Ketentuan Pelaksanaan Gadai Dalam Islam

xliv Keterangan skema akad rahn : 41 a Rahin mendatangi Murtahin untuk minta fasilitas pembiayaan dengan membawa marhum barang jaminan yang dapat dimanfaatkan dikelola yang akan diserahkan kepada murtahin. b Murtahin melakukan pemeriksaan dan termasuk juga menaksir harga barang jaminan yang diberikan oleh rahin sebagai jaminan utangnya c Setelah semua persyaratan terpenuhi, maka murtahin dan rahin akan melakukan akad rahn. d Selanjutnya, setelah akad dilakukan, maka murtahin akan memberikan sejumlah pinjaman uang yang jumlahnya di bawah nilai taksir kepada rahin . e Setelah rahin menerima sejumlah uang pinjaman dari murtahin, maka selanjutnya akan melakukan negosiasi kasepakatan kembali mengenai barang yang digadaikan tersebut, yaitu apakah barang tersebut akan dikeloladimanfaatkan atau tidak.

6. Ketentuan Pelaksanaan Gadai Dalam Islam

1. Kedudukan Barang Gadai Selama ada di tangan pemegang gadai, kedudukan barang gadai hanya merupakan suatu amanat yang dipercayakan kepadanya oleh pihak penggadai. Lebih lanjut Basyir 1993 menambahkan bahwa sebagai 41 Ibid, h. 87-88. xlv pemegang amanat, murtahin penerima gadai berkewajiban memelihara keselamatan barang gadai yang diterimanya, sesuai dengan keadaan barang. 2. Pemanfaatan Barang Gadai Dalam pengambilan pemafaatan barang-barang yang digadaikan, para ulama berbeda pendapat, diantaranya jumhur fuqaha dan Ahmad. Jumhur fuqaha berpendapat bahwa murtahin tidak boeh menggambil manfaat barang-barang gadaian tersebut sekalipun rahin mengizinkannya, karena hal ini termasuk pada utang yang dapat menarik manfaat, sehingga bila dimanfaatkan termasuk riba. 42 Hak pemegang barang jaminan terhadap barang itu hanyalah sebagai jaminan piutang yang ia berikan , dan apabila orang yang berutang tidak mampu melunasi utangnya, barulah ia boleh menjual atau menghargai barang itu untuk melunasi piutangnya. 43 Akan tetapi, apabila pemilik barang mengizinkan pemegang barang jaminan memanfaatkan barang itu selama ditangannya, maka sebagian ulama Hanafiyah membolehkannya, karena adanya izin, maka tidak ada halangan bagi pemegang barang jaminan untuk memanfaatkan barang itu. Menurut Imam Ahmad , Ishak , al-Laits, dan al-Hasan, jika bahwa barang gadaian berupa kendaraan yang dapat dipergunakan atau binatang ternak yang dapat diambil susunya, maka penerima gadai dapat menggambil 42 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2002, Cet. Ke-1, h. 108. 43 Haroen, Fiqh Muamalah, h. 256. xlvi manfaat dari kedua benda gadai tersebut disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkannya selama kendaraan atau binatang ternak itu ada padanya. Dalam hal ini tidak ada halangan bagi si murtahin untuk mengambil manfaatnya, umpamanya dengan memerah susunya atau mempekerjakan sekedar untuk mengembalikan pengeluran biaya pada barang gadaian tersebut. 44 Dalam hadits Rasulullah saw, disebutkan : ﻋ ﷲا ﱠﻰ ﺻ ﱢ ﱠ ا ﻋ ﻋ ﷲا ﺿر ةﺮ ﺮه ا ﻋ ﺳو لﺎ : نﺎآا ذا آ ﺮ ﺮﻬﱠﻈ او ًﺎ ﻮه ﺮ نﺎآا ذإ بﺮﺸ ﱢرﱠﺪ ا ﺘ ﻔ آ ﺮ و بﺮﺸ يﱢﺬ ا ﻰ ﻋو ًﺎ ﻮه ﺮ يرﺎﺨ ا اور دوا دﻮ او 45 Artinya: Dari Abu Hurairah r.a, Rasulullah saw bersabda : susu binatang- binatang ternak itu boleh diminum, apabila digadaikan dan binatang tunggangan boleh ditunggangi bila ia digadaikan, dan orang yang meminum dan menunggang itu wajib atas nafkah belanja binatang- binatang yang digadaikan itu.HR Bukhari dan Abu Daud. Pengambilan manfaat pada benda-benda gadai di atas ditekankan kepada biaya atau tenaga untuk pemeliharaan, pemegang barang gadai berkewajiban memberikan makanan, bila barang gadaian itu adalah hewan. Harus memberikan bensin bila pemegang barang gadaian berupa kendaraan. 46 44 Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Fiqih Mazhab Syafi’i, Bandung, PT. Penerbit Pustaka Setia, 2000, Cet. Ke-2, h. 74. 45 Abi Dawud Sulaiman bin Asy’ats al-Sajistani, Sunan Abi Dawud Beirut: Darul al-Fikri, 1994, Juz. 3, h. 46 Suhendi, Fiqh Muamalah, h.109. xlvii 3. Resiko atas Kerusakan Barang Gadai Apabila murtahin sebagai pemegang amanat telah memelihara barang gadai dengan sebaik-baiknya sesuai dengan keadaan barang, kemudian tiba-tiba barang tersebut mengalami kerusakan atau hilang tanpa disengaja, maka para ulama dalam hal ini berbeda pendapat mengenai siapa yang harus menaggung resikonya.Ulama-ulama mazhab Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa murtahin penerima gadai tidak menanggung resiko apapun. Namun, ulama-ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa murtahin menanggung resiko sebesar harga barang yang minimum. Perhitungan dimulai pada saat diserahkannya barang gadai kepada murtahin sampai hari rusak atau hilang. Berbeda halnya jika barang rusak atau hilang disebabkan kelengahan murtahin. Dalam hal ini semua ulama sepakat bahwa murtahin menanggung resiko, memperbaiki kerusakan atau mengganti yang hilang. 4. Pemeliharaan Barang Gadai Dalam hal ini ulama berbeda pendapat, ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa biaya pemeliharaan barang gadai menjadi tanggungan penggadai dengan alasan bahwa barang tersebut berasal dari penggadai dan tetap merupakan miliknya. Sedangkan ulama Hanafiah berpendapat lain; biaya yang diperlukan untuk menyimpan dan memelihara keselamatan barang gadai menjadi tanggungan penerima gadai dalam kedudukannya sebagai orang yang menerima amanat. xlviii 5. Katagori Barang Gadai Jenis barang yang dapat digadaikan sebagai jaminan adalah semua jenis barang yang bergerak dan tak bergerak yang memenuhi syarat sebagai berikut: a. Benda bernilai menurut hukum syara’. b. Benda berwujud pada waktu pejanjian terjadi. c. Benda diserahkan seketika kepada murtahin. 6. Akad Gadai Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa pengadaian dianggap sah apabila telah memenuhi tiga syarat. Pertama, berupa barang karena utang tidak bisa digadaikan. Kedua, penetapan kepemilikan penggadaian atas barang yang digadaikan tidak terhalang, seperti mushaf. Ketiga, barang yang digadaikan bisa dijual manakala sudah tiba masa pelunasan utang gadai. Imam malik berpendapat bahwa menggadaikan apa yang tidak boleh dijual pada waktu pengadaian dibolehkan, seperti buah-buahan yang belum nampak kebaikannya. 7. Hak Penerima Gadai atas Harta Peninggalan Hak para kreditur atas harta peninggalan seseorang ada yang berasal dari utang lepas, yaitu utang tanpa gadai; dan ada yang berasal utang terkait, yaitu utang gadai. Hak para kreditur atas utang yang berkait dipandang lebih kuat dari pada hak para kreditur atas utang lepas, sebab murtahin berhak menahan barang gadai yang merupakan sebagaian dari xlix atau bahkan harta peninggalan. Oleh karena itu ulama sepakat bahwa hak murtahin untuk menerima pembayaran utang, lebih didahulukan dari pada hak kreditur atas utang lepas. 8. PembayaranPelunasan Utang Gadai Apabila pada waktu yang telah ditentukan, rahin belum juga membayar kembali utangnya, maka rahin dapat dipaksa oleh marhum untuk menjual barang gadaiannya dan kemudian digunakan untuk melunasi hutangnya. Selanjutnya, apabila telah diperintahkan hakim, rahin tidak mau membayar utangnya dan tidak pula mau menjual barang gadaiannya, maka hakim dapat memutuskan untuk menjual barang tersebut guna melunasi utang-utangnya. 9. Prosedur Pelelangan Barang Gadai Jumhur fuqaha berpendapat bahwa orang yang menggadaikan tidak boleh menjual atau menghibahkan barang gadai. Sedangkan bagi penerima gadai dibolehkan untuk menjual barang tersebut dengan syarat pada saat jatuh tempo pihak penggadai tidak dapat melunasi kewajibannya. Jika terdapat persyaratan; menjual barang gadai pada saat jatuh tempo, hal ini dibolehkan dengan ketentuan: a. Murtahin harus terlebih dahulu mencari tahu keadaan rahin mencari tahu penyebab belum melunasi utang b. Dapat memperpanjang tenggang waktu pembayaran l c. Kalau murtahin benar-benar butuh uang dan rahin belum melunasi hutangnya, maka murtahin boleh memindahkan barang gadai kepada murtahin lain dengan seizin rahin. d. Apabila ketentuan diatas tidak terpenuhi, maka murtahin boleh menjual barang gadai dan kelebihan uangnya dikembalikan kepada rahin . li

BAB IV ANALISA PEMBIAYAAN PRODUKTIF PADA PEGADAIAN SYARIAH