Evaluasi Kebijakan Domestic Market Obligation Gas: Pengalihan Alokasi Ekspor Liquefied Natural Gas (LNG) Indonesia untuk Pemenuhan Kebutuhan Gas dalam Negeri

(1)

I. PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan minyak bumi dan gas alam. Meskipun minyak bumi dan gas alam merupakan sumber daya alam strategis tidak terbarukan, namun sektor migas masih sangat diandalkan dalam perekonomian nasional, baik sebagai penghasil devisa maupun pemasok kebutuhan energi dalam negeri.

Sumbangan sektor minyak dan gas bumi terhadap perekonomian Indonesia sudah semakin menurun dibandingkan dengan masa kejayaannya pada tahun 1973-1983, namun peranannya masih tetap penting sebagai penyumbang utama penerimaan negara. Pada tahun 2010, 7,8 persen Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia berasal dari sektor pertambangan dan industri migas.

Tabel 1.1. Kontribusi Sektor Migas terhadap PDB Indonesia Tahun 2004-2010

Sektor

Kontribusi Sektor Migas terhadap PDB Indonesia 2004 2005 2006 2007 2008 2009* 2010** Pertambangan Minyak dan Gas

Bumi 5,2 6,4 6,0 5,9 5,7 4,5 4,5

Industri Migas 4,1 5,0 5,2 4,6 4,9 3,8 3,3

1) Pengilangan Miyak Bumi 2,6 3,2 3,5 3,1 3,0 2,4 2,0

2) Gas Alam Cair (LNG) 1,5 1,8 1,6 1,5 1,9 1,5 1,3

TOTAL 9,3 11,4 11,2 10,5 10,6 8,3 7,8 Keterangan : *Angka sementara

** Angka sangat sementara Sumber: BPS, 2011

Kontribusi ekspor migas terhadap total ekspor Indonesia juga cukup besar, yaitu sebesar 17,8 persen pada tahun 2010. Namun, jika dibandingkan dengan


(2)

komoditi migas lainnya seperti minyak mentah dan hasil minyak, gas alam memiliki kontribusi terbesar dalam ekspor migas Indonesia. Berdasarkan Tabel 1.2, pada tahun 2010, kontribusi ekspor dari gas alam sebesar US$ 13.669,5 juta atau sekitar 8,7 persen dari total ekspor yaitu sebesar US$ 157.779,1 juta. Angka ekspor gas alam tersebut meningkat sebesar 52,98 persen dari nilai ekspor gas alam pada tahun 2009.

Tabel 1.2. Perkembangan Ekspor Migas Indonesia Tahun 2009-2010

Jenis Barang Berat Bersih (Ribu Ton) Perubahan Nilai FOB (Juta US$) Perubahan

2009 2010 (%) 2009 2010 (%)

Total Ekspor 378.999,10 478.846,80 26,35 116.510,00 157.779,10 35,42

MIGAS 46.072,80 55.925,10 21,38 19.018,30 28.039,60 47,43

Minyak mentah 17.967,10 18.132,40 0,92 7.820,30 10.402,90 33,02 Hasil minyak 5.405,70 7.322,80 35,47 2.262,30 3.967,30 75,36 Gas alam 22.700,10 30.469,90 34,23 8.935,70 13.669,50 52,98 Sumber: BPS, 2010

Selain berperan sebagai sumber penerimaan negara dan penyumbang devisa yang cukup besar dari hasil ekspornya, gas alam mempunyai peran yang sangat penting dalam pembangunan nasional, yaitu sebagai sumber energi dan bahan baku industri. Gas alam menjadi komoditi yang lebih diandalkan dan lebih dapat dikembangkan di sektor pertambangan dan industri migas karena produksi gas alam lebih melimpah dibandingkan dengan komoditi migas lainnya. Berdasarkan data pada Tabel 1.3, dapat diketahui bahwa produksi gas alam hampir sepuluh kali lipat dibandingkan dengan minyak bumi (BPS, 2011). Berdasarkan status 2010, Indonesia memiliki cadangan gas alam sebesar 152,89 TSCF dengan laju produksi sebesar 9.336 MMSCFD (Ditjen Migas, 2010). Dengan kondisi tersebut, pada saat ini cadangan gas Indonesia mencukupi untuk 45 tahun mendatang.


(3)

Tabel 1.3. Produksi Minyak Bumi dan Gas Alam Indonesia Tahun 2005-2010

Tahun Produksi Minyak Mentah (barel) Produksi Gas Alam (barel)

2005 341.202,60 2.985.341,00

2006 313.037,20 2.948.021,60

2007 305.137,40 2.805.540,30

2008 314.221,70 2.790.988,00

2009 301.663,40 2.887.892,20

2010 300.923,30 3.407.592,30

Sumber: BPS, 2011

Produk hasil penyulingan gas alam yang menjadi primadona ekspor adalah Liquefied Natural Gas (LNG). Pemanfaatan LNG ini dapat digunakan untuk

bahan bakar pembangkit listrik tenaga gas, bahan bakar kendaraan bermotor, hingga gas kota untuk kebutuhan rumah tangga, hotel, dan restoran. Dengan harga lebih murah, dan lebih bersih dibandingkan bahan bakar minyak membuat banyak negara berlomba mengimpor LNG.

Perdagangan LNG sebagian besar dilakukan berdasarkan kontrak jangka panjang 20 tahun atau lebih. Meskipun demikian, saat ini juga telah terdapat kontrak jangka menengah 3 sampai 10 tahun. Hanya sebagian kecil LNG diperdagangkan pada pasar spot. Kontrak LNG pada awalnya dilakukan melalui negosiasi langsung antar negara yang bersangkutan, tetapi sejak tahun 2000 kontrak dilakukan melalui tender.

Dalam pasar dunia, Indonesia memiliki posisi yang strategis. Pada tahun 2009, Indonesia merupakan produsen dan eksportir LNG terbesar ketiga dunia, setelah Qatar dan Malaysia (UN Comtrade, 2012). Produk gas alam yang diekspor Indonesia ini diambil dari lapangan gas Arun, Bontang dan Tangguh.


(4)

Sumber : UN Comtrade, 2010

Gambar 1.1. Perkembangan Ekspor LNG Lima Negara Utama di Dunia Tahun 2000-2010

Sebagian besar LNG dari negara berkembang diekspor ke negara-negara industri maju, seperti Jepang, Amerika Serikat, Cina, Korea Selatan, dsb. Selama 40 tahun terakhir, konsumsi LNG hanya didominasi oleh negara Jepang, namun seiring berjalannya waktu, negara yang mengkonsumsi LNG akan semakin bertambah sehingga ukuran pasar akan terus mengalami pertumbuhan. Berdasarkan peramalan yang dilakukan oleh Medlock (2011), diketahui bahwa pasar LNG memiliki demand yang akan terus meningkat hingga tahun 2040 sebagaimana yang terlihat pada Gambar 1.2.

Peningkatan demand LNG dunia disebabkan karena karakteristik LNG itu sendiri, yaitu menguntungkan secara ekonomi dan lingkungan (Girdis et.al, 2000). Secara ekonomi, keberadaan gas merupakan sebuah bahan bakar alternatif bagi konsumen, sehingga dapat mengurangi ketergantungan terhadap batu bara dan minyak bumi. Diperkenalkannya gas kepada berbagai sektor juga dapat mengurangi emisi terutama SO2, NOx, dan CO2 secara signifikan.

0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00 35,00 40,00 45,00 50,00

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Volume E kspor LNG (juta to n) Algeria Australia Indonesia Malaysia Qatar


(5)

Sumber: Medlock, 2011

Gambar 1.2. Proyeksi Pertumbuhan Impor LNG Dunia, Tahun 2005-2040 Berdasarkan uraian di atas, komoditi LNG merupakan komoditi ekspor yang penting bagi Indonesia karena sumbangannya terhadap devisa negara yang cukup besar dan potensinya di pasar internasional cukup baik. Hal ini menjadikan struktur pasar gas alam Indonesia lebih didominasi oleh alokasi ekspor dibandingkan dengan alokasi domestik. Namun, tidaklah wajar suatu negara mengekspor suatu produk yang dihasilkannya di dalam negeri sementara dia masih membutuhkannya untuk konsumsi domestik, sementara kebutuhan gas domestik kian meningkat dari tahun ke tahun.

Gas alam dalam bentuk Liquefied Natural Gas (LNG) diekspor seluruhnya dan belum dimanfaatkan ataupun dikonsumsi di dalam negeri karena belum tersedianya infrastruktur yang memadai, sehingga di dalam negeri, gas alam dimanfaatkan dalam berbagai produk gas lainnya. Penggunaan gas alam dalam pasar domestik dimanfaatkan untuk pembangkit listrik (PLN), bahan baku industri (pupuk, petrokimia dan industri lain), bahan bakar kilang, bahan bakar gas untuk rumah tangga (LPG dan Gas Kota) dan bahan bakar gas untuk transportasi. Jadi,


(6)

gas alam juga mempunyai peran yang sangat penting dalam pembangunan nasional.

Menanggapi hal tersebut, pemerintah telah menetapkan kebijakan umum mengenai pemanfaatan gas alam nasional dalam rangka mendorong peningkatan pemanfaatan gas alam domestik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sesuai dengan amanat UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Hal tersebut dinyatakan melalui PP No.35 Tahun 2004 Pasal 46 dan kemudian dipertegas dalam Peraturan Menteri ESDM No.3 Tahun 2010, di mana pemerintah mewajibkan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) untuk menyerahkan 25 persen dari produksi gas bumi bagian kontraktor guna memenuhi keperluan dalam negeri dalam rangka domestic market obligation (DMO). Tambahan alokasi gas untuk kebutuhan domestik tersebut diperuntukkan bagi peningkatan produksi pupuk, listrik, gas kota, bahan bakar gas (BBG) transportasi, dan industri lainnya. Pemerintah juga tengah mendorong pembangunan infrastruktur gas alam secara bertahap dan terjadwal, sesuai master plan pembangunan pipa transmisi dan distribusi gas alam, yang didasarkan pada sumber gas dan master plan pemanfaatan gas oleh sektor pengguna.

Hingga saat ini, kebijakan domestic market obligation (DMO) gas telah berlangsung selama kurang lebih 7 tahun. Oleh karena itu, penelitian mengenai “Evaluasi Kebijakan Domestic Market Obligation Gas: Pengalihan Alokasi Ekspor Liquefied Natural Gas (LNG) Indonesia untuk Pemenuhan

Kebutuhan Gas dalam Negeri” perlu dilakukan untuk mengetahui dan


(7)

1.2.Perumusan Masalah

Dalam prakteknya, kebijakan domestic market obligation (DMO) gas memang tidak bisa begitu saja langsung diterapkan. Menurut data Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (2011), pemanfaatan gas alam pada tahun 2007 sebesar 3.504 MMSCFD (45,6 persen) untuk memenuhi kebutuhan domestik dan sebesar 4.180 MMSCFD (54,4 persen) untuk memenuhi komitmen ekspor.Sedangkan pada tahun 2008 sebesar 3.769 MMSCFD (47,8%) untuk memenuhi kebutuhan domestik dan sebesar 4.114 MMSCFD (52,2%) untuk memenuhi komitmen ekspor.

Pada periode Januari-November 2011, jumlah pemanfaatan gas alam domestik yaitu sebesar 3.471,9 MMSCFD (41,2%), sedangkan untuk ekspor sebesar 4.468,2 MMSCFD (53%). Artinya, setelah diberlakukannya kebijakan DMO, struktur pasar gas masih menunjukkan dominansi alokasi ekspor. Hal tersebut dapat disebabkan oleh beberapa alasan. Pertama, infrastruktur pendukung gas alam belum terpenuhi secara maksimal karena masih dalam tahap pembangunan. Kedua, ketentuan DMO yang ada juga masih longgar, di mana sanksi yang ada belum cukup tegas menjerat setiap pelanggaran ketentuan DMO. Ketiga, masih terdapat beberapa kontrak ekspor jangka panjang yang belum selesai masa berlakunya. Keempat, harga gas domestik yang sangat murah sering kali membuat KKKS enggan untuk mengembangkan lapangan gasnya untuk memenuhi pasar domestik.

Harga jual rata-rata gas untuk ekspor setidaknya 60 persen lebih tinggi dibandingkan harga jual rata-rata untuk gas domestik, hal ini membawa penerimaan negara dari ekspor gas bumi jauh melampaui penerimaan negara dari


(8)

penjualan gas domestik. Harga jual rata-rata gas ekspor melalui pipa dan pengiriman kargo gas alam cair (Liquefied Natural Gas/LNG)dalam kurun waktu 2009 hingga 2011 mencapai US$10 hingga US$11 per juta British thermal unit, sementara harga jual gas untuk domestik dalam kurun waktu yang sama tercatat hanya sebesar US$4 hingga US$4,5 per juta British thermal unit (BP Migas, 2012). Akibatnya, orientasi pasar para kontraktor akan tertuju ke pasar ekspor dibandingkan dengan pasar domestik. Dengan demikian sesungguhnya, dalam jangka panjang, harga gas domestik yang sangat murah justru dapat merugikan industri dan konsumen gas dalam negeri, sebab tidak menjamin ketersediaan gas yang berkelanjutan. Jika tidak ada perubahan kebijakan harga, akan sangat sulit menerapkan DMO gas alam.

Berdasarkan permasalahan di atas, diduga bahwa kebijakan DMO gas belum cukup efektif, maka perlu dilakukan pembuktian mengenai pengaruh kebijakan DMO gas terhadap ekspor LNG Indonesia yang ingin dialihkan untuk pemenuhan kebutuhan gas dalam negeri. Pembuktian tersebut perlu diperkuat pula dengan menganalisis perilaku penawaran ekspor LNG Indonesia di pasar internasional selama diberlakukannya kebijakan DMO gas tersebut. Faktor-faktor yang diduga memengaruhi perilaku penawaran ekspor LNG Indonesia yaitu konsumsi domestik gas alam, harga ekspor LNG, harga domestik gas alam, serta kebijakan pemerintah berupa domestic market obligation (DMO). Berdasarkan teori perdagangan internasional yang ada, determinan penawaran ekspor antara lain produksi komoditi tersebut dan nilai tukar.

Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:


(9)

1. Apakah kebijakan domestic market obligation (DMO) gas cukup efektif dalam mengurangi ekspor LNG Indonesia untuk memenuhi kebutuhan gas dalam negeri?

2. Bagaimanakah perilaku penawaran ekspor Liquefied Natural Gas (LNG) Indonesia selama diberlakukannya kebijakan domestic market obligation (DMO) gas?

1.3.Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan dari penelitian ini yaitu:

1. Menganalisis efektivitas kebijakan domestic market obligation (DMO) dalam mengurangi ekspor LNG Indonesia untuk memenuhi kebutuhan gas dalam negeri.

2. Menganalisis perilaku penawaran ekspor Liquefied Natural Gas (LNG) Indonesia selama diberlakukannya kebijakan domestic market obligation (DMO) gas.

1.4.Manfaat Penelitian

Penelitian ini secara umum diharapkan dapat memberikan informasi serta bukti empiris mengenai kondisi subsektor gas alam di Indonesia, khususnya mengenai perilaku penawaran gas di pasar domestik, dan perilaku penawaran ekspor LNG Indonesia di pasar dunia. Kegunaan penelitian ini secara lebih khusus adalah sebagai berikut:

1. Bagi pemerintah sebagai pembuat kebijakan, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi serta menjadi bahan masukan dalam merumuskan berbagai kebijakan di masa yang akan datang.


(10)

2. Bagi para pelaku pasar, penelitian ini diharapkan menjadi masukan agar dapat menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan di masa yang akan datang.

3. Bagi penulis, penelitian ini sebagai sarana pembelajaran dalam memahami kondisi komoditi LNG secara lebih mendalam. Selain itu, penelitian ini juga bermanfaat sebagai sarana proses belajar agar lebih kritis dalam mengamati kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, serta membuka wawasan dan pemahaman untuk mencari jawaban atas permasalahan yang di atas. 4. Sebagai bahan referensi bagi pembaca dan informasi bagi peneliti lainnya untuk

penelitian yang lebih lanjut.

1.5.Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada perdagangan ekspor komoditi Liquefied Natural Gas (LNG) dengan kode HS 2711110000. Permasalahan yang

akan diteliti dibatasi pada analisis efektivitas kebijakan domestic market obligation (DMO) dalam mengurangi ekspor LNG Indonesia untuk memenuhi kebutuhan gas dalam negeri dan analisis perilaku penawaran ekspor Liquefied Natural Gas (LNG) Indonesia selama diberlakukannya kebijakan domestic

market obligation (DMO) gas. Untuk menjawab permasalahan tersebut,

variabel-variabel yang diteliti adalah ekspor LNG Indonesia, produksi LNG, konsumsi domestik gas alam, harga domestik gas alam, harga ekspor LNG, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, dan dummy kebijakan domestic market obligation (DMO).


(11)

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1.Tinjauan Pustaka

2.1.1. Profil Liquefied Natural Gas (LNG)

Liquefied Natural Gas (LNG) atau disebut juga gas alam cair merupakan komponen hidrokarbon ringan dari gas alam, dengan kandungan terbanyak berupa metana (CH4), yaitu sekitar 85-95 persen. LNG dapat juga mengandung etana (C2H6), propana (C3H8), dan butana (C4H10) dan sedikit hidrokarbon berat. Nitrogen (N2) terkadang juga ditemukan di dalamnya. Ketika gas alam didinginkan dibawah temperatur -162°C (-260°F) pada tekanan atmosfir, maka gas tersebut akan terkondensasi menjadi gas alam cair (Liquefied Natural Gas/LNG). Sebaliknya, titik didih LNG adalah -162°C (-259°F), yang disebut

juga temperatur kriogenik. Pada temperatur ini, LNG menguap dari bentuk cairan menjadi gas.

Sumber : U.S. Department of Energy, 2005

Gambar 2.1. Komponen Liquefied Natural Gas (LNG)

Dalam bentuk cair, volume LNG akan menyusut menjadi hanya 1/600 dari volume dalam bentuk gas, sehingga LNG dapat diperdagangkan secara lebih efektif dan ekonomis karena tidak memakan tempat dan lebih mudah diangkut

Metana 85-95%

Etana, Propana, Butana, dan Nitrogen 5-15%


(12)

untuk jarak jauh. Sebuah kapal tanker, misalnya, dapat mengangkut LNG dalam jumlah besar (cukup untuk menyuplai kebutuhan energi sehari untuk lebih dari 10 juta rumah). Untuk mempertahankan bentuk cairnya, LNG harus disimpan dalam container yang memiliki fungsi seperti botol termos untuk menjaga temperatur tetap dingin, di bawah temperatur kriogenik.

LNG bersifat tidak berbau, tidak berwarna, nonkorosif, tidak mudah terbakar, dan tidak beracun. Gas alam yang digunakan oleh konsumen akhir pada awalnya berupa cairan yang kemudian dikonversi menjadi bentuk gas kembali (regasifikasi). Gas alam tersebut berbau karena adanya zat bau yang ditambahkan sebelum didistribusikan kepada konsumen. Bau ini berguna untuk mempermudah deteksi kebocoran gas. Walaupun gas alam mudah terbakar, namun LNG tidak demikian karena tidak adanya kandungan oksigen dalam cairan tersebut. LNG baru akan terbakar jika memenuhi tiga hal, yaitu terjadi proses regasifikasi, adanya oksigen, dan sumber api/panas.

Kebutuhan dunia terhadap LNG cukup besar mengingat LNG dapat dipergunakan sebagaimana fungsi gas alam konvensional, seperti memanaskan, memasak, dan penghasil tenaga. Gas alam seperti LNG dianggap sebagai bahan bakar fosil yang paling ramah lingkungan karena menghasilkan emisi CO2 per unit energi terendah, terutama jika dibandingkan dengan alternatif lainnya seperti bahan bakar minyak dan batu bara.

Agar LNG dapat diperoleh dan digunakan di berbagai belahan dunia, perusahaan harus berinvestasi pada sejumlah operasi berbeda yang saling terkait kuat dan bergantung satu sama lain. Tahapan utama rantai nilai LNG adalah sebagai berikut :


(13)

1. Eksplorasi untuk menemukan gas alam di dalam kerak bumi dan produksi gas. Pada umumnya, namun tidak pada semua kejadian, gas alam akan ditemukan selama pencarian minyak bumi.

2. Pencairan (liquefaction) untuk mengkonversi gas alam ke dalam bentuk cair sehingga dapat diangkut di dalam kapal.

3. Pengiriman LNG melalui kapal tanker khusus ke tempat tujuan.

4. Penyimpanan LNG dalam tank khusus, dan regasifikasi untuk mengkonversi LNG dari bentuk cair ke bentuk gas kembali, sehingga siap untuk dipindahkan ke tujuan akhir melalui sistem jaringan pipa gas alam.

Sumber : U.S. Department of Energy, 2005

Gambar 2.2. Tahapan Utama Rantai Nilai Liquefied Natural Gas (LNG)

2.1.2. Teori Perdagangan Internasional

Perdagangan internasional diartikan sebagai pertukaran barang dan jasa yang terjadi melampui batas-batas antar negara (Lipsey, 1997) yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Penduduk yang dimaksud dapat berupa antar perorangan (individu dengan individu), antara individu dengan pemerintah suatu negara atau


(14)

pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain (Oktaviani dan Novianti, 2009).

Setiap negara yang melakukan perdagangan bertujuan mencari keuntungan dari perdagangan tersebut. Selain motif mencari keuntungan, alasan utama terjadinya perdagangan internasional yaitu karena setiap negara berbeda satu sama lain dan mereka melakukan perdagangan untuk mencapai skala ekonomi (economic of scale).

Perdagangan internasional bisa terjadi karena adanya kelebihan penawaran komoditi tertentu di suat negara, sedangkan di negara lain terjadi kelebihan permintaan terhadap komoditi tersebut. Gambar 2.3 memperlihatkan proses terciptanya harga komoditi relatif ekuilibrium dengan adanya perdagangan, ditinjau dari analisis keseimbangan parsial. Pada panel A dapat dilihat bahwa negara A mengadakan produksi dan konsumsi dititik A dengan harga relatif sebesar PA, sedangkan negara B mengadakan produksi dan konsumsi di titik B berdasarkan harga relatif PB.

Setelah hubungan perdagangan berlangsung di antara kedua negara tersebut, harga relatif berkisar di antara PA dan PB. Jika harga yang berlaku di atas PA, maka negara A akan meningkatkan produksinya. Hal ini nantinya akan menyebabkan kelebihan produksi dalam negara A. Kelebihan produksi itu nantinya akan diekspor ke negara B. Selain itu, jika harga yang berlaku di bawah PB, maka negara B akan mengalami peningkatan permintaan yang melebihi produksi domestik. Hal ini menyebabkan negara B harus mengimpor komoditi dari negara A.


(15)

Sumber: Salvatore, 1997

Gambar 2.3. Kurva Perdagangan Internasional

Teori mengenai perdagangan di antara dua negara dikemukakan oleh Heckser-Ohlin. Berdasarkan teori tersebut, suatu negara akan melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor komoditi yang relatif intensif menggunakan faktor produksi yang relatif melimpah dan murah di negara tersebut. Sebaliknya, suatu negara akan mengimpor barang tertentu apabila negara tersebut menggunakan faktor produksi yang relatif langka dan mahal dalam produksi (Salvatore, 1997).

Menurut Salvatore (1997), perdagangan internasional dapat memberikan manfaat bagi suatu negara, antara lain :

1. Suatu negara mampu mendapatkan komoditas yang tidak dapat diproduksi di dalam negeri sehingga negara tersebut mampu untuk memenuhi kebutuhan terhadap barang atau jasa yang tidak dapat diproduksi secara lokal karena adanya keterbatasan kemampuan produksi.

2. Negara yang bersangkutan dapat memperoleh keuntungan dari spesialisasi, yaitu dapat mengekspor komoditas yang diproduksi lebih murah untuk dapat


(16)

ditukar dengan komoditas yang dihasilkan oleh negara lain dan jika diproduksi sendiri biayanya akan lebih mahal.

3. Dengan adanya perluasan pasar produk suatu negara, pertambahan dalam pendapatan nasional akan dapat memengaruhi output dan laju pertumbuhan ekonomi, mampu memberikan peluang kesempatan kerja dan peningkatan upah bagi warga dunia, menghasilkan devisa, dan memperoleh kemajuan teknologi yang tidak tersedia di dalam negeri.

2.1.3. Teori Penawaran Ekspor

Ekspor adalah aliran perdagangan suatu komoditi dari dalam negeri ke luar negeri. Penghasilan ekspor atau devisa merupakan aliran masuk pendapatan bagi suatu negara. Dilihat dari segi penawaran, kegiatan ekspor diasumsikan sebagai fungsi penawaran suatu negara terhadap suatu komoditi yang dihasilkan.

Penawaran ekspor suatu negara adalah selisih antara produksi/penawaran domestik dikurangi dengan konsumsi/permintaan domestik negara yang bersangkutan ditambah dengan stok tahun sebelumnya. Secara sistematis, penawaran ekspor dapat dirumuskan sebagai berikut :

SXt = Qt – Ct + St-1 ... (2.1) Di mana : SXt = Jumlah ekspor komoditi periode waktu t

Qt = Jumlah produksi domestik periode waktu t Ct = Jumlah konsumsi domestik periode waktu t St-1 = Stok periode waktu sebelumnya (t-1)

Dari persamaan tersebut, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi penawaran ekspor di antaranya terdiri dari faktor-faktor yang


(17)

memengaruhi produksi, konsumsi dan stok. Selain itu, Salvatore (1997) menyatakan bahwa volume ekspor suatu negara ditentukan oleh harga komoditi tersebut di pasar domestik, harga internasional dan secara tidak langsung juga dipengaruhi oleh perubahan nilai tukar (exchange rate) mata uang suatu negara terhadap mata uang negara lain.

Menurut Lipsey et al. (1995), suatu hipotesis ekonomi yang mendasar adalah bahwa untuk kebanyakan komoditi, harga komoditi atau jumlah yang ditawarkan berhubungan positif, ceteris paribus. Dengan kata lain, makin tinggi harga suatu komoditi, makin besar jumlah komoditi yang ditawarkan. Sebaliknya, semakin rendah harga, semakin kecil jumlah komoditi yang akan ditawarkan.

Suatu perubahan pada setiap variabel manapun (selain dari harga komoditi itu sendiri) yang memengaruhi jumlah komoditi yang ditawarkan dan dijual perusahaan, akan menggeser keseluruhan kurva penawaran untuk komoditi tersebut. Kurva penawaran, yang merupakan penyajian penawaran dalam bentuk grafik, dan pergeserannya dapat diperagakan pada Gambar 2.4.

Sumber : Lipsey et al, 1995

Gambar 2.4. Pergeseran Kurva Penawaran Harga

Kuantitas S2

S0 S1


(18)

Nilai tukar (exchange rate) dapat memengaruhi penawaran ekspor karena nilai tukar merupakan tingkat harga yang disepakati penduduk kedua negara untuk saling melakukan perdagangan (Mankiw, 2007). Kurs dibedakan menjadi dua, yaitu nilai tukar nominal dan nilai tukar riil. Nilai tukar nominal (nominal exchange rate) adalah harga relatif dari mata uang dua negara, sedangkan nilai

tukar riil (real exchange rate) adalah harga relatif dari barang-barang di antara kedua negara.

Nilai tukar riil di antara kedua negara dihitung dari kurs nominal dan tingkat harga di kedua negara, yang dapat dirumuskan sebagai berikut :

* P e

P

H u ... (2.2)

Di mana :

H

= Nilai Tukar Riil e = Nilai Tukar Nominal P = Harga domestik P* = Harga luar negeri

Gambar 2.5 menunjukkan, jika nilai tukar riil menurun dari

H

1 ke

H

2 (depresiasi), barang-barang luar negeri relatif lebih mahal dan barang-barang domestik relatif lebih murah, sehingga orang-orang asing akan berkeinginan membeli lebih banyak komoditi domestik, dan penduduk domestik akan membeli sedikit barang impor. Karena itu, jumlah ekspor neto negara domestik menjadi tinggi. Sebaliknya, jika nilai tukar riil meningkat dari

H

2 ke

H

1 (apresiasi), barang-barang luar negeri relatif lebih murah, dan barang-barang-barang-barang domestik relatif lebih mahal, sehingga penduduk domestik berkeinginan membeli banyak barang impor, dan orang-orang asing akan membeli sedikit komoditi domestik. Karena itu,


(19)

jumlah ekspor neto negara domestik menjadi rendah. Hubungan di antara kurs riil dan ekspor neto adalah :

NX = NX (

H

) ... (2.3) Dimana: NX = Ekspor Neto

H

= Nilai Tukar Riil

Sumber : Mankiw, 2007

Gambar 2.5. Hubungan Nilai Tukar Riil dengan Ekspor Neto

2.1.4. Teori Kebijakan Ekspor

Kebijakan perdagangan merupakan peraturan perdagangan yang diberlakukan oleh suatu negara dalam mengatur hubungan perdagangannya dengan negara lain (Oktaviani et al, 2010). Kebijakan perdagangan internasional di bidang ekspor diartikan sebagai berbagai tindakan dan peraturan yang dikeluarkan pemerintah, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang memengaruhi struktur, komposisi, dan arah ekspor dari negara tersebut (Hady, 2004).

Tujuan kebijakan perdagangan internasional yang dijalankan oleh suatu negara antara lain:

Kurs Riil (Ԗ)

Ekspor Neto ()

NX (Ԗ)

NX1 NX2 Ԗ1


(20)

1. Melindungi kepentingan ekonomi nasional dari pengaruh buruk atau negatif dari situasi/kondisi ekonomi/perdagangan internasional yang tidak baik atau tidak menguntungkan.

2. Melindungi kepentingan industri di dalam negeri. 3. Melindungi lapangan kerja.

4. Menjaga keseimbangan dan stabilitas balance of payment (BOP) atau neraca pembayaran internasional.

5. Menjaga tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan stabil. 6. Menjaga stabilitas nilai tukar atau kurs valas.

Kebijakan perdagangan internasional di bidang ekspor dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu kebijakan ekspor di dalam negeri dan kebijakan di luar negeri. Kebijakan ekspor di dalam negeri antara lain dapat diuraikan sebagai berikut.

1. Kebijakan perpajakan dalam bentuk pembebasan, keringanan, pengembalian pajak ataupun pengenaan pajak ekspor untuk barang-barang ekspor tertentu. 2. Fasilitas kredit perbankan yang murah untuk mendorong peningkatan ekspor

barang-barang tertentu.

3. Penetapan prosedur atau tata laksana ekspor yang relatif mudah. 4. Pemberian subsidi ekspor.

5. Pembentukan asosiasi eksportir.

6. Pembentukan kelembagaan seperti kawasan berikat nusantara (bounded warehouse), export pressing zone, dll.


(21)

Ekspor suatu negara juga dapat dipengaruhi oleh kebijakan impor negara lain atau dunia. Kebijakan impor tersebut dibagi menjadi dua macam kebijakan, yaitu kebijakan tariff barrier dan kebijakan nontariff barrier.

Kebijakan tarrif barrier merupakan kebijakan impor dalam bentuk bea masuk. Tarif adalah pajak atau cukai yang dikenakan untuk suatu komoditi yang diperdagangkan lintas batas teritorial. Apabila ditinjau dari mekanisme perhitungannya, tarif dibagi menjadi tiga jenis. Pertama, tarif ad valorem, yaitu pajak yang dikenakan berdasarkan angka persentase tertentu dari nilai barang-barang yang diimpor atau diekspor. Kedua, tarif spesifik, yaitu pajak yang dikenakan sebagai beban tetap unit barang yang diimpor atau diekspor. Ketiga, tarif campuran, yaitu gabungan dari tariff ad valorem dan tarif spesifik.

Kebijakan nontariff barrier adalah berbagai kebijakan perdagangan selain bea masuk yang dapat menimbulkan distorsi, sehingga mengurangi manfaat perdagangan internasional. Terdapat pembatasan impor yang bersifat spesifik, yaitu:

1. Larangan impor secara mutlak.

2. Pembatasan impor melalui sistem kuota.

3. Peraturan atau ketentuan teknis untuk impor produk tertentu. 4. Peraturan kesehatan/karantina.

5. Peraturan pertahanan dan keamanan negara. 6. Peraturan kebudayaan.

7. Perizinan impor/import licenses. 8. Embargo.


(22)

9. Hambatan pemasaran seperti Voluntary Export Restraint (VER), yaitu pembatasan ekspor secara sukarela oleh negara eksportir, dan Orderly Marketing Agreement (OMA), yaitu pembatasan pemasaran produk tertentu

atas permintaan negara importir.

2.1.5. Error Correction Model (ECM)

ECM merupakan salah satu model dinamis yang diterapkan secara luas dalam analisis ekonomi. Konsep mengenai ECM pertama kali diperkenalkan oleh Sargan, dikembangkan oleh Hendry, dan dipopulerkan oleh Engle dan Granger (Firdaus, 2011). Model ini bertujuan untuk mengatasi masalah permasalahan data time series yang tidak stasioner dan regresi palsu (spurious regression). ECM

lahir dan dikembangkan untuk mengatasi masalah perbedaan kekonsistenan hasil peramalan antara jangka pendek dengan jangka panjang dengan cara mengoreksi proporsi disequilibrium satu periode pada periode selanjutnya sehingga tidak ada informasi yang dihilangkan hingga penggunaan untuk peramalan jangka panjang (Thomas, 1996).

Munculnya ketidakseimbangan (disequilibrium error) itu sendiri terjadi karena dua hal. Pertama, kesalahan spesifikasi misalnya kesalahan pemilihan variabel, parameter, keseimbangan itu sendiri. Kedua, kesalahan membuat definisi variabel dan cara mengukurnya. Ketiga, kesalahan yang disebabkan oleh faktor manusia dalam menginput data.

Thomas (1996) berkesimpulan bahwa penggunaan ECM memiliki kelebihan-kelebihan sebagai berikut :

1. Merupakan pendekatan yang digunakan untuk mengatasi masalah data time series yang tidak stasioner dan regresi palsu (spurious regression).


(23)

2. ECM merupakan solusi alternatif yang mampu mengatasi permasalahan first difference karena model dengan variabel-variabel dalam bentuk first

difference mengeliminasi trend dari variabel.

3. ECM dapat diestimasi dengan metode OLS (Ordinary Least Square).

4. ECM dapat menggunakan pendekatan “umum ke spesifik” (yaitu melihat kecenderungan umum dan membaginya menjadi pendekatan jangka pendek dan jangka panjang). Interpretasi parameter ECM yang secara jelas membedakan antara efek jangka panjang dan jangka pendek, sesuai untuk memperkirakan validitas hipotesis.

5. Dengan cara menguji stasioneritas data terlebih dahulu akan membantu kita menghindari masalah pada saat pengolahan data nantinya seperti masalah multikolinearitas antar data yang dapat menyebabkan standar error yang sangar besar.

6. Membedakan dengan jelas antar parameter jangka panjang sehingga sangat ideal untuk digunakan menaksir dari keakuratan sebuah hipotesis.

7. Jika terdapat variabel yang tidak nyata, pengeliminasian variabel tersebut dapat dilakukan sehingga meningkatkan efisiensi estimasi.

Kelebihan lain dari ECM adalah seluruh komponen dan informasi pada tingkat variabel telah dimasukkan dalam model, memasukkan semua bentuk kesalahan untuk dikoreksi yaitu dengan cara mendaur ulang error yang terbentuk pada periode sebelumnya, menghindari terjadinya trend dan regresi palsu (spurious regression). Selain itu dalam pendekatan ECM sifat-sifat statistik yang diinginkan dari model dan pemberian makna yang lebih sederhana. Artinya, model ECM mampu memberikan makna lebih luas dari estimasi model ekonomi


(24)

sebagai pengaruh perubahan variabel independen terhadap dependen dalam hubungan jangka pendek maupun jangka panjang (Enders, 2004).

Terdapat tiga syarat untuk menggunakan ECM. Pertama, variabel yang digunakan minimal ada satu yang tidak stasioner pada tingkat level. Kedua, persamaan yang digunakan mengandung kointegrasi, yaitu kombinasi linear dari variabel-variabel yang tidak stasioner. Ketiga, persamaan yang digunakan univariate (hanya variabel endogen yang memengaruhi variabel eksogen). Jika

salah satu dari ketiga persyaratan tidak terpenuhi maka metode ini tidak dapat digunakan untuk menganalisis permasalahan yang ada.

2.2.Penelitian Terdahulu

2.2.1. Penelitian Terdahulu Mengenai LNG

Penelitian Desyanthie (2006) bertujuan untuk mengetahui besarnya pengaruh variabel–variabel yang secara teori diduga menentukan volume ekspor LNG Indonesia khususnya ke Korea Selatan yang ditinjau dari sisi permintaan dengan menggunakan metode persamaan simultan dan parsial. Variabel yang digunakan berbentuk time series tahunan, yaitu GDP Korea Selatan, harga LNG Indonesia di Korea Selatan. dan harga LNG pesaing di Korea Selatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga variabel bebas tersebut terbukti secara simultan maupun parsial memiliki pengaruh yang signifikan terhadap volume ekspor LNG Indonesia ke Korea Selatan. Selain itu hasil penelitian juga menunjukkan bahwa GDP Korea Selatan merupakan variabel yang dominan dalam memengaruhi volume ekspor LNG Indonesia ke Korea Selatan periode 1988 – 2002.


(25)

Penelitian Islam dan Odano (2010) menganalisis kondisi ekspor LNG Brunei saat ini dan prospek ekspornya di masa yang akan datang. Ekspansi ekspor LNG Brunei dilakukan berdasarkan proyeksi permintaan LNG di Jepang hingga tahun 2015. Analisis proyeksi permintaan LNG di Jepang dilakukan dengan Global Trade and Environment Model (GTEM) yang dikembangkan oleh

Australian Bureau of Agricultural and Resource Economics (ABARE).

Berdasarkan analisis ABARE, Jepang akan mengalami kesenjangan persediaan gas alam sebesar 24 juta ton pada tahun 2015. Indonesia, Malaysia, Brunei, Australia, dan Qatar yang telah memenuhi 80 persen persediaan gas alam Jepang, akan membutuhkan ekspansi fasilitas ekspor LNG mereka untuk menghadapi kebutuhan Jepang ke depannya. Brunei merupakan salah satu produsen yang potensial untuk menghadapi kebutuhan LNG di Jepang tersebut. Untuk itu, Brunei harus melakukan ekspansi terhadap pabrik penyulingan yang ada sehingga bisa meningkatkan kapasitas ekspor sebesar 4 juta ton per tahun hingga 11,2 juta ton.

Penelitian Ruster dan Neumann (2006) menganalisis strategi perusahaan dalam industri LNG global. Secara khusus, tujuan penelitian ini adalah memberikan analisis empiris mengenai faktor-faktor yang menentukan strategi perusahaan dalam peningkatan integrasi vertikal. Hipotesis penelitian ini adalah biaya transaksi yang tinggi sepanjang rantai nilai LNG mendorong tingkat integrasi vertikal yang lebih tinggi yang akan diuji dengan menerapkan Ordered Probit Model. Untuk menjelaskan faktor-faktor penentu integrasi vertikal dalam

industri LNG digunakan data proyek eksplisit pada 85 proyek LNG, baik impor dan ekspor, di seluruh dunia. Peneliti mengukur biaya transaksi spesifikasi aset atribut, ketidakpastian, frekuensi, termasuk karakteristik industri dan perusahaan


(26)

dalam analisisnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perusahaan cenderung lebih terintegrasi karena adanya transaksi yang tinggi di mana biaya investasi dalam infrastruktur sangat spesifik dan adanya ketidakpastian pasar. Tingkat integrasi vertikal perusahaan swasta dapat melebihi satu entitas negara, di mana perusahaan cenderung lebih terintegrasi dengan perusahaan yang lebih besar. Tingkat integrasi vertikal dalam proyek di Cekungan Atlantik cenderung lebih tinggi daripada di proyek yang terletak di Basin Pasifik.

Ball (2005) melakukan penelitian dengan metode deskriptif yang bertujuan untuk meninjau perkembangan dan isu terkini mengenai pasar LNG dan menganalisis implikasinya terhadap perdagangan LNG di wilayah Asia Pasifik. Pasar LNG di Asia Pasifik berada pada tahap perkembangan yang kritis. Permintaan LNG diramalkan akan terus meningkat pesat, namun suplai LNG pada jangka pendek hingga menengah berada dalam kondisi yang sulit. Sebagian besar proyek juga terus tertunda hingga kontrak perdagangan jangka panjang cukup aman, sedangkan pembeli banyak yang meminta jangka waktu kontrak yang fleksibel. Munculnya pasar LNG nontradisional dan bertambahnya jumlah produsen LNG akan meningkatkan ketidakpastian dalam pasar dan membuat peramalan perdagangan LNG semakin sulit dilakukan. Pertumbuhan pesat pada pasar LNG Atlantik akan memengaruhi pasar Asia Pasifik, di mana pasar LNG akan bergeser ke orientasi global. Negara Australia memiliki kesempatan baik untuk melakukan ekspansi ekspor secara signifikan pada dekade mendatang. Pembeli LNG akan semakin memperhitungkan fleksibilitas, keragaman, harga, stabilitas dan reabilitas pasar dalam keputusan pembeliannya.


(27)

Penelitian yang akan dianalisis dalam skripsi ini memiliki beberapa perbedaan dengan penelitian terdahulu mengenai LNG yang telah diuraikan. Pertama, skripsi ini secara regional hanya mencakup negara Indonesia. Kedua, penelitian ini akan mengevaluasi kebijakan domestic market obligation gas terhadap ekspor LNG Indonesia ke dunia serta perilaku penawaran ekspornya selama diberlakukannya kebijakan tersebut. Perbedaan khusus lainnya adalah variabel yang dianalisis dalam penelitian ini, di mana dipilih beberapa variabel yang diduga akan memengaruhi perilaku penawaran ekspor LNG Indonesia berdasarkan teori penawaran ekspor dan kondisi empiris yang terjadi. Kelebihan dari penelitian ini adalah analisis dilakukan dengan melihat pendekatan jangka pendek maupun jangka panjang dengan menggunakan Error Correction Model (ECM). Adapun keterbatasan dari penelitian ini yaitu analisis tidak diperdalam dari sisi ekonomi politik yang biasanya berkaitan erat dengan suatu kebijakan yang ditetapkan pemerintah.

2.2.2. Penelitian Terdahulu Mengenai ECM

Rosandi (2007) melakukan penelitian untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi penawaran ekspor kopi Indonesia. Metode kuantitatif yang digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi penawaran ekspor kopi Indonesia dalam jangka pendek adalah dengan pendekatan Error Correction Model (ECM) dan analisis jangka panjang dengan menggunakan persamaan kointegrasi melalui software E-Views 4.1. Hasil penelitian menunjukkan penawaran ekspor kopi Indonesia dalam jangka panjang secara signifikan dipengaruhi oleh produksi kopi dan pengaruhnya positif. Sedangkan konsumsi domestik kopi dan harga domestik kopi memengaruhi penawaran ekspor kopi


(28)

Indonesia secara signifikan dan pengaruhnya negatif. Harga ekspor kopi dan nilai tukar berpengaruh tidak signifikan terhadap penawaran ekspor kopi Indonesia dalam jangka panjang. Penawaran ekspor kopi Indonesia dalam jangka pendek secara signifikan dipengaruhi oleh produksi kopi dan harga domestik kopi 1 tahun sebelumnya dan pengaruhnya positif. Sedangkan konsumsi domestik kopi, harga ekspor kopi 1 tahun sebelumnya dan dummy krisis ekonomi memengaruhi penawaran ekspor kopi Indonesia secara signifikan dan pengaruhnya negatif. Dummy kebijakan penghapusan kuota ekspor berpengaruh tidak signifikan.

Hafizah (2009) dalam skripsinya mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi penawaran CPO Indonesia dan menganalisis pengaruh perubahan faktor-faktor tersebut terhadap tingkat penawaran CPO Indonesia. Metode yang digunakan adalah metode Error Correction Model (ECM) dengan menggunakan software E-views 6 dan Microsoft Excel 2007. Data yang digunakan pada

penelitian ini adalah data sekunder berbentuk time series tahunan dari tahun 1980-2007 yaitu data produksi CPO Indonesia sebagai proxy dari penawaran CPO Indonesia, luas areal perkebunan kelapa sawit, harga CPO dalam negeri, harga solar dan nilai tukar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan persamaan jangka pendek dapat diketahui bahwa variabel produksi CPO 1 tahun sebelumnya, luas areal perkebunan kelapa sawit, luas areal perkebunan kelapa sawit 1 tahun sebelumnya, harga solar, dan harga solar 2 tahun sebelumnya memberikan pengaruh yang signifikan terhadap variabel penawaran CPO Indonesia pada taraf nyata 10 persen. Sedangkan variabel harga domestik dan nilai tukar berpengaruh tidak signifikan. Berdasarkan persamaan jangka panjang dapat diketahui bahwa variabel luas areal kelapa sawit, harga domestik CPO, nilai tukar dan harga solar


(29)

memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penawaran CPO Indonesia pada taraf nyata 10 persen. Berdasarkan nilai elastisitas penawaran CPO diketahui ternyata respon semua variabel bebasnya terhadap penawaran CPO Indonesia adalah inelastis karena nilai mutlak dugaan parameternya kurang dari satu, sehingga apabila terjadi perubahan pada variabel-variabel bebasnya tidak akan menimbulkan gejolak yang besar terhadap tingkat penawaran CPO.

2.3.Kerangka Pemikiran Konseptual

Liquefied Natural Gas (LNG) merupakan salah satu komoditi ekspor migas

yang menjadi salah satu andalan perekonomian nasional karena kontribusinya bagi pendapatan nasional dan penyumbang devisa yang cukup besar bagi Indonesia karena hasil produksi gas alam yang melimpah. Ukuran pasar internasional dan jumlah importir LNG terus mengalami pertumbuhan menyebabkan komoditi LNG Indonesia mempunyai prospek dan potensi yang baik di pasar internasional.

Namun, karena struktur pasar gas alam Indonesia didominasi oleh pasar internasional dibandingkan dengan pasar domestik, pemerintah telah menetapkan kebijakan umum mengenai pemanfaatan gas alam nasional dalam rangka mendorong peningkatan pemanfaatan gas alam domestik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sesuai dengan amanat UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Hal tersebut ditegaskan melalui PP No.35 Tahun 2004 Pasal 46 dan Peraturan Menteri ESDM No.3 Tahun 2010, di mana pemerintah mewajibkan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) untuk menyerahkan 25 persen dari produksi gas bumi bagian kontraktor guna memenuhi keperluan dalam negeri dalam rangka domestic market obligation (DMO).


(30)

Setelah diberlakukannya kebijakan DMO gas tersebut, ternyata struktur pasar gas masih menunjukkan dominansi alokasi ekspor. Hal tersebut dapat disebabkan terutama karena masih terdapat beberapa kontrak ekspor jangka panjang yang belum selesai masa berlakunya dan harga gas domestik yang 60 persen lebih murah dari pada harga ekspor sering kali membuat KKKS enggan untuk mengembangkan lapangan gasnya untuk memenuhi pasar domestik.

Berdasarkan permasalahan di atas, diduga bahwa kebijakan DMO gas belum cukup efektif, maka perlu dilakukan pembuktian mengenai pengaruh kebijakan DMO gas terhadap ekspor LNG Indonesia yang ingin dialihkan untuk pemenuhan kebutuhan gas dalam negeri. Pembuktian tersebut perlu diperkuat pula dengan menganalisis perilaku penawaran ekspor LNG Indonesia di pasar internasional selama diberlakukannya kebijakan DMO gas tersebut.

Permasalahan tersebut akan dianalisis dengan metode kuantitatif Error Correction Model (ECM) untuk mengetahui pengaruh kebijakan domestic market

obligation (DMO) terhadap ekspor LNG Indonesia dan perilaku penawaran

ekspor LNG Indonesia, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Variabel-variabel yang akan diestimasi untuk menjawab permasalahan tersebut yaitu dummy kebijakan domestic market obligation (DMO) dan beberapa faktor memengaruhi penawaran ekspor LNG Indonesia antara lain produksi LNG Indonesia, konsumsi domestik gas alam, harga domestik gas alam, harga ekspor LNG, dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika.

Hasil analisis deskriptif dan analisis kuantitatif dari faktor-faktor yang memengaruhi penawaran ekspor LNG Indonesia tersebut dapat menjadi salah satu acuan bagi pemerintah maupun kontraktor LNG dalam mengambil kebijakan yang


(31)

terkait dengan ekspor LNG Indonesia dan efektivitas kebijakan domestic market obligation (DMO) di masa yang akan datang.

Gambar 2.6. Diagram Alur Kerangka Pemikiran

2.4.Hipotesis Penelitian

Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka pemikiran maka hipotesis pada penelitian ini adalah :

1. Dummy kebijakan domestic market obligation (DMO), yaitu adanya peningkatan pemanfaatan gas alam domestik untuk memenuhi kebutuhan

Alokasi ekspor gas lebih besar daripada alokasi domestik

Diberlakukannya kebijakan domestic market obligation

(DMO) gas

Evaluasi kebijakan DMO gas

Perilaku penawaran ekspor LNG Indonesia selama diberlakukan

kebijakan DMO gas

Pengaruh dummy kebijakan DMO gas terhadap penawaran ekspor LNG

Indonesia

Pengaruh produksi LNG, konsumsi gas alam domestik, harga ekspor LNG, harga domestik gas alam, dan nilai tukar terhadap penawaran ekspor LNG

Indonesia

Analisis Kointegrasi dan Error

Correction Model (ECM)

Implikasi kebijakan kebijakan domestic market obligation (DMO)


(32)

dalam negeri akan memberikan pengaruh negatif terhadap penawaran ekspor LNG Indonesia.

2. Produksi LNG Indonesia berpengaruh positif terhadap penawaran ekspor LNG, yang berarti jika terjadi peningkatan produksi maka penawaran ekspor LNG Indonesia akan meningkat dan sebaliknya.

3. Penawaran ekspor LNG Indonesia dipengaruhi secara negatif oleh konsumsi domestik gas alam, yang berarti jika terjadi kenaikkan konsumsi domestik maka penawaran ekspor LNG Indonesia akan menurun dan sebaliknya.

4. Harga domestik gas alam berpengaruh negatif terhadap penawaran ekspor LNG Indonesia, yang berarti jika terjadi peningkatan harga LNG domestik maka penawaran ekspor LNG Indonesia akan menurun dan sebaliknya. 5. Harga ekspor LNG Indonesia berhubungan positif dengan penawaran ekspor,

sehingga jika terjadi peningkatan harga ekspor maka penawaran ekspor LNG Indonesia akan meningkat dan sebaliknya.

6. Ekspor LNG Indonesia dipengaruhi secara positif oleh nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika, sehingga jika terjadi kenaikan nilai tukar (depresiasi) maka penawaran ekspor LNG Indonesia akan meningkat dan sebaliknya.


(33)

III. METODE PENELITIAN

3.1.Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari Pusat Data dan Informasi Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (Pusdatin ESDM), Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Ditjen Migas), United Nations Commodity and Trade (UN Comtrade), Badan Pusat Statistik, dan Bank Indonesia. Bentuk datanya adalah time series bulanan periode Januari 2003 sampai Desember 2010. Variabel yang akan di analisis dalam penelitian ini yaitu volume ekspor LNG Indonesia, produksi LNG Indonesia, konsumsi domestik gas alam, harga domestik gas alam, harga ekspor LNG, dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika.

Tabel 3.1. Data Time Series Bulanan yang Digunakan dalam Penelitian

Data Bulanan yang digunakan Sumber

Volume ekpor LNG Indonesia UN Comtrade

Produksi LNG Indonesia Ditjen Migas, Pusdatin ESDM Konsumsi domestik gas alam Pusdatin ESDM

Harga domestik gas alam Indeks Harga Perdagangan Besar BPS

Harga ekspor LNG UN Comtrade

Nilai tukar Bank Indonesia

3.2.Metode Analisis dan Pengolahan Data

Metode analisis data yang digunakan adalah metode deskriptif dan metode kuantitatif. Metode deskriptif digunakan untuk menganalisis perkembangan data


(34)

yang digunakan dalam penelitian ini yaitu perkembangan ekspor LNG Indonesia, perkembangan produksi LNG, perkembangan konsumsi domestik gas alam, perkembangan harga domestik gas alam, dan perkembangan harga ekspor LNG.

Metode kuantitatif Error Correction Model (ECM) digunakan untuk mengetahui pengaruh kebijakan domestic market obligation (DMO) gas dan faktor-faktor yang memengaruhi perilaku penawaran ekspor LNG Indonesia selama kebijakan DMO diberlakukan. Variabel dummy kebijakan domestic market obligation (DMO) digunakan dalam penelitian ini untuk mengetahui pengaruh kebijakan tersebut terhadap ekspor LNG Indonesia serta seberapa besar pengaruhnya. Faktor-faktor yang memengaruhi perilaku penawaran ekspor gas alam Indonesia dibagi menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri dari beberapa variabel yaitu variabel produksi LNG, konsumsi domestik gas alam, dan harga domestik gas alam. Faktor eksternal yaitu variabel harga ekspor LNG dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Dalam penelitian ini akan diketahui pengaruh faktor internal dan eksternal tersebut terhadap perilaku penawaran ekspor LNG Indonesia selama diberlakukannya kebijakan DMO gas. Alat analisis yang digunakan untuk pengolahan data dalam penelitian ini dioperasikan dengan EViews 6 dan Microsoft Excel 2007.

3.3.Analisis Deret Waktu 3.3.1. Uji Stasioneritas

Hal penting yang berkaitan dengan studi atau penelitian dengan menggunakan data time series adalah stasioneritas. Data yang tidak stasioner dapat menyebabkan regresi palsu (spurious regression), yaitu regresi yang


(35)

menggambarkan hubungan dua variabel atau lebih yang nampaknya signifikan secara statistik padahal dalam kenyataannya tidak sebesar regresi yang dihasilkan tersebut. Variabel juga dikatakan tidak stasioner, jika terdapat hubungan antara variabel tertentu dengan waktu atau trend.

Pengujian akar unit dilakukan untuk mengetahui apakah data tersebut stasioner atau tidak. Untuk mengetahui ada tidaknya unit root yaitu dengan menggunakan uji Augmented Dickey-Fuller (ADF test). Hipotesis yang digunakan adalah :

H0 : γ = 0, artinya data tidak stasioner (mengandung unit root), H1 : γ ≠ 0, artinyadata stasioner (tidak mengandung unit root).

Jika nilai ADF statistik lebih kecil dari nilai tabel MacKinnon, maka hipotesis nol ditolak. Artinya, uji ADF menunjukkan data yang dianalisis adalah stasioner.

3.3.2. Uji Kointegrasi

Kointegrasi adalah suatu hubungan jangka panjang (equilibrium) antara variabel-variabel yang tidak stasioner dan residual dari kombinasi linier tersebut harus stasioner. Uji kointegrasi dilakukan untuk mengetahui kemungkinan terjadinya kombinasi linear, yaitu suatu hubungan keseimbangan jangka panjang antara variabel-variabel yang ada sehingga dapat digunakan dalam sebuah persamaan. Terdapat beberapa cara untuk melakukan uji kointegrasi, antara lain Engle-Granger Cointegration Test, Johansen Cointegration Test dan

Cointegrating Regression Durbin-Watson Test (Firdaus, 2011).

Metode yang digunakan dalam pengujian ini adalah metode Engle-Granger Cointegration Test yang biasanya dilakukan pada persamaan tunggal yang searah.


(36)

Engle-Granger Cointegration pada dasarnya menggunakan metode Augmented

Dickey Fuller (ADF) yang terdiri dari dua tahap. Pertama, dengan meregresikan

persamaan variabel dependen dengan variabel independen menggunakan metode OLS. Volume ekspor LNG Indonesia diregresikan dengan produksi LNG, konsumsi gas domestik, harga ekspor LNG, harga gas domestik dan dummy kebijakan domestic market obligation (DMO), kemudian didapatkan residual (u) dari persamaan tersebut. Kedua, melakukan uji ADF terhadap residual dengan hipotesis yang sama seperti hipotesis uji ADF sebelumnya.

Jika hipotesis nol ditolak atau signifikan, maka variabel u stasioner atau dalam hal ini terdapat kombinasi linier antar variabel. Artinya, meskipun variabel yang digunakan tidak stasioner, namun dalam jangka panjang variabel-variabel tersebut cenderung menuju pada keseimbangan. Oleh karena itu, kombinasi linier dari variabel-variabel ini disebut co-integrated regression atau regresi kointegrasi dan parameter-parameter yang dihasilkan disebut co-integrated parameters atau koefisien-koefisien jangka panjang.

3.4.Error Correction Model (ECM)

Adapun persamaan Error Correction Model yang akan digunakan dalam penelitian ini diuraikan sebagai berikut:

D(LN_X)t = β1 D(LN_Q)t + β2 D(LN_ER)t + β3 D(LN_PD)t + β4 D(LN_PX)t +

β5 D(LN_CD)t + Dummy + γut-1 + et ………(3.1)

dengan -1 < γ < 0 Di mana :

D = First Difference


(37)

LN_Qt = Produksi LNG periode t, LN_ERt = Nilai tukar periode t,

LN_PDt = Harga domestik gas alam periode t, LN_PXt = Harga ekspor LNG periode t,

LN_CDt = Konsumsi domestik gas alam periode t,

Dummy = Dummy kebijakan domestic market obligation (DMO) γ = Error Correction Term

ut = LN_Xt – b0 – b1 LN_Qt – b2 LN_ERt– b3 LN_PDt – b4 LN_PXt – b5 LN_CDt ... (3.2) et = error periode t.

Dengan mensubstitusikan persamaan 3.2, yaitu mengeluarkan koefisien dalam u, maka persamaan 3.1 dapat diubah menjadi:

D(LN_X)t= β0 + β1 D(LN_Q)t + β2 D(LN_ER)t + β3 D(LN_PD)t + β4 D(LN_PX)t

+ β5 D(LN_CD)t+ β6 LN_Xt-1+ β7 LN_Qt-1 + β8 LN_ERt-1 + β9

LN_PDt-1 + β10 LN_PXt-1 + β11 LN_CDt-1 + Dummy + et ………. (3.3)

Di mana:

β0 = b0(γ) ; β1 = b1; β2 = b2; β3 = b3; β4 = b4; β5 = b5; β6 = γ ; β7 = -b1(γ) ;

β8 = -b2(γ) ; β9 = -b3(γ) ; β10 = -b4(γ) ; β11 = -b5(γ).

Untuk mengamati apakah spesifikasi model dengan ECM merupakan model yang valid, maka dilakukan uji terhadap koefisien Error Correction Term (ECT). Jika hasil pengujian terhadap ECT signifikan, maka spesifikasi model yang diamati valid (Hafizah, 2009).


(38)

3.5.Uji Diagnostik

3.5.1. Uji Multikolinearitas

Multikolinearitas adalah hubungan linear yang kuat antara variabel-variabel eksogen dalam persamaan regresi berganda. Jika nilai R2 yang diperoleh tinggi (antara 0,8 dan 1) tetapi tidak terdapat atau sedikit sekali koefisien dugaan yang signifikan pada taraf uji tertentu dan tanda koefisien regresi dugaan tidak sesuai teori maka model yang digunakan berhubungan dengan masalah multikolinearitas (Gujarati, 1997). Menurut uji Klein apabila nilai R2 lebih besar daripada nilai korelasi dari tiap variabel eksogen maka multikolinearitas dapat diabaikan.

Hal utama yang menyebabkan terjadinya multikolinearitas pada model regresi, yaitu kesalahan teoritis dalam pembentukan model fungsi regresi yang dipergunakan atau terlampau kecilnya jumlah pengamatan yang akan dianalisis dengan model regresi. Tindakan perbaikan terhadap multikolinearitas dapat dilakukan dengan berbagai alternatif sebagai berikut:

1. Menggunakan extraneous atau informasi sebelumnya. 2. Mengkombinasikan data cross section dan data time series. 3. Membuang variabel yang berkorelasi.

4. Mentrasformasikan data.

5. Mendapatkan tambahan atau data baru.

3.5.2. Uji Autokorelasi

Salah satu asumsi dari model regresi linear adalah bahwa tidak ada autokorelasi atau korelasi serial antara error term (εt). Dengan pengertian lain, error term menyebar bebas atau Cov(εi, εj) = E(εi, εj) = 0, untuk semua i ≠ j. Jika


(39)

masalah autokorelasi (Juanda, 2009). Autokorelasi sering terjadi pada data time series, dimana error term pada satu periode waktu secara sistematik tergantung

kepada error term pada periode-periode waktu yang lain.

Konsekuensi dari adanya autokorelasi yaitu varian yang diperoleh dari estimasi dengan ECM bersifat under estimate, yaitu nilai varian parameter yang diperoleh lebih kecil daripada nilai varian yang sebenarnya.

Uji yang digunakan untuk mendeteksi apakah pada data yang diamati terjadi autokorelasi atau tidak adalah uji Breusch-Godfrey Serial Correlation LM. Apabila nilai probability Obs*R-squared lebih besar dari taraf nyata maka tidak ditemukan gejala autokorelasi pada model, namun bila nilai probability Obs*R-squared lebih kecil dari taraf nyata maka ditemukan gejala autokorelasi pada model.

3.5.3. Uji Heteroskedastisitas

Salah satu asumsi yang penting dari model regresi linear klasik adalah memiliki varian residual yang konstan (homoskedastis). Rumusan homoskedastisitas adalah sebagai berikut :

Var(εi) = E(εi2) = σ2 ... (3.4) Di mana :

εi = unsur disturbance, σ2= nilai varians.

Apabila asumsi tersebut tidak terpenuhi maka varian residual tidak lagi bersifat konstan disebut dengan heteroskedastisitas. Konsekuensi dari adanya heteroskedastisitas yaitu :


(40)

a. Estimasi dengan menggunakan ECM tidak akan lagi memiliki varian yang minimum atau estimator tidak efisien.

b. Prediksi (nilai Y untuk X tertentu) dengan estimator dari data yang sebenarnya akan mempunyai varian yang tinggi sehingga prediksi menjadi tidak efisien.

Uji yang dapat dilakukan untuk mendeteksi apakah data yang diamati terjadi heteroskedastisitas atau tidak yaitu dengan uji White-Heteroskedasticity. Apabila nilai probability Obs*R-squared lebih kecil dari taraf nyata berarti terdapat gejala heteroskedastisitas pada model, dan sebaliknya.

3.5.4. Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk memeriksa apakah error term mendekati distribusi normal atau tidak. Jika asumsi ini tidak terpenuhi maka prosedur pengujian menggunakan t-statistik menjadi tidak sah. Uji normalitas error term yang dilakukan adalah uji Jarque-Bera yang pengujiannya dilakukan berdasarkan error dan penduga least squares. Prosedur pengujiannya adalah :

H0 : Error term terdistribusi normal, H1 : Error term tidak terdistribusi normal.

Jika probability Jarque-Bera lebih besar dibandingkan dengan taraf nyata (α), maka hipotesis nol diterima. Artinya, model ECM tidak mempunyai masalah normalitas atau error term terdistribusi normal.

3.6.Definisi Operasional

1. Dummy yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa kebijakan pemerintah yang diduga memengaruhi ekspor LNG, yaitu berupa kebijakan domestic market obligation (DMO). Nilai 0 untuk masa sebelum berlakunya


(41)

kebijakan DMO dan nilai 1 untuk masa sesudah berlakunya kebijakan DMO. Periode waktu yang digunakan yaitu periode bulanan dari Januari 2003 sampai Desember 2010.

2. Volume ekspor LNG Indonesia merupakan total kuantitas ekspor LNG Indonesia ke dunia yang dinyatakan dalam satuan ton, dengan periode bulanan dari Januari 2003 sampai Desember 2010.

3. Produksi LNG Indonesia adalah jumlah keseluruhan untuk komoditi LNG Indonesia yang diproduksi setiap bulannya, yang dinyatakan dalam satuan M.Ton (103 Ton), selama periode Januari 2003 sampai Desember 2010. 4. Harga domestik gas alam Indonesia adalah harga gas alam dalam negeri di

tingkat perdagangan besar, yang dinyatakan dalam indeks (tahun dasar 1993=100), dengan periode waktu bulanan dari Januari 2003 sampai Desember 2010.

5. Harga ekspor LNG Indonesia adalah harga untuk LNG Indonesia di pasar dunia, yang diperoleh dari hasil pembagian antara nilai ekspor LNG Indonesia dengan volume ekspornya, dengan periode waktu bulanan dari Januari 2003 sampai Desember 2010.

6. Nilai tukar uang adalah nilai tukar valuta asing yang umum digunakan dalam pembayaran transaksi internasional dalam satuan dolar Amerika Serikat terhadap mata uang rupiah (Rp/US$) yang dinyatakan dalam indeks (tahun dasar 1999=100), dengan periode waktu bulanan dari Januari 2003 sampai Desember 2010.


(42)

IV. GAMBARAN UMUM

4.1.Perkembangan Produksi Liquefied Natural Gas (LNG)

LNG Indonesia diproduksi dari tiga kilang utama, yaitu kilang Arun, kilang Badak, dan kilang Tangguh. Ketiga kilang tersebut tersebar di berbagai pulau yang berbeda sebagaimana yang terlihat pada Gambar 4.1.

Sumber : Ditjen Migas, 2008

Gambar 4.1. Peta Lokasi Kilang LNG di Indonesia

Kilang Badak yang dimiliki oleh PT Badak Natural Gas Liquefaction atau lebih dikenal dengan PT Badak NGL, saat ini merupakan kilang penghasil LNG terbesar di Indonesia. Lokasinya berada di Bontang, Kalimantan Timur. Pada tahun 2010, sebesar 986.140.906 MMBTU atau 86,11 persen dari total produksi LNG Indonesia disumbangkan oleh kilang ini.

Penghasil LNG terbesar kedua adalah kilang Arun yang dimiliki PT Arun Natural Gas Liquefaction atau PT Arun NGL. Kilang Arun berada di

Lhokseumawe, Aceh. Hingga tahun 1993, PT Arun NGL merupakan penghasil LNG terbesar di Indonesia dan di dunia. Namun, menipisnya cadangan gas alam


(43)

membuat produksinya terus menurun. Dari kilang tersebut, dihasilkan 123.412.051 MMBTU atau 10,77 persen dari total produksi LNG Indonesia pada tahun 2010.

Kilang Tangguh yang terletak di Teluk Bintuni, Papua Barat, merupakan kilang yang baru beroperasi pada tahun 2009. Produksi kilang ini pada tahun 2010 adalah sebesar 35.624.640 MMBTU atau 3,11 persen dari total produksi LNG Indonesia. Hasil produksi ini meningkat sebesar 9,62 persen dari tahun 2009.

Tabel 4.1 Produksi LNG Berdasarkan Sumber Kilang Tahun 1990-2010

Tahun

Produksi Kilang (MMBTU)

Arun Badak Tangguh Total

1990 598.486.944,65 512.024.871,86 - 1.110.511.816,51 1991 613.988.550,03 570.025.069,28 - 1.184.013.619,31 1993 635.654.334,00 627.229.461,00 - 1.262.883.795,00 1996 587.634.994,00 769.790.992,00 - 1.357.425.986,00 1998 561.226.736,86 843.552.402,82 - 1.404.779.139,68 2000 322.830.865,33 977.149.686,22 - 1.299.980.551,55 2001 146.765.164,97 1.091.269.435,07 - 1.238.034.600,04 2003 328.222.191,85 934.748.770,20 - 1.262.970.962,05 2004 293.521.354,00 1.000.319.844,00 - 1.293.841.198,00 2005 217.529.276,00 1.005.610.720,00 - 1.223.139.996,00 2006 175.687.159,00 1.004.885.295,00 - 1.180.572.454,00 2007 146.258.112,00 954.439.355,00 - 1.100.697.467,00 2008 134.611.226,00 955.745.694,00 - 1.090.356.920,00 2009 112.581.287,00 899.596.203,00 32.498.186,00 1.044.675.676,00 2010 123.412.051,00 986.140.906,00 35.624.640,00 1.145.177.597,00 Sumber : Data Ware House ESDM dan Ditjen Migas, 2011


(44)

Total produksi LNG Indonesia pada tahun 1990-1998 menunjukkan peningkatan. Setelah itu, terjadi produksi LNG mengalami fluktuasi, namun cenderung mengalami tren penurunan. Penurunan produksi LNG lebih disebabkan karena terus menurunnya cadangan gas. Dengan mulai dioperasikannya kilang Tangguh, maka produksi LNG diharapkan dapat ditingkatkan kembali. Bahkan, saat ini tengah dibangun kilang LNG baru, yaitu kilang Donggi Senoro di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Pengiriman kargo LNG pertama dari kilang Donggi Senoro kepada para pembeli di targetkan dimulai pada triwulan III tahun 2014.

4.2.Perkembangan Ekspor LNG Indonesia

Perdagangan LNG sebagian besar dilakukan berdasarkan kontrak jangka panjang 20 tahun atau lebih. Meskipun demikian, saat ini juga telah terdapat kontrak jangka menengah 3 sampai 10 tahun. Sebagian kecil LNG diperdagangkan pada pasar spot, di mana pengiriman ekspor diselesaikan dalam tempo 24 jam setelah perjanjian.

Perkembangan volume dan nilai ekspor LNG Indonesia pada periode tahun 1989 sampai 2010 mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun, dengan tingkat fluktuasi nilai ekspor yang lebih tajam daripada volume ekspornya. Selama periode tersebut pertumbuhan volume ekspor dan nilai ekspor rata-rata meningkat sebesar 1,37 persen dan 9,63 persen per tahun.

Dalam periode tahun 1989 sampai 2010 volume ekspor terendah terjadi pada tahun 2009 sebesar 19.019.402.385 kg dan volume ekspor tertinggi terjadi pada tahun 1999 sebesar 28.674.084.430 kg. Sementara nilai ekspor terendah terjadi


(45)

pada tahun 1989 sebesar US$ 2.378.946.048 dan nilai ekspor tertinggi yang pernah tercapai adalah sebesar US$ 12.993.549.933 pada tahun 2008. Perkembangan nilai ekspor yang besar terjadi pada tahun 1990, 2000, 2008, dan 2010. Pada tahun tersebut perkembangan nilai ekspor yang terjadi adalah sebesar 41,1 persen, 52,76 persen, 32,95 persen dan 40,95 persen.

Tabel 4.2. Volume dan Nilai Ekspor LNG Indonesia Tahun 1989-2010

Tahun

Ekspor Perkembangan (%)

Volume (kg) Nilai (US$) Volume Nilai

1989 19.497.609.216 2.378.946.048 - -

1990 21.332.168.704 3.356.613.632 9,41 41,10

1991 23.172.435.968 3.831.092.736 8,63 14,14

1992 24.051.165.184 3.720.346.368 3,79 -2,89

1993 24.592.222.208 3.675.776.512 2,25 -1,20

1994 26.829.205.504 3.383.372.288 9,10 -7,95

1995 25.802.371.072 3.613.930.240 -3,83 6,81

1996 26.774.231.040 4.025.720.320 3,77 11,39

1997 27.077.038.080 4.419.814.912 1,13 9,79

1998 27.096.340.480 3.546.691.840 0,07 -19,75

1999 28.674.084.430 4.081.838.021 5,82 15,09

2000 26.313.206.627 6.235.554.213 -8,23 52,76

2001 23.920.273.945 5.382.626.345 -9,09 -13,68

2002 26.399.352.511 5.277.842.403 10,36 -1,95

2003 26.512.203.760 6.145.599.701 0,43 16,44

2004 25.456.329.698 7.289.379.776 -3,98 18,61

2005 23.259.922.760 8.599.315.352 -8,63 17,97

2006 22.739.603.258 9.993.136.985 -2,24 16,21

2007 20.950.966.368 9.773.052.845 -7,87 -2,20

2008 20.678.865.660 12.993.549.933 -1,30 32,95

2009 19.019.402.385 7.500.055.173 -8,02 -42,28

2010 24.179.717.789 10.571.561.787 27,13 40,95


(46)

Perkembangan volume ekspor LNG tahun 2000-2001 dan 2004-2009 yang menunjukkan tanda negatif disebabkan oleh dua hal utama. Pertama, karena semakin ketat dan bertambahnya pesaing Indonesia sebagai pengekspor utama LNG dunia. Kedua, cadangan gas yang terus berkurang juga menyebabkan penurunan ekspor LNG Indonesia. Pada tahun 2010, ekspor LNG Indonesia kembali melesat naik seiring dengan meningkatnya kapasitas produksi dari kilang LNG yang baru, yaitu kilang Tangguh.

Negara tujuan ekspor LNG Indonesia yang utama adalah Jepang, dimana lebih dari 50 persen ekspor LNG Indonesia dikirim ke negara tersebut. Negara tujuan ekspor utama lainnya adalah Korea Selatan dan Cina. Perkembangan ekspor LNG Indonesia menurut negara tujuan utama dan negara lainnya pada periode tahun 2005 sampai 2010 menunjukkan data yang berfluktuatif, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3 Ekspor LNG Indonesia ke Negara Tujuan Utama Tahun 2005-2010

Tahun

Negara Tujuan Ekspor LNG

Jepang Korea Selatan Cina Negara Lain

Jml Ekspor (kg) % Jml Ekspor (kg) % Jml Ekspor (kg) % Jml Ekspor (kg) %

2005 14.250.931.811 61 5.479.371.328 24 2.244.910.832 10 1.284.708.789 6

2006 14.311.914.992 63 5.059.227.575 22 3.368.460.691 15 0 0

2007 13.904.814.070 66 3.798.582.474 18 3.247.569.824 16 0 0

2008 14.389.695.668 70 3.279.370.168 16 3.009.799.824 15 0 0

2009 13.057.877.457 69 2.989.147.979 16 2.297.181.328 12 675.195.621 4

2010 13.129.187.298 54 5.546.239.644 23 1.874.432.179 8 3.629.858.668 15

Sumber : UN Comtrade, 2011 (diolah)

4.3.Perkembangan Konsumsi Domestik Gas Alam

Komoditi LNG belum dikonsumsi di Indonesia, sehingga pemanfaatannya seluruh produksinya hanya untuk diekspor ke luar negeri. Hal ini terjadi karena


(47)

belum tersedianya infrastruktur yang memadai seperti receiving terminal, pipa transmisi dan distribusi, dsb. Infrastruktur tersebut membutuhkan investasi yang besar sehingga dalam pasar domestik, gas alam dikonsumsi dalam berbagai jenis produk selain LNG yang digunakan sebagai bahan bakar pembangkit listrik (PLN), bahan baku industri (pupuk, petrokimia dan industri lain), bahan bakar kilang, bahan bakar gas untuk rumah tangga (LPG dan Gas Kota) dan bahan bakar gas untuk transportasi.

Gambar 4.4 menunjukkan bahwa konsumsi gas domestik terus meningkat setiap tahunnya. Peningkatan konsumsi ini terutama terjadi di sektor industri dalam rangka menekan biaya produksi dan meningkatkan efisiensi mesin sehingga dapat bersaing dengan produk negara-negara lain. Alasan lain pengalihan bahan bakar ke gas yaitu, harga sangat kompetitif dan relatif stabil serta lebih ramah lingkungan (ESDM, 2011).

Sumber : Data Ware House ESDM dan Pusdatin ESDM, 2011

Gambar 4.2. Perkembangan Konsumsi Domestik Gas Indonesia Tahun 1991-2010

0 500.000 1.000.000 1.500.000 2.000.000 2.500.000 3.000.000 3.500.000

1991 1992 1993 1996 1998 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

MMS

CF Total Produksi

Gas

Konsumsi Domestik Gas


(48)

Semakin pentingnya pemanfaatan gas di sektor domestik mendorong pemerintah untuk memberikan prioritas utama bagi kebutuhan dalam negeri dibanding ekspor. Hal ini tercermin dari ditetapkannya kebijakan domestic market obligation (DMO) yang akan dijelaskan lebih lanjut pada sub bab 4.5.

4.4.Perkembangan Harga Liquefied Natural Gas (LNG)

Dalam suatu perdagangan, harga merupakan variabel yang sangat penting dalam memengaruhi permintaan dan penawaran suatu komoditi. Pada komoditi LNG, kesepakatan harga didasarkan pada prinsip-prinsip penting, antara lain kuantitas, kualitas, dan formula (Raharjo, 2008). Kualitas produksi LNG tidak selalu sama, tergantung pada komposisi gas terutama metana.

Secara teoritis, range negosiasi penetapan harga LNG berada pada batas maksimum berupa kemampuan pihak pembeli (maximum buyer affordability) dan batas minimum kembalinya investasi pihak penjual (minimum seller acceptability). Di antara batas tersebut terangkum semua variabel penunjang

misalnya risiko, kehandalan pasokan, jaminan penerimaan, kompetisi antar gas/minyak/batubara, fiskal, margin keuntungan, market opportunity, dan faktor tekanan sosial politik (Raharjo, 2008).

Kementerian ESDM (2008) menjelaskan bahwa pada tahun 1970 hingga 1990 struktur pasar LNG lebih didominasi oleh produsen yang pada saat itu jumlahnya masih sangat terbatas. Kondisi ini sangat menguntungkan pihak produsen (seller) karena dengan demikian penjualan LNG harganya tinggi dan bersifat jangka panjang. Struktur pasar semacam ini dikenal dengan sebutan seller market. Tahun 1990 hingga 2000 mulai terjadi pergeseran dari seller market


(49)

menjadi buyer market secara bertahap, hal ini menyebabkan pasar menjadi didominasi oleh pembeli (buyer market).

Pada tahun 2000 sampai dengan 2005 struktur pasar LNG lebih didominasi oleh buyer market yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Banyaknya produsen LNG baru yang masuk pasar LNG dunia, seperti Qatar, Oman, Yaman, Aljazair, Malaysia, Brunei Darussalam, Rusia-Sakhalin, Australia, Alaska, dan Indonesia. Banyaknya produsen baru LNG yang bermunculan menyebabkan posisi produsen menjadi kurang dominan dan harga LNG juga ikut jatuh.

2. Kontrak LNG tidak lagi melalui negosiasi langsung tetapi melalui tender. Harga serta formula harga ditentukan oleh pembeli, walaupun masih dikaitkan dengan harga minyak (pointing to oil) tapi dengan batas atas dan batas bawah.

Kondisi-kondisi yang terjadi belakangan ini, misalnya kenaikan harga minyak, peningkatan ekonomi negara pembeli LNG, tertundanya realisasi penambahan kapasitas LNG, isu energi ramah lingkungan, dan kontrak penjualan LNG dalam jangka panjang yang akan berakhir (expire) pasca 2010, mengisyaratkan akan adanya peningkatan kebutuhan LNG yang berpotensi mengembalikan kondisi seller market pada periode 2005-sekarang (Raharjo, 2008).

Berdasarkan Gambar 4.5, dapat terlihat bahwa harga ekspor LNG Indonesia berfluktuasi, namun mengalami tren peningkatan. Penurunan harga LNG yang sangat tajam terjadi pada tahun 2009. Hal ini terjadi karena adanya over supply


(50)

LNG di pasaran, sedangkan negara pengimpor tidak mampu menyerap over supply tersebut sebagai dampak dari krisis tahun 2008.

Sumber : UN Comtrade, 2011 (diolah)

Gambar 4.3. Perkembangan Harga Ekspor LNG Indonesia (US$/kg) Tahun 1989-2010

Harga jual rata-rata gas untuk ekspor setidaknya 60 persen lebih tinggi dibandingkan harga jual rata-rata untuk gas domestik. Hal ini membawa penerimaan negara dari ekspor gas bumi jauh melampaui penerimaan negara dari penjualan gas domestik. Harga jual rata-rata gas ekspor melalui pipa dan pengiriman kargo gas alam cair (Liquefied Natural Gas/LNG)dalam kurun waktu 2009 hingga 2011 mencapai US$10 hingga US$11 per juta British thermal unit (MMBTU) sementara harga jual gas untuk domestik dalam kurun waktu yang sama tercatat hanya sebesar US$4 hingga US$4,5 per juta British thermal unit (BP Migas, 2012).

4.5.Domestic Market Obligation (DMO)

Dengan adanya domestic market obligation (DMO), kontraktor diwajibkan untuk memberikan suatu persentase tertentu dari bagiannya kepada pemerintah sebagai pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Ketentuan ini diterapkan pada

0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7


(51)

kontrak bagi hasil standar berdasarkan Pasal 46 PP No.35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang menyatakan bahwa :

(1) Kontraktor bertanggung jawab untuk ikut serta memenuhi kebutuhan minyak bumi dan/atau gas bumi untuk keperluan dalam negeri;

(2) Bagian kontraktor dalam memenuhi keperluan dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan berdasarkan prorata hasil produksi minyak bumi dan/atau gas bumi;

(3) Besaran kewajiban kontraktor sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah paling banyak 25 persen (dua puluh lima per seratus) bagiannya dari hasil produksi minyak bumi dan/atau gas bumi;

(4) Menteri menetapkan besaran kewajiban setiap kontraktor dalam memenuhi kebutuhan minyak bumi dan/atau gas bumi sebagaimana dimaksud dalam ayat 3.

Ketentuan ini menyatakan bahwa kontraktor wajib menjual migas yang dihasilkan sebesar 25 persen dari hasil produksi yang menjadi bagiannya dengan harga tertentu yang lebih kecil daripada harga migas aktual saat itu. Dasar pertimbangan yang melandasi logika ini adalah, tidaklah wajar suatu negara pengekspor suatu produk yang dihasilkannya di dalam negeri sementara dia masih membutuhkannya untuk konsumsi lokal.

Jika PP No.35 Tahun 2004 mengenakan domestic market obligation pada komoditi minyak dan gas secara umum, maka pada Peraturan Menteri No.3 Tahun 2010, khusus membahas mengenai alokasi dan pemanfaatan gas bumi untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Pasal 4 Peraturan Menteri No.3 Tahun 2010 tersebut menyatakan bahwa:


(52)

(1) Dalam rangka mendukung pemenuhan gas bumi untuk kebutuhan dalam negeri, kontraktor wajib ikut memenuhi kebutuhan gas bumi dalam negeri; (2) Kewajiban kontraktor untuk ikut memenuhi kebutuhan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menyerahkan sebesar 25 persen (dua puluh lima perseratus) dan hasil produksi gas bumi bagian kontraktor; (3) Dalam hal kebutuhan gas bumi dalam negeri belum dapat terpenuhi, Menteri

menetapkan kebijakan alokasi dan pemanfaatan gas bumi sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (2) dari cadangan gas bumi pada suatu wilayah kerja;

(4) Pemenuhan kebutuhan gas bumi dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tetap memperhatikan ketersediaan infrastruktur, teknis operasional dan keekonomian lapangan.

Harga yang berlaku untuk kebijakan DMO ini berada di bawah harga pasar. Oleh karena itu, untuk mendorong pelaksanaan DMO ini, kontraktor yang memenuhi kewajibannya akan memperoleh insentif di mana penentuan harga diberlakukan sesuai kontrak penjualan gas bumi pada wilayah kerjanya selama jangka waktu tertentu. Jika melanggar, sanksi yang dikenakan atas pelanggaran domestic market obligation (DMO) yaitu dengan adanya pencabutan fasilitas

bebas DMO (DMO holiday).

Walaupun kebijakan tersebut tidak membatasi jumlah ekspor, namun hal ini secara tidak langsung memengaruhi struktur, komposisi, dan arah perdagangan gas internasional Indonesia. Oleh karena itu, kebijakan ini akan berdampak pada ekspor gas Indonesia, terutama bagi LNG yang merupakan komoditi gas yang menjadi primadona ekspor Indonesia.


(53)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1.Kestationeran Data

Dalam mengolah data time series, langkah awal yang perlu dilakukan adalah uji stasioneritas dengan menggunakan uji Augmented Dicky Fuller (ADF). Berdasarkan hasil uji ADF, seluruh variabel yang digunakan dalam penelitian, yaitu volume ekspor LNG, produksi LNG, konsumsi domestik gas alam, harga ekspor LNG, harga domestik gas alam, nilai tukar, dan dummy kebijakan domestic market obligation tidak stasioner pada tingkat level. Hal ini ditunjukkan dengan

nilai t-statistik ADF yang lebih besar dari nilai kritis MacKinnon pada taraf nyata 10 persen, seperti yang terlihat pada Tabel 5.1. Dengan demikian, data yang digunakan pada penelitian ini memenuhi syarat penggunaan metode ECM, yaitu minimal ada satu variabel yang tidak stasioner pada tingkat level.

Tabel 5.1. Hasil Uji Stasioneritas pada Tingkat Level

Variabel Nilai ADF Nilai Kritis MacKinnon Keterangan

1% 5% 10%

LN_X -0,855051 -3,502238 -2,892879 -2,583553 Tidak Stasioner LN_Q -2,404220 -3,501445 -2,892536 -2,583371 Tidak Stasioner LN_ER -2,570425 -3,503049 -2,893230 -2,583740 Tidak Stasioner LN_PX -2,395805 -3,502238 -2,892879 -2,583553 Tidak Stasioner LN_PD -1,863775 -3,500669 -2,892200 -2,583192 Tidak Stasioner LN_CD 1,784432 -3,503049 -2,893230 -2,583740 Tidak Stasioner DUMMY -1,903183 -3,500669 -2,892200 -2,583192 Tidak Stasioner Sumber : Lampiran 2


(54)

Karena adanya ketidakstasioneran data pada tingkat level, maka uji stasioneritas dilanjutkan pada tingkat first difference. Hasil uji ADF di tingkat first difference pada Tabel 5.2 menunjukkan seluruh variabel stasioner, karena nilai statistik ADF setiap variabel lebih kecil daripada nilai kritis MacKinnon pada taraf nyata 10 persen.

Tabel 5.2. Hasil Uji Stasioneritas pada Tingkat First Difference

Variabel Nilai ADF Nilai Kritis MacKinnon Keterangan

1% 5% 10%

LN_X -11,22761 -3,502238 -2,892879 -2,583553 Stasioner LN_Q -15,18890 -3,501445 -2,892536 -2,583371 Stasioner LN_ER -4,882788 -3,503049 -2,893230 -2,583740 Stasioner LN_PX -12,69385 -3,502238 -2,892879 -2,583553 Stasioner LN_PD -9,169875 -3,501445 -2,892536 -2,583371 Stasioner LN_CD -7,173113 -3,503049 -2,893230 -2,583740 Stasioner DUMMY -9,695360 -3,501445 -2,892536 -2,583371 Stasioner Sumber : Lampiran 3

Keterangan : Stasioner pada taraf nyata 10 persen

5.2.Hasil Uji Kointegrasi

Apabila variabel-variabel yang dianalisis tidak stasioner pada tingkat level tetapi saling berkointegrasi, berarti terdapat hubungan jangka panjang pada persamaan tersebut. Variabel-variabel tersebut dikatakan berkointegrasi apabila residual dari regresi persamaan yang digunakan stasioner.

Berdasarkan hasil uji stasioneritas terhadap residual persamaan regresi pada Tabel 5.3, diketahui bahwa residual dari persamaan tersebut stasioner di tingkat level. Hal ini dapat dilihat dari nilai statistic ADF yang lebih kecil daripada nilai


(1)

Lampiran 7. Hasil Uji Heteroskedastisitas dengan White Heteroskedasticity Test

Heteroskedasticity Test: White

F-statistic 0.972458 Prob. F(7,87) 0.4565 Obs*R-squared 6.893764 Prob. Chi-Square(7) 0.4400 Scaled explained SS 5.547794 Prob. Chi-Square(7) 0.5934

Test Equation:

Dependent Variable: RESID^2 Method: Least Squares

Date: 03/05/12 Time: 16:43 Sample: 2003M02 2010M12 Included observations: 95

White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 0.004036 0.001622 2.488748 0.0147 (D(LN_Q))^2 -0.042936 0.041840 -1.026196 0.3076 (D(LN_ER))^2 -0.279274 0.120436 -2.318865 0.0227 (D(LN_PD))^2 0.024046 0.027636 0.870085 0.3866 (D(LN_PX))^2 0.042266 0.040417 1.045762 0.2986 (D(LN_CD))^2 -14.66162 17.02880 -0.860989 0.3916 DUMMY^2 0.000922 0.001940 0.475199 0.6358 ECT(-1)^2 0.008700 0.081749 0.106427 0.9155

R-squared 0.072566 Mean dependent var 0.004786 Adjusted R-squared -0.002055 S.D. dependent var 0.006665 S.E. of regression 0.006672 Akaike info criterion -7.101462 Sum squared resid 0.003872 Schwarz criterion -6.886398 Log likelihood 345.3194 Hannan-Quinn criter. -7.014560 F-statistic 0.972458 Durbin-Watson stat 2.061119 Prob(F-statistic) 0.456488


(2)

90

Lampiran 8. Hasil Uji Autokorelasi

Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

F-statistic 1.019941 Prob. F(2,85) 0.3650 Obs*R-squared 2.226437 Prob. Chi-Square(2) 0.3285

Test Equation:

Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 03/05/12 Time: 16:44 Sample: 2003M02 2010M12 Included observations: 95

Presample missing value lagged residuals set to zero.

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

D(LN_Q) -0.012827 0.108282 -0.118455 0.9060 D(LN_ER) 0.018917 0.255633 0.074000 0.9412 D(LN_PD) 0.015043 0.076909 0.195601 0.8454 D(LN_PX) -0.013728 0.055248 -0.248481 0.8044 D(LN_CD) 0.317742 2.058170 0.154381 0.8777 DUMMY -0.000937 0.018657 -0.050239 0.9600 ECT(-1) 0.120317 0.223894 0.537384 0.5924 C -0.000820 0.018358 -0.044664 0.9645 RESID(-1) -0.183613 0.262710 -0.698919 0.4865 RESID(-2) 0.093647 0.132798 0.705183 0.4826

R-squared 0.023436 Mean dependent var -7.01E-18 Adjusted R-squared -0.079965 S.D. dependent var 0.069545 S.E. of regression 0.072272 Akaike info criterion -2.317459 Sum squared resid 0.443976 Schwarz criterion -2.048630 Log likelihood 120.0793 Hannan-Quinn criter. -2.208832 F-statistic 0.226654 Durbin-Watson stat 1.998969 Prob(F-statistic) 0.989825


(3)

Lampiran 10. Hasil Uji Normalitas

0 2 4 6 8 10 12

-0.15 -0.10 -0.05 0.00 0.05 0.10 0.15

Series: Residuals

Sample 2003M02 2010M12 Observations 95

Mean -7.01e-18 Median -0.008527 Maximum 0.185033 Minimum -0.144744 Std. Dev. 0.069545 Skewness 0.467704 Kurtosis 2.919122 Jarque-Bera 3.489385 Probability 0.174699


(4)

92

Lampiran 11. Uji Multikolinearitas

LN_Q LN_ER LN_PX LN_PD LN_CD DUMMY

LN_Q 1.00000 0.55518 -0.36957 -0.66400 -0.44424 -0.59270 LN_ER 0.55518 1.00000 -0.31090 -0.31067 -0.36363 -0.48600 LN_PX -0.36957 -0.31090 1.00000 0.54652 0.28231 0.42082 LN_PD -0.66400 -0.31067 0.54652 1.00000 0.55099 0.78725 LN_CD -0.44424 -0.36363 0.28231 0.55099 1.00000 0.61730 DUMMY -0.59270 -0.48600 0.42082 0.78725 0.61730 1.00000


(5)

RINGKASAN

DESI ERILIA JUANDA. Evaluasi Kebijakan Domestic Market Obligation Gas: Pengalihan Alokasi Ekspor Liquefied Natural Gas (LNG) Indonesia untuk Pemenuhan Kebutuhan Gas dalam Negeri (Dibimbing oleh TANTI NOVIANTI).

Liquefied Natural Gas (LNG) merupakan salah satu komoditi ekspor dari gas

alam yang menjadi salah satu andalan perekonomian nasional karena kontribusinya bagi pendapatan nasional dan penyumbang devisa yang cukup besar bagi Indonesia. Ukuran pasar internasional dan jumlah importir LNG terus mengalami pertumbuhan menyebabkan komoditi LNG Indonesia mempunyai prospek dan potensi yang baik di pasar internasional. Hal ini menjadikan struktur pasar gas alam Indonesia lebih didominasi oleh alokasi ekspor dibandingkan dengan alokasi domestik. Namun, tidaklah wajar suatu negara mengekspor suatu produk yang dihasilkannya di dalam negeri sementara dia masih membutuhkannya untuk konsumsi domestik, sementara kebutuhan gas domestik kian meningkat dari tahun ke tahun.

Menanggapi hal tersebut, pemerintah telah menetapkan kebijakan domestic

market obligation (DMO) untuk memenuhi kebutuhan gas dalam negeri. Hal

tersebut ditegaskan melalui PP No.35 Tahun 2004 Pasal 46 dan Peraturan Menteri ESDM No.3 Tahun 2010, di mana pemerintah mewajibkan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) untuk menyerahkan 25 persen dari produksi gas bumi bagian kontraktor guna memenuhi keperluan dalam negeri. Namun, setelah diberlakukannya kebijakan DMO, struktur pasar gas masih menunjukkan dominansi alokasi ekspor. Hal ini disebabkan terutama karena masih terdapat beberapa kontrak ekspor jangka panjang yang belum selesai masa berlakunya. Selain itu, harga gas domestik yang sangat murah sering kali membuat KKKS enggan untuk mengembangkan lapangan gasnya untuk memenuhi pasar domestik.

Berdasarkan permasalahan di atas, diduga bahwa kebijakan DMO gas belum cukup efektif, maka perlu dilakukan pembuktian mengenai pengaruh kebijakan DMO gas terhadap ekspor LNG Indonesia yang ingin dialihkan untuk pemenuhan kebutuhan gas dalam negeri. Pembuktian tersebut perlu diperkuat pula dengan menganalisis perilaku penawaran ekspor LNG Indonesia di pasar internasional selama diberlakukannya kebijakan DMO gas tersebut. Variabel-variabel yang diestimasi mempengaruhi penawaran ekspor LNG Indonesia antara lain produksi LNG Indonesia, konsumsi domestik gas alam, harga domestik gas alam, harga ekspor LNG, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, dan dummy kebijakan

domestic market obligation (DMO). Jenis data yang digunakan adalah berbentuk

time series bulanan periode Januari 2003 hingga Desember 2010, yang diperoleh

dari berbagai sumber seperti Pusdatin ESDM, Ditjen Migas, UN Comtrade, BPS, dan Bank Indonesia.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada jangka panjang, kebijakan

domestic market obligation (DMO) tidak cukup efektif untuk mengurangi ekspor

LNG Indonesia dalam rangka memenuhi kebutuhan gas dalam negeri, di mana setelah diberlakukannya kebijakan tersebut, penawaran ekspor LNG Indonesia meningkat sebesar 0,089987 persen. Bukti tidak efektifnya kebijakan DMO tersebut diperkuat dengan perilaku penawaran ekspor LNG Indonesia di pasar


(6)

internasional. Variabel produksi LNG, nilai tukar, harga domestik gas alam, konsumsi domestik gas alam memberikan pengaruh positif terhadap penawaran ekspor LNG Indonesia secara signifikan pada taraf nyata 10 persen. Jadi, walaupun harga domestik gas alam dan konsumsi gas alam meningkat, ceteris

paribus, ekspor LNG Indonesia malah meningkat, sehingga alokasi gas untuk

memenuhi kebutuhan pasar domestik tidak dapat dipenuhi. Variabel harga ekspor LNG berpengaruh negatif terhadap penawaran ekspor LNG Indonesia secara signifikan pada taraf nyata 10 persen. Jadi, walaupun harga LNG sedang jatuh,

ceteris paribus, ekspor LNG justru akan meningkat.

Hasil estimasi pada jangka pendek menunjukkan bahwa dummy kebijakan

domestic market obligation tidak berpengaruh signifikan terhadap ekspor LNG

Indonesia. Perilaku penawaran ekspor LNG Indonesia hanya dipengaruhi secara signifikan oleh produksi LNG, nilai tukar, dan harga ekspor LNG. Produksi LNG dan nilai tukar berpengaruh positif terhadap ekspor LNG Indonesia, sedangkan harga ekspor LNG berpengaruh negatif terhadap ekspor LNG Indonesia. Variabel harga domestik gas alam dan konsumsi domestik gas alam tidak memiliki pengaruh yang signifikan.

Kebijakan domestic market obligation gas belum cukup efektif untuk mengubah struktur dominansi ekspor gas ke struktur dominansi domestik karena ekspor gas Indonesia masih dilakukan dengan sistem kontrak jangka panjang dan menengah. Oleh karena itu, kebijakan ini perlu didukung dengan kebijakan penghapusan sistem perdagangan kontrak, di mana kontrak yang selama ini dijalankan tidak perlu diperpanjang lagi. Penetapan harga domestik yang lebih rendah dari harga pasar tidak memberikan insentif kepada kontraktor untuk mengembangkan gas di sektor domestik. Oleh karena itu, pemerintah sebaiknya memperbaiki harga domestik sesuai dengan keseimbangan pasar untuk mencapai pemenuhan kebutuhan konsumsi gas domestik.