25 Posisi sarang pada batang utama Posisi 1 lebih banyak ditemukan pada
transek III dan IV, pada kedua transek ini banyak ditemukan tumbuhan dalam kategori besar, dengan percabangan yang sudah kuat untuk menopang sarang
orangutan sehingga banyak ditemukan sarang orangutan pada posisi di batang utama posisi 1 dan di percabangan pohon posisi 2, Transek III berada di tengah
hutan sekunder dan transek IV berada di perbatasan antara hutan sekunder dengan hutan primer sekunder tua, akan tetapi pada kedua transek ini posisi sarang pada
pucuk pohon posisi 3 merupakan posisi sarang yang paling banyak ditemukan dibandingkan dengan posisi sarang yang lainnya.
Posisi sarang diantara dua pohon posisi 4 tidak ditemukan pada transek VI, Posisi ini memerlukan dua pohon bagi orangutan untuk membangun sarang,
kondisi vegetasi pada transek ini tergolong rapat jika dibandingkan dengan transek lain, akan tetapi medan yang berbukit dengan kemiringan yang tinggi
menyebabkan orangutan akan kesulitan untuk membangun sarang menggunakan dua pohon posisi 4 sehingga pada transek ini tidak ditemukan sama sekali sarang
pada posisi tersebut. Kawasan hutan sekunder merupakan kawasan yang kurang ideal bagi
orangutan untuk beraktifitas karena berdasarkan teori persediaan makanan lebih sedikit dibandingkan dengan hutan primer, selain itu kondisi kanopi yang jarang
akan menyulitkan orangutan dalam pembuatan dan penentuan posisi sarang yang akan dibuat. Penentuan pembuatan sarang pada orangutan sangat penting.
Menurut Rijksen 1978, orangutan akan membuat sarang dengan menyesuaikan kondisi lingkungan, sarang dibangun di posisi dan lokasi yang menguntungkan
baik dari segi keamanan maupun kenyamanan.
4.1.3. Ketinggian Sarang
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan didapatkan karakteristik sarang orangutan Sumatera Pongo abelii berdasarkan ketinggian sarang di kawasan
hutan sekunder Resort Sei Betung TNGL ketinggian sarang paling banyak ditemukan pada ketinggian 6-10 m 51,92, diikuti pada ketinggian 11-15 m
26,92, sementara itu untuk ketinggian 1-5 m 7,69 dan 16-20 m 7,69.
Universitas Sumatera Utara
26 Sedangkan jumlah sarang yang paling sedikit ditemukan pada ketinggian 21-25 m
1,92. seperti pada Tabel 4.3 dan Lampiran C. Tabel 4.3 Ketinggian Sarang Orangutan Sumatera
Pongo abelii di KawasanHutan Sekunder Resort Sei Betung TNGL
No Ketinggian
m Transek
Jumlah Persentase
I II III
IV V
VI VII
1 1-5
- 5
1 2
1 -
- 9
8,65
2 6-10
- 7
4 13
10 12
8 54
51,92
3 11-15
- -
7 13
4 3
2 29
26,92
4 16-20
- 1
3 4
- -
- 8
7,69
5 21-25
- -
- 2
- -
2 1,92
Jumlah Total 104
99,99
Berdasarkan hasil pengamatan sarang di hutan sekunder Resort Sei Betung TNGL menunjukkan bahwa ketinggian sarang orangutan cenderung terlihat
bervariasi, mulai dari ketinggian 3 m sampai 25 m dari permukaan tanah, namun orangutan lebih cenderung membangun sarang pada ketinggian 6-10 m diatas
permukaan tanah, hal ini terbukti dengan ditemukan lebih dari separuh 51,92 sarang pada ketinggian tersebut, sementara itu pada ketinggian 21-25 m hanya
1,92 sarang yang ditemukan. Kecenderungan orangutan membangun sarang pada ketinggian 6-10 m dari permukaan tanah disebabkan oleh kondisi tumbuhan
yang cenderung rendah di hutan sekunder ini. Ketinggian 6-10 merupakan ketinggian yang ideal bagi orangutan untuk membuat sarang di hutan sekunder
Resort Sei Betung TNGL hal ini melihat kondisi tumbuhan yang berada di kawasan ini di dominasi oleh ketinggian kurang dari 15 m dari permukaan tanah.
Pohon yang tingginya lebih dari 20 meter, kurang disukai orangutan untuk membuat sarang karena kondisinya yang tidak terlindung dari terpaan angin.
Kondisi tumbuhan di hutan sekunder Resort Sei betung TNGL hanya sedikit yang ditemukan mencapai ketinggian 20 m. Kondisi tumbuhan yang tergolong tinggi
ditemukan pada hutan sekunder tua, namun sarang yang didapatkan tidak banyak berada pada ketinggian 20 m lebih, hanya beberapa sarang saja yang ditemukan
pada ketinggian 20 m dan 22 m dari permukaan tanah pada lokasi ini. Ketinggian sarang akan dipengaruhi oleh ketinggian tumbuhannya,
ketinggian sarang yang bervariasi disebabkan oleh kondisi tanaman yang berbeda, dimana disetiap area memiliki ketinggian dan diameter batang yang beda pada
Universitas Sumatera Utara
27 setiap tumbuhannya. Tumbuhan yang terdapat di hutan sekunder masih tergolong
muda jika dibandingkan dengan tumbuhan hutan primer. Di hutan sekunder Sesort Sei Betung ini rata-rata keliling pohon tempat bersarang orangutan berkisar antara
15-131 cm. Ketinggian tumbuhan berbeda pada setiap transeknya, pada transek I
ketinggian tumbuhan tergolong rendah karena pada umumnya kondisi tumbuhan di transek ini tergolong muda, pada transek ini rata-rata ketinggian tumbuhan
berkisar antara 4-12 m dari permukaan tanah, pada umumya didominasi dari family Euphorbiaceae. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan transek II karena
transek II bersebalahan dengan transek I dengan jarak 200 m antar transek. Namun pada transek II ditemukan beberapa tumbuhan dengan ketinggian lebih
dari 15 m dari permukaan tanah tetapi hanya beberapa saja. Pada transek II juga ditemukan sarang pada ketinggian 16-20 m dari permukaan tanah namun hanya
satu sarang saja, pada umumnya sarang sarang ditemukan pada ketinggian 6-10 m dari permukaan tanah.
Ketinggian tumbuhan yang tergolong tinggi terdapat pada transek III dan transek IV, rata-rata ketinggian tumbuhan pada transek ini berkisar antara 6-28 m
dari permukaan tanah karena kedau transek ini berada di tengah hutan sekunder dan sebahagian dari transek IV berada di perbatasan hutan sekunder dengan hutan
primer sekunder tua, namun terdapat beberapa sarang ditemukan pada ketinggian 0-5 m dari permukaan tanah, sarang yang didapatkan pada ketinggian
ini ditemukan pada anakan pohon dengan posisi sarang berada di pucuk pohon. Sementara itu pada transek VI dan VII merupakan transek yang berada pada
kondisi kontur medan yang berbukit-bukit dengan didominasi oleh tumbuhan paku-pakuan di permukaan lantai hutan, ketinggian tumbuhan pada transek ini
berkisar antara 5-15 m dari permukaan tanah dan didominasi dari family Euphorbiaceae dan Fabaceae.
Menurut Rijksen 1978, Orangutan pada umumnya membangun sarang pada ketinggian 13-15 meter, namun hal ini tergantung pada struktur hutan tempat
Orangutan tersebut berada, pemilihan tinggi tempat orangutan membuat sarang juga sangat dipengaruhi oleh kondisi hutan seperti kondisi tumbuhan, diameter
batang, dan adanya serangan predator. Berdasarkan hasil penelitian Pujiyani
Universitas Sumatera Utara
28 2008 di kawasan hutan Batang Toru, rata-rata ketinggian sarang Orangutan yang
ditemukan adalah 17,4 meter. Berdasarkan hasil yang teramati di lapangan, sarang terletak lebih rendah
dibandingkan ketinggian pohon secara keseluruhan. Meskipun sarang berada pada ujung batang pohon, tetapi selalu ada percabangan pohon yang menjulang ke atas
sehingga pada akhirnya ketinggian pohon selalu melebihi ketinggian sarang. Hasil ini mempunyai kesamaan dengan hasil penelitian Muin 2007 bahwa rata-rata
tinggi sarang orangutan di Taman Nasional Tanjung Puting adalah 2,5-3,6 meter dari puncak tajuk.
Orangutan akan memilih pohon tempat bersarang yang aman dan terhindar dari predator yang berada dipermukaan tanah. Rijksen 1978 mengatakan
ketinggian 7-15 meter dari permukaan tanah sangat ideal bagi orangutan untuk menghadapi kemungkinan buruk, keadaan ini lebih disukai letaknya dan sering
berada di dalam rimbunan daun pohon tempat orangutan bersarang yang dapat melindunginya dari predator dan cuaca buruk.
Predator orangutan dapat berupa macan dahan Neofelis sp. dan harimau Sumatera Panthera tigris sumatrae bagi orangutan Sumatera, dimana dapat
memanjat dan menjangkau ketinggian pohon tertentu sehingga dapat memangsa orangutan. Sarang-sarang yang dibuat pada ketinggian tertentu dapat menghindari
orangutan dari ancaman hewan lainnya. Semakin tinggi sarang yang dibuat orangutan, semakin sulit bagi predator untuk menjangkaunya Mc Kinnon, 1974.
Orangutan dalam menentukan ketinggian sarang juga menyesuaikan dengan struktur hutan yang di mana orangutan tersebut berada. Orangutan yang
rentan bahaya akan membangun sarang lebih tinggi sesuai dengan struktur hutan. Jadi, ketinggian pohon dalam suatu hutan juga mempengaruhi pemilihan pohon
untuk dijadikan sebagai material sarang oleh orangutan Rijsken, 1978.
4.2. Pemilihan Pohon Sarang