Ramlan Damanik : Pemertahanan Bahasa Simalungun Di Kabupaten Simalungun, 2009
umur, jenis kelamin, tingkat dan sarana pendidikan dan latar belakang sosial ekonomi.
2.2 Konsep Pemertahanan Bahasa
Keanekabahasaan merupakan dan mungkin saja menjadi gejala yang dapat menumbuhkan persaingan antarbahasa sehingga selalu saja ada kemungkinan bahasa-
bahasa tertentu yang tidak sanggup bertahan dalam persaingan sehingga menjadi punah. Persoalan keanekabahasaan menjadi menarik bagi pemerhati peneliti
sosiolinguistik, yang berkaitan dengan pemertahanan VS kepunahan bahasa. Membahas pemertahanan erat kaitannya dengan kepunahan bahasa artinya adanya
interaksi bahasa menimbulkan adanya upaya pemertahaanan. Jika hal tersebut gagal, maka bahasa yang mengalami pergeseran itu akan perlahan-lahan menjadi punah,
Sumarsono 1995:173. Menurut Siregar, dkk. 1998 pengkajian pemertahanan bahasa dan
pergeseran bahasa biasanya mengarah kepada hubungan di antara perubahan atau kemantapan yang terjadi pada kebiasaan berbahasa dengan proses psikologis, sosial,
dan budaya yang sedang berlangsung pada saat masyarakat bahasa yang berbeda berhubungan satu sama lain. Pemertahanan bahasa merupakan ciri khas masyarakat
dwibahasa atau multi bahasa yang dapat terjadi pada masyarakat yang diglosia, yaitu masyarakat yang mempertahankan penggunaan beberapa bahasa untuk fungsi yang
berbeda pada ranah yang berbeda pula. Sementara itu, ranah penggunaan bahasa adalah susunan situasai atau cakrawala interaksi yang pada umumnya di dalamnya
digunakan satu bahasa. Dalam hal ini, ranah adalah lingkungan yang memungkinkan
Ramlan Damanik : Pemertahanan Bahasa Simalungun Di Kabupaten Simalungun, 2009
terjadinya percakapan, merupakan kombinasi antara partisipan, topik, dan tempat misalnya, keluarga, pendidikan, tempat kerja, keagamaan, dsb.. Ranah yang
menjadi pusat perhatian dalam penelitian ini adalah ranah kekeluargaan, pergaulan, pekerjaan, pendidikan, pemerintahan, transaksi, dan tetangga.
Berhasil tidaknya suatu pemertahanan bahasa bergantung pada dinamika masyarakat pemakai bahasa tersebut dalam kaitannya terhadap perkembangan sosial,
politik, ekonomi, dan budaya masyarakat tersebut. Pemertahanan bahasa banyak ditentukan oleh kerentanan masyarakat terhadap proses industrialisasi, urbanisasi,
politik bahasa nasional, dan tingkat mobilisasi anggota masyarakat bahasa itu. 2.3 Beberapa Hasil Penelitian yang Relevan
Sejalan dengan penelitian ini, Keller dalam Astar dkk.. 2003:1, misalnya, telah meneliti pemakaian bahasa di daerah Pays Doc, Prancis Selatan. Menurutnya,
jumlah penutur bahasa daerah Occitan, Gascon, Langedocian, dan Provoncel di Pays Doc tersebut mengalami penurunan. Bahasa-bahasa tersebut kebanyakan hanya
dikuasai dengan baik oleh masyarakat yang sudah berumur lima puluh tahun ke atas sedangkan masyarakat kelompok usia muda lebih menguasai bahasa Prancis. Hal itu
menyebabkan fungsi dan peran bahasa daerah itu tergeser oleh perkembangan bahasa Prancis yang begitu pesat. Hal lain yang juga dapat mempercepat pergeseran bahasa
tersebut adalah karena di daerah-daerah tersebut terdapat industri yang didatangi oleh
para imigran dari Italia dan Spanyol.
Ramlan Damanik : Pemertahanan Bahasa Simalungun Di Kabupaten Simalungun, 2009
Selain itu, Sumarsono 1993 telah pula meneliti pemertahanan bahasa Melayu Loloan di Bali. Menurutnya, masyarakat gayup Loloan adalah masyarakat
yang dwibahasawan karena hampir setiap anggota gayup tersebut mampu menguasai bahasa gayup yang lain. Dengan demikian, di dalam gayub Loloan, bahasa Melayu
Loloan dan bahasa Indonesia membentuk situasi diglosia. Bahasa Melayu Loloan hanya berperan dalam ranah rumah tangga, ketetanggaan, dan agama. Akhirnya
Sumarsono menyimpulkan bahwa dalam kenyataannya diglosia itu cenderung ‘bocor’. Maksudnya, pemakai bahasa Indonesia sudah mulai merembes ke ranah
rumah tangga, ketetanggaan, dan kekariban. Siregar dkk. 1998 dalam penelitiannya mengenai pemertahanan bahasa dan
sikap bahasa pada kasus masyarakat bilingual di Medan menyimpulkan bahwa beberapa kelompok etnik seperti Cina dan Karo menunjukkan pola pemertahanan
bahasa yang tinggi di rumah. Beberapa kelompok etnik lainnya seperti AngkolaMandailing dan Melayu sedang mengalami pergeseran bahasa dari bahasa
daerah kepada bahasa Indonesia. Anggota kelompok ini bergeser dari penutur yang dwibahasawan menjadi penutur yang ekabahasawan. Pada pola penggunaan bahasa
terdapat dua generasi penutur bahasa, yaitu kelompok yang tua cenderung memiliki ikatan emosional yang kuat dan masih menggunakan bahasa daerah sebagai alat
untuk membawa nilai-nilai ataupun norma kedaerahan sedangkan pada kelompok anak lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia pada interaksi intrakelompok
khususnya di rumah.
Ramlan Damanik : Pemertahanan Bahasa Simalungun Di Kabupaten Simalungun, 2009
Kajian sosiolinguistik yang hampir senada dengan itu telah dilakukan oleh Lumintaintang dalam Astar dkk. 2003:2 tentang pola pemakaian bahasa dalam
lingkungan rumah tangga perkawinan campur Jawa-Sunda di daerah Jakarta. Dalam kajian tersebut Lumintaintang menemukan pola berbahasa antaranggota dalam rumah
tangga yang berkaitan dengan latar belakang sosial dan situasioanal para penuturnya.
Dari uraian singkat mengenai hasil hasil penelitian tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor-faktor dominan di dalam pemertahanan bahasa dan
pergeseran bahasa adalah faktor-faktor yang ada di luar bahasa seperti faktor usia, pekerjaan, pendidikan, jenis kelamin, kawin antar suku, agama, loyalitas bahasa dan
tempat lahir.
Ramlan Damanik : Pemertahanan Bahasa Simalungun Di Kabupaten Simalungun, 2009
BAB III METODE PENELITIAN