Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Agama Islam adalah agama yang tidak menyulitkan umatnya. Setiap perbuatan yang dilakukan memiliki aturan-aturan yang sudah tertera dalam pedoman umat Islam yaitu Al-Qur’an untuk dijalankan sesuai dengan ketentuannya. Penciptaan adalah bukti adanya pencipta. Kelangsungan hidup ciptaan merupakan bukti keabadian pencipta. untuk itu, Al-Qur’an menganjurkan agar lebih menunjukkan pandangan terhadap ciptaan Allah, kelangsungan hidup dan perkembangbiakannya, supaya tambah yakin akan wujud keadaan, keabadian, dan keesaannya. 1 Al-Qur’an mengingatkan bahwa kita agar tidak melanggar aturan itu serta memberikan dalil-dalil tentang wujud Allah, dengan diciptakannya pasangan- pasangan di langit dan di bumi, dengan berlangsungnya ciptaan yang kita saksikan. Di samping itu, setiap hari juga terlihat kekuasaan Allah seperti itu pada diri manusia sendiri serta pada makhluk-makhluk lain. 2 Allah SWT menciptakan mahluk hidup berpasang-pasangan, Allah memerintahkan agar umatnya melakukan perkawinan dengan syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan. Perkawinan atau pernikahan adalah sunatullah artinya perintah Allah dan Rasulnya. Tidak hanya semata-mata keinginan manusia 1 Mahmud Al-Shabbagh, Tuntutan Keluarga Bahagia Menurut Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, 1991, Cet. Ke-1, h. 3. 2 Ibid., h. 4. 1 atau hawa nafsunya saja karenanya seseorang yang telah berumah tangga berarti ia telah mengerjakan sebagian dari syariat aturan Agama Islam. 3 Pernikahan yaitu suatu ikatan antara pria dan wanita sebagai suami istri berdasarkan hukum yang terdapat didalam Undang-Undang UU, hukum agama dan adat istiadat yang berlaku. 4 Nikah itu merupakan perjanjian dan ikatan lahir batin antara laki-laki dengan perempuan yang bermaksud untuk berumah tangga dan untuk menghasilkan keturunan, dan harus dilangsungkan rukun dan syaratnya dalam perkawinan menurut Islam dan Negara menurut UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 5 Pernikahan pun merupakan hal yang fitrah bagi manusia yang sudah tertanam dan terpatri dalam hati dan perasaan laki-laki dan wanita. Keduanya saling membutuhkan guna saling mengisi dan membagi perasaan suka maupun duka hidup ini terasa kurang sempurna tanpa kehadiran orang lain di sisisnya, menjalin kasih sayang bersamanya, membangun rumah tangga yang bahagia dan lestari. 6 Peristiwa pernikahan tersebut disebut oleh masyarakat sebagai peristiwa yang sangat penting dan religius, karena peristiwa nikah disamping erat kaitannya dengan pelaksanaan syariat agama, juga dari pernikahan inilah akan terbentuk 3 Sidi Nazar Bakry, Kunci Keutuhan Rumah Tangga, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993, Cet. Ke-1, h. 3. 4 Departemen Agama RI, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Direktorat Urusan Agama Islam, Korps Penasehat Perkawinan dan Keluarga Sakinah, Jakarta: 2007, h. 59. 5 Nashrudin Thaha, Pedoman Perkawinan Umat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1960, Cet Ke-3, h. 9. 6 Syaikh Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Musna Khalid bin Ali Al-Anbari, Perkawinan dan Masalahnya, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1993, Cet Ke-3, h. 18. suatu rumah tangga atau keluarga sehat, sejahtera dan bertaqwa, yang menjadi landasan terbentuknya masyarakat dan bangsa Indonesia yang religius sosialistis. 7 Memilih calon istri atau calon suami merupakan langkah awal untuk memulai kehidupan berumah tangga. Oleh karena itu memilih calon istri atau calon suami bukanlah hal yang mudah, membutuhkan waktu yang tidak singkat, karena harus melihat syarat-syarat calon istri atau calon suami sesuai anjuran agama. Orang yang hendak menikah hendaklah memilih pendamping hidup dengan cermat. 8 Bangsa Indonesia memiliki berbagai suku dan bahasa serta kebudayaan yang berbeda, sehingga dalam hal ini berbeda pula pola pikir masyarakat karena telah dipengaruhi oleh adat istiadat yang tertanam sejak nenek moyang. Dalam pemilihan calon istri atau calon suami harus dilihat dan disesuaikan dengan perbedaan adat yang sangat jelas antara suku agar tidak terjadi penyesalan dikemudian hari. Adat berasal dari bahasa arab yang berarti kebiasaan sedangkan adat istiadat adalah pedoman hidup diseluruh daerah yang diperuntukan selama ini, “waris yang dijawek, pusoko nan ditolong”, artinya diterima oleh generasi yang sekarang dari generasi yang dahulu supaya dapat kokoh dan berdirinya. 9 Menurut hukum adat, pernikahan merupakan urusan kerabat, keluarga, persekutuan, martabat, dan dapat juga merupakan urusan pribadi, bergantung 7 Departemen Agama RI, Pedoman Akad Nikah, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Direktorat Urusan Agama Islam, Jakarta: 2008, h.1. 8 Syaikh Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Musna Khalid bin Ali Al-Anbari, Perkawinan dan Masalahnya, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1993, Cet Ke-3, h. 31. 9 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003, Cet Ke-6, h. 72. kepada tata susunan masyarakat yang bersangkutan. Di dalam persekutuan hukum yang merupakan kesatuan-kesatuan susunan masyarakat, yaitu persekutuan desa dan wilayah, pernikahan warganya merupakan unsur penting didalam peralihan kepada inti sosial dari masyarakat untuk menikmati hak dan memikul kewajiban serta bertanggung jawab penuh atas kesejateraan masyarakat. Pernikahan yang dipilih dengan tepat dapat pula mempertahankan gengsimartabat kelas-kelas didalam dan diluar persekutuan, jadi dalam hal ini pernikahan adalah urusan kelas atau memilih calon istri atau suami berdasarkan tingkatan derajat yang dimilikinya. 10 Dalam hal ini diungkapkan mengenai cara-cara yang berlaku dalam masyarakat untuk dapat melangsungkan perkawinan. Masyarakat pada dasarnya telah menetapkan cara-cara tertentu untuk dapat melangsungkan perkawinan. Pada prinsipnya cara yang paling umum dilakukan oleh masyarakat adalah melalui peminangan. Dalam hal peminangan pada tiap masyarakat hukum adat yang ada di Indonesia cara yang digunakan dalam melakukan pelamaranpeminangan pada hakikatnya terdapat kesamaan, namun perbedaan- perbedaanya hanyalah kira-kira terdapat pada alat atau sarana pendukung proses pinangan tersebut. 11 Peminangan menurut adat Bima memiliki perbedaan yang signifikan dengan adat yang terdapat di daerah lain, ketentuan adat dalam kehidupan masyarakat Bima tidak dapat ditinggalkan khususnya dalam hal peminangan. 10 Imam Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Yogyakarta: Liberty, 2007, Cet Ke-5, h.107. 11 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003, Cet Ke-6, h. 223. Dalam masyarakat Bima ajaran agamanya sangat kental sehingga dalam hal ini ajaran Islam dan adat istiadat saling terpadu satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu dalam hal peminangan, masyarakat Bima selalu melakukan peminangan menurut adat mereka yang sudah menjadi tradisi dari zaman nenek moyang disamping pengaruh ajaran Islam. Di samping itu dengan kentalnya ajaran agama Islam yang banyak mereka anut sampai saat ini akan tetapi pemahaman marafu animisme yang dulu pernah ada, kini masih sedikit mempengarudi pola kehidupan masyarakat Bima khususnya di desa Palama Kecamatan Donggo sampai saat ini. Dalam Kecamatan Donggo Kabupaten Bima terdapat banyak desa. Desa yang akan menjadi objek penelitian saya adalah desa Palama. Desa Palama terdapat dua kampung yaitu kampung Palama 1 dan Palama 2 Nggarakopa. Di kampung ini penulis akan melakukan penelitian yang dijadikan bahan skripsi. Bagi masyarakat Bima adat ini harus dijalankan dan tidak boleh ditinggalkan karena merupakan syarat wajib bagi calon mempelai pria terhadap pinangannya. Proses peminangan adat Bima memiliki cara yang berbeda dengan adat suku lainnya. Peminangan ini diberi nama “sodiangi”, setelah melakukan proses peminangan ini sampai selesai kemudian keluarga pihak calon mempelai wanita memberikan “kain nggoli” tembe atau kain sarung tenunan asli Bima kepada calon mempelai laki-laki sebagai syarat diterimanya pinangan. Di dalam ajaran Islam ketentuan peminangan hanya diperintahkan untuk melihat pinangannya serta mengikuti syarat-syarat dalam peminangan salah satunya yaitu tidak boleh meminang pinangan orang lain. Dari sini saya merasa perlu untuk meneliti bagaimana peminangan menurut adat Bima di kecamatan Donggo dalam prespektif Islam. Berdasarkan uraian diatas, penulis tetarik dan ingin mengetahui lebih dalam dengan melakukan penelitian dan diwujudkan dalam bentuk skripsi dengan judul “PROSESI PEMINANGAN MENURUT ADAT BIMA DALAM PRESPEKTIF ISLAM” Studi kasus di Kec. Donggo Kab. Bima-Nusa Tenggara Barat.

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah