sektor informal. Sektor informal memiliki karakteristik seperti jumlah unit usaha yang banyak dalam skala kecil, kepemilikan oleh individu atau keluarga, teknologi yang sederhana dan padat tenaga kerja, tingkat pendidikan dan ketrampilan yang rendah, akses ke lembaga keuangan daerah, produktivitas tenaga kerja yang rendah dan tingkat upah yang juga relatif lebih rendah dibandingkan sektor formal


(14)

Pedagang Kaki Lima (PKL) sebagai salah satu kelompok sektor informal diakui memiliki keunggulan kompetitif dibandingkan kelompok lainnya. Keunggulan kompetitif yang dimiliki adalah kemampuannya untuk tetap bertahan dalam kondisi ekonomi yang sulit. Namun, kegiatan PKL ini sangat rentan dan memprihatinkan karena keberadaannya tidak dibina, tidak ditata dan tidak diberi perlindungan yang serius oleh pihak pemerintah (Waluyo,2000:3). Bahkan sektor ini dianggap sebagai sumber masalah dalam kebersihan, ketertiban dan kemacetan lalu lintas. Dengan membangun persepsi dan konstruksi social bahwa PKL sebagai sumber masalah dalam penataan lingkungan kota, maka pemerintah Kota melakukan penertiban terhadap PKL dengan cara pembersihan dan penggusuran (Fakhrulloh, 2002:42).

Dalam kegiatan pasar tradisional keberadaan PKL sebagai pelaku kegiatan ekonomi marginal, biasanya memberikan kesan yang kurang baik terhadap kondisi fisik kota. Misalnya kesemrawutan, jalanan macet, kumuh dan lain sebagainya. Kondisi ini menjadi alasan utama bagi pemerintah untuk melakukan penggusuran ruang publik kaum marginal. Pada akhirnya akan mematikan sektor perekonomian, sosial, politik dan budaya mereka. Kaum marginal menjadi kelompok yang dimarjinalkan dan teralienasi dari kehidupan, inilah gambaran dari kebijakan yang tidak memihak pada masyarakat sipil.

Pasar tradisional sudah dikenal sejak puluhan abad lalu, diperkirakan sudah muncul sejak jaman kerajaan Kutai Kartanegara pada abad ke -5 Masehi. Dimulai dari barter barang kebutuhan sehari-hari dengan para pelaut dari negeri tirai bambu, masyarakat mulai menggelar dagangannya dan terjadilah transaksi jual beli tanpa mata


(15)

uang hingga digunakan mata uang yang berasal dari negri Cina. Dalam awal-awal keberadaannya, pasar tradisional memiliki peranan yang penting dalam perkembangan wilayah dan terbentuknya kota. Sebagai pusat aktivitas ekonomi masyarakat, pasar tradisional telah mendorong tumbuhnya pemukiman-pemukiman dan aktivitas sosial-ekonomi lainnya di sekitar pasar tersebut, dan pada tahap selanjutnya berkembang menjadi pusat pemerintahan. Jasa besar pasar tradisional (tentunya dengan pelaku-pelaku di dalam pasar tersebut), hampir tidak terbantahkan terutama jika kita lihat sejarah berdirinya hampir seluruh kota di Indonesia.

Bahkan dibeberapa relief candi nusantara diperlihatkan cerita tentang masyarakat jaman kerajaan ketika bertransaksi jual beli walau tidak secara detail. Pasar dijamannya dijadikan sebagai ajang pertemuan dari segenap penjuru desa dan bahkan digunakan sebagai alat politik untuk menukar informasi penting dijamannya. Bahkan pada saat masuknya peradaban Islam di tanah air diabad 12 Masehi, pasar digunakan sebagai alat untuk berdakwah. Para wali mengajarkan tata cara berdagang yang benar menurut ajaran Islam.

Namun, seringkali kita jumpai masalah-masalah yang terkait dengan pedagang kaki lima (PKL) di perkotaan Indonesia seperti yang sering tergambarkan dari pasar tradisional. Mereka berjualan di trotoar jalan, di taman-taman kota, di jembatan penyebrangan, bahkan di badan jalan. Pemerintah kota berulangkali menertibkan mereka yang ditengarai menjadi penyebab kemacetan lalu lintas ataupun merusak keindahan kota. Upaya penertiban ini kadangkala melalui bentrokan dan perlawanan fisik dari para pedagang. Bersama dengan komponen masyarakat lainnya, tidak jarang para pedagang pun melakukan unjuk rasa. Pemerintah pun dihujatnya dan masalah PKL ini disebutkan


(16)

sebagai bentuk kegagalan pemerintah dalam menyediakan lapangan kerja untuk kaum miskin (Zuraida, 1993:266).

Terkait dengan persoalan pedagang kaki lima ataupun sektor informal tersebut, saya mengambil contoh relokasi Pasar Yuka yang ada di Kelurahan Besar Kecamatan Medan Labuhan. Relokasi yang dilakukan oleh pemerintah tersebut dilakukan berdasarkan atas Perda No 31 Tahun 1993 tentang Pemakaian Tempat Berjualan. Berdasarkan hasil observasi peneliti, alasan relokasi Pasar Yuka adalah karena pasar tersebut berada di salah satu jalur hijau yaitu di badan jalan masuk perumahan Komplek Yuka. Kalau kita perhatikan memang keberadaan pasar tersebut cukup mengganggu pengguna jalan yang akan keluar masuk Komplek Yuka. Terkadang membuat penduduk komplek tersebut terpaksa menggunakan alternatif jalan yang lain agar lebih cepat.

Pasar Yuka tersebut berada di persimpangan Jalan Pancing I Martubung. Di pagi hari pasar tersebut sering kali menjadi penyebab kemacetan. Hal itulah yang menjadi salah satu alasan pemerintah merelokasi pasar tersebut ke tempat yang telah disediakan oleh pemerintah. Lokasi pasar baru yang disediakan oleh pemerintah berjarak kurang lebih 1 km dari lokasi pasar yang lama. Namun, para pedagang enggan untuk direlokasi dengan berbagai alasan. Atas dasar masalah inilah peneliti tertarik untuk mengetahui lebih mendalam permasalahan yang terjadi pada proses relokasi Pasar Yuka yang sampai sekarang masih menyisakan beragam pertanyaan. Serta berbagai faktor penyebab dari gagalnya proses relokasi pasar tersebut sehingga menyebabkan aset negara (pasar tempat tujuan relokasi) menjadi terbengkalai.


(17)

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut dan berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “apa saja faktor penyebab kegagalan proses relokasi Pasar Yuka?”

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas maka yang menjadi tujuan yang diharapkan dan dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah untuk mengetahui apa saja faktor penyebab kegagalan proses relokasi Pasar Yuka.

1.4. Manfaat Penelitian

Setiap penelitian diharapkan mampu dapat memberikan manfaat baik untuk diri sendiri maupun orang lain, terlebih lagi untuk ilmu pengetahuan. Untuk itu manfaat dari penelitian ini adalah:

1.4.1. Manfaat Teoritis

Hasil yang akan diperoleh dalam penelitian ini secara teoritis diharapkan agar dapat memperoleh pengetahuan yang lebih baik dan dapat dijadikan bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya. Serta bemanfaat dalam pengembangan ilmu-ilmu sosial khususnya sosiologi pembangunan.

1.4.2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan bagi masyarakat sekitar lokasi penelitian maupun masyarakat pada umumnya tentang apa saja faktor penyebab kegagalan proses relokasi Pasar Yuka.


(18)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Teori Modernisasi Dove Budaya Tradisional dan Pembangunan di Indonesia Teori ini melihat interaksi antara kebijaksanaan pembangunan nasional Indonesia dan aneka ragam budaya lokal yang terdapat di Indonesia. Dove dengan tidak ragu-ragu menyatakan bahwa budaya tradisional tidak harus berarti terbelakang. Budaya tradisional sangat dan selalu terkait dengan proses perubahan ekonomi,social dan politik dari masyarakat pada tempat mana budaya tradisional tersebut melekat. Bagi Dove budaya tradisional selalu mengalami perubahan yang dinamis, dan oleh karena itu budaya tradisional tidak mengganggu proses pembangunan (Suwarsono, 1994:62).

Dove menyarikan dengan singkat sikap dan pandangan yang salah dari kebanyakan ilmuwan sosial dan pengelola pembangunan di Indonesia.menurut Dove, mereka melihat budaya tradisional sebagai tanda keterbelakangan dan sebagai penghambat tercapainya kemajuan sosial ekonomis. Paling baik, budaya tradisional dilihatnya sebagai kekayaan nasional yang tidak berharga, dan yang lebih sering budaya tradisional sering dianggap sebagai faktor yang mengganggu proses modernisasi atau paling tidak budaya tradisional sering dianggap sebagai faktor yang bertanggung jawab terhadap kegagalan modernisasi. Jika demikian halnya, tidak heran jika kebanyakan ilmuwan sosial dan perencaan pembangunan Indonesia selalu berusaha melakukan devaluasi, depresiasi, atau bahkan eliminasi dari keseluruhan bentuk dan isi budaya tradisional.


(19)

Dalam kajian Dove menyatakan bahwa budaya tradisional sangat dan selalu berkait dengan proses pembangunan ekonomi, sosial dan politik dimana budaya tradisional tersebut melekat. Dalam penelitiannya Dove mengkategorikan dalam empat kelompok yaitu agama tradisional (ideologi), ekonomi, lingkungan hidup, dan perubahan sosial.

Keempat aspek tersebut memberikan manfaat fungsional bagi masyarakat yang menganut sistem tradisional tersebut sehingga terkadang peraturan dan perubahan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap masyarakat penganut sistem tradisional tersebut menjadi tidak tepat dan mengganggu kestabilan dan kelangsungan hidup masyarakat tersebut. Secara ringkas penelitian Dove menunjukkan bahwa budaya tradisional tidak harus selalu ditafsirkan sebagai faktor penghambat pembangunan.

)

Sikap negatif pemerintah Indonesia tidak hanya terlihat pada pandangannya tentang sistem kepercayaan tradisional, seperti misalnya apa yang disebut dengan pertanian ladang, usaha mengumpulkan sagu dan usaha bertani berpindah-pindah. Pada dasarnya pemerintah Indonesia melihat ketiga jenis usaha ekonomis tersebut sebagai usaha yang tidak efisien, dank arena itu tidak dapat dikembangkan lebih jauh untuk keperluan mendukung proses modernisasi, dan jika demikian halnya maka tidak ada manfaat ekonomis yang diperoleh untuk mempertahankan model ekonomi tersebut.

Pasar tradisional juga merupakan salah satu sistem ekonomi yang masih bersifat tradisional. Pemerintah merasa model seperti ini tidak akan membawa perkembangan kemajuan untuk sistem ekonomi di Indonesia. Apalagi keberadaanyya seringkali dirasa


(20)

mengganggu sebab seringkali lokasinya berada di tempat yang tidak semestinya. Pasar tradisional dipandang sebagai daerah yang kumuh dan ruwet, yang telah menyebabkan rusaknya keindahan kota serta menimbulkan kemacetan lalu lintas perkotaan. Oleh karenanya, pasar tradisional ini harus disingkirkan jauh-jauh dari kota melalui proses relokasi.

Namun seringkali upaya untuk merelokasikan pasar tradisional ke tempat yang telah direncanakan oleh pemerintah menuai kegagalan. Para pedagang yang telah direlokasikan tidak lama kemudian kembali lagi ke lokasi awal mereka berdagang. Hal ini merupakan salah satu hal dari kegagalan proses pembangunan yang sering terjadi di Indonesia. Biasanya yang menjadi penyebab kegagalan seperti itu adalah:

1. Pembangunan tidak membawa manfaat yang jelas bagi masyarakat dan orang banyak 2. Pembangunan itu bukan keinginan dan kebutuhan rakyat yang mendasar

3. Tidak ada perencanaan jangka pendek, menengah, dan jangka panjang

4. Pembangunan itu lebih bersifat program untuk mencari keuntungan bagi para aparatnya, melalui program yang asal jadi.

Pembangunan di Indonesia sebagaimana gejala umum yang terjadi di hampir semua Negara di dunia tidak lepas dari berbagai masalah pembangunan. Masalah-masalah pembangunan yang muncul tersebut menyebabkan banyak dampak yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya kegagalan dalam pembangunan. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kegagalan dalam pembangunan. Dari sekian banyak penyebab yang ingin dikemukakan di sini adalah faktor kepemimpinan pemerintah dalam pembangunan. Kepemimpinan pemerintah yang buruk dalam menjalankan upaya pembangunan dalam masyarakat sudah tentu akan membawa masyarakat ke arah


(21)

kegagalan pembangunan atas diri mereka. Dalam bidang politik tidak ada upaya pemberdayaan masyarakat untuk terlibat memberikan suara (aspirasinya) dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan. Dalam bidang pendidikan tidak ada upaya pelayanan pendidikan yang maksimal

2.2. Dampak Relokasi Pasar Tradisional bagi Pembangunan

Pembangunan fisik biasanya menjadi prioritas utama dalam berbagai program pembangunan yang dilakukan. Sehingga berimplikasi pada tidak humanisnya suatu program pembangunan. Membangun dan menggusur menjadi dua hal yang tak terpisahkan dalam perkembangan kota dewasa ini. Pembangunan melalui penggusuran merupakan sebuah kebijakan yang tidak memperhatikan kaum marginal sebagai warga Negara yang berhak dilindungi. Sepertinya pembangunan dalam perspektif konvensional masih mendominasi berbagai kebijakan yang menyangkut kaum marginal saat ini. Walaupun pembangunan tipe itu sudah tidak relevan diterapkan dewasa ini.

Tingginya angka kemiskinan dan meningkatnya tingkat urbanisasi di berbagai kota besar di Indonesia mendorong lahirnya PKL. Menjadi masalah karena keberadaan PKL menimbulkan dampak tersendiri dari aspek tata ruang kota. Ide penanganan PKL dengan relokasi menjadi salah satu solusi yang terbaik dalam penanganan PKL yang tidak mematikan hak hidup masyarakat miskin tetapi memberi ruang untuk hidup dalam bingkai keteraturan dan ketertiban.

Pada dasarnya merelokasi kegiatan PKL ke suatu tempat merupakan hal yang sering dilakukan oleh pemerintah Kota/Kabupaten. Namun, keputusan relokasi ke tempat lain seringkali sepihak dari Pemerintah Kota sehingga setelah para pedagang pindah ke tempat yang baru pendapatan pedagang tersebut merosot. Akibatnya para pedagang


(22)

kembali lagi ke tempat semula atau mencari lokasi lain yang dianggap dapat menggantikan lokasi yang lama. Hal ini menimbulkan masalah baru, karena para pedagang menciptakan kantong-kantong PKL yang baru yang tidak sesuai dengan kondisi tata ruang kota (Limbong, 2006:283).

Di Indonesia, hal itu disebabkan karena penyebaran penduduk yang tidak merata dan tingkat urbanisasi yang sangat tinggi. Tingkat pendapatan buruh tani di pedesaan yang sangat rendah dan upah buruh di masyarakat industri yang belum mencapai UMR. Gulungtikarnya perusahaan-perusahaan besar telah menyebabkan angka pengangguran yang sangat tinggi. Ditambah lagi dengan oportunisme di kalangan elit politik, telah menyebabkan ketidak stabilan di bidang politik. Hal-hal ini telah menyebabkan terpuruknya ekonomi rakyat dan mempercepat pemerataan kemiskinan masyarakat Indonesia. Untuk perubahan sosial-ekonomi dibutuhkan aparatur negara yang bersih dan pendidikan masyarakat yang memadai.

(http://gordonstevensijabat.wordpress.com/2009/03/27/sosiologi-pembangunan/ diakses tanggal 22-12-2010 pukul 11.00)

Pemerintah Kota/Kabupaten merelokasikan pasar tradisional dengan beberapa alasan. Alasan yang paling utama adalah untuk pembangunan yaitu demi terciptanya tata kota yang rapi dan indah. Namun perelokasian tersebut sudah pasti menuai pro dan kontra dari pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Apalagi banyak dampak yang bisa ditimbulkan dari dan selama proses relokasi tersebut. Dampak yang dirasakan bisa berupa dampak positif dan juga dampak negatif. Hal yang biasa terlihat dalam proses relokasi pasar tradisional adalah terjadinya konflik antara para pedagang dengan aparat yang


(23)

merelokasi. Kebanyakan dari masyarakat tersebut masih berpikiran sempit dan tertutup makanya mereka sangat sulit untuk bisa menerima perubahan.

Dari berbagai penjelasan di atas sangat masuk akal sekali apabila saat ini justru sektor informal ataupun pedagang kaki lima lah yang sangat banyak dilirik oleh masyarakat Indonesia. Itu sebabnya semakin banyak saja ketidakteraturan yang terjadi. Contohnya saja pasar-pasar tradisional yang keberadaannya seringkali mengganggu ketertiban dan juga tata ruang kota. Maka dari itu pemerintah merelokasikan pasar tradisional untuk mendukung pembangunan dalam tingkat kota atau kabupaten.

Sayangnya pembenahan pasar rakyat ini tampaknya sering lebih sering mengedepankan kepentingan investor ketimbang kepentingan para pedagangnya sendiri. Harga kios yang tinggi tanpa kompromi kerap membuat pedagang “alergi” mendengar kata pembenahan. Keadaan ini tidak jarang akhirnya menimbulkan perselisihan antara pedagang lama dengan investor yang ditunjuk pemerintah untuk merevitalisasi pasar tradisional. (http://indrakh.wordpress.com/2007/09/03/pasar-tradisional-di-tengah-kepungan-pasar-modern/ diakses tanggal 20-12-2010 pukul 13.10)

Di samping itu ada hal-hal lainnya yang menjadi faktor penyebab dari gagalnya proses relokasi pasar tradisional. Seperti yang dikemukakan oleh Hendi Yulianto dalam penelitiannya mengenai studi implementasi pengaturan dan pembainaan PKL dalam program relokasi PKL di wilayah Kecamatan Semarang Timur. Ia menyebutkan bahwa gagalnya program relokasi disebabkan karena:

a. Di dalam implementasi suatu program, maka sosialisasi harus dilaksanakan oleh pihak-pihak yang telah ditentukan, ini dapat dilihat dari kurang optimalnya sosialisasi yang


(24)

dilakukan dalam program Relokasi PKL ini dimana sosialisasi hanya dilakukan oleh pihak kecamatan.

b. Media yang digunakan kurang beragam dimana hanya menggunakan selebaran dan menyebabkan perbedaan persepsi antara petugas dengan pedagang ditambah dengan kurangnya intensitas sosialisasi yang dilakukan sehingga pedagang tidak terlalu tahu tentang maksud dan tujuan program ini.

c. Informasi yang disampaikan oleh petugas sampai pada setiap PKL kurang efektif untuk mempengaruhi PKL melaksanakan relokasi. d. Dalam hal program Relokasi PKL ini diketahui bahwa ada sebagian dari penerima menolak untuk direlokasi disebbkan tempat relokasi tidak sesuai dengan keinginan pedagang, selain itu masih minimnya sarana dan fasilitas pendukung di tempat lokasi yang baru.

e. Kesadaran yang dimiliki oleh pedagang dalam melaksanakan program relokasi PKL masih kurang hal ini dapat dilihat pada dukungan yang mereka berikan untuk mensukseskan program ini masih kurang.

f. Karena tindakan sosial bersifat menular maka tindakan tegas oleh petugas tersebut

diatas perlu dijalankan dengan konsekuen.

Dampak yang muncul pasca relokasi pasar tradisional bisa berupa dampak sosial ekonomi, dampak sosial budaya dan juga dampak terhadap lingkungan. Dampak terhadap lingkungan biasanya selalu bersifat positif seperti misalnya tertatanya lingkungan menjadi lebih baik sehingga tidak ada lagi kesemrawutan; pengolahan limbah pasar; penghijauan sekitar pasar relokasi, sehingga lingkungan pasar menjadi asri dan tidak terlihat kesan kumuh.


(25)

Sedangkan dampak sosial ekonomi dan dampak sosial budaya ada yang bersifat positif dan ada juga yang bersifat negatif. Dampak yang bersifat positif seperti misalnya meningkatnya kelayakan dan kenyamanan usaha; terbukanya kesempatan kerja; perubahan status PKL menjadi pedagang legal; keamanan pasar lebih terjamin. Dampak negatifnya yaitu menurunnya modal dan pendapatan; meningkatnya biaya operasional; menurunnya aktifitas pasar; serta melemahnya jaringan sosial.

2.3. Pedagang Kaki Lima sebagai Salah Satu Bentuk Sektor Informal

Konsep sektor informal pertama kali muncul di dunia ketiga, yaitu ketika dilakukan serangkaian penelitian tentang pasar tenaga kerja perkotaan di Afrika. Keith Hart dalam Damsar (1997:158), orang yang memperkenalkan pertama kali konsep tersebut pada tahun 1971, mengemukakan bahwa penyelidikan empirisnya tentang kewiraswastaan di Acca dan kota-kota lain Afrika bertentangan dengan apa yang selama ini diterima dalam perbincangan tentang pembangunan ekonomi.

Sektor informal adalah aktifitas ekonomi yang mengambil tempat di luar norma formal dari transaksi ekonomi yang dibentuk oleh Negara dan dunia bisnis. Sector informal tidak berarti illegal. Secara umum, istilah sector informal mengacu pada usaha kecil atau mikro yang dikelola secara individual atau keluarga. (O’Hara, 2001).

Karakteristik sektor informal

1. Mudah untuk dimasuki atau dilakukan

2. Bergantung pada sumberdaya asli/yang ada di sekitarnya 3. Kepemilikan usaha oleh keluarga


(26)

5. Padat kerja dan mengadopsi tekhnologi sederhana

6. Keahlian yang dibutuhkan bukan berasal dari system sekolah formal 7. Tidak mengikuti aturan dan pasar yang kompetitif

8. Unit kerja/usaha berada di luar jangkauan admistrasi formal yang mencakup sektor formal

9. Kebutuhan modal relatif kec

Penyebab munculnya sector informal 1. Sistem pengaturan yang berlebihan

2. Sistem pengawasan yang tidak efisien dan korup 3. Budaya kepatuhan pajak yang rendah

4. Tingginya tingkat pengangguran 5. Tingkat literasi yang rendah

6. Penghasilan yang rendah di sector public

7. Fasilitas infrastruktur yang buruk (Braun, 1994)

Salah satu wujud dari sektor informal adalah kegiatan Pedagang Kaki Lima. Kegiatan ini timbul karena tidak terpenuhinya kebutuhan pelayanan oleh kegiatan formal yang mana kegiatan mereka sering menimbulkan gangguan terhadap lingkungannya dan sering dipojokkan sebagai penyebab timbulnya berbagai permasalahan.

Menurut Mulyanto (2007), PKL adalah termasuk usaha kecil yang berorientasi pada laba (profit) layaknya sebuah kewirausahaan (entrepreneurship). PKL mempunyai cara tersendiri dalam mengelola usahanya agar mendapatkan keuntungan. PKL menjadi manajer tunggal yang menangani usahanya mulai dari perencanaan usaha, menggerakkan usaha sekaligus mengontrol atau mengendalikan usahanya, padahal fungsi-fungsi


(27)

manajemen tersebut jarang atau tidak pernah mereka dapatkan dari pendidikan formal. Kemampuan manajerial memang sangat diperlukan PKL guna meningkatkan kinerja usaha mereka, selain itu motivasi juga sangat diperlukan guna memacu keinginan para PKL untuk mengembangkan usahanya.

Umumnya yang menjadi alasan mengapa seseorang menjadi PKL diantaranya karena tidak mempunyai keahlian lain selain berdagang, kemudian ada alasan lain yang cukup signifikan yakni karena mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Tidak adanya usaha pemerintah untuk mengembangkan kapasitas (capacity building) para tenaga kerja menyebabkan tenaga kerja yang tersedia sulit mencari alternative pekerjaan yang sesuai. Namun dengan keterampilan yang terbatas para tenaga kerja ini dapat masuk pada sektor informal sebagai penjual makanan jajanan, dan kegiatan PKL tersebut memberi secercah harapan.

Pertumbuhan sektor informal yang cukup pesat tanpa ada penanganan yang baik dapat mengakibatkan ketidakaturan tata kota. Sebagaimana kita ketahui, banyak pedagang kaki lima yang menjalankan aktifitasnya ditempat-tempat yang seharusnya menjadi Public Space. Public Space merupakan tempat umum dimana masyarakat bisa bersantai, berkomunikasi, dan menikmati pemandangan kota. Tempat umum tersebut bisa berupa taman, trotoar, halte bus, dan lain-lain.

Untuk mengatasi masalah sektor informal, diperlukan ketegasan dari pemerintah kota. Hal pertama yang harus dilakukan oleh pemerintah kota adalah relokasi bagi para pedagang kaki lima. Pemerintah harus menyedikan tempat yang dapat digunakan mereka


(28)

untuk berjualan. Hal tersebut ditujukan agar pedagang kaki lima tidak mengganggu kepentingan umum karena berjualan dilokasi Public Space. Selain itu, relokasi dapat menumbuhkan perasaan aman bagi pedagang karena mereka tidak perlu khawatir ditertibkan oleh aparat pemerintah.

2.4. Pasar Tradisional sebagai Pendongkrak Perekonomian Negara

Pasar tradisional merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli serta ditandai dengan adanya transaksi penjual pembeli secara langsung dan biasanya ada proses tawar-menawar, bangunan biasanya terdiri dari kios-kios atau gerai, los dan dasaran terbuka yang dibuka oleh penjual maupun suatu pengelola pasar. Kebanyakan menjual kebutuhan sehari-hari seperti bahan-baha

sayuran,

pula yang menjua

ditemukan di

memudahkan pembeli untuk mencapai pasar

Pasar tradisional merupakan pasar yang memiliki keunggulan bersaing alamiah yang tidak dimiliki secara langsung oleh pasar modern. Lokasi yang strategis, area penjualan yang luas, keragaman barang yang lengkap, harga yang rendah, sistem tawar-menawar yang menunjukkan keakraban antara penjual dan pembeli merupakan keunggulan yang dimiliki oleh pasar tradisional. Selain keunggulan tersebut pasar tradisional juga merupakan salah satu pendongkrak perekonomian kalangan menengah ke bawah dan jelas memberikan efek yang baik bagi Negara.


(29)

Di balik kelebihan yang dimiliki pasar tradisional ternyata tidak didukung oleh pihak pemerintah, salah satunya terlihat dari sikap pemerintah yang lebih membanggakan adanya pasar modern dari pada pasar tradisional, yaitu dengan melakukan penggusuran satu per satu pasar tradisional dengan cara dipindahkan dari tempat yang layak ke tempat

yang jauh dan kurang refresentatif.

Pasar tradisional memiliki beberapa kelemahan seperti misalnya kondisi pasar yang becek dan bau, harus melakukan tawar-menawar sebelum membeli barang yang kita inginkan, faktor keamanan yang lemah (copet, dsb), resiko pengurangan timbangan pada barang yang dibeli, penuh sesak, dan sejumlah alasan lainnya. Tetapi pasar tradisional juga masih memiliki beberapa kelebihan seperti misalnya masih adanya kontak sosial saat tawar-menawar antara pedagang dan pembeli. Tidak seperti pasar modern yang memaksa konsumen untuk mematuhi harga yang sudah dipatok. Bagaimanapun juga pasar tradisional lebih menggambarkan denyut nadi perekonomian rakyat kebanyakan. Di sana, masih banyak orang yang menggantungkan hidupnya, dari mulai para pedagang kecil, kuli panggul, pedagang asongan, hingga tukang becak.

(http://indrakh.wordpress.com/2007/09/03/pasar-tradisional-di-tengah-kepungan-pasar-modern/ diakses tanggal 20-12-2010 pukul 13.10)

2.5. Kebijakan Pemerintah Kota Medan dalam Penanganan PKL

Upaya penggusuran terhadap PKL yang terjadi di kota Medan menimbulkan protes masyarakat bahkan melibatkan unsur mahasiswa dari perguruan tinggi negeri maupun swasta yang ada di kota ini. Para PKL mendatangi kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Balai Kota Medan dengan mengancam akan menginap dengan


(30)

membawa tikar dan berbagai alas tikar serta sarung untuk perbekalan menginap sebagai protes penggusuran PKL. Masyarakat dan unsur mahasiswa menuntut agar pemerintah mencabut Perda yang salah satunya adalah Perda No. 31 Tahun 1993 tentang Pemakaian Tempat Berjualan (Harian SIB, tanggal 27 Januari 2004).

Ketentuan dalam beberapa pasal pada Perda No 31 Tahun 1993 terkesan kaku dan berpihak hanya pada pemerintah kota seperti yang terlihat dalam pasal 3 yang berbunyi:

“Stand, kios atau bangunan Pemerintah Daerah baik yang pembangunannya dibiayai oleh Pemerintah Daerah maupun swadaya masyarakat yang berada di dalam kompleks pasar milik Pemerintah Daerah yang digusur, ditertibkan, dibongkar guna peremajaan Pasar atau Kota dan penertiban lainnya tidak akan diberian ganti rugi dalam bentuk apapun kepada penyewa dengan ketentuan kepada penyewa diberikan prioritas untuk memperoleh tempat berjualan di lokasi atau tempat yang diremajakan atau tempat lain yang dihunjuk oleh pemerintah daerah”.

Untuk menciptakan suatu kota Medan metropolitan, maka Pemerintah Kota Medan telah menetapkan suatu Pola Dasar Pembangunan Kota Medan tahun 2001-2025 yang akan digunakan sebagai acuan dalam merencanakan kegiatan pembangunan. Pola Dasar Pembangunan Kota Medan tersebut telah dituangkan dalam Peraturan Daerah (Perda) Kota Medan Nomor 1 Tahun 2002. Kemudian, untuk pelaksanaan Perda No.1 Tahun 2002 tersebut telah ditetapkan suatu Keputusan Walikota Medan Nomor 188.342/070/K2002 tertanggal 20 Maret 2002.

Pasal 2 Perda No.1 Tahun 2002 menyatakan bahwa pola dasar pembangunan Kota Medan tahun 2001-2025 merupakan pedoman dalam menetapkan peruntukan dan


(31)

pemanfaatan tanah atau perencanaan kota bagi segenap aparatur Pemerintah Kota Medan, DPRD, Lembaga Sosial Kemasyarakatan (LSM), organisasi profesi, perguruan tinggi, dunia usaha, tokoh masyarakat, dan seluruh unsur dalam lapisan masyarakat lainnya di Kota Medan (Limbong, 2006:131).

Dalam rangka menciptakan suatu pasar yang bersih yang memperhatikan aspek lingkungan maka pemerintah kota merasa perlu untuk menertibkan kegiatan berjualan di pasar-pasar yang dikelola oleh PD pasar. Penertiban ini diatur dengan menerbitkan Perda No. 31 Tahun 1993 tentang pemakaian tempat berjualan (Rahardjo, 1996:14-17).

2.6. Definisi Konsep

Dalam mengetahui penjelasan maksud, pengertian dan kesalahfahaman penafsiran, maka diperlukan penguraian batasan konsep yang digunakan. Maka yang menjadi batasan konsep dalam penelitian ini adalah:

1. Sektor Informal

Sektor informal adalah aktifitas ekonomi yang mengambil tempat di luar norma formal dari transaksi ekonomi yang dibentuk oleh Negara dan dunia bisnis.

2. Pasar Tradisional

Pasar tradisonal adalah tempat berjualan yang tradisional (turun temurun), tempat bertemunya penjual dan pembeli dimana barang-barang yang diperjual belikan tergantung kepada permintaan pembeli (konsumen), harga yang ditetapkan merupakan harga yang disepakati melalui sutau proses tawar menawar, pedagang selaku produsen menawarkan harga sedikit diatas harga standart. Pada umumnya pasar tradisional merupakan tempat penjualan bahan – bahan kebutuhan pokok (sembako).


(32)

3. Pedagang Tradisional

Yaitu pedagang atau orang yang berjualan secara tradisional atau sederhana dan lokasi berdagangnya juga di tempat-tempat yang masih sederhana seperti misalnya di pasar tradisional ataupun di lapak-lapak kaki lima.

4. Relokasi

Relokasi adalah proses pemindahan suatu tempat dari lokasi yang satu ke lokasi yang lainnya dan biasanya jarak dari lokasi yang awal ke lokasi yang baru cukup jauh dan bisa mempengaruhi hal-hal yang ada di dalamnya.

5. Kebijakan Pemerintah

Kebijakan pemerintah adalah sebuah keputusan yang diambil di luar pertimbangan hukum dan sifatnya mendesak.

6. Sosialisasi

Sosialisasi berkaitan dengan kegiatan penyampaian informasi khususnya yang dilakukan aparat kepada masyarakat mengenai sebuah program yang akan dilaksanakan. Oleh karena itu masyarakat perlu mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan program tersebut supaya masyarakat dapat meresponnya dengan baik. Begitu juga yang terjadi dalam program relokasi pedagang, apakah karena kurang efektif dalam menyampaikan informasi tentang program yang menyebabkan pelaksanaan program mengalami hambatan.


(33)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskripif dengan pendekatan kualitatif. Metode penelitian kualitatif merupakan metode yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh objek peneliti. Penelitian kualitatif juga diartikan sebagai pendekatan yang dapat menghasilkan data, tulisan, dan tingkah laku yang didapat dari yang diamati (Moleong, 2006).

Penelitian deskriptif merupakan metode penelitian yang berusaha menggambarkan, mamahami, dan menafsirkan makna suatu peristiwa tingkah laku manusia dalam situasi tertentu serta menginterpretasikan objek sesuai dengan apa adanya. Dimana di dalam penelitian ini, pendekatan kualitatif dimaksudkan untuk mendeskripsikan masalah yang terjadi pada proses relokasi pasar tradisional yang terjadi di Pasar Yuka Martubung.

3.2. Lokasi Penelitian

Dalam penelitian ini, lokasi yang akan diteliti adalah Pasar Yuka yang ada di Kelurahan Besar Kecamatan Medan-Labuhan. Adapun alasan pemilihan lokasi ini adalah karena di Pasar Yuka pernah terjadi proses relokasi ke tempat yang telah disediakan oleh pemerintah yang berjarak kurang lebih 1 km dari lokasi awal. Pada saat proses relokasi pernah terjadi konflik yang terjadi antara pedagang Pasar Yuka tersebut dengan aparat yang melakukan proses relokasi. Hal inilah yang menjadi alasan peneliti untuk memilih lokasi ini sebagai lokasi penelitian.


(34)

3.3. Unit Analisis dan Informan 3.3.1. Unit Analisis

Unit analisis data adalah satuan tertentu yang diperhitungkan sebsagai subjek penelitian (Arikunto, 1992:2). Ada sejumlah unit analisis yang lajim digunakan pada kebanyakan penelitian social yaitu: individu, kelompok, organisasi, social, artefak.

Adapun yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar lokasi Pasar Yuka yang lama dan juga pasar yang baru, para pedagang di lokasi Pasar Yuka lama dan pasar yang baru, serta aparat pemerintah yang melakukan proses relokasi.

3.3.2. Informan

Informan adalah orang-orang yang menjadi sumber informasi dalam penelitian. Adapun yang menjadi informan yang menjadi subjek penelitian ini, dibedakan menjadi dua jenis yaitu: informan kunci dan informan biasa yang dapat mendukung penelitian. Maka dalam penelitian ini informan terbagi dua yaitu:

1. Infoman kunci

Dalam penelitian ini yang menjadi informan kunci adalah para pedagang yang pernah pindah ke lokasi yang baru dan kemudian kembali lagi ke lokasi yang semula.

2. Informan biasa

Yang menjadi informan biasa adalah para pedagang yang berdagang di lokasi Pasar Yuka dan juga aparat pemerintah yang melakukan proses relokasi.


(35)

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan tujuan untuk memproleh data dan informasi yang dibutuhkan dalam menjawab permasalahan yang diteliti. Dalam suatu penelitian pengumpulan data dapat dilakukan dengan menggunakan metode tertentu agar data yang dibutuhkan dapat diperoleh peneliti.

3.4.1. Teknik Pengumpulan Data Primer

Teknik pengumpulan data primer adalah pengumpulan data yang diperoleh melalui kegiatan penelitian langsung ke lokasi penelitian (field research) untuk mencari data-data yang lengkap dan berkaitan dengan masalah yang diteliti. Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan cara:

a. Observasi

Observasi atau pengamatan yaitu kegiatan keseharian manusia dengan menggunakan pancaindra mata sebagai alat bantu utamanya selain pancaindra lainnya seperti telinga, penciuman, mulut dan kulit. Oleh karena itu observasi adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan pengamatannya melalui hasil kerja pancaindra mata serta dibantu dengan pancaindra yang lainnya (Bungin, 2005:133).

Dalam hal ini peneliti melakukan observasi di lokasi penelitian untuk mendapatkan data awal dari penelitian. Peneliti melakukan observasi terhadap gejala-gejala yang tampak terkait dengan tema penelitian. Mulai dari kondisi dan situasi, perilaku objek penelitian dan hal-hal yang mendukung lainnya.


(36)

b. Wawancara Mendalam

Metode wawancara merupakan proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai dengan atau tanpa menggunakan pedoman wawancara. Salah satu bentuk wawancara yang dipakai dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (dept interview). Wawancara mendalam yang dimaksudkan adalah percakapan yang sifatnya luwes, terbuka, dan tidak baku.

Dalam hal ini peneliti akan melakukan wawancara mendalam terhadap berberapa informan yang ada di Pasar Yuka maupun yang ada di pasar yang direlokasikan untuk bisa memperoleh informasi dan data-data terkait dengan relokasi Pasar Yuka.

3.4.2. Teknik Pengumpulan Data Sekunder

Teknik pengumpulan data sekunder adalah pengumpulan data yang dilakukan melalui studi pustaka yang diperlukan untuk mendukung data primer. Adapun bentuk pengumpulan data sekunder yang dilakukan adalah:

Penelitian Kepustakaan

Yaitu pengumpulan data yang diperoleh dari buku-buku ilmiah, tulisan, karangan, ilmiah, laporan penelitian yang berkaitan dengan topik penelitian.

3.5. Interpretasi Data

Data yang terkumpul banyak sekali dan terdiri dari catatan lapangan, komentar peneliti, gambar, foto, dokumen berupa laporan, biografi, artikel, dan sebagainya. Setelah data dari lapangan terkumpul, maka peneliti akan mengolah dan menganalisis data


(37)

tersebut dengan menggunakan analisis secara deskriptif kualitatif. Matriks juga akan digunakan sebagai bagian dari analisis data.

Analisis deskriptif-kualitatif merupakan suatu tehnik yang menggambarkan dan menginterpretasikan arti data-data yang telah terkumpul dengan memberikan perhatian dan merekam sebanyak mungkin aspek situasi yang diteliti pada saat itu, sehingga memperoleh gambaran secara umum dan menyeluruh tentang keadaan sebenarnya. Menurut M. Nazir (2003) bahwa tujuan deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki.

3.6. Keterbatasan Penelitian

Setiap penelitian sejatinya sering mengalami hambatan baik dari faktor internal maupun faktor eksternal. Demikian halnya dengan penelitian ini. Adapun keterbatasan yang penulis hadapi antara lain yaitu:

a. Faktor Internal

Faktor internal yaitu faktor-faktor yang muncul dari dalam, yaitu faktor-faktor dari penulis sendiri. Kendala-kendala tersebut meliputi keterbatasan waktu dan juga materi yang dimiliki oleh penulis dalam mengumpulkan data di lapangan.

b. Faktor Eksternal

Faktor eksternal yaitu kendala-kendala yang muncul dari luar yaitu kendala yang ada di luar diri penulis itu sendiri. Kendala tersebut adalah kesulitan dalam mendapatkan data atau informasi di Kelurahan. Kemudian juga rumitnya prosedur-prosedur yang harus dilewati penulis untuk mendapatkan data yang diinginkan. Selain itu penulis


(38)

juga mengalami kesulitan dalam mewawancarai informan. Ada sebagian dari informan yang takut untuk diwawancarai sehingga penulis harus mampu untuk meyakinkan mereka. Hal ini juga disertai dengan padatnya kegiatan informan dimana pedagang harus menjual barang dagangannya kepada semua pembeli, sehingga sangat sulit untuk mendapatkan situasi yang kondusif dalam melakukan wawancara. Di samping itu penggunaan bahasa dan tata cara yang harus sesuai dengan perilaku pedagang di Pasar Yuka ini. Peneliti harus menyesuaikan pemahaman informan terhadap bahasa yang digunakan oleh peneliti. Sehingga tidak jarang peneliti harus melakukan pertanyaan berulang-ulang untuk mendapatkan jawaban yang lebih baik.


(39)

BAB IV

DESKRIPSI WILAYAH DAN INTERPRETASI DATA

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian Kelurahan : Tangkahan Kecamatan : Medan Labuhan Kotamadya : Medan

Provinsi : Sumatera Utara 4.1.1. Sejarah Singkat Lokasi Penelitian

Secara tertulis tidak ada data yang menyebutkan tentang sejarah Kelurahan Tangkahan ini. Data tersebut penulis peroleh dengan cara bertanya dengan orang-orang yang paham tentang keberadaan Kelurahan ini seperti misalnya orang dari pihak Kelurahan Tangkahan.

Awalnya Kelurahan Tangkahan ini bergabung dengan Kelurahan Besar. Namun karena terjadi pemekaran maka pada tahun 1995 Kelurahan Besar pecah menjadi dua bagian yaitu Kelurahan Besar dan juga Kelurahan Tangkahan ini. Pada mulanya Kelurahan Tangkahan ini bernama Kelurahan Persiapan Tangkahan lalu kemudian berubah menjadi Kelurahan Tangkahan sampai sekarang ini.

“Tangkahan” mempunyai arti yaitu tempat berkumpulnya para nelayan pencari ikan yang memiliki perahu-perahu kecil. Kelurahan ini diberi nama begitu karena konon katanya pada zaman dahulu tempat ini dijadikan persinggahan para nelayan yang akan melaut. Di tempat ini para nelayan memeriksakan kesiapan perahunya sebelum pergi mencari ikan di laut. Di tempat ini juga para nelayan bertemu dengan teman-teman sesama nelayan dan mereka sering bertukar cerita tentang kegiatan melautnya.


(40)

4.1.2. Keadaan Geografis

Luas Kelurahan Tangkahan ini adalah 600,5 Ha dengan batas wilayah sebagai berikut:

Utara : Kelurahan Sungai Mati Kecamatan Medan Labuhan Selatan : Kelurahan Mabar (Kawasan Industri Medan 2)

Timur : Desa Pematang Johar Kecamatan Labuhan Deli Kabupaten Deli Serdang Barat : Kelurahan Besar Kecamatan Medan Labuhan

Topografi

Sebagian besar kelurahan tangkahan ini merupakan daerah rawa-rawa namun banyak dimanfaatkan sebagai lahan pertanian, peternakan, dan juga tambak ikan. Dan daerah ini tergolong ke dalam daerah yang rawan banjir

Klimatologi

Kelurahan Tangkahan ini beriklim tropis karena memang Indonesia merupakan Negara yang berada di Iklim tropis. Kelurahan ini kadar curah hujannya tergolong yang biasa-biasa saja. Namun sebagian besar wilayah digunakan sebagai lahan persawahan tadah hujan yang digunakan untuk pengairan sawah warga.

Hidrologi

Untuk masalah pengairan Kelurahan Tangkahan ini mayoritas penduduk nya sudah menggunakan sarana air bersih yang disediakan oleh pemerintah seperti air ledeng. Pengguna air ledeng ada 1000 KK. Namun ada juga yang menggunakan sumur gali sebanyak 1.660 KK, sumur pompa 1.280 KK, dan juga disediakan hidran umum dengan jumlah pengguna mencapai 753 KK.


(41)

4.1.3. Struktur Organisasi Pemerintahan Kelurahan Tangkahan Lurah : Nirmaluddin Hasibuan, SH

Sekretaris : B. Henri Siregar

Seksi Tata Pemerintahan : Nur ‘Ainun Seksi Pembangunan : M. Anshoruddin

Seksi Ketentraman dan Ketertiban Umum : Abdullah

Kelurahan Tangkahan ini terdiri dari 12 Lingkungan yang dikepalai oleh Kepling

4.1.4. Sarana Umum a. Sarana Pendidikan

Pendidikan merupakan hal penting dalam meningkatkan sumber daya manusia. Melalui pendidikan seseorang dapat meningkatkan status dan pendapatannya. Adapun sarana pendidikan yang dapat dimanfaatkan masyarakat Kelurahan Tangkahan ini sebagai lokasi penelitian dapat dilihat seperti tabel berikut :

Tabel 4.1. Sarana Pendidikan

No Sekolah Jumlah Keadaan

1 TPA 2 Baik

2 TK 3 Baik

3 SD 9 Baik

4 SLTP 1 Baik

5 SLTA 1 Baik

Jumlah 16 Baik

Sumber, Kantor Kelurahan Tangkahan 2009

Tabel di atas menunjukkan bahwa sarana pendidikan di Kelurahan Tangkahan cukup memadai. Namun demikian masih banyak penduduk yang melanjutkan pendidikan ke daerah lain untuk mencari pendidikan yang dinilai lebih baik dari yang ada di Kelurahan Tangkahan.beberapa hal yang mengakibatkan paradigm tersebut berkembang


(42)

karena masyarakat setempat menganggap kurangnya sarana dan fasilitas pendidikan di setiap sekolah, serta mutu pendidikan di wilayah kota lebih baik. Hal ini disebabkan di daerah perkotaan persaingan pendidikan lebih tinggi akibat masyarakat yang lebih heterogen hasil pandangan msyarakat, pendidikan jauh lebih cepat berkembang.

b. Sarana Transportasi dan Komunikasi

Kelurahan Tangkahan memiliki sarana transportasi yang baik. Seperti misalnya sarana transportasi darat yaitu jalan kelurahan yang sudah diaspal. Bahkan gang-gang kecil pun juga sudah bagus kondisinya karena sudah dicor dan ada juga yang menggunakan konblok. Jalan kelurahan ini juga dilalui sarana pengangkutan umum seperti bus umum atau angkot, ojek, dan juga becak mesin.namun rata-rata penduduk juga sudah banyak yang memiliki kendaraan pribadi sehingga lebih memudahkan mobilitas mereka. Di kelurahan ini juga terdapat tambatan perahu, perahu motor dan juga perahu tanpa motor. Karena banyak dari warga yang bermata pencaharian sebagai nelayan.

Untuk prasarana komunikasi masyarakat di Kelurahan Tangkahan ini telah memanfaatkan sarana seperti telepon, telepon umum, wartel, warnet, televisi, radio, surat kabar dan ada juga pengguna parabola. Bisa dikatakan bahwa masyarakatnya telah sadar akan perkembangan jaman. Mereka banyak memanfaatkan prasarana komunikasi yang beragam untuk memperoleh berbagai informasi.

c. Sarana Umum Lainnya

Di Kelurahan Tangkahan ini terdapat sarana dan prasana umum yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Sarana prasana tersebut bertujuan untuk memudahkan masyarakat dalam menunjang aktifitasnya seperti misalnya olahraga dan bermain bagi anak-anak.


(43)

Tentunya sarana tersebutdibangun oleh pihak pemerintah. Adapun sarana dan prasarana tersebut seperti yang terlihat dalam tabel berikut :

Tabel 4.2. Sarana Umum Lainnya

No Sarana Jumlah

1 Lapangan Sepak Bola 1 buah 2 Lapangan Bulutangkis 2 buah 3 Lapangan Voli 4 buah 4 Lapangan Basket 1 buah 5 Sarana Hiburan 2 buah 6 Taman Bermain 2 buah

Jumlah 12 buah

Sumber, Kantor Kelurahan Tangkahan 2009

4.1.5. Demografi Penduduk

Jumlah penduduk Kelurahan Tangkahan adalah 14.852 jiwa yang tersebar pada 12 lingkungan yang terdiri dari 4693 Kepala Keluarga (KK). Dimana penduduk tersebut termasuk heterogen dilihat dari suku, agama, mata pencaharian, jenjang pendidikan dan lainnya.

a. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

Perbandingan jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan di Kelurahan Tangkahan ini hampir sama antara jenis kelamin laki-laki dan jenis kelamin perempuan. Yaitu 7.428 orang perempuan dan 7.424 orang laki-laki. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.3. jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin No. Jenis kelamin Jumlah penduduk

1 Laki-laki 7.424 jiwa 2 Perempuan 7.428 jiwa Total 14.852 jiwa

Sumber, Kantor Kelurahan Tangkahan 2009


(44)

b. Jumlah Penduduk Berdasarkan Pendidikan

Tingkat pendidikan juga mempengaruhi produktifitas seseorang. Di Kelruhan Tangkahan ini penduduknya memiliki tingkat pendidikan yang beragam. Walaupun kita lihat mayoritas hanya mengenyam pendidikan yang wajib saja. Hanya sebagian kecil dari penduduknya yang mengenyam pendidikan sampai ke tingkat perguruan tinggi. Seperti yang dapat kita lihat pada tabel berikut ini.

Tabel 4.4. Jumlah Penduduk Berdasarkan Pendidikan

No. Tingkat Pendidikan Jumlah penduduk

1 Belum sekolah 1.390 orang

2 Usia 7-45 tahun tidak pernah sekolah 2 orang 3 Pernah sekolah SD tapi tidak tamat 8 orang

4 Tamat SD 4.739 orang

5 SLTP 4.292 orang

6 SLTA 3.180 orang

7 D-1 522 orang

8 D-2 40 orang

9 D-3 150 orang

10 S-1 514 orang

11 S-2 15 orang

Total 14.852 orang

Sumber, Kantor Kelurahan Tangkahan 2009

Dari tabel di atas kita bisa melihat bahwasanya tingkat pendidikan penduduk di Kelurahan Tangkahan cukup beragam. Bahkan masih ada yang tidak pernah mengenyam pendidikan sama sekali. Namun ada juga yang telah melanjutkan pendidikan sampai ke tingkat perguruan tinggi.

c. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian

Pemilihan beragam pekerjaan oleh penduduk di Kelurahan ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya masing-masing dengan keahlian yang mereka punya. Dari data yang diperoleh terlihat bahwa mayoritas penduduk di Kelurahan ini memilih


(45)

berdagang dan swasta sebagai mata pencaharian mereka. Seperti yang terlihat pada tabel berikut ini.

Tabel 4.5. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian

No. Mata pencaharian Jumlah penduduk 1 Pedagang 3.303 jiwa

2 Buruh/swasta 2.708 jiwa

3 Supir 436 jiwa

4 Pegawai Negeri 350 jiwa 5 Penjahit 313 jiwa 6 Peternak 283 jiwa 7 Tukang batu 281 jiwa 8 Pengusaha 240 jiwa 9 TNI/POLRI 234 jiwa 10 Pengemudi becak 221 jiwa 11 Tukang kayu 212 jiwa 12 Nelayan 208 jiwa

13 Montir 200 jiwa

14 Pengrajin 193 jiwa

15 Dokter 74 jiwa

16 Lain-lain 1.600 jiwa 17 Tidak bekerja 3.696 jiwa

total 14.852 jiwa

Sumber, Kantor Kelurahan Tangkahan 2009 4.1.6. Gambaran Pasar Tradisional Yuka

Pasar Tradisional Yuka memiliki sejarah pada awal berdirinya. Awal mula berdirinya Pasar Tradisional Yuka ini adalah karena adanya perpindahan penduduk dari perumahan Komplek Yuka yang semula berlokasi di Belawan ke daerah Martubung ini pada tahun 1979. Setelah Komplek Yuka ini ada maka masyarakatnya pun mulai menjadi ramai. Namun sayangnya masyarakat Komplek Yuka ini merasa kesulitan untuk mencari pasar tempat berbelanja kebutuhan sehari-hari. Pasar terdekat berjarak sekitar 3 km dari tempat tinggal mereka. Maka kemudian muncullah ide dari 8 orang ibu-ibu untuk membuka sebuah kios kecil-kecilan. Salah satunya adalah ibu Jujur Silaban dan ibu


(46)

Rusty Pangaribuan. Ada yang berjualan pakaian bekas yang biasa disebut “monja”, ada yang menjual sayur-sayuran, ikan, sembako, dll. Bermula dari itu kemudian lama-kelamaan bertambahlah satu persatu pedagang yang lain-lain. Jadi memang mayoritas pedagang di Pasar Yuka ini adalah masyarakat yang bertempat tinggal di Komplek Yuka tersebut. Dan sebagian besar adalah ibu-ibu yang ingin membantu perekonomian keluarganya karena suami mereka bekerja sebagai Tenaga Kerja Bongkar Muat di Pelabuhan Belawan.

Menurut pendapat masyarakat sekitar lokasi Pasar Yuka ini dinilai strategi karena letaknya yang tepat berada di persimpangan jalan. Masyarakat yang berasal dari Mabar, perumahan martubung, bahkan yang dari luar martubung pun banyak yang berbelanja di pasar ini. Apalagi pasar ini dinilai murah apabila dibandingkan dengan pasar yang lainnya. Karena alasan yang strategis inilah banyak dari pedagang yang enggan untuk dipindahkan pada proses relokasi tersebut.

Pasar Yuka ini berada di Kelurahan Tangkahan Kecamatan Medan Labuhan. posisinya di persimpangan antara Jalan Pancing 1 Martubung, jalan menuju ke arah Mabar dan juga jalan menuju perumahan Griya Martubung. Letaknya tepat di jalan masuk menuju ke perumahan Komplek Yuka, makanya pasar ini dinamakan Pasar Yuka. Pasar ini berada di tempat yang tidak semestinya yaitu di badan jalan masuk menuju perumahan komplek Yuka. Sehingga sangat mengganggu bagi pengguna jalan seperti penduduk komplek Yuka yang ada di dalam Pasar Yuka tersebut. Hal ini lah yang sebenarnya yang menjadi alasan kuat bagi pemerintah untuk merelokasikan Pasar yuka ini ke tempat yang telah disediakan oleh pemerintah.


(47)

Selain itu, Pasar Yuka ini merupakan pasar tradisonal yang berupa sektor informal dan juga banyak pedagangnya yang tergolong ke dalam Pedagang Kaki Lima karena mereka berjualan dengan menggunakan gerobak-gerobak tidak ada tempat berjualan yang permanen. Apalagi pasar ini juga tidak terdaftar sebagai pasar resmi yang dikelola oleh PD Pasar.

Tetapi menurut data yang diperoleh, pasar ini sudah terdaftar di PD Pasar dan dikelola oleh organisasi P3TM (Persatuan Pedagang Pasar Tradisional Kota Medan) dan di bawah naungan PD pasar Labuhan. Berdasarkan Surat Keputusan No.011/SKEP/P3TM/KM/V/2010 tentang Penetapan Personalia Pengurus Perwakilan P3TM Pasar Komplek Yuka Martubung Periode 2010-2015 yang ditetapkan di Medan pada tanggal 31 Mei 2010.

Surat keputusan tersebut juga melampirkan susunan personalia Pengurus P3TM Perwakilan Pasar Komplek Yuka Periode 2010-2015 seperti yang terlihat di bawah ini. Pembina : Ir. Semangat Detabaraja

Drs. Sutrisno Penasehat : J. Naibaho

A. Silalahi A. Pane

Ketua : R. Gultom Wakil Ketua I : Muliamen

Wakil Ketua II : Oberlin Simanjuntak Sekretaris : M. Yamin Batubara Wakil Sekretaris : Syahril Lubis Bendahara : R. Hutagalung Wakil Bendahara : Wandi Sitepu


(48)

Seksi/koordinator: 1. Humas :

a. Ketua : Sunar b. Anggota : Hasan

Zulkifli 2. Bidang usaha :

a. Ketua : Ilham Batubara b. Anggota : Napi

T. Tarihoran 3. Bidang Sosial : M. Siboya 4. Kebersihan : K. Siagian

4.1.7. Profil Informan

1. Nama : Marada Sihombing Usia : 43 tahun

Suku : Batak

Profesi : Pedagang ikan kering Pendidikan terakhir : SMA

Bapak Sihombing adalah seorang pedagang di Pasar Tradisional Yuka. ia menjual ikan kering seperti ikan asin dan ikan teri serta ia juga menjual kebutuhan pokok yang lainnya seperti telur, beras dan juga yang lainnya. Ia telah berdagang di Lokasi Pasar Yuka ini selama 10 tahun lebih dimulai pada tahun 2000. Ia bisa memperoleh penghasilan perhari sebesar Rp.100.000,-. Penghasilannya ini dirasa cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang ditanggungnya sebanyak 7 orang. Tetapi usaha berdagang ini bukanlah merupakan mata pencaharian ia satu-satunya. Setelah berdagang ia juga berprofesi sebagai Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) di Pelabuhan Belawan.


(49)

Usaha berdagang hanyalah usaha sampingan yang ia lakoni untuk mengisi waktu luang. Apalagi lokasi ia berjualan pun memang di depan rumahnya sendiri. Sedangkan usaha yang utamanya adalah sebagai TKBM di Pelabuhan Belawan.

Alasan mengapa ia memilih lokasi Pasar Yuka ini sebagai tempat ia berdagang adalah karena memang lokasi ini juga merupakan tempat tinggal ia dan keluarganya. Jadi ia tidak perlu repot-repot membayar uang sewa tempat. Kalaupun ada pungutan yang harus dibayarkannya hanya berupa pungutan kebersihan saja sejumlah Rp.1.000,-. Cara ia menarik perhatian pembeli yaitu dengan cara memperlihatkan keramahan di depan konsumen, mematok harga yang sesuai dengan keinginan konsumen namun tetap disesuaikan dengan harga pasaran. Karena dengan begitu ia bisa memperoleh keuntungan yang lumayan banyak. Namun di setiap usaha pasti ada saja kendala yang dialami seperti yang dialami oleh bapak Sihombing. Kendala yang beliau hadapi yaitu berupa modal yang terbatas, persaingan dengan pedagang-pedagang yang lain sehingga harus pandai-pandai mensiasatinya, kemudian juga terkadang daya beli masyarakat yang cenderung rendah. Tidak jarang juga beliau mengalami kerugian selama berjualan. Kerugian yang dialaminya selain karena disebabkan oleh hal-hal di atas juga karena faktor cuaca. Seperti misalnya karena hujan. Kalau hujan mereka kesulitan untuk berdagang bahkan terkadang kalau hujannya cukup deras mereka memilih untuk tidak berdagang. Tentu saja hal ini membuat mereka tidak mendpatkan penghasilan. Kalaupun ada sangat sedikit sekali. Tapi itu merupakan resiko yang harus dihadapi oleh seorang wiraswasta seperti bapak Sihombing ini.

Terkait dengan Perda Kota Medan No.31 Tahun 1993 Tentang Pemakaian Tempat Berjualana beliau mengakui bahwa beliau tidak mengetahui tentang hal itu. Dan


(50)

tanggapan beliau tentang proses relokasi Pasar Yuka ini adalah beliau merasa pemerintah kurang tegas dalam melaksanakan kebijakannya. Buktinya terlihat pemerintah yang kurang gencar dalam memberikan sosialisasi terkait dengan relokasi ini sehingga pedagang kurang begitu paham dengan rencana pemerintah untuk merelokasikan Pasar Yuka ini ke tempat yang sudah disediakan oleh pemerintah. Alhasil sampai sekarang para pedagang memilih untuk tetap menjajakan dagangannya di lokasi Pasar yuka ini. Apalagi lokasi tempat tujuan relokasi menurut bapak Sihombing terlalu jauh dan kurang strategis sehingga menjadi sepi pembeli dan keuntungan mereka pastinya menurun. Tapi kalau ditanya soal bangunan pasarnya sendiri ia menjawab bahwa bangunan pasarnya sudah cukup baik dan tertata dengan rapi. Di lokasi yang baru kita tidak akan menemui kondisi jalanan pasar yang becek seperti yang terdpat di lokasi Pasar Yuka yang sekarang ini. Kios-kiosnya juga diklasifikasikan menurut jenis barang dagangannya. Tempat berjualan ikan, sayur-sayur, sembako, pakaian memiliki tempatnya masing-masing. Sedangkan di loaksi Pasar Yuka semuanya bercampur baur dan tidak terpisah-pisah.

Tapi bila ditanya lebih lanjut sebenarnya Bapak Sihombing setuju untuk dipindahkan ke lokasi yang baru dengan syarat yang pindah tidak hanya satu atau dua pedagang namun semua pedagang juga harus pindah. Tetapi kalau seperti yang pernah dialaminya, pedagang yang telah pindah ke lokasi yang baru malah kembali lagi ke lokasi yang lama karena di lokasi yang lama sepi pembeli dan juga pedagang yang jualan di situ hanya sedikit, aktifitas pasar menjadi menurun kemudian para pelanggan mereka juga menjadi beralih ke pedagang yang lain. Sehingga dengan begitu ia merasa sangat dirugikan dengan adanya proses relokasi ini. Kerugian terbesar yang dialaminya adalah karena kios yang telah dibelinya menjadi terbengkalai begitu saja tidak dimanfaatkan


(51)

karena sampai sekarang ia kembali lagi berjualan di lokasi awal. Pemerintah pun tidak melakukan tindakan apa-apa untuk meringankan kerugian yang telah dialami oleh pedagang seperti bapak Sihombing ini. Pemerintah terkesan angkat tangan untuk mengatasi masalah yang belum selesai sampai sekarang ini. Menurutnya hal seperti ini terjadi karena pemerintah tidak melibatkan pedagang dalam mengambil keputusan terkait dengan pemilihan lokasi tujuan relokasi. Pemerintah hanya mengambil keputusan secara sepihak. Dari pada Pasar Yuka itu direlokasi, lebih baik apabila ditata menjadi lebih baik. Misalnya kondisi jalan yang becek diperbaiki, kondisi kios-kios para pedagang diperbaiki, serta penataa-penataan lainnya yang lebih menguntungkan bagi pedagang.

2. Nama : Halimah, SE Usia : 40 tahun Suku : Padang

Profesi : Pedagang ayam Pendidikan terakhir : S-1 Ekonomi

Ibu Halimah merupakan salah satu pedagang yang menjajakan dagangannya di lokasi Pasar Yuka. Ia berdagang ayam potong. Ia sudah berdagang di lokasi Pasar Yuka ini selama 11 tahun dimulai pada tahun 2000 sampai sekarang. Penghasilannya mencapai Rp.100.000,- sampai Rp.150.000,- perhari. Cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya dalam satu hari. Tetapi usaha berdagang ayam ini bukan satu-satunya usaha yang ia miliki. Profesinya ini hanya untuk mengisi waktu luang dan juga membantu suaminya dalam mencari nafkah. Sumber pendapatan utama keluarga ibu Halimah yaitu berasal dari suaminya yang berprofesi sebagai guru SD. Ibu Halimah pun mengemukakan


(52)

alasannya mengapa ia memilih ayam sebagai barang dagangannya yaitu karena sudah turun-temurun dari orang tuanya dan menurutnya keuntungan yang diperolehnya lumayan menjanjikan.

Alasan mengapa ia memilih Pasar Yuka ini sebagai tempat berjualan adalah karena dekat dengan tempat tinggalnya yang hanya berjarak kurang dari 500 m. Apalagi di tempat tersebut ia tidak perlu mahal-mahal membayar sewa tempat dan juga pungutan yang dibebani kepadanya hanyalah pungutan kebersihan sebesar Rp.1.000,-. Inilah salah satu alasannya mengapa ia enggan direlokasikan ke lokasi yang baru. Tetapi walaupun begitu ada juga kendala yang dihadapi beliauselama berjualan di lokasi ini yaitu kondisi jalan pasar yang becek apabila hujan juga kios tempat ia menjajakan dagangannya yang berupa tenda yang sewaktu turun hujan akan bocor dan apabila panas maka ia terkadang juga akan merasakan sengatan matahari. Namun menurut pengakuannya ia tidak pernah mengalami kerugian karena ia sudah bisa melihat situasi mengingat pengalaman berdagangnya yang sudah 10 tahun dilakoninya.

Ketika ditanya pendapatnya terkait dengan proses relokasi Pasar Yuka ini ia mengatakan bahwa sebenarnya ia setuju dengan rencana pemerintah tersebut karena dengan begitu nasib Pasar tradisonal ini menjadi legal karena sudah dikelola oleh PD Pasar. Bangunannya juga bagus, tertata rapi dan tidak becek. Tetapi lokasinya jauh dan sangat tidak strategis sehingga para pembeli enggan untuk berbelanja ke pasar yang baru tersebut. Karena alasan tersebut lah maka beliau memilih untuk kembali lagi ke lokasi awal.


(53)

Beliau merasa dirugikan dari proses relokasi tersebut karena beliau ada membeli 3 buah kios dan juga 1 buah meja tempat sayur-sayur. Namun kios-kios tersebut sampai sekarang tidak dimanfaatkan dan terbengkalai begitu saja. Hal itulah yang menjadi persoalan yang masih belum terselesaikan sampai sekarang ini. Kemudian ada beberapa faktor yang menurut beliau menjadi penyebab kegagalan dari proses relokasi tersebut yaitu pemerintah yang kurang tegas dalam membuat kebijakannya, sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah kurang maksimal sehingga para pedagang kurang menangkap makna dari rencana pemerintah tersebut, pihak pemerintah juga tidak melakukan survey terlebih dahulu kepada pedagang terkait dengan rencana relokasi, lokasi pasar tujuan relokasi jauh dan tidak strategis, susah dijangkau sehingga sepi pembeli, kemudian sarana transportasi ke lokasi pasar yang baru juga terbatas sehingga menambah biaya operasional bagi pedagang dan juga pembeli.

3. Nama : Purwanto Usia : 45 tahun Suku : Jawa

Profesi : pedagang tahu tempe Pendidikan terakhir : SD

Bapak Purwanto juga termasuk salah satu pedagang di Pasar Yuka ini. Ia memiliki 2 buah stand yang masing-masing dijaga oleh anaknya. Beliau memilih tahu dan tempe sebagai barang dagangannya. Ia memilih tahu dan tempe karena tempat tinggal beliau berdekatan dengan pabrik pembuatan tahu tempe sehingga ia sangat mudah untuk mendapatkan barang dagangannya. Apalagi menurutnya berjualan tahu tempe ini


(54)

tidak ada ruginya karena ia tidak mengeluarkan modal sedikitpun untuk membeli barang dagangannya. Sistemnya adalah ia terlebih dahulu mengambil barang dagangannya dari produsen, kemudian ia menjualkannya. Hasil penjualan tersebut disetorkan ke produsen. Dan ia pun bisa mengambil keuntungan tanpa harus takut mengalami kerugian.

Beliau berdagang tahu tempe sudah lebih dari 15 tahun lamanya, dimulai pada tahun 1995 dengan penghasilan Rp.100.000,- sampai Rp.200.000,- per harinya. Dengan penghasilan segitu ia merasa cukup untuk bisa memenuhi kebutuhan keluarganya. Apalagi usaha berdagang tahu tempe ini merupakan mata pencaharian utamanya. Awalnya ia berdagang tahu dengan berjualan berkeliling dengan menggunakan becak dayung. Namun lama-kelamaan ia berpikir untuk membuka stand di Pasar Yuka. Alhasil usahanya tersebut membuahkan hasil yang baik. Sampai sekarang usahanya tersebut masih berjalan dengan lancar.

Alasan ia memilih lokasi Pasar Yuka ini sebagai tempat berdagangnya adalah karena letak dari Pasar Yuka ini yang sangat strategis yaitu berada di persimpangan jalan dan menjadikannya ramai akan pembeli. Kemudian letak Pasar ini juga dekat dengan tempat tinggalnya yang berada di Pasar 6. Selama berjualan di pasar ini ia juga membayar pungutan untuk kebersihan sebesar Rp.1.000,- per hari dan juga membayar uang sewa tempat yang dibayarkannya kepada masyarakat yang tinggal di daerah itu.

Caranya menarik perhatian pembeli juga cukup unik yaitu dengan cara bercuap-cuap mempromosikan dgangannya sehingga banyak pembeli yang tertarik dan kemudian membeli barang dagangannya. Tetapi ada juga kendala yang ia keluhkan yaitu mengenai sewa tempat. Ia merasa bahwa kiosnya itu adalah di jalan bukannya di pekarangan


(55)

rumah warga, namun tetap saj aia dipungut biaya untuk sewa tempat. Pasti ada saja warga yang memanfaatkan situasi untuk memperoleh keuntungan.

Terkait dengan proses relokasi ia mengakui bahwasanya ia bersedia direlokasikan aslkan tempat tujuan relokasi itu berada di tempat yang strategis seperti misalnya di pinggir jalan jangan di tempat seperti pasar yang baru. Menurutnya itu terlalu jauh dan tidak strategis. Padahal bangunannya sudah bagus karena tertata dengan rapi dan juga tidak becek seperti di lokasi pasar Yuka. Tapi kalau hanya bangunannya saja dan tidak ditunjang dengan faktor lokasi sama saja pembeli juga enggan untuk menjangkau jarak yang menurut mereka terlalu jauh. Kemudian ditambah lagi dengan masih dibukanya Pasar Yuka di lokasi yang lama sehingga para pedagang yang telah berjualan di lokasi yangbaru menjadi kekurangan pembeli. Tetapi seandainya pasar Yuka itu benar-benar ditutup maka mau tidak mau para pembeli juga akan berbelanja di pasar yang baru. Walaupun jauh akan ditempuh karena memang mereka perlu.

4. Nama : Semangat Detabaraja, ST Usia : 37 tahun

Suku : Tapanuli

Pekerjaan : Pedagang grosir Pendidikan terakhir : S-1 Teknik

Bapak Semangat adalah salah satu pedagang di Pasar Yuka, ia berdagang peralatan elektronik atau grosiran pecah belah lainnya. Beliau juga merupakan Pembina P3TM (Persatuan Pedagang Pasar Tradisional Kota Medan) untuk Pasar Yuka. ia telah berdagang di lokasi ini selama 6 tahun dimulai pada tahun 2004 dengan penghasilan


(56)

rata-rata 3-4 juta perbulan. Alasan ia memilih lokasi sebagai tempat berdagang adalah karena ia juga bertempat tinggal di lokasi ini. Pada awalnya sebelum ia berprofesi sebagai pedgang ia tidak bertempat tinggal di sini, namun karena ia melihat peluang usaha maka kemudian ia membeli sebidang tanah yang kemudian dibangun tempat tinggalnya. Setelah itu ia pun membuka usaha grosir ini. Sebelum memilih berdagang alat elektronik dan pecah-belah ia terlebih dahulu melakukan survey agar tidak salah mengambil keputusan dan keuntungan yang diperoleh pun bisa maksimal.

Selama berdagang di lokasi ini ia mengaku juga ada dikenakan pengutan seperti misalnya pungutan kebersihan dan retribusi pasar sebesar masing-masing Rp.1.000,-. Dan selama 6 tahun berdagang di sini beliau juga terkadang mengalami berbagai kendala seperti misalnya kondisi jalanan yang becek apabila turun hujan membuat distribusi barang dagangannya menjadi sedikit terhambat. Kemudian juga sarana dan prasarana di Pasar Yuka ini sangat kurang seperti misalnya kios-kios tempat mereka berdagang kurang layak karena pada saat hujan ataupun panas terkadang menyulitkan pedagang untuk menjual dagangannya. Masalah kebersihan seperti sampah-sampah juga menjadi salah satu kendalanya karena mengganggu bagi pedagang maupun pembeli.

Setiap pedagang pasti pernah mengalami kerugian, begitu juga dengan Bapak Semangat, beliau juga pernah mengalami kerugian selama berdagang di Pasar Yuka ini. Salah satu penyebabnya adalah karena ulah pembeli yang tidak bertanggung jawab. Ada pembeli yang membeli barang dagangannya dan membayarnya dengan sistem kredit. Namun orang tersebut tidak membayarkan sisa kreditnya sampai lunas dan kemudian orang tersebut pergi begitu saja. Tapi Bapak Semangat bisa mensiasati kerugian tersebut dengan menutupinya dari penghasilannya yang lain di luar berdagang.


(57)

Ketika ditanya mengenai perihal relokasi Pasar Yuka ke lokasi yang telah ditentukan oleh pemerintah beliau mengaku kurang setuju. Menurutnya daripada direlokasi lebih baik jika dilakukan penataan terhadap Pasar Yuka ini agar menjadi lebih bagus dan lebih teratur. Pasar ini akan sangat sulit untuk dipindahkan sebab mayoritas pedagang di Pasar Yuka adalah penduduk di Komplek Yuka. Apalagi pasar tersebut juga sudah cukup lama berdiri sehingga para pedagang sudah merasa sangat nyaman berdagang di tempat tersebut. Selain karena letaknya strategis juga karena mereka telah memiliki pelanggan tetap yang apabila mereka berpindah tempat berdagang maka akan sangat berpengaruh terhadap kegiatan dagang mereka.

Hal seperti yang diuraikan di atas bisa dikatakan menjadi salah satu penyebab kegagalan dari proses relokasi menurut Bapak Semangat yaitu karena pedagang sudah merasa nyaman berdagang di lokasi Pasar Yuka ini sehingga mereka enggan untuk pindah ke lokasi yang baru. Para pedagang memilih untuk tetap bertahan dengan berbagai alasan. Hal ini tentu saja sangat menyulitkan bagi pemerintah.

Sepeti yang kita ketahui bahwa Pasar Yuka ini berdiri di tempat yang tidak selayaknya karena berada di jalan masuk menuju perumahan Komplek Yuka sehingga sangat mengganggu bagi pengguna jalan. Ketika hal ini ditanyakan kepada Bapak Semangat, beliau yang juga termasuk salah satu penduduk Komplek Yuka mengatakan hal sebagai berikut.

“penduduk setempat tidak merasa terganggu dengan keberadaan Pasar Yuka ini karena memudahkan bagi mereka untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari sebab lokasinya dekat dengan tempat tinggal mereka. Apalagi pasar tersebut menurut mereka adalah pasar yang cukup murah jika dibandingkan dengan pasar yang lainnya. Mereka juga bisa


(58)

memasarkan hasil kebunnya ke Pasar Yuka ini mengingat bahwa banyak dari penduduk di komplek Yuka ini bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan. Yang paling menguntungkan bagi mereka terutama masyarakat yang tempat tinggalnya di dekat lokasi Pasar Yuka adalah mereka menetapkan harga sewa tempat bagi para pedagang yang berdagang di sekitar tempat tinggalnya. Hal inilah yang sangat menguntungkan bagi mereka. Ini merupakan keuntungan tersembunyi yang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar.

5. Nama : Jasayas Tarigan Usia : 35 tahun

Suku : Karo

Pekerjaan : Kepala Pasar Sentosa Pendidikan terakhir : D-3

Bapak Jasayas adalah kepala Pasar Sentosa yang ada di Jalan Gurillas. Ia juga pernah menjabat sebagai Kepala Pasar Martubung yaitu pasar tempat tujuan relokasi Pasar Yuka. Ia menjabat sebagai kepala Pasar Martubung pada saat terjadi proses relokasi Pasar Yuka, oleh sebab itu ia cukup paham tentang permasalahan yang terjadi pada saat proses relokasi. Dari beliau peneliti banyak mendapatkan informasi mengenai permasalahan yang terjadi pada saat proses relokasi yang menyebabkan terhambatnya proses relokasi sampai sekarang.

Menurut Bapak Jasayas, alasan yang paling mendasar dari pemindahan lokasi Pasar Yuka ke lokasi pasar yang baru adalah karena yang pertama, pada saat itu Pasar Yuka tidak memiliki kekuatan hukum seperti izin, dan juga administrasi dari Pemko


(59)

Medan. Yang kedua, karena pasar itu berada di tempat yang tidak selayaknya dibangun sebuah pasar yaitu berada di badan jalan masuk ke Perumahan Komplek Yuka jadi sangat mengganggu bagi pengguna jalan dan juga sangat mengganggu drainase sehingga sering terjadi banjir pada saat turun hujan.

Bapak Jasayas mengakui bahwa banyak permasalahan yang dihadapi dalam proses relokasi tersebut. Permasalahan yang cukup pelik yaitu perihal kepemilikan pasar tersebut. Kabarnya pasar tempat tujuan relokasi tersebut merupakan pasar yang dibangun oleh developer bukannya pemerintah atau PD Pasar sehingga ada kepentingan profit property di dalamnya. Kios-kios di pasar yang baru tersebut lebih banyak dibeli oleh orang luar yang bukan merupakan pedagang dari Pasar Yuka. Orang-orang tersebut kemudian menyewakan kiosnya kepada pedagang yang berasal dari Pasar Yuka maupun pedagang yang bukan berasal dari Pasar Yuka.

Proses relokasi Pasar Yuka ke Pasar Martubung mengalami banyak sekali hambatan sehingga menuai kegagalan. Beberapa faktor yang menjadi penyebab kegagalan dari proses relokasi tersebut menurut Bapak Jasayas adalah karena Pasar Yuka tersebut sudah lama berdiri sehingga para pedagang sudah merasa sangat nyaman berdagang di lokasi tersebut dan tidak mau dipindahkan kemana-mana. Yang kedua adalah karena lokasi Pasar Yuka tersebut sangat dekat dengan tempat tinggal mereka sehingga mereka tidak perlu mengeluarkan biaya operasional yang banyak untuk keperluan dagangnya dan hal itu tentu sangat memudahkan dan menguntungkan bagi pedagang. Yang ketiga adalah karena lokasi pasar yang baru sangat jauh dan tidak strategis sehingga sulit dijangkau, apalagi sarana dan prasarana menuju ke lokasi pasar yang baru tersebut juga kurang mendukung seperti misalnya pada saat itu kondisi jalan


(1)

Panduan wawancara kepada aparat pemerintahan Profil informan

a. Nama :

b. Usia :

c. Jenis kelamin :

d. Status :

e. Suku bangsa :

f. Agama :

g. Pendidikan :

h. Alamat :

i. Pekerjaan :

1. Apa alasan yang paling mendasar dari pemindahan lokasi Pasar Yuka ke lokasi yang sudah disediakan oleh pemerintah?

2. Apakah ada kebijakan pemerintah yang mengatur tentang perelokasian pasar tradisional seperti Pasar Yuka tersebut?

3. Menurut anda apa penyebab dari gagalnya proses relokasi tersebut?

4. Apa sebenarnya yang menjadi kendala dalam proses relokasi?

5. Mengapa sampai muncul masalah pedagang yang telah direlokasi kembali ke lokasi awal mereka berdagang?

6. Apakah pemerintah pernah memberikan sosialisasi kepada pedagang mengenai proses


(2)

7. Apakah pemerintah pernah melakukan survey kepada para pedagang untuk mengetahui keinginan-keinginan mereka terkait dengan proses relokasi?

8. Apa tahapan-tahapan yang dilakukan pemerintah dalam upaya relokasi?

9. Bagaimana pendekatan yang dilakukan pemerintah dalam proses relokasi pasar tersebut, apakah menggunakan top down approach ataukah bottom up approach?

10.Lalu bagaimana dengan pendekatan yang partisipatif, apakah ada di dalam proses

relokasi pasar ini?

11.Terkait dengan lokasi pasar yang baru, apakah lebih dulu pasar tersebut yang dibangun ataukah ada pemberitahuan kepada pedagang terlebih dahulu bahwasanya ke tempat tersebut lah lokasi pasar yang baru akan berdiri?

12.Apakah pemerintah mempunyai alternative lain untuk mengatasi kegagalan dari


(3)

DOKUMENTASI PADA SAAT PENELITIAN

Gambar 1

Aktifitas Pasar Yuka yang berada di jalan masuk ke perumahan Komplek Yuka

Gambar 2


(4)

Gambar 3

Pasar Martubung tempat tujuan relokasi

Gambar 4


(5)

Gambar 5

Aktifitas Pasar Yuka yang tampai ramai oleh pedagang dan juga pengunjung

Gambar 6

Suasana di Pasar Martubung yang terlihat sepi dari aktifitas pasar dan banyak kios yang tutup


(6)

Gambar 7

Penleiti sedang mewawancarai salah satu pedagang di Pasar Yuka

Gambar 8