LNG di pasaran, sedangkan negara pengimpor tidak mampu menyerap over supply tersebut sebagai dampak dari krisis tahun 2008.
Sumber : UN Comtrade, 2011 diolah Gambar 4.3. Perkembangan Harga Ekspor LNG Indonesia USkg Tahun
1989-2010
Harga jual rata-rata gas untuk ekspor setidaknya 60 persen lebih tinggi dibandingkan harga jual rata-rata untuk gas domestik. Hal ini membawa
penerimaan negara dari ekspor gas bumi jauh melampaui penerimaan negara dari penjualan gas domestik.
Harga jual rata-rata gas ekspor melalui pipa dan pengiriman kargo gas alam cair Liquefied Natural GasLNG
dalam kurun waktu 2009 hingga 2011 mencapai US10 hingga US11 per juta British thermal unit
MMBTU sementara harga jual gas untuk domestik dalam kurun waktu yang sama tercatat hanya sebesar US4 hingga US4,5 per juta British thermal unit
BP Migas, 2012.
4.5. Domestic Market Obligation DMO
Dengan adanya domestic market obligation DMO, kontraktor diwajibkan untuk memberikan suatu persentase tertentu dari bagiannya kepada pemerintah
sebagai pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Ketentuan ini diterapkan pada
0,1 0,2
0,3 0,4
0,5 0,6
0,7
1989 1990
1991 1992
1993 1994
1995 1996
1997 1998
1999 2000
2001 2002
2003 2004
2005 2006
2007 2008
2009 2010
kontrak bagi hasil standar berdasarkan Pasal 46 PP No.35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang menyatakan bahwa :
1 Kontraktor bertanggung jawab untuk ikut serta memenuhi kebutuhan minyak bumi danatau gas bumi untuk keperluan dalam negeri;
2 Bagian kontraktor dalam memenuhi keperluan dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, ditetapkan berdasarkan prorata hasil produksi
minyak bumi danatau gas bumi; 3 Besaran kewajiban kontraktor sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 adalah
paling banyak 25 persen dua puluh lima per seratus bagiannya dari hasil produksi minyak bumi danatau gas bumi;
4 Menteri menetapkan besaran kewajiban setiap kontraktor dalam memenuhi kebutuhan minyak bumi danatau gas bumi sebagaimana dimaksud dalam
ayat 3. Ketentuan ini menyatakan bahwa kontraktor wajib menjual migas yang
dihasilkan sebesar 25 persen dari hasil produksi yang menjadi bagiannya dengan harga tertentu yang lebih kecil daripada harga migas aktual saat itu. Dasar
pertimbangan yang melandasi logika ini adalah, tidaklah wajar suatu negara pengekspor suatu produk yang dihasilkannya di dalam negeri sementara dia masih
membutuhkannya untuk konsumsi lokal. Jika PP No.35 Tahun 2004 mengenakan domestic market obligation pada
komoditi minyak dan gas secara umum, maka pada Peraturan Menteri No.3 Tahun 2010, khusus membahas mengenai alokasi dan pemanfaatan gas bumi untuk
pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Pasal 4 Peraturan Menteri No.3 Tahun 2010 tersebut menyatakan bahwa:
1 Dalam rangka mendukung pemenuhan gas bumi untuk kebutuhan dalam negeri, kontraktor wajib ikut memenuhi kebutuhan gas bumi dalam negeri;
2 Kewajiban kontraktor untuk ikut memenuhi kebutuhan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan dengan menyerahkan sebesar 25 persen
dua puluh lima perseratus dan hasil produksi gas bumi bagian kontraktor; 3 Dalam hal kebutuhan gas bumi dalam negeri belum dapat terpenuhi, Menteri
menetapkan kebijakan alokasi dan pemanfaatan gas bumi sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat 2 dari cadangan gas bumi pada suatu wilayah
kerja; 4 Pemenuhan kebutuhan gas bumi dalam negeri sebagaimana dimaksud pada
ayat 3 tetap memperhatikan ketersediaan infrastruktur, teknis operasional dan keekonomian lapangan.
Harga yang berlaku untuk kebijakan DMO ini berada di bawah harga pasar. Oleh karena itu, untuk mendorong pelaksanaan DMO ini, kontraktor yang
memenuhi kewajibannya akan memperoleh insentif di mana penentuan harga diberlakukan sesuai kontrak penjualan gas bumi pada wilayah kerjanya selama
jangka waktu tertentu. Jika melanggar, sanksi yang dikenakan atas pelanggaran domestic market obligation DMO yaitu dengan adanya pencabutan fasilitas
bebas DMO DMO holiday. Walaupun kebijakan tersebut tidak membatasi jumlah ekspor, namun hal ini
secara tidak langsung memengaruhi struktur, komposisi, dan arah perdagangan gas internasional Indonesia. Oleh karena itu, kebijakan ini akan berdampak pada
ekspor gas Indonesia, terutama bagi LNG yang merupakan komoditi gas yang menjadi primadona ekspor Indonesia.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN